Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MIKOLOGI

INTERAKSI FUNGI DENGAN HEWAN

DISUSUN OLEH: ANNISA LATIFA RETNONING WULAN SIGIT DWI . S DITA KRISTANTI (09308141016) (09308141029) (09308141030) (09308141037)

PRODI BIOLOGI SUBSIDI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Fungi adalah organisme yang terdapat di seluruh bagian bumi, baik di daerah tropik, subtropik, di kutub utara maupun antartika. Fungi ditemukan di darat, di perairan tawar, di laut, di mangrove, di bawah permukaan tanah, di kedalaman laut, di pegunungan ataupun di udara. Di alam, fungi dapat berinteraksi dengan lingkungannya baik biotik maupun abiotik. Interaksi tersebut dapat berupa interaksi netralisme, kompetisi, mutualisme, komensalisme, parasitisme, predasi, dan amensalisme. Fungi merupakan organisme heterotrof yang membutuhkan sumber karbon organik. Sumber karbon ini dapat diperoleh dari organisme lain atau substrat tertentu yang mengandung nutrient yang dibutuhkan oleh fungi untuk pertumbuhan. Dalam memenuhi kebutuhan akan nutrien ini, fungi juga dapat menggunakan inang baik tumbuhan, hewan maupun fungi lain. Hal ini menyebabkan terjalin suatu interaksi fungi dengan organisme lain untuk memenuhi kebutuhan nutrien. Interaksi yang terbentuk dapat menguntungkan tapi juga dapat merugikan atau tidak kedua-duanya. Hewan merupakan organisme multiseluler, dan juga bersifat heterotrof seperti fungi. Tubuh hewan tersusun atas makromolekul yang kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Keberadan makromolekul tersebut menjadi alas an khusus bagi fungi untuk berinteraksi dengan hewan. Interaksi tersebut digunakan fungi untuk mendapatkan nutrien sebagai bahan pertumbuhan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa interaksi antara fungi dengan hewan, yaitu interaksi mutualisme, parasitisme, predasi, dan amensalisme. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja macam interaksi yang dapat terjalin antara fungi dengan hewan? 2. Apa saja contoh bentuk interaksi antara fungi dengan hewan? C. Tujuan 1. Mengetahui macam interaksi yang dapat terjalin antara fungi dengan hewan. 2. Mengetahui contoh bentuk interaksi antara fungi dengan hewan.

BAB II PEMBAHASAN

Pada hakikatnya setiap organisme akan senatiasa bergantung pada organisme lain yang ada di sekitarnya. Pola interaksi organisme melibatkan dua atau lebih organisme. Jenis, sifat dan tingkah laku organisme di bumi sangat beraneka ragam. Oleh karena itu, pola interaksi antarorganisme juga beragam. Berikut ini adalah beberapa pola interaksi antarorganisme (Anonim, 2010): 1. Netralisme Netralisme merupakan hubungan yang tidak saling mempengaruhi, meskipun organismeorganisme hidup pada habitat yang sama. 2. Kompetisi Kompetisi merupakan bentuk interaksi antarindividu sejenis atau antarpopulasi di mana individu atau populasi tersebut bersaing mendapatkan sarana untuk tumbuh dan berkembang. Kompetisi terjadi bila kedua individu mempunyai kebutuhan yang sama, sedangkan lingkungan tidak menyediakan kebutuhan tersebut dalam jumlah yang cukup. Persaingan dapat terjadi di antara sesama jenis (intraspesic spesies) atau antara jenis yang berbeda (interspesic spesies). Sarana pertumbuhan yang sering menjadi pembatas dan menyebabhan persaingan adalah air, nutrisi, cahaya dan ruang. 3. Predasi Predasi merupakan interaksi antara pemangsa dan mangsa. Pemangsa (predator) adalah hewan yang memangsa atau memakan. Mangsa (prey) adalah hewan yang dimangsa atau dimakan. Di alam, predasi dapat menjaga keseimbangan alam karena dapat menekan populasi organisme tertentu. 4. Parasitisme Parasitisme merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda jenis dimana salah satu pihak mendapat keuntungan sedangkan pihak lain mendapat kerugian. Pihak yang diuntungkan disebut parasit. Pihak yang dirugikan disebut inang. 5. Mutualisme Interaksi ini saling menguntungkan kedua belah pihak. Pasangan organisme ini disebut inang dan simbion.

6. Komensalisme Interaksi ini hanya menguntungkan satu pihak, sedangkan pihak lain tidak dirugikan maupun diuntingkan. 7. Amensalisme Amensalisme atau antibiosis adalah interaksi organisme dimana salah satu antarorganisme menghambat pertumbuhan organisme lain. Misalnya beberapa jenis fungi menghasilkan zat antiotik yang dapat menghambat dan membunuh mikroorganisme lain. Dari ketujuh interaksi di atas, hanya ada empat interaksi antara fungi dengan hewan yang akan kami jelaskan dalam makalah ini, yaitu interaksi mutualisme, interaksi parasitisme, interaksi predasi, dan amensalisme. A. Interaksi Mutualisme Interaksi mutualisme ini terjadi antara beberapa fungi dengan hewan ruminansia. Hewan ruminansia adalah mammalia berkuku genap seperti sapi, kerbau, domba, kambing, rusa, dan kijang yang merupakan subordo dari ordo Artiodactyla. Pada ruminansia atau hewan berlambung jamak yang umumnya pemakan tumbuh-tumbuhan, di samping enzim yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin dan sel-sel khusus, juga terdapat sejumlah enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam rumen, sehingga kelompok hewan ini mampu memanfaatkan selulosa dengan baik. Sebagian besar makanannya terdiri atas serat kasar dan saluran pencernaannya panjang dan lebih kompleks. Pada hewan ini, serat kasar dirombak secara intensif melalui proses fermentasi di dalam rumen oleh mikroorganisme rumen (http://usupress.usu.ac.id/). Ruminansia mempunyai kemampuan yang unik yakni mampu mengkonversi pakan dengan nilai gizi rendah menjadi pangan berkualitas tinggi. Proses konversi ini disebabkan oleh adanya proses Microbial fermentation atau fermentasi microbial yang terjadi dalam rumen. Proses ini mengekstraksi zat makanan dari pakan menjadi pangan tersebut melalui berbagai proses metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme. Populasi mikroba yang terdiri atas bacteria, protozoa, fungi dan kapang melakukan fermentasi yang dikenal dengan enzymatic transformation of organic substances, karena mikroba tersebut menghasilkan berbagai enzim. Peranan mikroorganisme dalam saluran pencernaan ruminansia sangat penting, karena untuk merombak selulosa diperlukan enzim selulase yang hanya dibentuk dalam tubuh mikroorganisme. Melalui proses

simbiose mutualisme, mikroorganisme memanfaatkan sebagian bahan yang diambil ruminansia sebagai induk semang dan digunakan untuk perkembangbiakan

mikroorganisme, selanjutnya mikroorganisme membantu memfermentasi bahan tersebut yang menghasilkan bahan lain yang mampu dimanfaatkan oleh induk semang. Mikroorganisme ini yang terdiri atas bakteri, protozoa, dan jamur, dapat merupakan sumber protein berkualitas tinggi bagi induk semang (http://usupress.usu.ac.id/). Jamur anaerob dapat mengkoloni lignoselulosa di dalam rumen sehingga hubungan yang erat ini diduga menjadi dasar bahwa jamur rumen mampu merombak komponen dinding sel tanaman. Dinding sel yang tidak dapat dihidrolisis oleh bakteri akan dirombak oleh jamur rumen. Rhizobium atau hifa jamur rumen mampu masuk ke dalam jaringan xylem, sclerenchym dan cuticula tanaman dan secara parsial merombaknya. Kondisi alamiah yang spesifik dari zoospora dan obligat anaerob di dalam rumen, menyebabkan klasifikasi jamur rumen agak berbeda dalam taksonomi jamur pada umumnya (Titania, 2008). Jamur rumen dibagi menjadi dua kelompok spesies yaitu monosentris dan polisentris. Spesies monosentris hanya memiliki satu spora dalam rizobiumnya, sedangkan spesies polisentris mengandung beberapa spora dengan inti di dalamnya. Jamur monosentris rumen dikelompokkan menjadi tiga tipe morfologis yaitu : (1) Neocallimastic sp. dengan spora poliflagella dan rizobium bercabang banyak, (2) Piromonas sp. dengan spora

