KALIMANTAN Suku Dayak yang terdiri 268 suku bangsa, Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau,
Suku Bajau
SULAWESI Suku Makasasar, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Tolaki, Suku Minahasa yang
terdiri dari 8 suku,Suku Gorontalo, dan Suku Toraja
Istilah karakter memiliki dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku, Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang
baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai
kaidah moral.
Karakter berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang
berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif.
Inti dari karakter adalah kebajikan (goodness) dalam arti berpikir baik (thinking good), berperasaan
baik (feeling goog), dan berperilaku baik (behavioring good). Dalam konteks bangsa, maka inti dari
karakter bangsa adalah berpikir baik, berperasaan baik, dan berperilaku baik untuk kepentingan
bangsa.
Mengapa nilai karakter menjadi penting dalam membentuk kemajuan peradaban kebangsaan?
Lawrence E. Harrison and Samuel P. Hutington (2000) dalam Culture Matter: How Values Shape
Human Progress mengatakan bahwa nilai dalam setiap budaya memiliki andil yang menentukan
keberhasilan perubahan yang hendak ditentukan
Ada banyak program pembangunan itu gagal oleh problem kebudayaan, yang didalamnya terdapat
nilai karakter yang membentuknya.
Unsur Pembentuk Karakter Bangsa
FAKTOR FISIK
Lingkungan Alam dan Iklim
KARAKTER BANGSA:
Moral, kebiasaan berpikir dan berperilaku
INTOLERANSI SOSIAL,
RADIKALISME DAN TERORISME
Intoleransi Sosial
Berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsep
toleransi/to·le·ran·si/ n didefinisikan (
1) sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling
berhubungan dengan penuh --;
(2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan;
(3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja
TOLERANSI merupakan sifat atau sikap toleran seseorang untuk menerima
perbedaan (budaya) meskipun mungkin tidak setuju atau menyetujuinya.
Perspektif Toleransi:
Toleransi adalah menahan sesuatu yang tidak melukai’ (Vogt, 1997:1).
Toleransi antar manusia yang berbeda dimaksudkan untuk mengatasi,
mengurangi atau menghindari konflik. Seorang individu perlu
mentoleransi hal-hal yang dibenci, tidak disetujui, tidak disukai atau
tidak disukai (Gibson, 2006; Sullivan dan Transue, 1999; Sullivan et al.,
1982; Vogt, 1997).
Toleransi menjadi salah satu unsur yang berkaitan dengan demokrasi,
perdamaian dan HAM, untuk mewujudkan masyarakat dunia yang
memiliki budaya damai.
Oleh karena itu, berkaitan dengan konteks Indonesia sebagai negara
demokrasi, sudah sepatutnya jika toleransi, perdamaian dan HAM
dijunjung tinggi
Gejala-Gejala Intoleransi
(1) penggunaan bahasa (language) yang eksklusif, bertendensi merendahkan, mengandung fitnah yang
bertujuan merendahkan dan mendehumanisasi kelompok budaya, ras, nasional atau seks.
(2) stereotip (stereotyping), yang berarti penggambaran individu maupun kelompok yang diberi
penyematan negatif serupa.
(3) mengolok-olok (teasing), artinya penggunaan panggilan terhadap tindakan, karakter yang cenderung
mengejek atau menghina.
(4) buruk sangka (prejudice), berarti penilaian berdasarkan generalisasi negatif dan stereotip daripada
berdasar fakta tentang kasus atau tindakan spesifik yang dilakukan oleh individu atau kelompok tersebut
(5) pengambinghitaman (scapegoating), yaitu menyalahkan kelompok tertentu atas peristiwa traumatis
atau masalah sosial yang tengah terjadi di masyarakat.
(6) diskriminasi (discrimination), artinya pengecualian manfaat sosial dan aktivitas, terutama karena
mendasarkan pada buruk sangka.
(7) pengabaian (ostracism), yaitu perilaku yang menganggap seolah-olah orang lain tidak hadir atau tidak
ada. Hal ini termasuk penolakan untuk berbicara atau mengakui kelompok lain serta budaya mereka
(termasuk juga ethnocide).
(8) pelecehan (harassment), yaitu perilaku disengaja untuk mengintimidasi dan merendahkan orang lain,
seringnya hal itu bertujuan sebagai sarana memaksa keluar dari organisasi, komunitas atau kelompok
tertentu.
(9) perisakan (bullying), suatu penggunaan superioritas kapasitas fisik atau angka yang lebih besar untuk
mempermalukan orang lain atau menghalangi mereka dari properti atau status.
(10) pengusiran (expulsion) secara resmi atau paksa, dengan mengusir atau menolak hak masuk atau
hadir di suatu tempat, kelompok sosial, profesi atau tempat kegiatan kelompok tertentu. Pengusiran
menjadi masalah sebab kelangsungan hidup korban bergantung kepada tempat kerja, tempat tinggal, dll.
(11) pengecualian (exclusion), dilakukan dengan cara menyangkal kemungkinan untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan atau berpartisipasi penuh dalam kegiatan komunal tertentu di masyarakat.
(12) segregasi (segregation), artinya pemisahan paksa orang dari ras, agama atau jenis kelamin berbeda
untuk merugikan suatu kelompok tertentu (termasuk apartheid).
(13) , penindasan (repression), merupakan pencegahan atas penikmatan HAM. Terakhir,
(14) penumpasan (destruction), berarti mengurung, melakukan kekerasan fisik, menghapus orang atau
kelompok dari daerah mata pencahariannya, melakukan penyerangan bersenjata dan pembunuhan
(termasuk genosida) UNESCO dalam The Wahid Institute (2014:16).
UNESCO (1994:15) menyebut bahwa “intoleransi bukanlah sebuah (hasil) akhir
melainkan cara”. Maksudnya, intoleransi justru menjadi gejala awal yang mampu
memicu masalah sosial lain di masyarakat, yakni berupa kekerasan yang melanggar
kebebasan HAM. Kekerasan merupakan salah satu efek negatif intoleransi, yang
mengarahkan kepada hal lebih buruk seperti pencabutan nyawa seseorang atau
bahkan pemusnahan kelompok masyarakat. Di Indonesia, hal ini pernah terjadi di
beberapa tempat seperti Ambon, Poso dan Sampit
Radikalisme
PAHAM atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaruan social dan politik dengan cara
kekerasan atau drastic (KBBI)
1 Kelompok Separatis Merebut dan menguasai suatu wilayah ETA (Spanyol), Macan Tamil
(Srilanka), ISIS (Syria dan
Irak)
2 Kelompok Sayap Kanan Melindungi supremasi ‘kulit putih’ dan Klu Klux Klan (USA), Pegida
Ekstrim ancaman imigran (Jerman)
3 Kelompok Sayap Kiri Ekstrim Persamaan distribusi kekayaan FARC (Kolombia), Red
Brgade (Italia)
4 Kelompok Fokus pada satu Isu Memperjuangakan isu tertentu, sepertii Army Of Gdd (USA), Eart
lingkungan, aborsi, dst Liberation Front (UK)
39.20%
setuju
tidak setuju
Tidak tahu
50.80%
Radikalisme SARA;
muncul dari pemahaman
yang tertutup (fanatic)
dan tekstual (kaku) dan
merasa dirinya dan
kelompoknya paling
benar
04 MERUNTUHKAN
03 MEMBUNUH SISTEM DAN
KARAKTER UALAMA PELAKSANA NEGARA
MODERAT
Memproduksi Isu negara
Menuduh sebagai ulama kafir, thogut, ganti dengan
libera, syiah sistem khilafagh
Perbuatan radikal dan ekstrim inilah yang akhir-akhir ini dinamai dengan teror /
terorisme.
