Anda di halaman 1dari 10

EFEKTIFITAS DAN AKURASI PENGGUNAAN BERBAGAI DOSIS ASAM SULFAT (H2SO4) PEKAT DIBANDINGKAN PALPASI PER REKTAL TERHADAP

UJI KEBUNTINGAN TERNAK SAPI Riri Wahyu Illawati1), Suardi2), Jaswandi2) 1)Program Pascasarjana Ilmu Ternak Universitas Andalas 2) Jurusan Produksi Ternak, FATERNA, Universitas Andalas

ABSTRAK

Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan IV Nagari dan Kecamatan Sijunjung Kabupaten Sijunjung. Pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Januari 2012 yang bertujuan untuk mengetahui dosis Asam Sulfat (H2SO4) pekat yang terbaik dalam diagnosis kebuntingan dini pada ternak sapi secara sederhana dan jelas dalam pengamatan serta berguna untuk menentukan kebuntingan secara cepat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu reproduksi ternak sapi. Penelitian ini menggunakan 600 sampel urine yang diperoleh dari 40 ekor sapi yang telah diinseminasi. Urine ditampung pada pagi hari. Urine sapi sebanyak 3 ml lalu ditambah 15 ml aquadest dan kemudian dicampur sehomogen mungkin. Larutan tersebut dipindahkan dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml per tabung sebanyak senayak 15 tabung. Masingmasing larutan diberikan penambahan / pembakaran dengan Asam Sulfat (H2SO4) pekat berdasarkan masing masing dosis yaitu: 0.1 ml; 0.2 ml; 0.3 ml; 0.4 ml dan 0.5 ml. Kemudian pada setiap ternak sapi diuji secara palpasi per rektal pada hari ke-60. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil diagnosis kebuntingan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat 0.1 ml; 0.2 ml; 0.3 ml; 0.4 ml dan 0.5 ml dan waktu pengujian pada hari ke22, hari ke-32 dan hari ke-42 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan uji palpasi per rektal pada hari ke-60. Tetapi pada dosis 0.1 ml membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat disimpulkan dibandingkan 0.2 ml; 0.3 ml; 0.4 ml dan 0.5 ml namun perbedaan waktunya hanya dalam hitungan detik. Ketepatan atau akurasi penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dibandingkan dengan uji palpasi per rektal adalah 97%. Kata kunci : Asam sulfat (H2SO4) pekat, uji kebuntingan.

1. PENDAHULUAN Usaha pengembangan peternakan dan peningkatan produksi dari ternak tidak terlepas dari pengadaan bibit dan pakan serta faktor kesehatan. Untuk itu diperlukan penanganan sumberdaya secara efektif dan efisien. Pada peternakan rakyat, usaha peningkatan populasi ternak sapi sering mengalami hambatan. Di antara masalah yang dihadapi peternak adalah sulitnya memperoleh ternak bibit yaitu kelompok ternak yang dipelihara untuk dibiakan dengan genetik unggul (Warwick dkk,1990). Sedangkan tujuan dari usaha peternakan sapi potong adalah menghasilkan sebanyak mungkin anak atau daging. Hal ini dapat diatasi dengan dua jalan, yaitu 1) memperbanyak populasi dan 2) meningkatkan berat badan ternak. Untuk itu perlu diusahakan perbanyakan anak sapi yang dapat dilakukan oleh betina selama masa produksi. Pada masa reproduksi, kebuntingan merupakan salah satu bagian dalam proses produksi ternak. Menurut Frandson (1992), kebuntingan merupakan suatu keadaan dimana anak sedang berkembang di dalam uterus seekor betina, suatu rentan waktu yang disebut dengan periode kebuntingan yang terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) sampai lahirnya anak. Sedangkan kebuntingan dini merupakan suatu kebuntingan yang bisa dideteksi sebelum terjadinya sapi tidak kembali minta kawin (non return rate) atau bunting. Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi buatan. Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang bunting tersebut. Pemeriksaan sendiri mungkin sangat diperlukan. Saat ini deteksi kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi per rektal, dan kemungkinan yang tepat dapat terjadi 2 3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Metode lain yang digunakan untuk deteksi kebuntingan adalah metode RIA (Radio Immuno Assay) yaitu teknik dengan mengukur kosentrasi hormon. Dengan metode ini hampir semua hormon dapat diukur kadarnya, akan tetapi secara komersial, metode RIA terlalu mahal digunakan sebagai metode untuk mendeteksi kebuntingan ternak

(Partodihardjo, 1992). Untuk mengatasi masalah ini, deteksi kebuntingan dini secara kimiawi dapat diandalkan sehingga efesiensi pemeliharaan dapat tercapai. Di samping itu deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi. Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Rosalin (2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Menurut Partodihardjo (1992), asam sulfat yang dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan. Ditambah Satriyo (2001), metode deteksi ini telah diterapkan untuk mendeteksi kebuntingan ternak sapi, di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon estrogen yang dihasilkan oleh plasenta. Partodihardjo (1987), menyatakan larutan 2 ml urine ditambah 10 ml aquadest kemudian dibakar dengan 15 ml asam sulfat pekat akan menimbulkan gas fluorescence di permukaan cairan. Gas tersebut timbul karena adanya hormon esterogen di dalam urine. Hormon esterogen diproduksi jika seekor ternak telah mengalami perkawinan dan berada pada proses kebuntingan. Ditambah oleh Illawati (2009), penggunaan volume asam sulfat pekat 0.5 ml yang lebih efektif untuk deteksi kebuntingan. Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan volume asam sulfat pekat (H2SO4) yang lebih efisien dan lebih ekonomis dari segi harga, uji kebuntingan dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat. Pemanfaatan fenomena ini dapat digunakan sebagai indikator kebuntingan pada ternak. Deteksi kebuntingan ini dapat dilakukan pada hari ke-24 sampai 32 setelah perkawinan. Sedangkan deteksi kebuntingan yang umum dilakukan sekarang adalah dengan palpasi per rektal yang dapat dilakukan 2-3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan.

2. BAHAN DAN METODA Materi Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel urine sapi yang berasal dari 40 ekor sapi betina yang telah diinseminasi buatan. Sampel urine sapi diambil pada hari ke-22, hari ke-32, hari ke-42 dan uji palpasi per rektal pada hari ke-60. Urine sapi yang digunakan ditampung pada pagi hari. Bahan kimia yang digunakan adalah Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan aquadest. Alat yang dipakai adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas kimia, pipet tetes, batang pengaduk, tang jepit, tisu gulung, alat tulis dan stopwatch. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimen dengan pengambilan sampel secara purposive sampling (Singarimbun dan Effendi,1987). Dalam penelitian ini dilakukan penambahan larutan urine dengan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis : 0.1 ml; 0.2 ml; 0.3 ml; 0.4 ml dan 0.5 ml. Hasil diagnosis tiap dosis kemudian dibandingkan dengan palpasi per rektal. 1. Prosedur Kerja a. Persiapan Peralatan Semua peralatan yang diperlukan dibersihkan. Peralatan dibilas dengan air bersih dan aquadest kemudian dikeringkan. b. Penampungan Urine Pengambilan urine dilakukan pada pagi hari (06.30-10.00 WIB). Urine langsung ditampung dengan menggunakan alat yang tersedia yaitu gelas ukur. c. Membuat Larutan Urine dan Aquadest Untuk membuat larutan, urine diambil sebanyak 3 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 15 ml aquadest dan larutan dicampur sehomogen mungkin. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam 15 tabung reaksi yang lain sebanyak 1 ml pertabung reaksi. d. Pembakaran / Penambahan Larutan dengan (H2SO4) Asam Sulfat pekat. Masing-masing larutan yang ada dalam tabung reaksi diberikan penambahan dosis (H2SO4) Asam Sulfat pekat berdasarkan masing- masing dosis.

Peubah yang diamati Hal yang diamati pada penelitian ini adalah kejadian kebuntingan dengan indikasi atau adanya gelembung/gas fluorenscence yang terlihat pada masing-masing tabung reaksi dan perubahan warna larutan setelah penambahan Asam Sulfat (H2SO4) pekat. Waktu yang diperlukan sampai munculnya gelembung gas fluorenscence dihitung dengan menggunakan stopwatch. Analisis Data Data akurasi yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis dengan uji proporsi (uji Z) menurut Sudjana (1989): 3. HASIL DAN DISKUSI Perbandingan Hasil Diagnosis Kebuntingan dengan Berbagai Dosis Asam Sulfat (H2SO4) pekat Hasil diagnosis kebuntingan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis berbeda didapatkan jumlah sapi yang bunting 32 ekor (80%) hal ini sama pada pengambilan sampel pada hari ke-22 dan ke-32, sedangkan jumlah sapi yang bunting 34 ekor (85%) pada pengambilan urine hari ke-42. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Perbandingan hasil diagnosis kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis berbeda tidak berbeda nyata dalam menunjukan kebuntingan. Tiap- tiap dosis dapat digunakan, .dimana reaksi ditandai dengan munculnya gelembunggelembung gas fluorencscence dari dasar tabung dan terjadinya perubahan warna larutan dari kuning muda menjadi biru keungguan apabila sapi bunting. Metode diagnosis kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dapat dilakukan sendiri oleh peternak karena lebih praktis, cepat dan tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Menurut Hunter (1995) metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.

Tabel 1. Angka kebuntingan pada sapi hasil diagnosis kebuntingan berbagai dosis Asam Sulfat (H2SO4) Pekat pada pengambilan sampel hari ke-22, ke-32 dan hari ke-42 pada sapi yang sama Dosis (ml) n Bunting Tidak Bunting Waktu rata-rata (sampel urine) Hari ke-22 0,1* 0,2 0,3 0,4 0,5 Hari ke-32 0,1* 0,2 0,3 0,4 0,5 Hari ke-42 0,1* 0,2 0,3 0,4 0,5 40 40 40 40 40 34 34 34 34 34 85 85 85 85 85 7 7 7 7 7 15 15 15 15 15 25 40 18 25 12 20 8 12 59 40 40 40 40 40 32 32 32 32 32 80 80 80 80 80 8 8 8 8 8 20 20 20 20 20 25 40 18 25 12 20 8 12 59 40 40 40 40 40 32 32 32 32 32 80 80 80 80 80 8 8 8 8 8 20 20 20 20 20 25 40 18 25 12 20 8 12 59 Jumlah % jumlah % reaksi (detik)

*lebih lama 25-40 detik agar bisa disimpulkan Analisa data dengan menggunakan uji proporsi (uji Z) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) untuk tiap-tiap dosis Asam Sulfat (H2SO4) pekat (Lampiran 2, 3, 4, 5, 8, 9 10, 11, 14, 15, 16, dan 17). Jumlah kebuntingan yang sama pada tiap dosis Asam Sulfat (H2SO4) pekat menunjukan bahwa Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis

0.1 ml sudah dapat digunakan

dalam mendiagnosis kebuntingan. Tetapi diagnosis

kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat 0.2 ml; 0.3 ml; 0.4 ml; dan 0.5 ml membutuhkan waktu yang lebih cepat, sedangkan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml membutuhkan waktu 25 - 40 detik untuk dapat diambil kesimpulan bunting dan tidak buntingnya. Perbandingan Hasil Diagnosis Kebuntingan dengan Menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan Palpasi per Rektal Perbandingan hasil diagnosis kebuntingan menggunakan berbagai dosis Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan palpasi per rektal dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 . Hasil diagnosis kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan palpasi per rektal Metode n (jumlah) Bunting Tidak Bunting Jumlah % Jumlah % Asam Sulfat (H2SO4) 40 32 80 8 20 pekat pada hari ke-22 Asam Sulfat (H2SO4) 40 32 80 8 20 pekat pada hari ke-32 Asam Sulfat (H2SO4) 40 34 85 6 15 pekat pada hari ke-42 Palpasi per Rektal hari 40 33 82,5 7 17,5 ke-60 Setelah dilakukan analisis data menggunakan uji proporsi (uji Z) menunjukkan bahwa hasil diagnosis kebuntingan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan berbagai dosis dan hari pengambilan sampel yang berbeda yaitu pada hari ke-22, hari ke-32 dan hari ke-42 dengan uji palpasi per rektal pada hari ke-60 tidaklah berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 6, 12 dan 18). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dapat dijadikan suatu metode diagnosis kebuntingan pada ternak sapi. Ketepatan atau akurasi penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi adalah 97% dengan palpasi per rektal (lampiran 19). Perbandingan hasil diagnosis kebuntingan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat pada hari ke-22 dan hari ke-32 dengan palpasi per rektal seperti terlihat pada lampiran 1 dan 7. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa adanya beberapa ekor sapi yang

pada awalnya dinyatakan tidak bunting melalaui diagnosis dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat ternyata mengalami kebutingan ketika dilakukan palpasi per rektal. Penyebab dalam kasus ini adalah karena jumlah estrogen yang sangat sedikit pada urine sapi diawal kebuntingan sehingga tidak terdeteksi oleh Asam Sulfat (H2SO4) pekat hingga dosis 0.5 ml. Arifin dkk (1978) menyebutkan jumlah estrogen dalam urine sapi pada hari 31-57 adalah 0-41 rat unit. Informasi yang sama juga diperoleh dari Salisbury dan Van Demark (1985) bahwa pada awal kebuntingan jumlah estrogen mula-mula rendah, kemudian meningkat sesuai dengan umur kebuntingan. Pada Lampiran 13 dapat pada hari pengambilan sampel hari ke-42 dilihat bahwa terdapat hasil diagnosis yang positif menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat tetapi negatif dengan uji palpasi per rektal, hal ini dapat disebabkan oleh kegagalan kebuntingan. Kegagalan kebuntingan ini dapat disebabkan oleh kematian embrio dini sebagaimana pendapat Hardjoprajonto (1995) bahwa kematiam embrio dini pada sapi dapat mencapai 20-30%, persentase terbesar dapat terjadi pada 6-42 hari setelah diinseminasi. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 42 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak serasi atau kekurangan pakan. Kematian embrio dini yang terjadi tidak memberikan gejala-gejala klinis yang jelas pada induknya, karena embrio akan diserap oleh dinding uterus. Casida (1953) yang dikutip dari Frandson (1992) memperkirakan kegagalan reproduktif dari ternak, dari kegagalan pembuahan dan kematian embrional sekitar 50% dari produksi potensial hewan betina yang dikawinkan. Partodihardjo (1992) menyatakan adanya ternak sapi yang minta kawin kembali disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam mendeteksi berahi sehingga inseminasi dilakukan tidak tepat pada waktunya, kesalahan dalam pelaksanaan IB yang tidak sesuai dengan prosedur serta rendahnya kesuburan hewan betina yang diinseminasi. Lama kebuntingan dari seekor ternak ditentukan oleh faktor genetik walaupun dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor maternal, foetal, dan lingkungannya. Sapi-sapi dara pada umur relatif muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek dari pada sapi yang lebih tua (Toelihere, 1981).

Kadar nutrisi dalam makanan akan menentukan awal pubertas seekor ternak, dimana pada ternak yang diberi makanan yang berkadar nutrisi tinggi (baik), maka ternak tersebut akan lebih cepat saat pubertasnya sehingga ternak dapat dikawinkan sesui waktunya dan dapat melahirkan anak yang sehat. Achjadi (1989) menyatakan bahwa kekurangan makanan pada ternak yang sedang bunting akan dapat mengganggu pertumbuhan embrio serta kematian foetus dalam kandungan, atau bila melahirkan akan terdapat kelainan pada ternak. Kasus lain yang ditemukan adalah adanya sapi yang sudah diduga bunting dengan Non-Return Rate (NR) tetapi ternyata tidak bunting ketika didiagnosis menggunakan Asam Sufat (H2SO4) pekat dan uji palpasi per rektal, ini membuktikan bahwa pendugaan dengan NR tidak selalu akurat. Kelemahan metode ini adalah memerlukan pengamatan yang lama dan intensif, adanya kasus silent heat (berahi tenang), serta adanya korpus luteum persistent atau korpus luteum yang tidak beregresi secara normal (Toelihere, 1981). 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi. 2. Asam Sulfat (H2SO4) pekat yang dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan secara sederhana dan jelas dalam pengamatan adalah Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml baik pada pengambilan sampel pada hari ke-22 dan ke-32 (80%) dan pada hari ke-42 (85%) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan jumlah kebuntingan hasil palpasi per rektal (82,5%). 3. Ketepatan atau akurasi penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dibandingkan dengan palpasi per rektal adalah 97%. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.Suardi, MS., MS., dan Dr. Ir. H. Jaswandi, MS atas masukannya dalam penelitian ini. Serta teman-teman satu tim penelitian atas kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA Achjadi, K. 1989. Fisiologi Reproduksi Ternak Sapi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin, A. , S. Dt. Gn. Putih dan W. Azhari. 1978. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Diktat. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Frandson, 1992, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hardjopranjoto,S. H. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Air Langga University Press, Surabaya. Hunter, R. H. F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Illawati, R. W. 2009. Efektifitas Penggunaan Berbagai Volume Asam Sulfat pekat (H2SO4) untuk Menguji Kandungan Estrogen dalam Urine Sapi Brahman Cross Bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian. Sijunjung. Partodihardjo. S, 1992. Imu Reproduksi Hewan, Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Salisbury,G.W dan N. L. Van Demark.1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Satryo, U. 2001. Deteksi Kebuntingan dengan Air Aki. Majalah Infovent. Edisi 086 September. Jakarta. Sudjana. 1980. Desain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito, Bandung. Toelihere,M.R, 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Wodzicka,M.,I.K.Sutama, I,G, Putu dan T.D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia.PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai