Anda di halaman 1dari 11

Kelompok 5

1. Wa Ode Sri Hartina Dewi


2. Rosida Takechin Br Sianturi
3. Refsilia Yadi
Pengertian dan Para Penggagasnya
Deliberasi berasal dari kata bahas Latin deleberatio yang berarti konsultasi, menim-
1 bang-nimbang atau musyawarah

Model demokrasi ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam melihat


2 demokrasi. Perbedaannya adalah lebih mengedepankan adanya partisipasi publik.

3 Para ahli umumnya bersepakat bahwa istilah demokrasi deliberatif (deliberative


democracy) diperkenalkan oleh J.M. Bessette di tahun 1980.

Pemikir yang dipandang paling berjasa mengembangkan/mempopulerkan model


4 demokrasi deliberatif adalah Jurgen Habermas (memberi landasan filosofis)

Model demokrasi deliberatif juga dikembangkan oleh Ulrich Beck dan Anthony Giddens
5 dalam teori-teori sosialnya dalam masyarakat modern. (memberi dukungan teori sosial)
Beberapa filsuf dan pemikir politik sejak abad ke 18 yang menggagas deliberasi

Jean-Jacques Rousseau John Stuart Mill Robert Koch

Alexis de Tocqueville John Dewey


Jürgen Habermas
Lahir : 18 Juni 1929 di kota Dusseldorf, Jerman
Generasi kedua dari Mazhab Frankfurt (Max Horkheimer, Theodor
Adorno dan Herbert Marcuse)
Riwayat Pendidikan :
1. University of Gottingen (Sastra, sejarah, dan filsafat)
2. University of Bonn (Gelar “doktor filsafat)
3. University of Frankfurt (Profesor Filsafat dan Sosiologi)

Model demokrasi deliberatif merupakan titik awal proses demokrasi


berada di luar lembaga-lembaga formal sistem politik dan terletak
di wilayah publik yang lebih bersifat informal.

Habermas berpandangan bahwa “ruang publik” harus dibuka lebih


lebar bagi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan pub-
lik.
Konsep Ruang Publik
Ruang publik ibarat “Kawah Candradimuka” tem-
pat menggodog kebijakan-kebijakan publik yang
akan diambil pemerintah publik

Ruang publik bukan sekedar ketersediaan forum


(tempat) untuk mendiskusikan setiap kebijakan
publik melainkan sebuah “kondisi” yaitu kondisi
yang memungkinkan konstituen untuk selalu
berperan sebagai pengeras suara (sounding
board) dalam menyuarakan kepentingan publik
dalam proses penguatan kebijakan publik.

Ruang publik dapat menunjukkan diskursus an-


tara konstituen dan wakilnya, sehingga berujung
pada kebijakan publik yang benar-benar berpihak
pada kepentingan publik.
Apakah paham demokrasi deliberatif diterapkan atau setidaknya familiar di Indonesia, dan kalau pun
Indonesia tidak menganut paham demokrasi deliberatif apakah proses pembentukan kebijakan di Indone -
sia (khususnya undang-undang) sudah melalui suatu proses yang deliberatif?

 Ketentuan mengenai pembentukan Undang-Undang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 13 Tahun


2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
 Dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia sudah dibuka “pintu” partisipasi bagi
masyarakat yang ingin terlibat melalui media-media yang telah disebutkan dalam UU tersebut.

 DPR juga melakukan optimalisasi peran Humas pada Sekretariat


Jenderal dan pembangunan website.
 Dalam ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR tidak ada ketentuan
yang secara eksplisit memberikan kewajiban kepada DPR untuk
terikat dengan masukan atau aspirasi masyarakat dalam proses
pembentukan undang-undang. Bahasa yang digunakan oleh
ketentuan tersebut hanyalah “pertimbangan”, bahwa hasil
kunjungan kerja anggota DPR maupun pertemuan lainnya
dengan masyarakat dijadikan bahan masukan
atau bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
 Di sisi masyarakat masih ada fenomena distrust terhadap wakil
rakyat dalam proses pembentukan undang-undang ataupun
kebijakan lainnya.
Demo menjadi salah satu “saluran” lain un-
tuk menunjukkan aspirasi mereka untuk
menolak suatu kebijakan tertentu
 Karena media yang dipandang sebagai wadah komunikasi wakil rakyat dan konstituen
nya sering tidak memberikan jawaban atas tuntutan mereka, karena pihak yg memiliki
otoritas untuk mengambil keputusan adalah tetap si wakil rakyat yang bersangkutan.

