Anda di halaman 1dari 13

FILOSOFI TERAS by

HENRY
MANAMPIRING

(Lila Sabrinta)
Buku Filosofi Teras ini dibuka dengan riset sederhana mengenai Survei
Khawatir Nasional yang semakin memperkuat persoalan yang sedang
dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Pertanyaan yang dilemparkan
Henry Manampiring dalam surveinya sederhana tetapi menarik dan
menggelitik. Di antaranya mengenai tingkat kekhawatiran hidup
seseorang secara keseluruhan, tingkat kekhawatiran tentang studi
lanjutan, kekhawatiran akan relationship, kekhawatiran terhadap status
jomblo/sendiri, kekhawatiran mengenai pekerjaan/bisnis, kekhawatiran
atas kondisi keuangam pribadi, kekhawatiran sebagai orang tua,
kekhawatiran menyangkut kondisi sosial politik di Indonesia, dan
sebagainya.
• “Stoisime tidak dimaksudkan untuk mendapatkan hal-hal yang
bersifat eksternal, seperti sukses jodoh, disayang bos dan istri (istri
sendiri, bukan istri si bos!), mendapatkan ide bisnis start-up yang
gampang memperoleh investasi jutaan dolar, atau anak-anak yang
jenius. Ini yang membedakannya dari banyak ajaran self-help popular
masa kini.” (hlm 27)
• “Hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga,
baper, dan lain-lain), mendapatkan hidup yang tenteram (tranquil).
Ketenteraman ini hanya bisa diperoleh dengan memfokuskan diri
pada hal-hal yang bisa kita kendalikan.” (hlm 27)
• Pertama, hidup selaras dengan Alam. Dengan arti lain, kita harus
menggunakan nalar, akal sehat karena nalar atau rasio adalah yang
membedakan kita dari binatang.
“Tidak ada peristiwa yang betul-betul “kebetulan”. Atau, dengan kata
lain, sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu dan sedang terjadi pada
detik ini juga adalah hal yang tak terhindarkan karena merupakan
mata rantai dari peristiwa-peristiwa sebelumnya.”
• Kedua, hidup mengasah empat kebajikan utama (vitrues), yakni kebijaksanaan,
keadilan, menahan diri, keberanian.
a. kebijaksanaan (wisdom): kemampuan mengambil keputusan terbaik di dalam situasi
apa pun.

b. keadilan (justice): memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur.

c. keberanian (courage): keberanian berbuat yang benar, berani berpegang pada prinsip
yang benar.

d. menahan diri (temperance): disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan control diri (atas
nafsu dan emosi). (hlm 27-28)
• Ketiga, dikotomi kendali (dichotomy of control). Prinsip ini paling utama di Filosofi
Teras

“Some things are up to us, some things are not up to us” -Epictetus (Enchiridion)
(hlm 46)
“Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari “thing
we can control”, hal-hal yang di bawah kendali kita. Dengan kata lain, kebahagiaan
sejati hanya bisa datang dari dalam. Sebaliknya, kita tidak bisa menggantungkan
kebahagiaan dan kedamaian sejati kepada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Bagi para filsuf Stoa, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa
kita kendalikan, seperti kelakuan orang lain, opini orang lain, status dan popularitas
(yang ditentukan orang lain), kekayaan, dan lainnya adalah tidak rasional.” (hlm 49)
• Keempat, dikotomi kendali tidak sama dengan pasrah pada keadaan.
Oleh karena situasi eksternal adalah sesuatu di luar kendali, maka
seolah-olah kita hanya bisa megubah persepsi saja, dan tidak perlu
berupaya, apalagi bekerja keras. Anggapan ini tidak benar. Dalam hal
itu William Irvine sudah memberikan solusinya dalam bentuk
‘Trikotomi Kendali’ di atas.
• Kelima, dapat membedakan antara peristiwa objektif/fakta, dan
opini/value judgment kita tambahkan kemudian.
Opini/interpretasi/value judgment ini yang sering menjadi akar emosi
negatif.

• Kehadiran media sosial mendapat efek pendapat orang lain justru


semakin tidak terbendung. Apa pun yang kita post di media sosial bisa
dinilai, disetujui, atau dicela oleh ratusan, bahkan ribuan orang di
internet. Setiap kita mem-post sesuatu di media sosial kita terkadang
berharap mendapatkan banyak likes, views, dan menambah jumlah
follower.
• Keenam, mengendalikan interpretasi dan persepsi. Semua kesusahan
yang kita rasakan datang dari pikiran kita sendiri dan bukan dari
peristiwa/orang lain maka kita bisa mengendalikan pikiran kita.

• Segala emosi yang mengganggu kita sebenarnya berasal dari cara


penilaian yang salah. Cara berpikir tertentu menjadi penyebab
munculnya keliru atas kejadian dalam hidup menyebabkan kita stres,
gelisah, marah-marah tanpa alasan yang jelas, bahkan hingga depresi.
• Ketujuh, saat emosi negatif (mau mengamuk, sedih, baper, cemburu,
frustasi, takut, putus asa, dan lain-lain) menerpa, selalu melakukan
STAR (Stop-Think & Assess-Respond).
• Kedelapan, premeditatio malorum. Melatih diri membayangkan hal-hal buruk yang terjadi
dalam hidup kita sehingga kita bisa lebih siap.

• Kesembilan, hanya kita yang bisa mengizinkan orang lain menyakiti kita secara non-fisik
(misalnya dengan hinaan, celaan, cemoohan). Tidak ada penghinaan yang benar-benar terjadi
jika tidak ada yang merasa terhina.

• Kesepuluh, latihan menderita (practice poverty) secara berkala. Dengan kata lain, memaksa
kemungkinan buruk dalam kehidupan kita agar kita tahu rasanya berada dalam posisi
kesusahan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara berpuasa (melatih kelaparan), atau melakukan
digital detox (latihan untuk hidup tanpa internet), dan sebagainya.

• Kesebelas, menjadi orang tua. Tidak sedikit orang tua yang ngotot memaksakan kehendaknya
karena telah berjasa melahirkan dan membesarkan anaknya. Padahal anak merupakan individu
yang merdeka. Kembali ke prinsip dikotomi kendali. Ada sebagian hal tentang anak yang ada di
dalam kendali orang tua, dan ada pula sebagian lagi yang tidak di dalam kendali orang tua.
Dengan membaca buku ini, diharapkan kita dapat lebih bijak dan cerdas
dalam bersosial media. Selain itu, menjalani filosofi ini memang tidak
mudah, dibutuhkan latihan mengendalikan emosi negatif, serta
berusaha untuk cuek dan bodo amat tehadap sesuatu yang berada di
luar kendali kita. Maka percayalah, stres terhempas, damai pun datang.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai