Abstrak
Luas panen temulawak pada tahun 2000 Teknologi budidaya di tingkat petani
mencapai 433 ha dengan rata-rata produksi masih secara tradisional, belum mengacu
10,7 ton/ha (Direktorat Aneka Tanaman, kepada SOP yang telah ada, mulai dari
2000). Angka tersebut lebih rendah pemilihan lingkungan tumbuh yang tepat,
dibandingkan dengan yang diperoleh dari penggunaan varietas unggul, benih
hasil-hasil penelitian yaitu 20 ton/ha. bermutu, pemupukan yang tepat, dan panen
Mengingat rendahnya produksi yang dapat yang tepat. Sistem budidaya yang demikian
dicapai petani, sedangkan potensi ini kemungkinan disebabkan oleh banyak
pemanfaatannya untuk memenuhi faktor antara lain, a) teknologi hasil-hasil
kebutuhan dalam negeri maupun ekspor penelitian Balittro belum sampai ke petani,
sangat prospektif, maka pengembangan b) petani enggan menerapkan teknologi
temulawak harus diikuti oleh cara budidaya Balittro karena nilai jual temulawak rendah
yang baik agar diperoleh produksi dan mutu dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
yang tinggi serta terstandar baik pada temulawak hasil dari teknologi SOP
budidaya organik maupun konvensional. budidaya dibandingkan dengan budidaya
tradisional. Sistem budidayanya semacam
Sistem usaha budidaya pertanian secara ini menyebabkan produktivitas temulawak
umum adalah sebagai suatu penataan di petani rendah.
kegiatan usaha yang dikelola berdasarkan
kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan Hasil wawancara dengan petani di
sosio ekonomi serta sesuai dengan tujuan, Trenggalek yang sudah mempunyai
kemampuan dan sumber daya yang dimiliki varietas lokal Bathok produktivitasnya
petani (Shaner et al., 1982). Setiap masih rendah (9 t/ha), padahal
usahatani memerlukan input produksi yang produktivitas temulawak yang dihasilkan
berasal dari bahan kimia sintetik dan dari oleh Balittro (calon varietas unggul
bahan alami. Berdasarkan input produksi nasional) dapat mencapai 25 – 30 t/ha
yang digunakan, sistem usahatani dapat rimpang segar. Selain pemilihan varietas
dikatagorikan kedalam 4 kelompok yaitu: yang unggul diduga teknologi budidaya
(1) pertanian tradisional, di mana hanya yang diterapkan masih minim, baik
menggunakan input produksi yang tersedia pemeliharaan, pemupukan dan cara panen.
dari tempat usaha saja, (2) pertanian Menurut informasi dari petani Trenggalek
dalam satu rumpun tanaman hanya Beberapa industri obat menginginkan
menghasilkan satu rimpang induk, xanthorrizolnya tinggi dan industri obat
sedangkan hasil budidaya Balittro dalam yang lain menginginkan kurkuminoid yang
satu rumpun tanaman dapat menghasilkan tinggi. Industri yang menginginkan
tiga hingga lima rimpang induk (Rahardjo xanthorizol tinggi, budidaya temulawak
et al., 2007 dan Rahardjo et al., 2008). Hal diarahkan ke lokasi dataran tinggi, atau
ini menunjukkan bahwa teknologi budidaya mencari temulawak yang ditanam petani di
yang diterapkan oleh petani masih dataran tinggi. Sedangkan bagi industri
sederhana (tradisional). yang menginginkan kurkuminoidnya tinggi
maka budidaya temulawak diarahkan ke
Lingkungan Tumbuh daerah dataran rendah. Data kadar
xanthorizol dan kurkuminoid berdasarkan
Lokasi produksi merupakan salah satu perbedaan tinggi tempat ini masih perlu
faktor penentu terhadap keberhasilan dilakukan penelitian lebih lanjut, karena
produksi secara baik dan benar. Temulawak data tersebut baru merupakan pengamatan
dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, awal. Sehingga pilihan utama dalam
andosol, podsolik dan regosol yang budidaya tanaman temulawak adalah
mempunyai tekstur liat berpasir, gembur, varietas mempunyai kadar xanthorizol dan
subur banyak mengandung bahan organik, kurkuminoid tinggi. Berdasarkan
pH tanah 5,0 – 6,5. Temulawak tumbuh keunggulan tersebut maka para industri
baik pada tipe iklim B dan C menurut obat akan memilihnya sebagai bahan baku.
Oldeman (1975), dengan curah hujan
sekurang-kurangnya 1.500 mm/tahun, Tabel 1. Produksi rimpang segar dari enam
bulan kering 3-4 bulan per tahun, nomor harapan dan satu nomor lokal
temperatur udara rata-rata tahunan 19- temulawak di Kabupaten Bogor,
30oC, kelembaban udara 70-90%. Sumedang, Boyolali, 2006.
Temulawak dapat ditanam di bawah
tegakan dengan tingkat naungan maksimal
25% (Hasanah and Rahardjo, 2008).