 Masyarakat memiliki keterbatasan dalam memahami makna “partisipasi” dan “aspirasi”.


Tidak jarang momentum kunjungan kerja wakil rakyat di masa reses dimanfaatkan
sebagai ajang meminta bantuan materil untuk keperluan pembangunan di daerah
setempat, dibanding diskusi atau dialog tentang isu-isu publik yang akan dituangkan
dalam sebuah kebijakan

 Dalam pembentukan opini publik, proses itu tidak pernah netral dalam artian terbentuk
dari proses diskursus antar anggota masyarakat, tetapi lebih sering “dibentuk” dan
bahkan “digiring” oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Kesimpulan awal yang diperoleh bahwa proses pembentukan undang-undang belum
melalui proses yang deliberatif.
2. Demokrasi deliberatif menghendaki keber-
adaan “ruang publik” baik ketersediaan “ru-
1. Jika kita kaitkan dengan legitimalitas ang” secara fisik maupun ruang dalam arti
pembentukan undang-undang : “kondisi” yg memungkinkan warga/
 tidak ada keharusan sebuah RUU masyarakat mendiskusikan isu-isu publik terkait
harus diuji secara publik sebelum RUU dgn pembentukan kebijakan tertentu.
tersebut disetujui bersama antara DPR • Proses “dialog” yg berlangsung di dalam
dan Pemerintah, dan ketika uji publik nya bukanlah dialog yg didasarkan pada
tersebut tidak dilaksanakan, UU yang argumentasi rasional untuk mencapai
telah disetujui tetap memiliki legitimasi. suatu konsensus yg kelak dituangkan
 Apabila kita buka ketentuan tentang dalam kebijakan/undang-undang.
pengujian UU secara formil di MK, • Belum tercipta “kondisi” yang memu-
persyaratan uji publik tersebut juga ngkinkan proses diskursus berlangsung
tidak menjadi alasan sebuah UU cacat secara deliberatif, mengingat keter-
secara formil atau cacat dalam proses batasan kemampuan anggota
pembentukannya. masyarakat dalam memahami isu publik
& terutama adanya posisi yg tidak
Dengan demikian, uji publik sebagai salah satu setara/seimbang diantara “peserta”, di-
bentuk dari proses deliberasi tidak dijadikan mana wakil rakyat adalah pihak yang
dasar legitimitas dalam prosedur pembentukan memiliki otoritas sebagai pengambil
undang-undang di Indonesia. keputusan tanpa adanya jaminan
bahwa aspirasi masyarakat mengikat
mereka dalam mengambil keputu-
san/mereka tidak terikat dengan “ke-
sepakatan” mereka dengan konstituen.
Kesimpulan
Apabila proses pembentukan undang-undang hendak diwarnai dengan proses deliberatif, maka harus diciptakan sebuah
proses yang merujuk pada realisasi ketiga kriteria yaitu :
1. Influence, the process should have the ability to
influence policy and decision making.
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan
dan pengambilan keputusan

3. Deliberation, the process should


2. Inclusion, the process should be
provide open dialogue, acces to
representative of the population
information, respect, space to
and inclusive to diverse viewpoints
understand and reform issues,
and values, providing equal
and movement towards consen-
opportunity for all participate.
sus.
mewakili populasi dan terbuka terhadap memberikan ruang yang terbuka untuk
beragam nilai dan sudut pandang, serta berdialog, kesempatan diberikan sama
memberikan kesempatan yang sama kepada semua partisipan, sikap
bagi semua pihak yang berpartisipasi menghargai pandangan dan akses
terhadap informasi.
Sekian
&
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai