1
1. Karakteristik Ketokohan Bung Hatta.
2
OBJEK KAJIAN
4
Pledoi di Pengadilan Den Haag
Belanda 1928
5
2. Karakter Bung Hatta Dalam Berfikir untuk Bangsa.
Bung Hatta berfikir bahwa nasib bangsa
ditentukan oleh keinsafan sebagai suatu persekutuan
yang tersusun jadi satu, yaitu keinsafan yang terbit
karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan,
sehingga keinsafan tersebut akan tumbuh bertambah
besar karena seperuntungan, malang yang sama
diterima, mujur yang sama didapat. Dalam mengupas
prolematika kebangsaan, Bung Hatta merujuk teori-
teori sarjana barat seperti Ernest Renan, Offo Bauer
dan Lothrop Stoddard, yang kemudian dia selaraskan
dengan kondisi kultural bangsa Indonesia.
6
“Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat umum
yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan
(souvereiniteit), karena rakyat itu jantung hati
bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi ukuran
tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat itu kita
akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup
atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya itu
bergantung kepada semangat rakyat. Penganjur-
penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada
berarti kalau di belakangnya ada rakyat yang
sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya”
(Mohammad Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September
1931 – ejaan disesuaikan dengan EYD). 7
"(Menegakkan) Kedaulatan rakyat
adalah 'mendidik rakyat' supaya tahu
berpikir, supaya tidak lagi membebek di
belakang pemimpin-pemimpin. Supaya
keinsafan rakyat akan hak dan harga diri
bertambah kuat dan pengetahuannya
tentang hal politik, hukum dan
pemerintahan bertambah luas"
(Mohammad Hatta, Daulat Ra’jat, 1933)
8
2. Nasionalisme Bung Hatta dan Piagam Jakarta
Sebelum Indonesia merdeka pemimpin bangsa
mempersiapan undang-undang untuk mendirikan
negara, ketika merumus bentuk dan dasar negara
timbul perbedaan pendapat dari golongan agama
berpendapat bahwa ideologi negara adalah
berdasarkan agama Islam. Golongan nasionalis
memilih netral agama. Perseteruan ini terjadi
dalam sidang-sidang BPUPKI.
9
Dalam sidang-sidang BPUPKI Bung Hatta
menerima Pancasila sebagai dasar negara. Ia
mendukung sila Ketuhanan sebagai sila
pertama karena dasar kokoh bagi sila-sila
lainnya. Setelah proklamasi, 18 Agustus 1945,
Bung Hatta ditetapkan oleh PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai
Wakil Presiden.
Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik (Jakarta:
LP3ES,1990)
10
Perbedaan analisis Bung Hatta dengan kelompok agama dalam
Jakarta Charter (Piagam Jakarta), tentang perkataan “Kewajiban
menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya”, dan
menetapkan ideologi negara adalah Pancasila, menimbulkan
beragam persepsi beberapa kelompok fundamentalis agama
Islam, terhadap ketokohan Bung Hatta.
11
Buya Hamka seorang ulama terkemuka Indonesia
mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Sekalipun
Buya Hamka pernah memperjuangkan dasar negara
adalah berdasarkan Islam pada majelis Konstituante,
namun ia kemudian berubah pikiran dan mengakui
Pancasila. Karena Pancasila, menurut Buya Hamka,
akan dapat hidup dengan suburnya, dan akan
terjamin, sekiranya kaum muslimin sungguh-sungguh
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya
13
Pandangan Bung Hatta selaku tokoh sipil dan Buya
Hamka selaku ulama modernis, memiliki persamaan
apabila dilihat dari sisi perspektif pemikiran Islam
kultural dan Islam faktual. Seperti juga, senada
dengan pemikiran politik Islam Ali Abd Raziq (lahir
1888 M di Mesir) yang terkesan sekuler namun
faktual, dan realistis dalam cara menganalisis
permasalahan politik Islam
14
Ada sebagian sejarawan dalam dan luar negeri
menempatkan Bung Hatta sebagai seorang
tokoh nasionalis sekuler yang sering
berhadapan dengan kelompok fundamental
Islam, namun di akhir perjalanan aktifitas
politik Bung Hatta justru ia ingin mendirikan
Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII)
18
Karya Tulis Bung Hatta
Ilmu dan Agama, Jakarta: Yayasan Udayu, 1980; Islam, Masyarakat
Demokrasi dan Perdamaian, terj.L.E.Hakim, Jakarta: Tintamas, 1957; Khotbah
Hari Raya di Bukittinggi 18 Agustus 1947, dalam kumpulan Pidato III,
(Jakarta,Gunung Agung, edisi baru, 2002) Islam dan Pembangunan Masyarakat,
pidato di depan Badan Kontak Organisasi Islam di Gedung Olah Raga, Jakarta 31
Oktober 1958, dalam kumpulan Pidato III (Jakarta, Gunung Agung, edisi baru,
2002) Persiapan Diri menjadi Pembangun Masyarakat yang berkeadilan Illahi,
Pidato dalam Muktamar IX Pelajar Islam Indonesia di Medan, 17 Juli 1962, dalam
kumpulan Pidato III (Jakarta, Gunung Agung, edisi baru, 2002) Jiwa Islam dalam
Membangun Negara dan Masyarakat, pidato di depan pertemuan KAMI di
Bogor, 25 Juni 1966, dalam Kumpulan Pidato III (Jakarta, Gunung Agung, edisi
baru, 2002) Sekitar Partai Demokrasi Islam, dalam Bung Hatta Menjawab
(Jakarta, Gunung Agung, edisi baru, 2002) Nuzul Qur’an, Bandung: Angkasa, 1966
)Islam dan Masyarakat : dalam kumpulan Pidato II. Pidato di depan para
mahasiswa Universitas Islam Aligar di India, 29 Oktober 1955 (Jakarta, Gunung
Agung, edisi baru, 2002) Dakwah dan Pembangunan : dalam kumpulan Pidato II.
Sambutan tertulis pada Mubes II IMMIM se-Sulawesi dan Maluku, tanggal 19
april 1972 (Jakarta: Gunung Agung, edisi baru 2002) Bank dalam Masyarakat
Indonesia , Bukittinggi: Bank Nasional, 1942 Pengantar Ke Jalan Ekonomi
Sosiologi, (Jakarta, Gunung Agung, edisi baru, 2002) 19
Pleidoi di Pengadilan Den Haag, Belanda 1928
20