Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN BUDIDAYA TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) SEBAGAI

TANAMAN OBAT TRADISIONAL SECARA KONVENSIONAL DAN MODERN


Ni Komang Widiastuti
19121301002
Coresponding author: nkwidyaa1234@gmail.com

Abstrak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) merupakan tanaman asli Indonesia, banyak


ditemukan terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Jakarta, Yogyakarta, Bali,
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan
Sulawesi Selatan. Rimpang temulawak mengandung bahan aktif yang potensial untuk
kesehatan antara lain xanthorrizol, kurkuminoid dan minyak atsiri. Rimpang temulawak
banyak dipergunakan sebagai bahan baku obat tradisional sebagai jamu, herbal terstandar dan
obat fitofarmaka. Teknologi yang mengacu pada SOP budidaya dengan penggunaan varietas
unggul, lingkungan tumbuh yang cocok, benih bermutu, persiapan lahan, cara tanam dan pasca
panen yang tepat akan menghasilkan produksi dan mutu rimpang yang tinggi. Pada umumnya
temulawak diperbanyak dengan menggunakan stek rimpang berasal dari rimpang induk dan
rimpang cabang. Benih harus berasal dari tanaman yang sehat berumur 10 – 12 bulan, bersih,
kulitnya licin mengkilap, bebas dari hama dan penyakit. Rimpang induk untuk benih dapat
dibagi menjadi 2 – 4 bagian, ukurannya sekitar 20 – 40 g/benih yang mempunyai 2 -3 mata
tunas. Tingkat pemupukan pupuk organik dan anorganik (N, P dan K) mempengaruhi produksi
rimpang dan mutu. Kebutuhan pupuk N (Urea), P (SP36) dan K (KCl) harus disesuaikan
dengan kondisi kesuburan tanah. Pada status kesuburan tanah dengan kandungan N rendah, P
cukup dan K cukup pada iklim tipe B, produksi rimpang tertinggi (25,46 t/ha) dicapai pada
pemupukan pupuk kandang 20 t/ha, urea 300 kg/ha, SP36 200 kg/ha, dan KCl 200 kg/ha.
Tanaman temulawak siap dipanen pada umur 10 – 12 bulan, dengan dicirikan tanaman sudah
senescen (mengering batang dan daunnya). Pada budidaya temulawak modern, perendaman
rimpang temulawak dengan urin sapi dan air kelapa memberikan hasil yang baik, semakin
tinggi nilai vigor hipotetik yang didapat, semakin baik kualitas dari bibit temulawak.

Kata kunci: Curcuma xanthorrhiza Roxb, teknologi budidaya

PENDAHULUAN dimanfaatkan sebagai obat dan mempunyai


klaim manfaat untuk penyembuhan jenis
Temulawak (Curcuma xanthorhiza penyakit terbanyak (24 jenis penyakit), oleh
Roxb) merupakan tanaman obat asli karena itu pada tahun 2004 pemerintah
Indonesia (Prana, 1985), disebut juga mencanangkan temulawak sebagai
Curcuma javanica (Badan POM, 2004). “Minuman Kesehatan Nasional”
Sebagai bahan baku obat, jumlah
kebutuhan temulawak untuk Industri Obat Rimpang temulawak mengandung
Tradisional dan Industri Kecil Obat minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak,
Tradisional menduduki peringkat pertama kamfer, serat kasar dan kalsium klorida
di Jawa Timur dan peringkat kedua di Jawa (Quissumbing dalam Agusta dan Chaerul,
Tengah (Kemala et al., 2003). Temulawak 1994). Minyak atsiri dari temulawak
mengandung banyak sekali komponen yang modern dicirikan oleh penggunaan varietas
bermanfaat antara lain berpotensi sebagai unggul disertai input produksi dari luar
senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, tempat usaha, seperti pupuk dan pestisida
meningkatkan sekresi empedu, anti sintetik, (3) pertanian dengan input
hipertensi, melarutkan kolesterol, eksternal rendah (Low External Input
merangsang air susu (laktagoga), tonik bagi Sustainable Agriculture = LEISA) dengan
ibu pasca melahirkan, peluruh haid, anti prinsip mengoptimalkan interaksi antara
bakteri, pewarna makanan dan kain, serta input produksi dengan unsur-unsur
bahan kosmetik (Direktorat Aneka agroekosistem, (4) pertanian organik,
Tanaman, 2000). Curcumin dan merupakan bentuk usahatani yang tidak
xanthorrhizol merupakan komponen bahan menggunakan sama sekali bahan kimia
aktif utama dari minyak atsiri temulawak sintetik dan mengandalkan sepenuhnya
yang berkhasiat obat. Xanthorrhizol adalah penggunaan bahan organik alami, termasuk
komponen minyak atsiri khas temulawak phosphat alam, tepung kapur dan lainnya
(Oei Ban Liang dalam Sidik et al., 1997). (FAO, 2000).

Luas panen temulawak pada tahun 2000 Teknologi budidaya di tingkat petani
mencapai 433 ha dengan rata-rata produksi masih secara tradisional, belum mengacu
10,7 ton/ha (Direktorat Aneka Tanaman, kepada SOP yang telah ada, mulai dari
2000). Angka tersebut lebih rendah pemilihan lingkungan tumbuh yang tepat,
dibandingkan dengan yang diperoleh dari penggunaan varietas unggul, benih
hasil-hasil penelitian yaitu 20 ton/ha. bermutu, pemupukan yang tepat, dan panen
Mengingat rendahnya produksi yang dapat yang tepat. Sistem budidaya yang demikian
dicapai petani, sedangkan potensi ini kemungkinan disebabkan oleh banyak
pemanfaatannya untuk memenuhi faktor antara lain, a) teknologi hasil-hasil
kebutuhan dalam negeri maupun ekspor penelitian Balittro belum sampai ke petani,
sangat prospektif, maka pengembangan b) petani enggan menerapkan teknologi
temulawak harus diikuti oleh cara budidaya Balittro karena nilai jual temulawak rendah
yang baik agar diperoleh produksi dan mutu dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
yang tinggi serta terstandar baik pada temulawak hasil dari teknologi SOP
budidaya organik maupun konvensional. budidaya dibandingkan dengan budidaya
tradisional. Sistem budidayanya semacam
Sistem usaha budidaya pertanian secara ini menyebabkan produktivitas temulawak
umum adalah sebagai suatu penataan di petani rendah.
kegiatan usaha yang dikelola berdasarkan
kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan Hasil wawancara dengan petani di
sosio ekonomi serta sesuai dengan tujuan, Trenggalek yang sudah mempunyai
kemampuan dan sumber daya yang dimiliki varietas lokal Bathok produktivitasnya
petani (Shaner et al., 1982). Setiap masih rendah (9 t/ha), padahal
usahatani memerlukan input produksi yang produktivitas temulawak yang dihasilkan
berasal dari bahan kimia sintetik dan dari oleh Balittro (calon varietas unggul
bahan alami. Berdasarkan input produksi nasional) dapat mencapai 25 – 30 t/ha
yang digunakan, sistem usahatani dapat rimpang segar. Selain pemilihan varietas
dikatagorikan kedalam 4 kelompok yaitu: yang unggul diduga teknologi budidaya
(1) pertanian tradisional, di mana hanya yang diterapkan masih minim, baik
menggunakan input produksi yang tersedia pemeliharaan, pemupukan dan cara panen.
dari tempat usaha saja, (2) pertanian Menurut informasi dari petani Trenggalek
dalam satu rumpun tanaman hanya Beberapa industri obat menginginkan
menghasilkan satu rimpang induk, xanthorrizolnya tinggi dan industri obat
sedangkan hasil budidaya Balittro dalam yang lain menginginkan kurkuminoid yang
satu rumpun tanaman dapat menghasilkan tinggi. Industri yang menginginkan
tiga hingga lima rimpang induk (Rahardjo xanthorizol tinggi, budidaya temulawak
et al., 2007 dan Rahardjo et al., 2008). Hal diarahkan ke lokasi dataran tinggi, atau
ini menunjukkan bahwa teknologi budidaya mencari temulawak yang ditanam petani di
yang diterapkan oleh petani masih dataran tinggi. Sedangkan bagi industri
sederhana (tradisional). yang menginginkan kurkuminoidnya tinggi
maka budidaya temulawak diarahkan ke
Lingkungan Tumbuh daerah dataran rendah. Data kadar
xanthorizol dan kurkuminoid berdasarkan
Lokasi produksi merupakan salah satu perbedaan tinggi tempat ini masih perlu
faktor penentu terhadap keberhasilan dilakukan penelitian lebih lanjut, karena
produksi secara baik dan benar. Temulawak data tersebut baru merupakan pengamatan
dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, awal. Sehingga pilihan utama dalam
andosol, podsolik dan regosol yang budidaya tanaman temulawak adalah
mempunyai tekstur liat berpasir, gembur, varietas mempunyai kadar xanthorizol dan
subur banyak mengandung bahan organik, kurkuminoid tinggi. Berdasarkan
pH tanah 5,0 – 6,5. Temulawak tumbuh keunggulan tersebut maka para industri
baik pada tipe iklim B dan C menurut obat akan memilihnya sebagai bahan baku.
Oldeman (1975), dengan curah hujan
sekurang-kurangnya 1.500 mm/tahun, Tabel 1. Produksi rimpang segar dari enam
bulan kering 3-4 bulan per tahun, nomor harapan dan satu nomor lokal
temperatur udara rata-rata tahunan 19- temulawak di Kabupaten Bogor,
30oC, kelembaban udara 70-90%. Sumedang, Boyolali, 2006.
Temulawak dapat ditanam di bawah
tegakan dengan tingkat naungan maksimal
25% (Hasanah and Rahardjo, 2008).

Temulawak dapat tumbuh pada


ketinggian tempat 5 hingga 1500 m dpl,
tetapi untuk budidaya yang optimal
disarankan pada ketinggian tempat 100 –
600 m dpl. Terdapat perbandingan terbalik
antara kandungan xanthorrizol dan
kurkuminoid pada temulawak dengan
ketinggian tempat lokasi pengembangan Hasil penelitian menunjukkan terdapat
(Rahardjo et al., 2007). Pengembangan aksesi varietas temulawak yang
temulawak di dataran tinggi (800 m dpl) mempunyai kandungan xanthorizol dan
cenderung semakin tinggi kandungan kurkuminoid lebih tinggi dibandinngkan
xanthorrizolnya, dan semakin rendah dengan aksesi temulawak lainnya (Tabel 2).
kandungan kurkuminoidnya. Sedangkan Aksesi A, D, dan F mempunyai kandungan
pengembangan temulawak di dataran xanthorizol dan kurkuminoid relatif lebih
rendah (200 m dpl) kandungan xanthorrizol tinggi dibandingkan dengan aksesi B, E,
semakin rendah dan semakin tinggi dan C (Tabel 2). Aksesi B dan E
kandungan kurkuminoidnya. mempunyai kadar xanthorizol tinggi tetapi
kandungan kurkumi-noid rendah, D mencapai 2,4 kali, aksesi F potensi
sedangkan aksesi C mempunyai kandungan produksinya 2,2 kali produksi rata-rata
kurkuminoid tinggi tetapi kadar xanthorizol nasional (Tabel 1).
rendah. Pilihan aksesi temulawak untuk
dibudidayakan adalah pada aksesi A, D, Enam aksesi temulawak tersebut
dan F sekarang sudah dilepas menjadi produkti vitasnya lebih tinggi
varietas unggul nasional dengan nama dbandingkan dengan produksi rata-rata
masing-masing Cursina 1, Cursina 2 dan nasional maupun dengan pembanding
Cursina 3, karena mempunyai kandungan nomor aksesi lokal di masing masing
xanthorizol dan kurkuminoid relatif lebih tempat penelitian (Tabel 1). Apabila
tinggi. dibandingkan dengan produksi varietas
Bathok (unggul lokal Trenggalek), ke enam
Table 2. Rata-rata kandungan bahan aktif aksesi tersebut juga lebih unggul
xanthorrizol dan kurkuminoid rimpang produksinya. Oleh karena itu dalam
aksesi temulawak. budidaya tanaman, pemilihan atau
penentuan varietas yang dipergunakan
merupakan salah satu faktor penting.

Aksesi C produktivitas rimpangnya


terendah, secara visual tanaman ini lebih
pendek, dan aroma daunnya menyerupai
aroma kunyit, warna dan aroma
rimpangnya juga menyerupai kunyit,
bahkan kandungan kurkuminoidnya juga
Variates Unggul tinggi seperti kunyit (Tabel 2), sehingga
tanaman ini merupakan tanaman peralihan
Balittro telah menguji sebanyak 6 aksesi antara kunyit dan temulawak. Hasil uji
sebagai calon varietas unggul nasional multilokasi ke enam aksesi temulawak telah
temulawak, ke enam aksesi ini merupakan diusulkan tiga nomor menjadi varietas
hasil seleksi dari 20 aksesi yang berasal dari unggul nasional (akesi A, D, dan F).
wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil uji Pemilihan ke tiga nomor yang diunggulkan
multi lokasi ke 6 aksesi temulawak tersebut tersebut tidak semata-mata dari tinggi
terpilih 3 aksesi temulawak yang diusulkan produksi rimpangnya, namun keunggulan
menjadi calon varetas unggul nasional. kandungan zat aktif dan stabilitas hasil
Rata – rata hasil rimpang segar dari tiga termasuk menjadi pertimbangan. Pilihan
lokasi pengujian masing – masing 28,199 terhadap suatu varietas berdaya hasil dan
t/ha (35,9% lebih tinggi), 25,463 t/ha mutu tinggi merupakan salah satu faktor
(22,7% lebih tinggi), 25,856 t/ha (24,6% untuk keberhasilan dalam budidaya
lebih tinggi), 25,996 t/ha (25,3% lebih tanaman. Keunggulan varietas temulawak
tinggi), dan 23,576 t/ha (13,6% lebih tinggi) tidak ditentukan oleh tingginya produksi
dibandingkan nomor lokal 20,755 t/ha rimpang saja, tetapi juga ditentukan oleh
(Setiono et al., 2007). Apabila tingginya bahan aktif yang terkandung di
dibandingkan dengan produksi rata-rata dalam rimpang. Bahan aktif sebagai
nasional menunjukkan bahwa hasil penanda temulawak terutama adalah
rimpang segar ke enam aksesi tersebut jauh xanthorrizol berikutnya adalah
lebih tinggi. Potensi hasil rimpang segar kurkuminoid. Kandungan xanthorrizol
akasesi A mencapai 2,6 kali, aksesi B dan rimpang temulawak berkisar antara 0,53 –
0,64% dan kandungan kurkuminoid tersebut apabila ditanam dapat berproduksi
berkisar antara 2,09 – 3,15%. Aksesi secara maksimal atau kapasitas genetikanya
temulawak yang diusulkan untuk menjadi dapat ditampilkan semaksimal mungkin.
varietas unggul nasional adalah nomor Dilihat dari sisi teknologi, benih harus
aksesi A, D dan F, selain produktivitas benar, benar sifat-sfatnya dan karakternya,
rimpang tinggi dan relatif stabil di tiga dapat dibuktikan kebenaran
lokasi pengujian (Cileungsi, Sumedang dan karakteristiknya sesuai dengan diskripsi
Boyolali), kandungan xanthorrizolnya dan sifat-sifat genetiknya.
tinggi dibandingkan dengan aksesi lainnya
(Tabel 2). Terdapat dua jalur metode untuk
memproduksi benih temulawak, yaitu
Pilihan aksesi temulawak untuk melalui in vitro dan konvensional. Metode
dibudi dayakan berdasarkan kandungan in-vitro untuk menghasilkan benih sehat
xanthorizol dan kurkuminoid adalah pada berkualitas tinggi, telah dan sedang
aksesi A, D, dan F (Tabel 2). Lokasi dilakukan Balittro, hingga saat sekarang.
budidaya temulawak berdasar kan Benih yang akan dipergunakan harus jelas
penelitian ini di arahkan pada ketinggian asal usulnya, jelas varietasnya, jelas kelas
tempat antara 200 – 800 m dpl. Berdasarkan benihnya (kelas benih penjenis, dasar,
pengamatan awal budidaya temulawak pokok, atau sebar). Benih harus jelas nama
pada ketinggian tempat 900 m dpl ke atas varietasnya, sehingga sifat-sifat atau
mengalami penurunan produksi rimpang. karakter genetiknya tidak salah dengan
Sehingga budidaya temulawak yang varietas lain. Kapasitas produksi dan
optimal adalah pada ketinggian tempat 200 keunggulan genetiknya secara optimal
– 800 m dpl, dengan menggunakan varietas dapat muncul.
yang unggul kadar xanthorizol dan
kurkuminoidnya seperti aksesi A, D, dan F Benih yang sehat adalah yang berasal
(Tabel 2). dari tanaman induk yang sehat, tidak
disarankan menggunakan benih berasal dari
Benih Bermutu tanaman yang telah terinfeksi oleh OPT
atau tanaman sakit. Temulawak pada
Faktor lain sebagai penentuan pada umumnya diperbanyak dengan rimpang,
keberhasilan budidaya temulawak, selain menggunakan rimpang induk maupun
penggunaan varietas unggul adalah mutu rimpang anak (cabang). Rimpang untuk
benih. Benih yang sehat dan berviabilitas benih disarankan berasal dari tanaman yang
tinggi merupakan faktor input yang paling terpilih varietasnya, sehat tanamannya,
menentukan produktivitas tanaman, umur tanaman mencapai optimal (10-12
disamping faktor lainnya seperti pupuk, air, bulan) setelah tanam. Rimpang untuk benih
dan keberadaan organisme pengganggu warna kulitnya mengkilap dan bernas
tanaman. Tingkat keberhasilan budidaya karena telah cukup umurnya, dan tidak
tanaman lebih kurang 40% ditentukan oleh terdapat gejala serangan hama dan penyakit
kualitas benih (Rahardjo, 2001). Benih (Rahardjo, 2001).
secara struktural adalah merupakan bakal
tanaman, berarti benih harus hidup dapat Benih temulawak yang dipakai bisa
menghasilkan keturunan yang seharusnya berasal dari rimpang induk dan rimpang
mempunyai sifat sifat unggul dari cabang (Sukarman et al., 2007). Benih
induknya. Benih secara fungsional berasal dari rimpang induk yang ukurannya
merupakan sarana produksi, sehingga benih besar dapat dibagi menjadi 2 atau 4 bagian
dengan cara memotong (membelah). relatif panjang, sehingga petani sedikit
Rimpang induk yang dibagi menjadi 8 enggan menanamnya. Petani lebih memilih
bagian tidak disarankan karena tanaman yang mempunyai umur panen
viabilitasnya menurun (Sukarman et al., pendek seperti jagung, kacang tanah,
2007). Benih yang berasal dari rimpang kedelai, padi huma dan palawija lainnya.
cabang berukuran besar dapat dilakukan Oleh karena itu untuk merangsang agar
pemotongan, ukuran benih disarankan 20- petani tertarik menanam temulawak, teknik
40 g/potong benih, setiap benih diusahakan budidayanya perlu dirubah dengan
mempunyai 2 sampai 3 mata tunas. Benih menggunakan sistem pola tumpangsari
yang telah dipotong diusahakan di taburi dengan tanaman palawija. Temulawak bisa
oleh abu sekam, untuk mencegah terjadinya ditanam dengan jarak tanam 75 x 60 cm
infeksi hama dan penyakit. Kemudian atau 75 x 50 cm pada pola tumpang sari, dan
benih disemaikan di tempat pesemaian jarak tanam 50 x 50 cm pada pola mono
dihampar di tempat teduh yang lembab dan kultur.
gelap dengan menyiraminya dengan air
bersih. Setelah benih keluar tunas Sistem pola tumpangsari yang
panjangnya lebih kurang 0,5 – 1 cm, atau disarankan ke petani agar menaman
selama lebih kurang 1-2 minggu di tanaman lain yang berumur pendek di sela-
pesemaian, benih dapat dipindahkan ke sela tanaman temulawak, seperti padi gogo
lapangan. dan kacang tanah (Syakir et al., 2008), serta
dengan jagung, sehingga pendapatan petani
Pola Tanam Temulawak bertambah. Sebelum temulawak
menghasilkan, petani mendapatkan
Musim tanam temulawak biasanya di tambahan hasil dari panen padi gogo,
awal musim hujan dan masa panennya di kacang tanah maupun jagung. Hasil
musim kemarau. Pada musim kemarau penelitian menunjukkan produksi rimpang
tanaman temulawak mengalami senescen, segar temulawak yang ditumpangsarikan
batang dan daunnya mengering, ciri ini dengan padi gogo mencapai 18,5 kg dan
menunjukkan bahwa tanaman siap untuk yang ditump angsarikan dengan kacang
dipanen. Umur optimal temulawak siap tanah mencapai 20,5 kg/m2 (Syakir et al.,
dipanen berkisar antara 10 – 12 bulan 2008). Produktivitas temulawak yang
setelah tanam. Namun temulawak bisa ditumpang-sarikan dengan kacang tanah
ditunda masa panennya hingga tahun lebih tinggi dibandingkan dengan padi
berikut nya, sampai 1, 2 atau 3 tahun gogo. Diduga tanaman kacang tanah dapat
kemudian, dengan ukuran rimpang menjadi menambah kesuburan tanah terutama hara
lebih besar. Penundaan masa panen N, karena kacang tanah mampu menambat
dilakukan, biasanya untuk menghindari N dari udara.
nilai jual yang rendah. Petani tidak mau
memanen temulawak jika harganya rendah. Temulawak selain dapat ditanam
Temulawak dipanen apabila ada melalui sistem pola tumpangsari dengan
permintaan pasar, atau harga jualnya tanaman palawija juga dapat ditanam di
memadai. bawah tegakan (Syakir et al., 2008, dan
Yusron dan Januwati, 2005). Produksi
Temulawak belum banyak rimpang segar temulawak yang ditanam di
dibudidayakan secara luas dan intensif, bawah tegakan melalui sistem pola
sehingga produktivitas rendah. Tanaman tumpangsari dengan padi gogo mencapai
temulawak mempunyai umur panen yang 14,5 kg/m2, sedangkan peneliti lain
melaporkan bahwa temulawak yang Balittro-2 dan Balittro-3 (Rahardjo dan
ditanam di bawah tegakan hanya mencapai Ajijah, 2007). Tanggap setiap nomor aksesi
11, 04 t/ha (Yusron dan Januwati, 2005). temulawak terhadap pemupukan tidak
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh sama, ada yang respon terhadap
perbedaan cara pemeliharaan, jenis pemupukan anorganik dan ada yang tidak
(varietas) yang ditanam, dan tingkat respon (Rahardjo et al., 2008). Salah satu
kesuburan tanah. aksesi temulawak yaitu Balittro 2 sangat
respon terhadap pemupukan anorganik.
Pemupukan
Tanaman yang dipupuk organik (pupuk
Saat ini temulawak ditanaman petani kandang) hasil rimpang segarnya 15,2 t/ha,
pada umumnya tidak menggunakan pupuk sedangkan jika dipupuk anorganik menjadi
anorganik, temulawak tumbuh sendiri 22,31 t/ha, namun aksesi Balittro 3 hasil
bahkan tanpa dipelihara, seolah tumbuh rimpang segar yang dipupuk organik
liar. Dan walaupun suda masa panen petani mencapai 17,83 t/ha, setetah dipupuk
tidak langsung memanen. Akan dipanen anorganik hanya mencapai 21,11 t/ha
bila sehingga rimpang yang seperti ini (Rahardjo et al., 2008). Apabila ingin
menjadi rendah nilai jualnya, industri selalu melakukan pemupukan organik pilihannya
mengklaim mutunya rendah dan tidak dapat adalah menggunakan aksesi Balittro 3,
memenuhi standar. Untuk mendapatkan sedangkan untuk budidaya intensif dengan
mutu yang standar, temulawak harus pemupukan anorganik pilihannya adalah
ditanam sesuai dengan SOP budidaya. aksesi Balittro 1.
Sebagian kalangan industri menginginkan
temulawak dihasilkan dari budidaya Hasil rimpang segar lebih rendah pada
dengan hanya dipupuk organik (pupuk tanaman yang hanya dipupuk organik
kandang) saja, tidak dipupuk anorganik dan (pupuk kandang 15,20 – 17,83 t/ha),
tidak meng gunakan pestisida sintetis. dibandingkan dengan tanaman yang juga
Sebagian kalangan industri lainnya tidak dipupuk anorganik (19,64 – 22,31 t/ha).
memper-masalahkan hasil temulawak dari Hasil rimpang segar temulawak ditentukan
budidaya dengan pupuk organik maupun oleh tingkat kesuburan dan pemupukan.
anorganik asal tidak diperlakukan Tanaman yang dipupuk, hasil rimpangnya
penggunaan pestisida sentetis. lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman
yang tidak dipupuk. Produksi bahan aktif
Penggunaan varietas unggul pada juga akan lebih banyak apabila tanaman
budidaya temulawak hingga saat ini belum mendapatkan perlakuan pupuk. Pupuk yang
terealisir karena varietas unggul nasional dipersyaratkan pada SOP budidaya
baru akan ada pada tahun 2010, walaupun temulawak adalah pupuk organik (pupuk
telah ada varietas unggul lokal (varietas kandang), Urea, SP36 dan KCl. Secara
Bathok) yang berasal dari Trenggalek Jawa umum pupuk yang diajurkan pada SOP
Timur. Namun menurut informasi dari budidaya temulawak adalah 10-20 t/ha
petani setempat (Trenggalek) pupuk kandang, 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha
produktivitasnya relatif rendah, lebih SP36 dan 100 kg/ha KCl (Rahardjo dan
kurang 9 t/ha, sedangkan produktivitas Rostiana, 2005). Untuk masa mendatang
aksesi calon varietas unggul nasional bisa harus di cari SOP budidaya temulawak
mencapai 17 - 33 t/ha (Tabel 1). Selain khususnya kebutuhan pupuk disesuaikan
keenam aksesi tersebut di atas, terdapat tiga dengan tingkat kesuburan tanah dan
aksesi temulawak lainnya yaitu Balitro-1, spesifik lokasi. Hal ini akan meningkatkan
efisiensi budidaya dan produktivitas anorganik yang dapat mencapai 20 t/ha
tanaman yang tepat. (Rahardjo dan Ajijah, 2007). Hasil
penelitian lainnya, budidaya menggunakan
Jumlah pupuk yang diberikan harus pupuk bio yang dicampur dengan pupuk
mengacu kepada tingkat kesuburan tanah, anorganik dosis rendah menunjukkan
karena setiap lokasi mempunyai tingkat produktivitas temulawak mencapai 7,84 –
kesuburan yang berbeda. Tanah yang subur 11,28 t/ha relatif lebih rendah, hal ini
jumlah pupuk yang diberikan akan berbeda mungkin disebabkan oleh perbedaan
dengan tanah yang kurang subur. Hasil kesuburan dan tipe iklim lokasi penanaman
penelitian menunjukkan bawah pada tanah (Yusron, 2009).
yang status kandungan N rendah,
pemupukan N bertingkat dengan dosis 100, Perlakuan pemupukan pada budidaya
200 dan 300 kg Urea/ha menunjukkan temulawak hingga saat ini belum diperoleh
menghasilkan rimpang segar terus pengaruhnya terhadap peningkatan kadar
meningkat hingga pemberian dosis 300 bahan aktif rimpang temulawak terutama
kg/ha Urea (Rahardjo et al., 2007). Namun terhadap xanthorrizol. Pengaruh
dosis pupuk SP36 dan KCl dengan pemupukan hanya mampu meningkatkan
masing masing dosis 100, 200 dan 300 produksi rimpang, namun dengan
kg/ha menunjukkan hasil rimpang segar meningkatnya produksi rimpang
tertinggi pada dosis 200 kg/SP36 dan 200 diharapkan secara otomatis meningkatkan
kg/ha KCl, pada status kandungan hara P jumlah bahan aktif (xanthorrizol dan
dan K tanah cukup. Pada kondisi status kurkuminoid yang diperoleh (Rahardjo et
kesuburan tanah dengan kandungan hara N al., 2007). Namun pada penelitian tanaman
rendah, P cukup, dan K cukup, hasil Zingiberaceae lainnya (kunyit) pemupukan
rimpang segar tertinggi (25,46 t/ha) dicapai K dapat meningkatkan kadar bahan aktif
pada perlakuan pupuk 300 kg/ha Urea, 200 kurkumin (Akamine et al., 2007). Diduga
kg/ha SP36 dan 200 kg/ha KCl (Rahardjo et pemupukan K juga berpengaruh terhadap
al., 2007). Untuk menghasilkan rimpang meningkatnya kadar xanthorrizol dan
segar 25,46 t/ha, tanaman memerlukan hara kurkumin pada temulawak, oleh karena itu
N, P dan K masing-masing 193,44 kg, perlu penelitian lanjutan.
21,05 kg dan 221,34 kg/ha. Hara K paling
banyak diserap atau diperlukan oleh Panen dan Pasca Panen
temulawak, kemudian berikutnya hara N,
sedangkan kebutuhan hara P lebih rendah Umur panen temulawak dicirikan
dibandingkan kebutuhan N dan K. Namun dengan mengeringnya semua bagian
biasanya ketersediaan hara P di dalam tanah vegetatif tanaman (batang dan daun),
relatif lebih rendah dibandingkan hara N biasanya terjadi pada tanaman umur 10 – 12
dan K, maka dosis pupuk P yang diberikan bulan, di musim kemarau. Pada kondisi
tetap lebih banyak jumlahnya. demikian asimilat di bagian vegetatif sudah
diretranslokasikan ke bagian rimpang,
Untuk mengarah ke pertanian organik, sehingga diharapkan kualitas rimpang telah
telah dicoba budidaya organik temulawak mencapai optimal. Pada umumnya rimpang
dengan menggunakan pupuk organik induk dipergunakan sebagai bahan baku
ditambah pupuk bio. Hasilnya industri jamu dan obat, sedangkan rimpang
menunjukkan bahwa produktivitas rimpang cabang (anak rimpang) dipergunakan
antara 14,21 – 16,59 t/ha, produksinya tidak sebagai benih. Sebagai bahan baku jamu
setinggi dengan meng gunakan pupuk dan obat, rimpang hendaknya dijaga
kebersihannya, dicuci dengan air bersih, SP-36, dan pupuk KCl. Parameter yang
dirajang tipis-tipis kemudian dijemur. diamati adalah jumlah rimpang bertunas
Perajangan dilakukan dengan ketebalan + 4 sebagai dasar penghitungan daya bertunas
- 7 mm. dan indeks vigor serta tinggi tanaman (cm),
jumlah daun (helai), diameter batang (cm),
Hasil rajangan (simplisia) tersebut luas daun, dan berat kering akar (g) sebagai
kemudian dijemur di bawah sinar matahari dasar penghitungan nilai vigor hipotetik
atau dikeringkan di dalam oven. Simplisia (Karimah et al., 2013).
