terhadap UU No.38 / 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of South East Asian Nations
dan PUTUSAN JUDICIAL REVIEW MK ATAS UU NO. 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dr. Nanik Trihastuti,SH.,Mhum.
Hukum Perjanjian Internasional Fakultas Hukum UNDIP Pendapat MK • lembaga ini berwenang untuk menguji Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah untuk diuji oleh MK. Argumentasi : Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya • Setelah memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke materi Piagam ASEAN • MK menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan belum berlaku efektif. • Secara nasional berlakunya kebijakan makro tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN untuk melaksanakan. • Atas argument ini maka gugatan pemohon tidak beralasan menurut hukum. • MK memberi pesan bahwa selama perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD. • Argumen ini sangat logis dan dapat dipahami. • MK telah memilih aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan sebaliknya. PERSOALAN • APAKAH PIAGAM ASEAN INI MERUPAKAN UU ? • Dua Hakim Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. • Menurut kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah Undang-Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah. • Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu peraturan perundang- undangan yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kapada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari DPR terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU. • Dalam pengujian Piagam ASEAN Tampaknya terdapat kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan tidak bukan adalah UU. • Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau kembali. (Kesimpulan ini dibangun dari premis yang agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang keliru ). • Dilain pihak argumentasi MK yang kelihatannya logis dari sisi hukum tatanegara namun menjadi tidak logis dalam hukum internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam ASEAN kedalam UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty kedalam format UU yang memiiki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU ini. Padahal dalam konsepsi hukum publik dikenal suatu model masuknya perjanjian internasional kedalam hukum nasional melalui proses transformasi. • Teori transformasi menjelaskan bahwa Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai Treaty mengikat semua negara pihak dalam tataran hukum internasoinal, sedangkan UU 38/2008 jika hendak dianggap sebagai UU transformasi maka hanya diartikan sebagai Piagam ASEAN yang ditransformasikan kedalam hukum nasional dan bertujuan hanya untuk mengikat subjek-sybjek dalam hukum nasional. • Menurut teori ini, pemuatan Piagam ASEAN kedalam fromat UU 38/2008 adalah murni urusan hukum nasional dan tidak ada sangkut pautnya dengan status Piagam sebagai treaty menurut hukum internasonal, yang tetap tentunya mengikat negara pihak lainnya sebagai subjek hukum internasional. • Dengan demikian, argumen MK yang menyatakan bahwa Negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008 sangat tidak mendasar dan bukan sebagaimana yang dimaksud oleh teori transformasi. • Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional • Pasal 2, 9 (2) dan 11 (1) tidak semua perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR. Dengan demikian suatu kriteria dibutuhkan untuk menentukan perjanjian yang mana yang harus ke DPR. • Soal kriteria ini UU telah mengatur hanya 6 jenis perjanjian yang mensyaratkan persetujuan DPR, dan kriteria inilah yang digugat pemohon. Perjanjian yang harus ke DPR tidak bisa dibatasi hanya pada 6 jenis ini, bisa saja diluar ke enam jenis ini terdapat perjanjian lain yang membutuhkan persetujuan DPR, demikian dalil pemohon. MK kemudian mengabulkan permohonan yang ini. • Terhadap permohonan yang satu lagi yakni Pasal 10, MK menyatakan bahwa pasal ini bertentangan dengan UUD jika dimaknai bahwa hanya jenis perjanjian tertentu saja yang harus mendapatkan persetujuan DPR (yakni hanya soal politik, perdamaian, hankam, batas wilayah, kedaulatan atau hak berdaulat, HAM, LH, kaidah baru dan pinjaman LN). Problem Kriteria • kriteria perjanjian apa saja yang memerlukan persetujuan DPR? • persoalan klasik yang ada dalam hampir semua sistem hukum nasional. Di era globalisasi ini tidak mungkin semua perjanjian harus disetujui DPR, dan ini telah dikonfirmasi oleh MK. Untuk itu hampir semua negera menetapkan kriteria untuk menentukan mana yang memerlukan persetujuan DPR dan mana yang tidak. • Sistem hukum Indonesia sudah mengalami persoalan klasik ini sebelum tahun 1960, yang dibereskan dengan keluarnya Surat Presiden 2826/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Surat Presiden 2826/1960 • tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. • Dalam surat tersebut Presiden Sukarno antara lain menafsirkan bahwa perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR berdasarkan Pasal 11 UUD 1945 tidak mencakup seluruh perjanjian internasional tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang bersifat penting saja, yakni yang materi muatannya mengandung hal-hal yang berkaitan dengan politik yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat (treaty). • Untuk menjamin kelancaran hubungan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan Pasal 11 UUD 1945, maka Pemerintah hanya akan menyampaikan ”perjanjian-perjanjian yang bersifat penting saja, yakni yang materi muatannya mengandung hal-hal yang berkaitan dengan politik yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat (treaty)”. • Untuk perjanjian-perjanjian lain (agreement) akan disampaikan kepada DPR sebagai semacam pemberitahuan semata • Menurut Surat Presiden tersebut, maka perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR adalah yang mengandung materi, antara lain: (i) Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri; (ii) Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik negara; dan (iii) Hal-hal yang menurut UUD atau berdasarkan sistem perundang-undangan harus diatur dengan UU. • Surat Presiden ini selanjutnya diformalkan dalam UU No. 24/2000 dengan beberapa modifikasi • Menurut UU ini, perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR adalah perjanjian yang terkait dengan soal politik, perdamaian, hankam, batas wilayah, kedaulatan atau hak berdaulat, HAM, LH, kaidah baru dan pinjaman LN. • Kriteria inilah yang dipersoalkan oleh pemohon dengan dalil bahwa perjanjian diluar kriteria ini bisa saja menimbulkan akibat yang luas dan mendasar, dan seharusnya memerlukan persetujuan DPR. Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian UU No. 24 / 2000 tentang Perjanjian Internasional. • MK menegaskan kembali bahwa tidak semua perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR (dibutuhkan kriteria untuk menentukan perjanjian yang mana yang harus ke DPR) • UU telah mengatur hanya 6 jenis perjanjian yang mensyaratkan persetujuan DPR, dan kriteria inilah yang digugat pemohon. Dalil Pemohon : Perjanjian yang harus ke DPR tidak bisa dibatasi hanya pada 6 jenis ini, bisa saja diluar ke enam jenis ini terdapat perjanjian lain yang membutuhkan persetujuan DPR • MK setuju dan membongkar kriteria ini serta menggantikannya dengan yang baru • MK selanjutnya menggunakan kriteria Pasal 11 (2) UUD, yaitu perjanjian harus mendapat persetujuan DPR jika menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. • Dengan kriteria ini maka perjanjian tidak lagi terbatas pada 6 jenis perjanjian diatas, namun bisa perjanjian apa saja sepanjang memenuhi kriteria ini. • Namun dilain pihak, 6 jenis perjanjian yang biasanya ke DPR tidak lagi otomatis ke DPR jika tidak memenuhi kriteria baru. Dalam hal ini MK telah memperluas kewenangan DPR sekaligus mempersempitnya. akibat • kriteria ini sangat umum dan akan sulit menguji apakah suatu persetujuan berakibat luas dan mendasar atau membutuhkan perubahan atau pembentukan UU. • MK mengakui kesulitan ini sehingga cenderung berpendapat bahwa kriteria ini bersifat dinamis dan tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai secara kasuistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum secara nasional maupun internasional • MK selanjutnya mendorong adanya mekanisme