Anda di halaman 1dari 20

BUNG HATTA SEBAGAI TOKOH

DAN TAULADAN BANGSA

1
1. Karakteristik Ketokohan Bung Hatta.

Bung Hatta sebagai founding fathers and


public figur yang hemat, jujur, dan
pemikiran Bung Hatta dalam bidang politik,
ekonomi, dan kehidupan sosial budaya
agama. Penerapan karakter ketokohan Bung
Hatta dalam kehidupan lingkungan kerja
telah teruji untuk diteladani.

2
OBJEK KAJIAN

KETOKOHAN DALAM PERJUANGAN BANGSA DAN


NEGARA DAN CARA MENAULADANINYA BAGI KITA
KAUM MUDA

MEMPERJUANGKAN Keanekaragaman Golongan


Dan Kesatuan Sosial Dalam Masyarakat
3
1. Ketokohan Bunghatta Dalam Berorganisasi

Semenjak tahun 1923 Hatta muda aktif organisasi


mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda. Organisasi
mahasiswa Indonesia di Belanda mulanya bersifat sosial,
kemudian hari menjadi organisasi gerakan politik untuk
kemerdekaan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari perubahan
namanya yang awalnya bernama Indische Vereniging
(Perhimpunan Hindia) lalu berubah menjadi Indonesiche
Vereniging dan kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada rapat pertama pengurus PI tahun 1926, Hatta muda
mengelar diskusi perlunya PI mendirikan partai nasionalis baru
di Indonesia. Pada rapat anggota PI yang pertama bulan Januari
tahun 1927, Hatta menganjurkan agar di pilih seorang ketua
baru, sebagai pengantinya.

4
Pledoi di Pengadilan Den Haag
Belanda 1928

5
2. Karakter Bung Hatta Dalam Berfikir untuk Bangsa.
Bung Hatta berfikir bahwa nasib bangsa
ditentukan oleh keinsafan sebagai suatu persekutuan
yang tersusun jadi satu, yaitu keinsafan yang terbit
karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan,
sehingga keinsafan tersebut akan tumbuh bertambah
besar karena seperuntungan, malang yang sama
diterima, mujur yang sama didapat. Dalam mengupas
prolematika kebangsaan, Bung Hatta merujuk teori-
teori sarjana barat seperti Ernest Renan, Offo Bauer
dan Lothrop Stoddard, yang kemudian dia selaraskan
dengan kondisi kultural bangsa Indonesia.
6
“Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat umum
yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan
(souvereiniteit), karena rakyat itu jantung hati
bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi ukuran
tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat itu kita
akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup
atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya itu
bergantung kepada semangat rakyat. Penganjur-
penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada
berarti kalau di belakangnya ada rakyat yang
sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya”
(Mohammad Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September
1931 – ejaan disesuaikan dengan EYD). 7
"(Menegakkan) Kedaulatan rakyat
adalah 'mendidik rakyat' supaya tahu
berpikir, supaya tidak lagi membebek di
belakang pemimpin-pemimpin. Supaya
keinsafan rakyat akan hak dan harga diri
bertambah kuat dan pengetahuannya
tentang hal politik, hukum dan
pemerintahan bertambah luas"
(Mohammad Hatta, Daulat Ra’jat, 1933)

8
2. Nasionalisme Bung Hatta dan Piagam Jakarta
Sebelum Indonesia merdeka pemimpin bangsa
mempersiapan undang-undang untuk mendirikan
negara, ketika merumus bentuk dan dasar negara
timbul perbedaan pendapat dari golongan agama
berpendapat bahwa ideologi negara adalah
berdasarkan agama Islam. Golongan nasionalis
memilih netral agama. Perseteruan ini terjadi
dalam sidang-sidang BPUPKI.
9
Dalam sidang-sidang BPUPKI Bung Hatta
menerima Pancasila sebagai dasar negara. Ia
mendukung sila Ketuhanan sebagai sila
pertama karena dasar kokoh bagi sila-sila
lainnya. Setelah proklamasi, 18 Agustus 1945,
Bung Hatta ditetapkan oleh PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai
Wakil Presiden.
Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik (Jakarta:
LP3ES,1990)
10
Perbedaan analisis Bung Hatta dengan kelompok agama dalam
Jakarta Charter (Piagam Jakarta), tentang perkataan “Kewajiban
menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya”, dan
menetapkan ideologi negara adalah Pancasila, menimbulkan
beragam persepsi beberapa kelompok fundamentalis agama
Islam, terhadap ketokohan Bung Hatta.

Buya Hamka yang mengatakan bahwa pandangan-


pandangan Bung Hatta adalah seorang yang
benar-benar muslim yang Islami.
(Deliar Noer, Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa sebuah
Otobiografi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 874.)

11
Buya Hamka seorang ulama terkemuka Indonesia
mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Sekalipun
Buya Hamka pernah memperjuangkan dasar negara
adalah berdasarkan Islam pada majelis Konstituante,
namun ia kemudian berubah pikiran dan mengakui
Pancasila. Karena Pancasila, menurut Buya Hamka,
akan dapat hidup dengan suburnya, dan akan
terjamin, sekiranya kaum muslimin sungguh-sungguh
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya

Hamka, Urat Tunggang Pancasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1951)


diterbitkan kembali oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1985, h, 8.
12
Menurut Bung Hatta, Pancasila
mempunyai dua fundamen, yaitu
fundamen moral dalam sila pertama, dan
fundamen politik dalam sila keempat.
Fundamen moral itulah yang menjadi
dasar bagi fundamen politik
(Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, stensilan
pidato penerimaan gelar Doktor HC dari Fakultas Hukum
UI 30 Agustus 1975.

13
Pandangan Bung Hatta selaku tokoh sipil dan Buya
Hamka selaku ulama modernis, memiliki persamaan
apabila dilihat dari sisi perspektif pemikiran Islam
kultural dan Islam faktual. Seperti juga, senada
dengan pemikiran politik Islam Ali Abd Raziq (lahir
1888 M di Mesir) yang terkesan sekuler namun
faktual, dan realistis dalam cara menganalisis
permasalahan politik Islam

Maidir Harun, Pemikiran Politik Islam Abad ke 20 (Jakarta: The


Minang Kabau Foundation, 2001), h. 44-46.

14
Ada sebagian sejarawan dalam dan luar negeri
menempatkan Bung Hatta sebagai seorang
tokoh nasionalis sekuler yang sering
berhadapan dengan kelompok fundamental
Islam, namun di akhir perjalanan aktifitas
politik Bung Hatta justru ia ingin mendirikan
Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII)

Endang Saefudin Anshari, Piagam Jakarta,


(Bandung: Pustaka,1982), h. 13.
15
3. Pendidikan Politik: Kader Bukan Pengikut) Follower

Bagi Hatta pendidikan bukan hanya di bidang


keilmuan, tetapi juga manfaat di bidang politik
“Bagi Bung Hatta, pendidikan politik dalam organisasi
(orpol dan ormas) sangat penting, karena kelak
menjadi kader menjadi pemimpin, apakah di
eksekutif, legislatif atau pun yudikatif, mereka mampu
dan handal memahami tugasnya dan telah diisi oleh
ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam
pekerjaannya”
(Meutia Farida Hatta, 2012)
16
Sejarah politik Indonesia, ketika Demokrasi
Terpimpin berjalan dengan politik NASAKOM
yang diciptakan oleh Presiden Soekarno.
Menurut Bung Hatta hal itu telah merugikan
perkembangan demokrasi Indonesia
Selama Presiden Sukarno berkuasa dan dikelilingi oleh pembantu-
pembantu yang semuanya merupakan “yes-men” tidak akan terdapat
perbaikan keadaaan, malahan sebaliknya, jalan ekonomi akan meluncur
terus ke bawah. Saya tegaskan, bahwa masa datang adalah masa mereka.
Pelajar sekarang akan menjadi manusia yang bertanggung jawab kemudian
tentang nasib bangsa.
Muhammad Hatta dalam Kumpulan Pidato III, (Jakarta: Gunung Agung,
2002), h. 191.
17
Bung Hatta adalahpanggilan akrab dari Mohammad Hatta, tokoh politik dan
founding fathers negara Indonesia. Ia lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902
dan wafat pada 14 Maret 1980.Ketokohan Bung Hatta selaku tokoh politik
terbentuk sejak remaja, di Kota kelahirannya, ia dibesarkan di lingkungan keluarga
yang religius dan keturunan ulama Minangkabau.

Pertentangan ide-ide Bung Hatta dengan Bung Karno hanyalah


masalah kebijakan politik. Menurut Bung Hatta, Soekarno telah
melupakan pemahaman demokrasi yang sebenarnya, hingga ia
menerbitkan buku yang berjudul “Demokrasi Kita” gunanya
adalah untuk menyadarkan penguasa dan memberikan
pendidikan politik yang benar kepada rakyat.
(Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik, (Jakarta. LP3ES, 1990), h. 708-724.)

18
Karya Tulis Bung Hatta
Ilmu dan Agama, Jakarta: Yayasan Udayu, 1980; Islam, Masyarakat
Demokrasi dan Perdamaian, terj.L.E.Hakim, Jakarta: Tintamas, 1957; Khotbah
Hari Raya di Bukittinggi 18 Agustus 1947, dalam kumpulan Pidato III,
(Jakarta,Gunung Agung, edisi baru, 2002) Islam dan Pembangunan Masyarakat,
pidato di depan Badan Kontak Organisasi Islam di Gedung Olah Raga, Jakarta 31
Oktober 1958, dalam kumpulan Pidato III (Jakarta, Gunung Agung, edisi baru,
2002) Persiapan Diri menjadi Pembangun Masyarakat yang berkeadilan Illahi,
Pidato dalam Muktamar IX Pelajar Islam Indonesia di Medan, 17 Juli 1962, dalam
kumpulan Pidato III (Jakarta, Gunung Agung, edisi baru, 2002) Jiwa Islam dalam
Membangun Negara dan Masyarakat, pidato di depan pertemuan KAMI di
Bogor, 25 Juni 1966, dalam Kumpulan Pidato III (Jakarta, Gunung Agung, edisi
baru, 2002) Sekitar Partai Demokrasi Islam, dalam Bung Hatta Menjawab
(Jakarta, Gunung Agung, edisi baru, 2002) Nuzul Qur’an, Bandung: Angkasa, 1966
)Islam dan Masyarakat : dalam kumpulan Pidato II. Pidato di depan para
mahasiswa Universitas Islam Aligar di India, 29 Oktober 1955 (Jakarta, Gunung
Agung, edisi baru, 2002) Dakwah dan Pembangunan : dalam kumpulan Pidato II.
Sambutan tertulis pada Mubes II IMMIM se-Sulawesi dan Maluku, tanggal 19
april 1972 (Jakarta: Gunung Agung, edisi baru 2002) Bank dalam Masyarakat
Indonesia , Bukittinggi: Bank Nasional, 1942 Pengantar Ke Jalan Ekonomi
Sosiologi, (Jakarta, Gunung Agung, edisi baru, 2002) 19
Pleidoi di Pengadilan Den Haag, Belanda 1928

20

Anda mungkin juga menyukai