Anda di halaman 1dari 45

OPTIMISTIC EXPLANATORY STYLE

Christopher Peterson & Tracy A.Steen

Pesimistic Explanatory style

Rene Arthur-1034005

HUMAN HELPLESSNESS ATTRIBUTIONAL REFORMULATION AND EXPLANATORY STYLE MEASURES OF EXPLANATORY STYLE

HISTORY
GENETICS PARENTS TEACHERS MEDIA TRAUMA
ATTENTION TO OUTCOME MEASURE ATTENTION TO MECHANISM

OPTIMISTIC EXPLANATO RY STYLE

ORIGIN
FUTURE DIRECTION

Optimisme memiliki reputasi dengan ke naifan dan penyang yang pasang surut.Lihatlan kalan. Beberapa tahun bela tokoh Dr.Pangloss karya Voltaire kangan ini optimisme menda yang sesumbar bahwa optimis pat posisi yang lebih dihargai me adalah dunia terbaik dari orang, juga dikalangan para semua dunia yang mungkin cendekiawan. ada, atau Pollyana- karya Porter(1913) yang merayakan kekurang beruntungannya yang Optimisme yang dikonseptu alisasi dan dinilai dengan ber ditakdirkan pada dirinya dan bagai cara telah dikaitkan de orang lain. Lihatlah politisi ngan mood positif dan moral dewasa ini yang memelintir yang baik,dihubungkan dengan berita memalukan menjadi daya tahan dan pemecahan berita bagus. Optimisme telah masalah secara efektif, membuat orang berpikiran kritis mengambil jarak karena kata ini berkonotasi

dihubungkan dengan pencapai Di sini akan didiskusikan studi tentang gaya explanatory de an di segala bidang ,dengan ngan fokus pada pertanyaan popularitas ,dengan kesehatan, yang relatif terabaikan: bahkan umur panjang dan bebas dari trauma. Apa asal muasalnya explanatory style? Tujuan bab ini adalah meninjau

suatu istilah serumpun dengan Sebagai simpulan tulisan ini optimisme yaitu explanatory akan menampilkan isu-isu yang style, yakni bagaimana kebia perlu diperhatikan oleh psiko saan orang menjelaskan penye bab dari kejadian-kejadian yang log positif yang melaku kan ri set tentang explanatory style. menimpa dirinya.

HISTORY:
From Learned Helplessness to Explanatory Style
Yang memperkenalkan Learn ed helplessness adalah para psikolog yang mempela jari bagaimana binatang belajar (Overmier & Seligman, 1967; Seligman & Maier, 1967).

Percobaan anjing yang disetrum,

Penelitian ini menunjukkan bahwa sang anjing telah belajar untuk pasrah;ketika dihadapkan pada shock yang tak terkendali, ia belajar bahwa percuma untuk melawannya (Maier&Seligman,1976).
Kejutan listrik datang dan pergi sesukanya terklepas dari perilaku anjing. Response-outcome indepen dence disajikan secara kognitif oleh anjing sebagai

ekspektasi terhadap ketidak berdayaan di masa yang akan datang yang digene ralisai terhadap berbagai situasi baru yang meng-hasilkan beragam defisit motivasi, kognitif dan emo si. Defisit yang hadir dengan bangkitnya uncon trollability dikenal se bagai fenomena learned helplessness dan the asscociated cognitive explanation serbagai learned helplessness model.

pasung pada kelompok Minat awal pada learned pertama dan dihadapkan helpless ness berasal dari kepada klejutan serupa, bentrokan teori ini dengan teori bedanya hanya binatang stimulus respons pertama mengendalikan se ((Peterson,Maier, & Seligman, dang grup 2 tidak. Binatang 1993) dikelompok 3 tidak diekspos TriadicDesign-suatu desain pada kejutan apapun. Semua eksperimen untuk 3 grup yang binatang kemudian diberi tugas menunjukkan bahwa kejutan tes yang sama. yang tak terkendali bertang Binatang yang punya kendali gungjawab untuk kehadiran atas kejutan tiadk menunjukkan defisit. Satu grup binatang helplessness saat di dihadapkan pada satu kejutan tes.Perilakunya seperti binatang yang mampu dipadamkan yang tak pernah kena shock. dengan membuat respon Binatang tanpa kendali menjadi tertentu. Binatang di grup 2 di tak berdaya.

Apakah kejutan dapat dikontrol bukan bagian dari kejutan itu sendiri tetapi lebih pada hubungan antara binatang itu dengan shock. Bahwa binatang itu peka ter hadap hubungan antara res pon dan hasil mengimpli ka sikan bahwa mereka harus mampu mendeteksi dan menghadirkan antisipasi yang relevan.
Dukungan bagi interpretasi

kognitif dari helplessness juga muncul dalam studi yang menunjukkan bahwa binatang dapat diimunisasi terhadap efek ketidak mam puan mengendalikan dengan terle bih dahulu menghadap kannya pada even yang bisa dikontrol. Jadi, binatang be lajar selama imunisasi bahwa event bisa dikontrol dan eks pektasi ini terpelihara selama berhadap an dengan peristi wa yang uncontrollable yang menda hului helplessness.

Studi lain, periset menunjukkan Psikolog yang tertarik pada bahwa learned helplessness manusia, khususnya deficits dapat dibatalkan dengan masalah manusia, dengan memak sa binatang tak berdaya cepat melihat bahwa ada kepada kontigensi antara kesejajaran antara learned perilaku dan hasil/outcome. helplessness yang dihasilkan Jadi binatang diharuskan oleh kejadian yang tak ter membuat respon yang sesuai kendali di dalam lab dan pada test dengan tindakan perilaku pasif maladaptif menekan atau menarik. Setelah yang ada di dunia nyata. mencoba sekian kali,binatang Jadi para psikolog mulai melihat bahwa ada meneliti learned helpless kemungkinan untuk lolos dan ness pada manusia. respon mulai muncul dari dirinya sendiri.

Dalam satu penelitian, help lessness pada manusia dipro duksi dalam lab sebanyak yang terjadi pada binatang, dengan cara meng hadapkan mereka dengan peristiwa yang tak terkendali dan mengamati bagaimana ak ibat nya. Prob lem yang tak terpe cahkan di anggap bagai sengatan lis trik yang tak terkendali, namun ada aspek kritikal dari fenome na ini yang tersisa: Setelah uncontrollability, orang menunjukkan berbagai de fisit(Mikulincer, 1994;

mengurangi helpessness. Peterson et al., 1993) Dalam Beberapa aspek dari helpless penelitian lain para periset ness manusia berbeda demendokumentasikan kesa ngan binatang: maan lebih jauh antara feno 1. kejadian buruk tak terkontrol mena binatang dan apa lebih menghasil kan yang dihasilkan didalam lab helplessness pada umat manusia. Peristiwa buruk manusia daripada kejadian tak terkendali membuat ke baik yang tak terkendali., cemasan dan depresi. Pema penyebabnya adalah manusia paran sebelumnya terhadap mampu membuat perhitung kejadian yang terkendali an koheren tentang mengapa membuat orang menjadi hal baik terjadi pada dirinya. imun terhadap LH. Demi Jadi rahasia fenomena dari kian halnya, menghadap appetitive helplessness dian kan orang terhadap sesuatu tara binatang kemungkinan yang bakal terjadi

tak terjadi dalam dunia manusia sebab mereka dapat menciptakan tafsiran konti ngensi. Manusia berbeda dari binatang dalam segi cang gihnya kita memberi makna pada peristiwa. Seperti yang ditampilkan oleh LH model, binatang tentunya dapat be lajar dari apa yang mereka lakukan atau tidak punya kendali atas peristiwa. Tapi orang melakukan sesuatu itu dalam rangka mencipta mak na.Orang dapat menafirkan

sesuatu kejadian secara khusus dengan cara-cara yang jauh melampaui literal controllalibiliy. Rothbaum, Weisz, and Snyder (1982) Nyatakan bah wa ada keadaan dimana pas sivity, withdrawal, and sub missiveness diantara manu sia bukan penyebab utama berkurangnya personal con trol; reaksi ini lebih merep resentasikan berbagai alter natif bentuk kontrol yang dicapai dengan cara menye

suaikan diri dengan keku (Brown & Inouye, 1978). atan eksternal yang kuat. Signifikansi dari vicarious Contoh. Agama bisa mem helplessness adalah bahwa berikan worldview yang ini secara besar-besaran dapat menum pulkan memperluas berbagai cara agama efek dari ketidak potensial dimana perilaku tak mampuan mengendalikan berdaya dapat dihasilkan peristiwa. didalam dunia nyata. 1. vicarious helplessness. Kesukaran Problem-solving dapat diproduksi dalam diri seseorang de ngan hanya memperlihatkan kan orang yang sedang ber hadapan dengan sesuatu yang tak mampu dikendalikannya.

Parameter fenomena ini belum diinvestigasi secara menyeluruh dan berbagai per tanyaan timbul seperti apa kan kita dapat mengimun isasi orang terhadap vicari ous helplessness atau mema balkan efeknya melalui tera pi. 3. Perbedaan ketiga adalah bahwa kelompok kecil manusia dapat dibuat helpless melalui eksposur terhadap kejadian yang tak terkendali. Jadi bila suatu.

kelompok mengerjakan masalah tak terpecahkan, itu akan memunculkan defisit problem solving kelompok re latif terhadap kelompok la- in tanpa eksposur sebelum nya terhadap uncontrollability.

Pada titik ini group level helplessness bukan fungsi dari individual helplessness yang dihasilkan antara ang gota grup: ketika bekerja sendiri, anggota individual dari grup helpless tidak me nampilkan kekurangan. Mungkin hasil ini bisa dige neralisasi kepada kelompok yang lebih besar, termasuk organisasi kompleks atau ke seluruh budaya. Dalam riset lain, peneliti mengusulkan kegagalan adaptasi sebagai analog

Learned helplessness dan menyelidiki kesamaan atara kegagalan ini dengan LH. Peterson et al. (1993) mengusulkan tiga kriteria formal untuk menilai kebaikan dari suatu aplikasi:
1. Objective noncontingency. Peneliti harus mempertimbangkan kontigensi antara

tindakan-tindakan sese passivity (dimana respon orang dan hasil-hasil yang aktif secara contingently dialami nya kemudian. LH dihukum dan/atau responhadir hanya ketika tidak respon pasif secara conting ada ketidaktentuan antara ently diperkuat). tindakan/actions dan out 2. Cognitive mediation comes/hasil. Dengan kata Learned helplessness juga lain, LH harus dibeda kan melibatkan suatu cara karak dari extinction /pemadam teristik dalam perceiving, an/pemunahan. ( di mana explaining, and extra respon-respon yang semula polating contingencies aktif mengarahkan kepada 3. Cross situational generality reinforcement/ penguatan, of passive behaviour. kini tidak lagi melakukan Akhirnya, LH diperlihatkan nya) dan dari learned dengan pasivitas dalam situasi berbeda dari situasi

Yang secara uncontrol lability pertama dijumpai. Apakah individu menyerah dan gagal menginisiasi aksi yang mungkin dapat membuat ia mengendalikan situasiini? Sangat mungkin beralasan bahwa LH hadir tanpa mendemonstrasikan pasivity dalam berbagai situasi baru. Konsekuesi lain juga menyertai behavioral defisits yang merumuskan fenomena LH: retardasi cognitive, self esteem rendah,sadness, reduced

Aggression,immunosupression dan phisical illness. Menggunakan kriteria ini, kemudian, aplikasi yang baik termasuk depresi, akademik,atletik, kegagalan vokasional, efek psikologis crowding, penganguran, polusi suara, sakit kronis, penuaan,retardasi mental, epilepsi dan pasifitas dikalangan minoritas etnik(Peterson 1993).

LH: cognitive retardation, low self-esteem, sadness, reduced aggression, immu nosuppression, dan sakit fisik. Kriteria ini dapat diaplikasikan pada depre ssion; academic, athletic, and vocational failure; worker burnout; deleterious,psychological effects of crowding, unemployment, noise pollution, chronic pain, aging, mental retardation, and epilepsy; and passivity

diantara minoritas ethnis (see Peterson et al.,1993, Table 7-1). Aplikasi popular lainnya belum terbukti atau tegasnya keliru, biasanya disebabkan contoh passivitas lebih baik dilihat secara instrumental. Sebagai contoh, korban perlecehan anak atau kekerasan domestik dikarakterisasikan/dipelajari sebagai tak tertolong.(Walker, 19771978). Agumen yang lebih.

kuat lagi adalah bahwa me reka belajar untuk berdiam diri. Passivitas sremacam ini menjadi problematik jika digeneralisir,namun proses yang ada tidak bukan yang diungkapkan oleh model LH Jadi jelas bahwa penjelasan learned helplessness original terlalu sederhana.

Attributional Reformulation and Explanatory Style Sebagai upaya untuk menanggulangi diskrepasi ini Lyn Abramson, Martin Seligman, and John Teasdale (1978) mereformulasi model helplessness yang diterapkan pada manusia dengan menggabungkannya dengan attribution theory. (Kelley, 1973; Weiner, 1974).

Abramson et al menjelaskan temuan yang berbeda dengan menyatakan bahwa orang bertanya pada dirinya mengapa peristiwa buruk terjadi pada dirinya. Jawab an orang kemudian yang akan menetapkan parame ter bagi ketidakberdayaan yang datang kemudian.Jika atribut causal stabil(ini akan berlangsung seterusnya) maka helplessness akan ber langsung lama. Jika bersifat tidak stabil, maka akan ber langsung sebentar.Jika

causal attribution itu global (ini akan merusak segala nya)maka helplessness yang terjadi berikautnya akan terujud dalam pelbagai situ asi.Jika spesifik maka akan terjadi pembatasan. Akhir nya, jika bersifat internal maka (semua itu salahku) maka self esteem orang itu akan jatuh tak terkenda li.J ika eksternal, self esteem tetap utuh.

Dua cara pengukuran Explanatory Style


Dengan kuesioner self report questionnaire (ASQ); Responden ).disajikan dengan kejadian hipotetis terkait diri mereka dan kemudian diminta untuk memberi satu penyebab utama dari setiap event bila itu akan terjadi (Peterson, 1982).Resopnden kemudian menilai penyebab dengan dimensi internalitas, stabilitas dan globalitas.

Rating dikombinasi, dipisahkan untuk yang keja dian baik dan buruk. Expla natory style yang didasar kan atas peristiwa buruk sering punya korelasi kuat daripada explanatory style yang didasarkan pada good events, sekalipun korelasi nya tipikal berada di arah berbeda(Peterson,1991). Dengan CAVE(Content Analysis of Verbatim Expla nations) yang meyediakan bahan tertulis atau lisan untuk discore.

Periset mengidentifikasi penje lasan untuk event baik/buruk, mengeks traknya dan menya jikannya pada pengu ji yang kemu dian me-rate-nya dengan skala ASQ. Studi CAVE memung kinkan riset longitudinal sepanjang bahan tertulis dan lisan dapat ditempatkan sejak dini didalam kehidupan individu.

ORIGINS
Of Explanatory Style
Terapi kognitif dapat meng ubah explanatory style orang dari pesimistik ke optimistik. (Seligman, 1988) Cognitive Behavioural Interventions dapat membuat murid2 lebih optimistik (Gillham dkk,1995) Tapi bagaimana Explanatory Style muncul dalam

kehidupan kita? Riset bahwa Explanatory Style manusia dipengaruhi berbagai hal. Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya.

Sekalipun pengaruh-pengaruh tsb Gen-pengaruhi intelegensi, daya tarik fisikal-menuntun diragukan bekerja independen, tidak diketahui bagaimana mereka pada hasil positif di lingkungan-memperkuat saling berinteraksi lebih banyak Explanatory Style. GENETIKA (Schulman, Keith, selig man,1993): Explanatory Style kembar mono zygotic > berkorelasi tinggi dari pada dizygotic. Temuan ini tak ber arti ada gen optimis, tapi pengaruh tak langsung:

Explanatory style direct : dikembangkan secara utuh, misalnya saat seorang anak mendengar pesan causal secara eksplisit dari ortu atau guru . explanatory style indirect diabstraksi dari pengalam an, misalnya ketika sese orang meruminasi makna kegagalan atau trauma dan menyimpulkanpenyebabnya ORANG TUA Riset mengeks plorasi explanato ry styles ortu dan keturun an nya. Fokus pada .

ibu dan anak. Ayah dan anak juga di riset, tapi tidak ditemukan kaitannya. Temuan bertentangan ini menunjukkan bahwa ekspstyle tidak ditularkan oleh semua ortu secara merata. Perlu ditemukan pengantara yang lebih meyakinkan(Snyder,1994)

Seberapa banyak waktu kebersamaan ortu-anak? Apa yang dibicarakan? Apakah causal explanations muncul dalam percakapan ini? Explanatory Style anak dipengaruhi ortu melalui: 1.Simple modeling: anak meniru mereka yang dianggap kuat dan kompeten, umumnya ini terdapat pada diri orang tua(bandura,1977). Bagaimana ortu menginterpretasi dunia,

pulalah anaknya.jika anak secara berulang mendengar komentar negatif orang tua, maka anak akan meng adop si cara tafsir pesimistik ini bagi dirinya. 2.Bagaimana ortu menilai perilaku mereka. Kritikan pesimistik punya efek kumulatif thd anak (Peterson&Park1998) Contoh:anak kehilangan kunci, ortu bilang kamu ceroboh(pesimistik); atau itu berarti kamu harus hidup lebih teratur(optimis tik)

Bagaimana ortu menjelas kan peristiwa berpenga ruh pada kemajuan dan adaptasi anak di kelas. Anak yang berortu pesi mistik rendah prestasinya. 3. Pengaruh tak langsung ortu: Apakah ortu menye diakan dunia yang aman dan koheren? Anak yang berasal dari rumah yang bahagia dan mendukung cenderung memilki explanatory style optimistik (Franz dkk,1994). Temuan riset: dorongan dan

dukungan orang tua meng urangi rasa takut gagal dan memampukan anak untuk mengambil resiko dalam rangka menemukan minat dan bakat mereka. Sukses dan keyakinan diri bertumbuh, yang kemudian memimpin kepada ekspek tasi untuk sukses berikutnya (Peterson dkk,1991). (Marks,1998) anak yang tuli dan buta beresiko memiliki explanatory style pesimistik akibat menjumpai rentetan kegagalan.

Apa yang terjadi bila ortu yang tidak mendorong anaknya mengeksplorasi dunia secara aman? (Peresdkk,1993) menemukan bahwa anak dengan ortu abusif lebih ber pesimistic explanatory style, sebabnya karena ortu tidak Men-support/mendorong anak untuk sukses. Selain itu anak terbebani tanggung jawab orang dewasa yang jauh melampaui tugas perkembangannya, jadi kegagalan sudah ada di depan mata.

Kalau anak mengalami kjegagalan bertubi pada usia kritis, mereka belajar bahwa apapun yang mereka lakukan tak ada bedanya (Seligman,1995) GURU komentar guru memengaruhi gambaran anak tentang kesuksesannya /kegagalannya di kelas. Contoh eksperimen Heyman dkk(1992). yang dikritik lebih pesimistik thd proyeknya.Mueler-Dweck( 1998)bahkan pujian

MEDIA: Apakah media punya peran dalam menghasilkan explanatory style?Levine (1977) melaporkan bahwa berita tv CBS membentuk helplessness. Bisa merusak bila ditujukan pada sesuatu yang bersifat tetap/ Gerbner-Gross(1976) fixed, misalnya anak yang dipuji kekerasan tayangan Tv baik intelegensinya akan lebih tak fiksional/aktual berdaya terhadap kegagalan/ menghasilkan perasaan kesulitan, daripada anak yang resiko dan rasa tak aman dipuji usahanya. Jadi baik umpan Semua usia menonton TV, balik positip/negatif ataskinerja tetapi anak mudalah yang siswa punya pengaruh pada paling terkena dampaknya. pengem bangan explanatory style anak.
MURID PEMALAS !!!!!

DASAR

Sekalipun sampai batas tertentu tv mencerminkan dunia, tampilan kekerasan sebenarnya tidak perlu ada. Ini berlaku bukan hanya untuk tampilan fiksional tetapi juga untuk berita. Ketika kekerasan meletup di berbagai belahan bumi,kamera televisi datang untuk merekam setiap faset dari kenestapaan dengan intensitas yang melampaui batas.

Gambar para korban ditampilkan berulangkali; reporter mengulas sekwen peristiwa berulangkali; berbagai profesional menganalisa sebab-akibat berulangkali. Peliputan memakan waktu berjamjam, harian,terkadang berlangsung mingguan. Singkatnya,, medium meruminasi kekerasan, mendo rong pemirsa untuk mela kukan serupa.

Ruminasi macam ini memperkuat dan memperko koh explanatory style pesi mistik Kecenderungan TV meRuminasi melalui peliputan berita memperlihatkan tendensi untuk memperbe sar kisah kekerasan pada dirinya sendiri yang menyimpangkan presentasi faktual (Levine 1977)

TV tidak tertarik menyampaikan berita secara terukur,mereka meraup keuntungan dengan menafsirkan cerita dari sudut pesimistik. Sayangnya,kaum muda dapat diadopsi gaya pesimistik ini akibat ekspos media berulangkali.
TRAUMA Trauma memenga ruhi expl style (Bunce dkk1995): maha siswa yang

alami trauma signifikan spt kematian ortu, perko saan,insest ketika masa kanak-kanak, pada titik tertentu di masa anak/ remaja seringkali memiliki pesimistik ekspstyl drpd mahasiswa yang tidak alami trauma. Gold(1986)Wanita korban seksual ketika masa anak/ adolesen cenderung memili ki ekp style pesimistik, Demikian halnya terjadi pada anak yang ortunya bercerai( Seligman,1990)

Chronic Abuse memilki efek yang sama(CerezoFrias1994) dpl anak belajar utk tak berdaya. Penghuni rs jiwa yang dikungkung > 5 thn lebih pesimis exp styl daripada yang dikurung kurang dari 1 tahun. Lebih banyak diketahui konsekuensi dari exp styl optimis vs pesimis daripada bagaimana exp styl terbentuk.

DIRECTIONS
FOR FUTURE RESEARCH: Explanatory Style as Positive Psychology

Mengapa optimisme dan explanatory style, harus berada di bawah psikologi positif? Dengan reputasi optimism yang pasangsurut maka tidak segera nyata/mudah bagi optimism untuk bergabung dengan psi positif seperti halnya courage,wisdom dan happiness. Bagaimana pemahaman kita tentang psikologi positif? Martin Seligman presiden APA 1998 menyebut psikologi harus memfokuskan diri pada strength sebagaimana juga pada weakness, berminat membangun

kebaikan dalam kehidupan selain memperbaiki keburukan dan peduli untuk mengisi/menggenapi kehidupan orang normal sebagaimana ia juga menyembuhkan luka yang sakit. Seligman menyebut ini sebagai psikologi positif dan menyajikan topiktopik dalam buku perdana tentang psikologi positif. Kepedulian psikologi di masa lalu terhadap problema manusia tentunya tetap bisa dipahami dan tidak ditinggalkan dengan hadirnya psi positif.Masalah akan selalu ada dan membutuhkan solusi psikologi, tapi para psikolog yang tertarik memunculkan potensi manusia harus mengajukan pertanyaan berbeda dari pendahulunya yang melihat manusia dengan model penyakit. Apa yang membedakan psikologi positif dari psikologi humanistik di tahun 60-70 dan dari gerakan positive thinking adalah kebergantungannya pada riset empiris untuk memahami

Perhatian terhadap pengukuran hasil akhir/outcome measures Dalam kebanyakan riset Explanatory Style focus ditujukan pada outcome dengan titik perhatian pada helplessness model:depresi, illness dan failure. Ini penting, namun satu cara mengukur hasil ini adalah angka nol yang berkorespondensi dengan tidak depresi, tidak sakit dan tidak gagal. Sebagai contoh bila kita mendapati bahwa orang pesimis itu depresif dan sakit secara fisik(Peterson Seligman 1984) kita bisa tergelincir menyimpulkan bahwa orang optimis sebagai happy dan sehat, sekalipun hasil pengukuran tidak mengijikan orang untuk memanifestasikan happiness dan health(Peterson,Bossio,1991). Ada sesuatu yang lebih dalam daya juang daripada sekadar tiadanya helplessness(Peterson 1999),Ada sesuatu yang lebih dalam happiness daripada sekedar tiadanya depresi

( Myers&Diener1995) dan ada yang lebih dalam kesehatan daripada sekadar tiadanya penyakit(Seeman,1989). Beberapa studi explanatory style yang memasukkan pengukuran hasil yang secara menyelruh, misalnya dibidang performance akademis(Peterson Barret 1987), atletik (Seligman,Nolen-Hoekema dkk1990) dan vokasional(Seligman dan Schulman1986). Disini ditemukan korelasi positif antara optimistic explanatory style dengan good performance. Yang tak dilaporkan dalam studi adalah apakah korelasi lebih baik digambarkan secara garis lurus atau meander in an upward direction. Pembedaan ini penting sebab ini memungkinkan periset membedakan antara harga yang harus dibayar pesimisme vs keuntungan yang diperoleh dari optimism (Robinson-Whelen dkk 1997). Sebagai contoh. Hasil pengukuran explanatory

style untuk bad events dan pengukuran good mood(Peterson 2000) khususnya vigor subscale of profile of Mood states(McNair dkk, 1971).Dalam seluruh sampel ditemukan korelasi positif antara optimistic explanatory style dengan good mood. Tetapi ketika sampel dipisah pada pengukuran dari explanatory style menjadi grup optimis dan pesimis dan korealsi antara explanatory style dan good mood dihitung ulang dalam tiap grup, makakorelasi tamoak signifikan pada grup optimis, tapi tidak pada grup pesimis.Dengan kata lain, secara kasar seseorang merupakan pesimisberdasar klasifikasi kasar, tingkat pesimisme tak ada kaitannya dengan mood. Bagi kelompok optimis, semakin besar optimismenya semakin terkait mood yang baik.Analisis semacam ini dapat menghasilkan hasil yang provokatif. Intervensi terhadap kaum pesimis tak punya efek yang dapat dilihat pada good mood hingga ambang batas tertentu terlampaui.

Ketika periset explanatory style memelajari hasil positif sebagaimana juga hasil negative, ES yang didasarkan atas good events menjadi lebih relevan daripada yang tampak di riset masa lalu yang melihat otcome negative. Abramson(1989) menyarankan bahwa cara orang menerangkan penyebab dari good events berhubungan dengan bagaimana mereka menikmati efeknya. Barangkali good mood terjadi dan berlangsung dengan penikmatan seperti itu dan psikolog positif seperti Fredrickson(1998) mengarahkan perhatian kita pada berbagai benefit dari emosi positif. Menurut Fredricson, emosi positif memperluas repertory kognitif dan prilaku orang. Perhatian terhadap Mekanisme Kritik untuk riset explanatory style adalah terlalu menekankan korelasi antara explanatory style dan distant adaptional outcomes.

daripada mekanisme yang menuntun explanatory style ini sampai kepada outcome.Ketimpangan ini ironis sebab riset tentang learned helplessness pada binatang justru mengamati mekanisme yang memproduksi fenomena helplessness(Peterson 1993).Sebaliknya, Periset explanatory style secara cepat beralih dari satu outcome measure kepada yang lain. Keresahan ini dapat mempertahankan minat terhadap explanatory style namun menghambat pemahaman penuh terhadap learned helplessness
Khususnya jikapara periset es bergabung dengan psikologi positif maka perhatian lebih besar terhadap mekanisme dibutuhkan. Sekalipun model learned helplessness sanagt simple, kita dapat mengharapkan banyak mekanisme dari explanatory style hingga outcomes dan lebih jauh lagibahwa percampuran sebagian mekanisme tergantung outcome of interest(Peterson&Bossio,1991)

Mekanisme dapat ditemukan dalam berbagai tingkatan, dimulai dengan biologi. Karmen Siegel dkk menunjukkan bahwa optimistic explanatory style berkorelasi dengan kebugaran dimana system imun merespon tantangan antigen. Mekanisme emosi juga membutuhkan perhatian, literature menujukkan bahwa exp style incompatible dengfan depresi (Sweeney, Anderson, Bailey 1986). Ada beberapa alur kognitif yang menghubungkan explanatory style dengan outcomes. Explanatory style seseorang bukan keyakinan terpisah tetapi lebih merupakan bagian dari system pengetahuan yang kompleks yang dapat mempengaruhi well being dalam berbagai cara. Dykema dkk(1995) menunjukkan bahwa individu dengan optimistic explanatory style melihat dunia sebagai dunia yang minim pertikaian daripada individu yang pesimistik, dengan demikian, tendensi ini terkait dengan kesehatan yang lebih baik.

Contoh lain,Peterson dan de avila(1995) menemukan bahwa optimistic es berhubungan dengan keyakinan bahwa kesehatan yang baik bisa dikendalikan(dipelihara dan diupayakan).Optimistik es berkorelasi positif dengan apa yang digambarkan sebagai optimis.tic bias perception(tendensi manusia melihat diri sebagai di bawah rata-rata dalam hal kemungkinan untuk jatuh sakit) Aplikasi lain tentang bagaimana berpikir optimistic berelasi dengan outcome adalah social pathways. Orang dengan psessimistic ES sering secara social terisolasi(Anderson dkk1985)dan isolasi social menunujukkan adaptasi yang lemah dalam berbagai hal(Cohen &Syme1985). Sebaliknya, orang dengan optimistic explanatory style akan meraup keuntungan dari jaringan social yang kaya dan dukungan social yang selayaknya.

jantung terkait erat dengan pemikiran pesimistik, ditemukan bahwa individu pesimis paling mungkin mati akibat kematian aksidendal.Khususnya pria. Kematian aksidental tidak random.Berada ditempat yang salah pada waktu yang salahdapat terjadi dari gaya hidup tidak hatihati dan fatalistik yang terjalin bukan hanya dengan pesimisme tapi juga dengan peran gender pria. Studi ini tak dapat menceritakan apa yang dilakukan mendiang partisipan riset ketika mereka mati secara aksidental, tetapi kita mencurigai bahwa perilaku mereka menunjukkan, bahwa hanya dengan memengaruhis setting yang mereka masuki atau tidak secara habitual(Peterson 2000)

Seperti yang kita lihat, mekanisme paling tipikal dan kuat adalah yang menghubungkan explanatory style dan hasil yang terkait perilaku. Peterson(1988) menemukan bahwa optimistic ES berasosiasi dengan berbagai praktik menyehatkan, seperti latihan olahraga, minum secukupnya dan menghindari makanan berlemak.Peterson dkk(1992) menemukan bahwa orang dengan optimistis /OES (berlawanan dengan orang PES) akan cenderung merespon pilek dengan tindakan yang tepat seperti istirahat dan makan lebih banyak sup ayam panas. Dalam suatu studi mutahir tentang OES dan physical well being dari lebih 1000 individu selama 50 tahun(Peterson dkk1998). Individu pesimis meningkat kemungkinan kematian dini dan besarnya sampel memungkinkan untuk menyelidiki hubungan antara explanatory style dan kematian akibat berbagai sebab. Sekalipun diduga kematian akibat kanker dan

Mengalihkan perhatian kita terhadap hasil positif,kita berspekulasi bahwa individu optimistis akan lebih suka memasuki setting dimana hal baik akan terjadi dan memang terjadi, daripada orang pesimistik. Kesimpulan lebih umum adalah bahwa psikolog positif jangan hanya melihat hanya apa yang ada didalam diri person tetapi juga setting person itu.Optimisme dapat memengaruhi setting yang ipilih orang sebagaimana apa yang mereka lakukan didalamnya. Tak kalah pentingnya adalah settingberbeda dalamderajat sejauhmana setting membiarkan karakteristik positif berkembang dan dilaksanakan. Psikologi Positif jangan mendekontekstualisasi kekuatan dan kemampuan yangmemungkinkan terjadinya kehidupan yang baik;

terimakasih

Anda mungkin juga menyukai