monoflagella dan rizobium bercabang, dan (3) Sphaeromonas sp. dengan zoospora monoflagella dan rizobium membengkak. Contoh spesies monosentrik adalah Neocallimastix frontalis, Neocallimastix patriciarum, Piromonas commuunis, Sphaeromonas commuunis, dan Sphaeromonas equi. Contoh jamur polisentris rumen adalah Neocallimastix joyonii (Titania, 2008). Jamur rumen juga berperan penting dalam proses perombakan lignin. Spesies jamur perombak lignin dikelompokkan atas dasar warna saat fermentasi substrat menjadi soft rot, brown rot dan white rot). Berikut adalah diskripsi ketiga kelompok jamur tersebut (Titania, 2008): 1. Soft rot memiliki kemampuan melepas rantai samping metil (R-O-CH3) dan membuka cincin aromatik, namun tidak mampu merombak struktur lignin secara sempurna. Contoh : Chaetomium dan Preussia.

2. Brown rot adalah jamur mayoritas perombak kayu. Brown rot tidak memiliki enzim pembuka cincin tetapi mampu langsung merombak semua selulosa dan hemiselulosa. Brown rot merombak lignin dengan cara demetilasi dan melepaskan rantai samping metil menghasilkan fenol hidroksilat. Oksidasi struktur aromatik lignin menghasilkan karakter warna coklat. Pemisahan polisakarida dari lignin terjadi secara oksidasi non enzimatik melalui pembentukan radikal hidroksil (OH). Reaksi ini menjadikan Brown rot mampu merombak struktur kayu tanpa merusak struktur lignin. Contoh: Poria dan Gloeophyllum. 3. White rot adalah jamur paling aktif merombak lignin. Ada ribuan spesies jamur white rot telah diketahui utamanya berasal dari kelompok basidiomisetes dan askomisetes. Contoh basidiomisetes adalah Phanerochataete chrysosprium dan Coriolus versicolor sedangkan contoh ascomisetes adalah Xylaria, Libertella dan Hypoxylon. Jamur white rot memproduksi enzim lignolitik yang mampu bekerja mengoksidasi pelepasan unit fenilpropanoid, demetilasi, mengubah gugus aldehid (R-CHO) menjadi gugus karboksil (R-COOH), dan membuka cincin aromatik sehingga secara sempurna merombak lignin menjadi CO2 dan H2O. Jamur white rot menghasilkan tiga kelas enzim ektraseluler perombak lignin yaitu lakase pengoksidasi fenol, peroksidase lignin, dan oksidase mangan. Jamur anaerob perombak selulosa terbukti ada di dalam rumen dan diketahui berperan aktif pada proses pencernaan serat kasar pakan. Semua jamur rumen perombak lignoselulosa adalah perombak selulosa. Hasil fermentasi jamur rumen bermanfaat bagi hewan inang maupun mikrobia lainnya di dalam rumen. Spesies jamur rumen perombak selulosa umumnya bergantian antara bentuk thallus dan flagella, dan dalam bentuk kultur murni terbukti dapat merombak selulosa menjadi VFA. Jamur rumen perombak selulosa diduga tidak esensial karena jumlahnya sangat sedikit, namun diyakini memiliki peran sangat penting dalam perombakan serat kasar pakan kualitas rendah. Beberapa kelebihan jamur selulolitik rumen adalah: (1) mampu menghasilkan enzim selulase dan silanase kadar tinggi, (2) mampu mengkoloni jaringan dinding sel tanaman lebih baik dibandingkan bakteri, (3) hasil inkubasi pakan berserat oleh jamur rumen lebih lunak dibandingkan oleh bakteri dan (4) mampu bersintrofi dengan bakteri (Titania, 2008). Jamur rumen juga berperan penting dalam proses perombakan hemiselulosa. Semua jamur perombak selulosa umumnya adalah juga perombak hemiselulosa (silan). Jamur

rumen mampu menghasilkan enzim silanase lebih tinggi dibandingkan jamur anaerob lainnya. Namun produksi silanase tersebut dipengaruhi oleh adanya gula, jika terdapat gula maka produksi silanase terhambat. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma reesei dan Penicillium chrysoporium menghasilkan -xylosidase yang memiliki ukuran lebih besar (antara 90 - 122 kDa), namun umumnya kurang populer dibandingkan endosilanase lainnya. Endosilanase dan endoglukanase dari jamur rumen Neocallimastix frontalis mempunyai aktivitas beberapa kali lebih tinggi dibandingkan endosilanase dan endoglukanase dari jamur anaerobik lainnya (Titania, 2008) . B. Interaksi Parasitisme Interaksi parasitisme antara fungi dan hewan terjadi pada serangga yaitu Hirsutella rossiliensis menyerang tungau bukan serangga, Hirsutella longikola menyerang Lepidoptera, Hirsutella saussurei menyerang hymenoptera, Hirsutella thonpsonii menyerang acaridae, Metarhizium anisopliae dan Metarhizium album menyerang serangga umum, Nomurae rilezi menyerang Lepidoptera, Nomurae atypicola menyerang laba-laba, serta Paecilomyces lylacinus dan P. javanicus ditemukan sebagai kontaminan umum. Fungi serangga tersebut mampu menghasilkan keratinase yang mendegradasi khitin pada tubuh serangga (Gandjar, 2006). Bentuk Interaksi parasitisme lainnya adalah pada jamur Blastomyces dermatitidis yang menyebabkan blastomycosis yaitu infeksi kronis dengan Lesigranulomatosa dan supuratif yang dimulai di paru-paru dimana penyebarannya dapat terjadi ke organ lain. Jamur ini merupakan jamur dimorfik termal yang tumbuh sebagai mold dalam biakan, menghasilkan hifa hyaline bersepta dan bercabang serta konidia. Di Amerika Serikat bagian Timur blastomycosis merupakan endemis pada manusia dan anjing. Pada 37 derajat Celsius dalam tubuh inang jamur Blastomyces dermatitidis berubah menjadi sel ragi besar yang bertunas sendiri-sendiri (Brooks,Geo dkk.2005). Interaksi parasitime juga terjadi pada jamur Histoplasma capsulatum yang menyebabkan histoplasmosis yaitu infeksi paru-paru, paling revalen pada manusia dan hewan. Di alam jamur Histoplasma capsulatum tumbuh sebagai mold yang berhubungan dengan tanah dan habitat unggas yang diperkaya oleh alkalin dan substrat nitrogen dalam guano. Histoplasmosis dimulai dengan inhalasi konidia. Setelah inhalasi, konidia terbentuk menjadi sel-sel ragi dan ditelan oleh makrofag alveolar di mana mereka mampu bereplikasi.

Dalam makrofag ragi-ragi ini dapat menyebar ke jaringan retikulo endotel seperti hati, limpa, sumsum tulang dan limfonodi (Brooks,Geo dkk.2005). Jamur Pneumocystis carinii ada di paru-paru pada banyak mamalia seperti tikus curut, anjing , kucing, berang-berang dan kelinci tetapi jarang menyebabkan penyakit kecuali inangnya mengalami imunosupresi. Jamur ini secara morfologis mempunyai berbagai bentuk yang berbeda yaitu trofozoit berdinding tipis, dan kista yang berdinding tebal, bulat sampai elips (4-6 mikrometer) dan mengandung 4-8 nukleus. Pertumbuhannya di dalam inang ditunjukkan dengan trofozoit dan kista yang berada dalam massa yang rapat. Pertumbuhannya di paru terbatas pada lapisan surfaktan di atas epitel alveolus (Brooks,Geo dkk.2005) Mikoparasit ditemukan pada beberapa fungi yaitu fungi yang hidup pada organisme hidup seperti pada hewan, pada tumbuhan serta pada fungi. Moore-Landecker 1996 melaporkan bahwa Cordiceps capitpata tumbuh pada bagian yang kenyal dari Ascomata truffels dan miseliumnya menghasilkan perithecia berwarna hitam. Ada pula spesies Mucorales yang menyerang fungi lain. Muscor sp juga ditemukan tumbuh pada basidiomycota yaitu Mysena galopus. Selain itu tilletiopis minor merupakan parasit kuat pada powdery mildews. Begitu pula ditemukan mikroparasit sp pada Aspergillus sp dan juga Rhizopus sp menyerang kepala konidia (Gandjar, 2006). C. Interaksi Predasi Interaksi predasi ini terjadi antara beberapa fungi dengan hewan-hewan tertentu seperti amoeba, rotifer, dan nematoda. Fungi ini merupakan fungi predator yang menyerang dan membunuh amoeba, rotifer, nematoda yang ada di tanah, diantaranya Arthrobotrys oligospora dan A.dactyloides. Fungi tersebut membentuk hifa berbentuk cincin yang mengelilingi tubuh insekta, kemuadian hifa lain masuk ke dalam tubuh hewan tersebut dan mencernanya. Hifa cincin tersebut terbentuk karena senyawa nemin yang disekresi oleh nematoda, yaitu senyawa berupa asam-asma amino seperti valin, leusin, isoleusin, dan peptide tertentu yang aktif membengkokkan hifa fungi sehingga membentuk cincin (Gandjar, 2006). Adapun contoh dari interaksi tersebut adalah jamur nematofagus yang digunakan sebagai agen hayati untuk mengendalikan nematoda ternak. Nematoda yang menginfeksi ternak antara lain Bunostomum spp, Cooperia spp, Haemonchus spp, Mesistorcirrus spp, Oesophagosomum spp, Strongyloides spp, Trichostrongyloides spp. Contoh jamur yang

