Anda di halaman 1dari 5

Abstrak Metode regenerasi planlet secara in vitro dengan frekuensi tinggi, telah dikembangkan pada Curcuma longa L. (cv.

Ranga) menggunakan tunas pada rimpang yang masih segar dan ditanam pada media kultur setengah padat (semisolid). Eksplan tersebut ditanam pada media MS (Murashige and Skoog) dengan konsentrasi serta kombinasi yang berbeda antara BAP (6Benzyl-amino-purine) dan NAA(- Naphthalene acetic acid), untuk induksi pertumbuhan tunas dan akar. Eksplan yang dikultur pada media MS basal dengan suplemen 2.0 mg/l BAP+0.5gm/l NAA menunjukkan laju multiplikasi tunas paling tinggi. In vitro tunas mulai bera.kar pada media MS basal dengan setengah kekuatan yang ditambah dengan 2,0 mg/l NAA dan menunjukkan pertumbuhan akar yang lebih baik. Tunas yang telah berakar ditransplantasikan ke dalam greenhouse untuk tahap pengerasan/penguatan dan tingkat kelangsungan hidup mereka sekitar 95% pada kondisi lapangan. Pendahuluan Kunyit (Curcuma longa L. cv.Ranga) merupakan jenis tumbuhan herba menahun serta salah satu jenis bumbu yang penting dan termasuk ke dalam famili zingiberaceae. Tumbuhan ini dapat tumbuh dari tinggi 3 kaki hingga 5 kaki. Dibudidayakan secara luas di Asia, India, Cina dan negara-negara beriklim tropis lainnya. Daunnya berbentuk lonjong dengan ujung yang runcing dan memiliki bunga bewarna kuning yang berbentuk corong. Rimpang merupakan bagian tumbuhan yang dapat berfungsi secara medis dan biasa digunakan sebagai obat. Biasanya dibuat dengan cara direbus, dibersihkan, dikeringkan sehingga menghasilkan bubuk berwarna kuning. Rimpang yang kering dari Curcuma longa merupakan bahan dasar untuk membuat bumbu kunyit, yaitu bumbu yang dapat memberi warna kuning pada kari. Kunyit digunakan secara ekstensif dalam makanan sebagai penambah rasa dan pewarna. Kunyit memiliki tradisi panjang yang digunakan dalam bidang pengobatan dan medis Cina dan ilmu pengobatan Ayurveda, terutama sebagai agen anti inflamasi, obat perut kembung, sakit kuning, memperlancar menstruasi, serta pengobatan hematuria, pendarahan dan kolik. Kunyit juga dapat digunakan sebagai obat oles salep untuk penghilang rasa sakit dan peradangan. Penelitian saat ini berfokus pada fungsi kunyit sebagai antioksidan, hepatoprotectif, anti inflamasi, anti kanker dan anti mikroba serta juga digunakan pada penyakit yang menyerang

sistem peredaran darah serta sistem pencernaan. Kunyit mengandung senyawa aktif diantaranya flavonoid, kurkumin, dan minyak atsiri termasuk tumeron, alanton, dan zingiberon. Senyawa lain yang terkandung dalam kunyit adalah gula, protein dan resin (Roses, 1999). Senyawa yang paling sering diteliti adalah kurkumin yang terdiri dari 0,3 sampai 5,4 persen dari semua konstituen yang terkandung dalam kunyit. Studi farmakokinetik pada hewan menunjukkan 40-85 persen kurkumin yang diberikan secara oral, dan lewat melalui saluran pencernaan tidak mengalami perubahan, dengan sebagian besar flavonoid yang diserap dimetabolisme di dalam mukosa usus dan hati. Karena rendahnya tingkat penyerapan, kurkumin sering diformulasikan dengan bromelain untuk meningkatkan penyerapan dan digunakan sebagai anti inflamasi. Kurkumin merupakan metabolit sekunder yang diperoleh dari rimpang kunyit, anti karsinogen yang saat ini digunakan dalam program pengembangan sebagai obat anti kanker (Sakamura, et al 1986). Sedangkan, daun dan batang dari kunyit dapat digunakan sebagai pupuk. Di India, secara etnologi kunyit menempati posisi yang sangat penting sebab biasa digunakan dalam upacara ritual dan sebagai bumbu masakan (Holttum, 1950). Di Orissa, kunyit varietas Ranga dari Kandhamala memonopoli produksi dan diekspor ke berbagai negara. Kunyit dibudidayakan secara konvensional dengan perkembangbiakan vegetatif menggunakan rimpang. Produktivitas yang rendah, kerentanan terhadap penyakit dan harga benih rimpang yang tinggi merupakan kendala utama yang sering dihadapi para petani. Rimpang kunyit memiliki masa dormansi dan hanya tumbuh selama musim hujan. Sebagian besar yang dapat dimakan (rimpang) disimpan untuk cadangan pada musim selanjutnya. Biaya pemeliharaan dengan penanaman tahunan yang tinggi dan padat karya sangat memberatkan para petani biasa. Selain itu, penyakit seperti kebusukan pada rimpang yang disebabkan oleh spesies Pythium dan bercak daun yang disebabkan oleh spesies Taphrina dan Collectrichum. Hal tersebut menyebabkan kerusakan berat selama penyimpanan dan di lapangan sehingga mengakibatkan menurunnya cadangan bahan yang sehat untuk penanaman pada musim selanjutnya. Dalam beberapa dekade terakhir, teknik mikropopagasi menjadi sangat menguntungkan digunakan untuk menanggulangi kendala tersebut pada berbagai tumbuhan yang ditanam secara vegetatif serta baik digunakan pada tanaman hias dan holtikultura. Mengingat jumlah permintaan yang besar, nilai ekonomi serta nilai medis yang tinggi dari kunyit, maka perlu dikembangkan upaya yang cocok bagi para petani dalam menghasilkan bibit cadangan yang bebas dari penyakit

dalam produksi masal melalui teknik kultur jaringan. Ada banyak laporan mengenai perbanyakan secara invitro dari beberapa tumbuhan rimpang seperti jahe, kapulaga, dan Alpania calcarata (Yasuda et al.1987, 1988). Upaya kultur jaringan dari kunyit juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Di Orissa, sebelumnya tidak ada yang pernah menyelesaikan usaha perbanyakan kunyit. Saat ini, penelitian diupayakan untuk menekan biaya dalam perbanyakan kunyit secara in vitro melalui pertumbuhan tunas pada rimpang. Di Orissa, kunyit memiliki reputasi yang sangat baik di pasar nasional maupun internasional sebagai bumbu terbaik. Pekerjaan ini merupakan langkah pertama dalam kemajuan kultur jaringan dari kunyit di Orissa. Oleh karena itu sangatlah diinginkan untuk mengetahui metodologi baku untuk kultur in vitro yang efisien untuk menyediakan pasokan bibit tanaman yang bebas dari penyakit dalam jumlah besar sepanjang tahun untuk memenuhi permintaan pasar dan pengembangan dalam bidang sosial ekonomi bagi para petani di negera tersebut. Bahan dan Metode Sumber Eksplan Rimpang sehat yang bebas penyakit dengan tunas aktif dikumpulkan dari rimpang Curcuma longa L. cv. Ranga dan dibibitkan di kebun percobaan departemen P.G Universitas Botany Utkal. Rimpang yang mengandung tunas aktif tersebut tersebut dipotong sebesar 1,5 2 cm, selanjutnya dicuci dengan teepol (Qualigen, Mumbai India) selama 10 menit dan dibilas beberapa kali menggunakan air mengalir. Permukaan rimpang tersebut selanjutnya disterilkan dengan bavistin 0,3 % diikuti oleh streptomisin 0,2 % selama 10 menit dan kemudian dibilas menggunakan air suling steril dan dipindahkan ke dalam transfer box (kabinet laminar dengan aliran udara). Dalam ruang laminar, rimpang bertunas yang telah dipotong tersebut dicelupkan ke dalam alkohol 70 % selama 30 detik hingga 1 menit, perlakuan selanjutnya diberi 0,1 % merkuri (HGCl2) selama 5 menit. Terakhir, rimpang bertunas yang telah dipotong, dicuci menyeluruh dengan air suling steril dan direndam dengan kertas saring steril dan digunakan sebagai eksplan untuk kultur in vitro sebelum diinokulasi ke dalam media tanam agar (NA) yang steril, sebelum dikemas ke dalam tabung kultur (Smith and Hamill,1996). Media kultur dan kondisi : eksplan yang telah steril ditanam ke dalam media agar Murashige dan Skoog (MS) (1962) yang telah diperkaya dengan berbagai kombinasi dan konsentrasi dari zat pengatur tumbuh (hormon) tumbuhan. Untuk induksi pertumbuhan tunas

medium dilengkapi dengan 0,25, 0,5, 1,0, 1,5, 2,0, 2,5 dan 3,0 mg / l BAP dan 0,25 hingga 0,5 mg / l -naftalen asetat (NAA) baik secara individual maupun dalam kombinasi. Untuk induksi akar, tunas yang telah tumbuh diukur sebesar 4 5 cm selanjutnya ditumbuhkan ke dalam media multiplikasi yaitu media MS dengan setengah resep atau setengah kekuatan yang telah ditambahkan dengan NAA baik (-naftalen asetat) atau IBA (Indole3-butyricacid) dalam konsentrasi 0,25, 0,5, 1,0, 1,5, 2,0, 2,5 dan 3,0 mg/l. PH media diatur sampai 5,8 sebelum diautoklaf pada tekanan 1,04 kg/cm-2 dan suhu 121 C selama 15 - 20 menit. Media Molten sebanyak 20 ml dibagikan ke dalam tabung kultur dan terpasang dengan kapas non penyerap dan dibungkus dalam satu lapisan dari katun. Semua kultur diinkubasi selama 16 jam periode terang / 8 jam pada periode gelap (dingin, dengan lampu neon putih - 30mol m-2s-1). Tanaman kultur diinkubasi pada suhu 25 3 C dibawah cahaya dengan kelembaban relatif 6070 % di ruang kultur. Setiap perlakuan menggunakan 20 tabung kultur dan percobaan diulang tiga kali. Tanaman kultur selanjutnya di sub kultur secara reguler pada interval 2 minggu pada media segar dengan komposisi yang sama. Aklimatisasi Eksplan (mikro propagul) yang telah berakar dipindahkan dari tabung kultur dan akar tersebut dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan media agar yang menempel. Kemudian planlet dipindahkan ke poli pot (cangkir plastik kecil) yang steril yang mengandung vermikulit yang telah direndam (Tamin, India) dan dipelihara di dalam ruang pertumbuhan pada suhu 280 C dan kelembaban relatif 70-80%. Setelah tiga minggu mereka dipindahkan ke pot tanah liat berisi campuran tanah + pasir + pupuk kandang (FYM) dalam rasio 1:1:1 dan disimpan di bawah naungan rumah untuk jangka waktu tiga minggu untuk aklimatisasi. Pengamatan kultur dan presentasi hasil: Dua puluh kultur digunakan dalam tiap perlakuan dan setiap percobaan diulang setidaknya tiga kali. Data yang berkaitan menunjukan persentase dari respon yang ditunjukkan tanaman kultur, jumlah tunas / kultur dan rata-rata persentase perakaran dianalisis secara statistik dengan uji Perbandingan Post-Hoc berganda pada tingkat siginifikansi P < 0,05 (Marascuilo dan McSweency, 1977).

Hasil Pengamatan

Anda mungkin juga menyukai