Apa yang harus dilakukan
Politik kebijakan
Pembentukan negara yang
Menghidupkan
kesadaran toleransi memberikan ruang Ketegasan negara
kembali rumah-rumah
dan kerukunan gerak bagi tumbuh dalam menjalankan
‘kebudayaan’ sebagai
melalui sektor kembangnya amanat konstitusi;
rumah dialogis
PENDIDIKAN , kehidupan yang
toleran;
PROBLEM KEBANGSAAN (3)
HOAKS
KONDISI SOSIAL POLITIK KITA DAN
TSUNAMI PERADABAN
Hoaks di tengah suasana kontraproduktif
dalam realitas social politik kita’
Demam kabar burung dan kabar palsu
membuat perpecahan terjadi sampai di
tingkat keluarga, dengan tingkat emosi
yang sangat tinggi (Alissa Wahid, 2019)
Ruang public keindonesiaan kita
didominasi oleh berita bohong (hoaks),
intoleransi social, kekerasan dan politik
kebencian
PARADOKS MASYARAKAT DIGITAL:
Kelimpahanruahan informasi yang tidak
berbanding lurus dengan kedewasaan
masyarakat dalam mengambilo keputusan
(Thomas M Nichols, 2017)
Masyarakat mengalami EPIDEMI
RASIONALITAS : hilangnya penalaran
yang rasional dan pudarnya kesadaran
melakukan verifikasi setiap informasi
Hoaks di Tahun Politik
Sebanyak 1.731 hoax diidentifikasi oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo)
Tren penyebaran hoax memang meningkat sejak Agustus
2018 dari 25 konten hoax, tetapi naik menjadi 27 konten
hoax pada September 2018, dan terus naik di angka 75
konten bulan desember 2018 terus meningkat hinggal
April 2019
Kategori konten hoax yang berhasil diindetifikasi
Kominfo sepanjang Agustus 2018-April 2019
1. Kategori politik: 620 hoax
2. Kategori pemerintahan: 210 hoax
3. Kategori kesehatan: 200 hoax
4. Kategori fitnah: 159 hoax
5. Kategori kejahatan: 113 hoax
6. Isu lainnya : -
Berasal dari kata ‘hocus’ yang berarti penipu
(Robert Naris, filsuf Inggris)
Malicous Deception atau Kebohongan yang
dibuat dengan tujuan jahat (Oxford English
Dictionary)
Berita bohong, sumber tak terpercaya (KBBI)
Tahun 2006 muncul film berjudul The Hoaxs
yang dibintangi Ricard Gere diambil dari novel
Clifford Irving
Alan Sokal dalam paper berjudul Transgressing
the Boundaries: Towards a Transformative
Hermeneutics of Quantum Gravity yang dimuat
pada Social Text edisi ke-46/47 Spring-Summer
1996, jurnal ternama di Amerika Serikat Alan
Sokal seorang profesor fisika di New York
University dan profesor matematika di
University College London.
Ciri-Ciri Hoaks
1) Menciptakan kecemasan kebencian dan permusuhan
2) Sumber tidak jelas, tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban, dan klarifikasi
3) pesan sepihak, menyerang dan tidak netral, berat sebelah
4) mencatut tokoh berpengaruh
5) memanfaatkan fanatisme atas nama ideology, agama dan suara rakyat
6) judulnya provokatif dan tidak sesuai dengan isinya
7) Minta supaya di share atau diviralkan
8) Menggunakan data dan argument yang teknis agar terlihat ilmiah
9) Menyembuyikan data dan fakta sesungguhnya, dan memanipulasi keduanya
10) Memanipulasi foto dan keterangan
Beberapa faktor pelaku penyebaran hoaks diantaranya:
(1) artikel berita menarik akan menjadi viral di media termasuk media sosial. Hal ini
akan menarik bagi iklan dan penyedia berita sehingga mendatangkan keuntungan dari
situs asalnya.
(2) Penyedia berita hoaks berusaha untuk mendukung ideologi dan menyerang
kelompok rival.
Tujuannya:
(1) mencipta distrust
(2) menciptakan kebencian satu sama lain;
(3) menciptakan situasi konflik dan permusuhan
Sementara itu, faktor kemunculan hoaks melalui media sosial didasarkan pada
beberapa faktor (Ruri Rosmalinda 2017) yakni:
1. Kemudahan bagi masayarakat dalam memiliki alat komunikasi yang modern dan
murah, dalam hal ini adalah penggunaan smartphone sebagai media pencarian
informasi.