digunakan sebagai agen pengendali hayati yaitu Arthrobotrys spp, Catenaria spp, Dactylella spp, dan Verticillium spp. Hasil survey yang dilakukan di Bogor pada tahun 1995-2000, Purworejo, Semarang, dan Kendal juga menunjukkan bahwa pada tinja (kotoran) ternak dan tanah ditemukan beberapa jenis jamur A. oligospora, Verticillium spp., Fusarium spp., Gliocladium spp., Cephalosporium spp., Paecilomyces spp., Trichoderma spp.,

Monacrosporium spp., Dactylaria spp., dan Dactylella spp (Ika, 2004). Peranan jamur nematofagus dalam mengendalikan nematoda adalah sebagai predator larva dan telur, endoparasit pada larva, dan penghasil toksin. Jamur tersebut membunuh nematoda dengan cara perangkap larva infektif, menjadi endoparasit pada larva, melakukan penetrasi pada larva betina dan telur, serta membunuh larva dengan toksinnya. Mekanisme infeksi jamur pada nematoda di hewan dapat dilihat pada table berikut (Ika, 2004): Table 1. Jamur nematofagus dapat menginfeksi nematoda pada hewan

Jamur predator seperti A. oligospora membuat perangkap atau penjerat pada saat larva bergerak mengenai hifa. Jamur tersebut mengeluarkan sekresi perekat yang mengandung zat kemoatraktan dan enzim pengurai kutikula sehingga larva nematoda melekat, selanjutnya terjadi penetrasi pada kutikula. Pada saat ini terbentuk gelembung di dalam tubuh larva, selanjutnya jamur akan tumbuh berkembang dalam larva hingga akhirnya larva mati. Perngkap yang dibuat dapat berupa perangkap yang sederhana ataupun kompleks, berbentuk cincin. Jamur Pleurotus ostreatus dan Pleurotus pulmonaris membunuh larva cacing tanah dengan cara mengeluarkan nemotoksin. Toksin tersebut adalah trans-2-

decendiocic acid. Pada jamur yang termasuk endoparasit, benang hifa tidak terbentuk, tetapi jamur akan membentuk semacam tabung atau konidiospora yang menghasilkan spora. Apabila spora tertelan oleh larva nematoda, maka jamur tersebut akan berkembang biak di dalam tubuh sampai larva mati, contohnya Harposporium anguilllulae. Sementara itu, Verticillium chlamydosorium membunuh telur nematoda dengan cara benang hifa vegetatif jamur masuk ke dalam alat reproduksi nematoda betina dan membunuh telur-telur yang ada di dalamnya. Jenis jamur ini menginfeksi nematoda dengan spora yang mempunyai perekat. Infeksi pada nematoda betina secara tidak langsung melalui invasi sel-sel, sedangkan infeksi pada telur dilakukan oleh parasit fakultatif melalui penetrasi hifa ke dalam kista dan telur (Ika, 2004)

Gambar 1. Nematoda parasit ternak Haemonchus contortus yang terperangkap oleh hifa jamur Arthrobotrys sp. Selain pada nematoda, predasi juga terjadi pada serangga. Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan beberapa jenis kumbang. Sebagai patogen serangga, B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari tanah. Epizootiknya di alam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama membutuhkan lingkungan yang lembab dan hangat. Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai agensi hayati pengendalian

sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan, hias, buah-buahan, sayuran, kacangkacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga tanaman gurun pasir. Di Indonesia, hasil-hasil penelitian B. bassiana juga telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk mengendalikan serangga hama kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera

litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta), Plutella xylostella pada sayursayuran, hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakao (Deciyanto, 2009) Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih (Gambar 2), bentuknya oval, dan tumbuh secara zig-zag pada konidiopornya. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu,

infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera. Serangga inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain: kutu pengisap (aphid), kutu putih (whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat, thrips, tungau, dan beberapa spesies uret (Deciyanto, 2009).

Gambar 2. Konidia putih pada berbagai stadium larva Helicoverpa armigera (kiri) dan miselia putih pada larva H. armigera (kanan) Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin. Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. 1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti

makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora (Deciyanto, 2009). D. Interaksi Amensalisme Osterhage (2001) meniliti kapang-kapang yang hidup pada spons dan metabolit sekunder yang dihasilkannya. Kapang-kapang yang ditemukan adalah Aspergilus ochraceus dari spons Japsis cf. coriacea, Aspergilus niger dari spons Hyrtios proteus, Trichoderma harzianum dari spons Micale cecilia dan Halichondria okadai, T. longibrachiatum dari spons Agela sp., dan Gymnascella dankaliensis dari spons Halichondria japonica. Abraham (2004) mengisolasi kapang-kapang dari spons Axinella carteri Ridley dan Dendy yang hidup di sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Enam spesies kapang yang ditemukan adalah Penicillium janthinellum, Aspergillus sydowii, Aspergillus tamarii, Curvularia sp., Nigrospora oryza, dan Pestalotiopsis sp. Tiga spesies diantaranya, yaitu Aspergillus tamarii, Penicillium janthinellum, dan Curvularia sp. menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan E. coli (Gandjar, 2006).

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Ada empat macam interaksi yang dapat terjalin antara fungi dengan hewan dalam pembahasan makalah ini, yaitu interaksi mutualisme, parasitisme, predasi, dan amensalisme. 2. Contoh bentuk interaksi antara fungi dengan hewan antara lain adalah sebagai berikut: a. Interaksi mutualisme terjadi antara fungi rumen dengan hewan ruminansia b. Interaksi parasitisme terjadi akibat adanya fungi parasit yaitu Hirsutella rossiliensis, Hirsutella longikola, Hirsutella saussurei, Hirsutella thonpsonii, Nomurae rilezi, dan Nomurae atypicola yang menyerang serangga; Blastomyces dermatitidis yang menyebabkan blastomycosis pada manusia dan anjing; Histoplasma capsulatum

yang menyebabkan histoplasmosis pada manusia dan beberapa hewan; Pneumocystis carinii yang menyerang paru-paru tikus curut, anjing , kucing, berang-berang dan kelinci; serta mikoparasit yaitu Cordiceps capitpata yang tumbuh pada bagian kenyal dari Ascomata truffels dan Muscor sp tumbuh pada Mysena galopus. c. Interaksi Predasi terjadi antara jamur nematofagus dengan nematoda serta cendawan entomopatogen dengan serangga d. Interaksi Amensalisme terjadi pada kapang-kapang yang tumbuh pada spons.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Pengantar Rumiologi. Diakses dari http://usupress.usu.ac.id/ pada tanggal 3 Mei 2012. Brooks, Geo F., dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. (penerjemah Nani Widorini). Jakarta: Salemba Medika. Deciyanto Soetopo dan Igaa Indrayani. 2009. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah Lingkunga. Diakses dari http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/ pada tanggal 3 Mei 2012. Gandjar. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ika Mustika dan Riza Zainuddin A. 2004. Peluang Pemanfaatan Jamur Nematofagus untuk Mengendalikan Nematoda Parasit pada Tanaman dan Ternak. Diakses dari http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ pada tanggal 3 Mei 2012. Titania Tjandrawati Nugroho. 2008. Bioteknologi Fungi Biokontrol dan Pengembagannya untuk Aplikasi dalam Bidang Pertanian, Industri Ramah Lingkungan dan Kesehatan. Diakses dari ttp://www.unhas.ac.id/ pada tanggal 7 Mei 2012.

Anda mungkin juga menyukai