konsultasi antara DPR dan Pemerintah guna menentukan apakah suatu perjanjian perlu atau tidak untuk mendapatkan persetujuan DPR. Hasil konsultasi bersifat tidak mengikat namun pada umumnya dihormati oleh Pemerintah Penafsiran Baru thd Ps. 11 UUD 1945 • MK juga melakukan tafsir baru atas Pasal 11 UUD 1945 khususnya relasi antara ayat (1) dan ayat (2). • Pasal 11 ayat (1) menyatakan “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. • Ayat ini adalah produk dari BPUPKI tahun 1945 dan pada umumnya dimaknai sebagai perjanjian antar negara saja karena pada era ini tidak dikenal perjanjian dengan selain negara. • Tidak terdapat kriteria dalam ayat ini sehingga lahirlah Surat Presiden No. 2826 Tahun 1960 kepada DPR yang menetapkan kriteria bahwa perjanjian yang penting saja (yang sering dinamai dengan “traktat”) yang perlu mendapatkan persetujuan DPR • Penandatangan Letter of Intent antara Indonesia dan IMF tahun 1998 telah melahirkan kontroversi publik tentang perjanjian ini, yang dianggap menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait beban keuangan negara • perjanjian ini bukan antara negara melainkan dengan organisasi internasional maka Pasal 11 UUD tidak berlaku, sehingga perjanjian ini diberlakukan tanpa memerlukan persetujuan DPR • Kontroversi ini telah mendorong adanya amandemen pada pasal 11 sehingga melahirkan ayat (2) yang menyatakan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat • ayat (2) ini telah merumuskan kriteria perjanjian yang harus dengan persetujuan DPR. Kriteria yang sama tidak ada pada ayat (1). • Konstruksi kedua ayat ini telah melahirkan pertanyaan tentang apa perbedaan antar perjanjian pada ayat (1) dan pada ayat (2) • frasa “perjanjian internasional lainnya” pada ayat (2) ini sebagai perjanjian antar Indonesia dengan subjek lain selain negara. Frasa ini dikonstruksikan secara logis sebagai perjanjian selain ayat (1) yakni perjanjian selain dengan negara • Pengertian perjanjian internasional “lainnya” adalah perjanjian selain yang dimaksud Ayat (1) namun tetap dalam kerangka definisi Konvensi Wina 1969 dan 1986, yang berarti perjanjian antara Indonesia dengan subjek hukum internasional lainnya selain negara • terdapat anomali pada Pasal 11 ini karena kedua model perjanjian ini memiliki kriteria yang berbeda dalam kaitannya dengan perlu tidaknya persetujuan DPR. Ayat (1) tidak merumuskan kriteria dan menggunakan kriteria yang tercantum pada Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 sebagai UU penjabarannya. • ayat (2) merumuskan kriteria tersendiri yakni “yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat • Di lain pihak, kriteria Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 berlaku baik untuk perjanjian ayat (1) maupun perjanjian ayat (2) UUD Respon MK • MK menafsirkan secara sistematis Pasal 11 UUD 1945. • Menurut MK frasa “perjanjian internasional lainnya” dalam ayat (2) berarti menegaskan bahwa “perjanjian dengan negara lain” pada ayat (1) adalah juga perjanjian internasional. • Penegasan ini penting karena menurut MK ada dua Konvensi yang berbeda mengatur perjanjian antara negara (Konvensi Wina 1969) dan perjanjian antara negara dengan organisasi internasional (Konvensi Wina 1986). • Selanjutnya MK menafsirkan bahwa tidak semua perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden mempersyaratkan adanya persetujuan DPR melainkan hanya perjanjian-perjanjian internasional yang memenuhi persyaratan umum yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 Akibat • Penafsiran baru MK terhadap Pasal 11 ini mengubah total relasi antara ayat (1) dan ayat (2) yang selama ini dimaknai oleh publik. • Kedua ayat ini tidak membedakan antara perjanjian antar negara dengan perjanjian dengan subjek bukan negara, melainkan harus dibaca sebagai satu kesatuan, yang maknanya menjadi: 1. Bahwa ‘perjanjian dengan negara lain’ adalah perjanjian internasional. 2. tidak semua perjanjian harus ke DPR melainkan yang memenuhi kriteria seperti tertera pada ayat (2). • Dengan penafsiran ini maka lahirlah kriteria yang sama, baik untuk perjanjian antar negara maupun untuk perjanjian antara Indonesia dengan subjek bukan negara. Relasi ayat (1) dan (2) UUD yang terkesan tidak kohesif selama ini menjadi lebih terintegrasi. PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN DPR Dalil pemohon : istilah “pengesahan” telah menggantikan istilah “persetujuan DPR”, MK akhirnya menyentuh perdebatan tentang makna “pengesahan Persoalan : apakah “persetujuan DPR” dan “pengesahan (UU pengesahan)” adalah satu kesatuan proses atau dua proses yang berbeda? • Pemahaman Pemerintah : selama ini selalu memaknai UU Pengesahan sebagai bentuk persetujuan DPR sehingga istilah ‘persetujuan DPR” mengambil format UU. (berdasarkan UU No. 24 Tahun 2000 mengartikan kedua istilah itu sebagai satu kesatuan proses, yakni bahwa “persetujuan DPR” diekpresikan melalui UU pengesahan) • Dipilihnya format UU untuk menjubahi “persetujuan DPR” karena saat itu produk persetujuan DPR hanya dalam bentuk UU • Konstruksi ini mengakibatkan “persetujuan DPR” menurut Pasal 11 UUD 1945 adalah dalam rangka syarat terbitnya UU pengesahan seperti yang dimaksud oleh Pasal 20 UUD 1945. Artinya, “persetujuan DPR” seperti yang dimaksud dalam Pasal 11 adalah identik dengan “persetujuan DPR” menurut Pasal 20 UUD 1945 Pandangan Pakar • mendukung penafsiran Pemerintah selama ini a.Prof. Natabaya : menegaskan bahwa “persetujuan DPR” akan selalu melahirkan “Undang-Undang b.Hamid Attamimi : bahwa “persetujuan DPR” sendiri tidak identik dengan Undang-Undang namun jika “persetujuan DPR” tersebut dituangkan dalam bentuk Undang-Undang tidak pula menyalahi UUD 1945 karena praktik Indonesia yang dilakukan sejak dahulu telah melahirkan konvensi ketatanegaraan. • Penjubahan “persetujuan DPR’ dalam bentuk UU merupakan tradisi hukum Belanda yang diwarisi oleh Indonesia. Pendapat MK • MK memiliki pendapat berbeda dan memaknai kedua istilah ini sebagai dua proses yang berbeda. • MK menegaskan perlunya dibedakan: 1.antara “persetujuan DPR” dengan “persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian (consent to be bound)”. 2.perlu juga dibedakan antara “pengesahan perjanjian menurut hukum internasional” dengan “pengesahan menurut hukum nasional”. PEMBEDAAN PERTAMA •MK melalui pembedaan pertama dengan argumentasinya berhasil mengklarifikasi distorsi publik selama ini. •Persetujuan DPR yang hasilnya adalah UU selalu dimaknai sebagai persetujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Padahal keduanya adalah proses yang berbeda. •Persetujuan DPR (proses internal) diberikan terhadap rencana Pemerintah untuk “menyatakan terikat” pada perjanjian (proses eksternal) yang direfleksikan melalui penyampaikan “instrument of ratification” kepada depository perjanjian itu. Artinya, persetujuan DPR bukan dimaksudkan untuk “consent to be bound” terhadap perjanjian itu sendiri. •Kerancuan ini muncul karena UU No. 24 Tahun 2000 mendefinisikan istilah ‘pengesahan” sebagai “consent to be bound” (proses eksternal) namun pada bagian lain menggunakan istilah “pengesahan dengan UU (atau Perpres)”. Konstruksi UU ini telah memberikan makna ganda pada istilah “pengesahan”. PEMBEDAAN KEDUA •MK mencoba membedakan antara “pengesahan perjanjian menurut hukum internasional” dengan “pengesahan menurut hukum nasional”. Dari argumen ini lahir istilah baru yakni “pengesahan menurut hukum nasional”. Istilah ini oleh MK merujuk pada produk legislasi yakni UU atau Perpres •MK memberi makna baru bahwa pengesahan (menurut hukum nasional) terhadap suatu perjanjian internasional adalah sekaligus sebagai instrumen yang menjadikan suatu perjanjian internasional sebagai bagian dari hukum nasional. •MK cenderung membedakan antara “persetujuan DPR” seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945 dengan “pengesahan menurut hukum nasional”. •“pengesahan menurut hukum nasional” yang dimaknai sebagai “pengesahan UU/Perpres yang sekaligus memberlakuan perjanjian kedalam hukum nasional. •Proses ini berdiri sendiri dan terlepas dari istilah “persetujuan DPR” seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945. •Dalam hal ini, persetujuan DPR bisa saja diberikan tanpa harus melakukan pengesahan menurut hukum nasional. AKIBAT • Penafsiran ini akan melahirkan dua kali persetujuan DPR, yakni persetujuan seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945 dan persetujuan untuk mengesahkan UU sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 UUD 1945. • Hal ini tentunya menyisakan pertanyaan juridis yaitu : a. Dapatkah DPR menolak mengesahkan UU pengesahan sekalipun sudah memberika persetujuan dalam rangka Pasal 11 UUD 1945? b. Sebaliknya, Dapatkah DPR mengesahkan UU tsb sekalipun belum ada persetujuan? • Problem juridis ini tentunya harus diselesaikan dalam revisi UU No. 24 Tahun 2000. Pemberlakuan Perjanjian kedalam Hukum Nasional Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, hlm. 262.: Tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) juga merupakan konsekuensi dari suatu perjanjian internasional yang mempersyaratkan adanya pengesahan (ratifikasi) sebagai pernyataan untuk terikat (consent to bound) pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian internasional yang bersangkutan. Dengan demikian, tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) terhadap suatu perjanjian internasional adalah sekaligus sebagai instrumen yang menjadikan suatu perjanjian internasional sebagai bagian dari hukum nasional. •Selama ini UU pengesahan hanya dimaknai sebagai bentuk persetujuan DPR (tindakan internal) kepada Pemerintah untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian (tindakan ekternal). •Jika perjanjian tsb telah mengikat Indonesia, maka harus dimaknai bahwa perjanjian itu sudah menjadi bagian dari hukum nasional tanpa perlu suatu instrumen yang memberlakukannya. •Dalam hal ini tanggal pemberlakuan perjanjian terhadap Indonesia adalah identik dengan tanggal pemberlakuannya kedalam hukum nasional, dan tidak pernah identik dengan tanggal pemberlakuan UU pengesahannya. Akibat dalam Praktik • Pemberlakuan UU pengesahan adalah tersendiri yakni ‘pada saat diundangkan, sedangkan pemberlakuan perjanjian itu sendiri, dan pemberlakuannya terhadap Indonesia (dalam hal perjanjian multilateral) selalu berbeda dengan tanggal berlakunya UU pengesahan. • Sebagai contoh, UNCLOS 1982 disahkan melalui UU No. 17 Tahun 1985 dan UU ini mulai berlaku tanggal 31 Desember 1985. Sedangkan UNLCOS 1982 itu sendiri mulai berlaku, termasuk terhadap Indonesia, tanggal 16 November 1994. • Dengan praktik ini maka tidaklah mungkin pembuat UU bermaksud memaknai UU pengesahan sebagai memberlakukan perjanjian kedalam hukum nasional karena akibatnya UNCLOS 1982 akan berlaku dalam hukum Indonesia sebelum Konvensi ini sendiri lahir. • Dalil baru MK ini telah menambah kontroversi tentang bentuk hukum UU, yang mulai dimaknai berbeda dalam Putusan MK 2013 pada Judicial Review Piagam ASEAN • Pemaknaan baru atas UU pengesahan sebagai pengesahan hukum nasional dalam perkara UU Perjanjian Internasional tampaknya mengkoreksi pandangan MK terdahulu pada perkara Piagam ASEAN ini. • Dalam perkara Piagam ASEAN, MK berpendapat bahwa UU pengesahan adalah memuat suatu perjanjian kedalam format UU. • Piagam ASEAN telah dimuat kedalam UU 38/2008 yang mengesahkannya. • Dalam hal ini MK tidak membedakan pengesahan Piagam ASEAN dalam level hukum internasional dan level hukum nasional, sehingga pemindahan format treaty kedalam format UU memiliki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU ini. • Dengan demikian, MK ingin menyatakan bahwa Negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008. • Karena tidak logis, maka MK menyarankan agar pilihan bentuk UU untuk Perjanjian Internasional ditinjau kembali • Kerancuan pada pandangan MK ini diakibatkan tidak dibedakannya mekanisme pemberlakuan kedalam hukum nasional dan pemberlakuannya dalam hukum internasional, sehingga dengan serta merta pemuatannya dalam UU No. 38 Tahun 2008 dianggap sebagai pemberlakuan Piagam ASEAN itu sendiri baik dalam hukum nasional maupun internasional. • tafsir MK ini telah menuntaskan perdebatan klasik tentang makna UU pengesahan ini, dan dengan demikian UU ini akan memiliki dua fungsi yakni: a.memberikan otorisasi kepada Pemerintah untuk melakukan tindakan eksternal mengikatkan diri pada suatu perjanjian (consent to be bound) b. sebagai instrumen untuk memberlakukan perjanjian itu kedalam hukum nasional.