2. Masyarakat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang belum jelas tanpa melakukan
verifikasi atau konfirmasi kebenaran informasi/berita tersebut, sehingga langsung
melakukan tindakan share informasi yang belum jelas kebenarannya
3. Kurangnya minat membaca, sehingga ada kecenderungan membahas berita tidak
berdasarkan data akurat, hanya mengandalkan daya ingat atau sumber yang tidak
jelas.
Dampak negative hoaks dan ujaran kebencian diantaranya:
1. Merugikan masyarakat, karena berita-berita hoaks berisi
kebohongan besar dan fitnah.
2. Memecah belah publik, baik mengatasnamakan kepentingan
politik maupun organisasi agama tertentu.
3. Memengaruhi opini publik karena hoaks merupakan provokasi.
4. Berita-berita hoaks sengaja dibuat untuk kepentingan
mendiskreditkan salah satu pihak sehingga bisa mengakibatkan
adu domba terhadap sesama umat maupun dengan kelompok
yang lain.
Hoaks dalam Kondisi Masyarakat kita
Efek post-truth di era Disrupsi Teknologi Informasi; suatu ‘kebenaran era zaman now”
yang disuling tidak dari fakta empiris, rasional, tetapi dari ‘imajinasi’ dan ‘fantasi’
yang mengendalikan perasaan dan emosi public (Kemal Pasha, Kompas, 25/6/2019)
Kemampuan Berpikiri KRITIS dan tingkat LITERASI yang rendah;
Masyarakat Indonesia yang socio-centric (Haidt, 2012), dimana konformitas kelompok
dan struktur social menjaid hal yang penting;
Secara kultural, masyarakat Indonesia suka hidup berkelompok dan berkomunikasi
melalui luring maupun daring. IMPLIKASINYA: gagasan dan apapun mudah tersebar,
apalagi kabar menyesatkan akan lebih mudah menyebar daripada kebenaran (Alissa
Wahid, Kompas, 16/6/2019)
TRAGISNYA: era ini membuat masyarakat dalam kelompok itu mudah terhubung satu
sama lain, sehingga mudah menjadi SEKUTU sekaligus SETERU dalam pilihan
informasi yang dihasilkan.
Hoaks dan Krisis Kewargaan Kita
Polarisasi dalam masyarakat akibat hoaks –
menjadi SEKUTU atau SETERU- cerminan dari
gagalnya politik kewargaan kita,
POLITIK KEWARGAAN adalah suatu aktivitas
politik yang menginisiasikan terbentuknya
masyarakat sipil yang memiliki komitmen
bersama membangun suatu nation-state yang
bernama Indonesia
POLITIK KEWARGAAN diarahkan pada
kemampuan membentuk masyarakat warga
dengan berbagai kompleksitas Keindonesiaan
yang plural
Solusi
1. Melek literasi, utamanya literasi teks, literasi digital
2. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan rasional
3. Menggunakan prinsip berpikir yang mengedepankan ASAS
KEBENARAN, ASAS KEBAIKAN dan ASAS
KEMANFAATAN
Prinsipnya: sebuah informasi harus dilihat aspek kebenarannya,
kebaikan dari informasi tersebut, sekaligus juga aspek kemanfaatan.
Jika salah satu hilang, maka jangan tergesa untuk disebarluasakan
PROBLEM KEBANGSAAN 4
KORUPSI
Korupsi
• Menurut UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001, istilah Korupsi mengacu pada:
(1) Perbuatan Melawan hukum, memperkaya diri
orang/badan lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara (pasal 2)
(2) Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan
keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3)
(3) Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11)
(4) Delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8,9, 10)
(5) Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
6) Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal (7) Delik gratifikasi (pasal 12B dan
12C)
Perspektif Sosial Kebudayaan:
• Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan dampak buruk
yang luar biasa pula.
Dampak Korupsi