yang dikeringkan di bawah sinar matahari
ditutupi dengan kain hitam, diusahakan Dari analisis varian yang dilakukan
tidak terkena langsung sinar matahari. (Tabel 1.) dapat diketahui bahwa perlakuan
Sedangkan yang dikeringkan di dalam oven perendaman dengan air kelapa konsentrasi
diusahakan suhunya tidak lebih dari 400C. 50% menunjukkan beda nyata lebih baik
Pelaksanaan pengeringan diakhiri setelah dibanding perlakuan lain yaitu perlakuan
kadar air simplisia mencapai + 10%. Pada perendaman dengan air kelapa konsentrasi
kondisi demikian diharapkan simplisia 25% dan 75%, perlakuan perendaman
terbebas dari jamur dan OPT lainnya. dengan urin sapi konsentrasi 25%, 50%,
Simplisia yang sudah kering bisa dikemas dan 75%, dan perlakuan kontrol
pada kemasan plastik kedap udara untuk perendaman dalam akuades dan tanpa
disimpan sementara atau dikirim ke tempat perendaman.
pembuatan jamu atau obat.
Semakin tinggi nilai vigor hipotetik
Teknik Budidaya Temulawak Modern yang didapat, semakin baik kualitas dari
bibit temulawak. Dari hasil analisis data
Perendaman Rimpang Temulawak yang dilakukan, nilai indeks vigor hipotetik
(Curcuma xanthorriza Roxb.) Dalam Urin temulawak menunjukkan tidak adanya beda
Sapi Dan Air Kelapa Untuk Mempercepat nyata. Nilai dari komponenkomponen
Pertunasan penyusun vigor hipotetik seperti tinggi
tanaman, diameter batang, jumlah daun,
Secara umum vigor dapat diartikan luas daun, dan berat kering akar juga tidak
sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menunjukkan adanya beda nyata. Hal ini
optimal pada lingkungan yang sub optimal. menunjukkan bahwa vigor hipotetik dan
Vigor benih dicerminkan oleh dua daya bertunas rimpang pada penelitian ini
informasi tentang viabilitas, yaitu kekuatan lebih dipengaruhi oleh faktor genetik yang
tumbuh dan daya simpan benih. Kedua nilai ada pada tanaman. Faktor genetik ini dapat
fisiologis ini menempatkan benih pada berupa sifat menurun (hereditas) atau
kemampuannya untuk menjadi tanaman kandungan hormon endogen pada rimpang.
meskipun keadaan biofisik lapangan Efektivitas hormon yang terkandung dalam
produksi sub optimal atau sesudah benih air kelapa dan urin sapi bergantung pada
melampaui periode simpan yang cukup kadar fitohormon (hormon tumbuhan) yang
lama (Sutopo, 1995). dihasilkan oleh temulawak. Menurut
Djamhari (2010), Zat Pengatur Tumbuh
Bahan yang digunakan pada penelitian
yang diaplikasikan pada tanaman berfungsi
adalah rimpang temulawak usia 10-12
untuk memacu pembentukan fitohormon.
bulan yang berasal dari daerah Tempel,
Hormon dapat merangsang,
Sleman, urin sapi limusin betina, air kelapa
membangkitkan, atau mendorong suatu
hijau, pupuk kandang, pupuk urea, pupuk
aktivitas biokimia. Dengan demikian,
fitohormon sebagai senyawa organik yang memberikan hasil yang baik, semakin
bekerja aktif dalam jumlah sedikit tinggi nilai vigor hipotetik yang didapat,
ditransformasikan ke seluruh bagian semakin baik kualitas dari bibit temulawak.
tanaman sehingga dapat mempengaruhi
pertumbuhan atau proses-proses fisiologi DAFTAR PUSTAKA
tanaman (Karimah et al., 2013).
Agusta, A. dan Chaerul, 1994. Analisis
KESIMPULAN komponen kimia minyak atsiri dari
rimpang temulawak (Curcuma
Teknologi budidaya yang mengacu xanthorrhiza Roxb.). Prosiding
kepada SOP budidaya, menggunakan Simposium Penelitian Bahan Obat
varietas terpilih dan pemupukan yang tepat Alami VIII, hal. : 643 – 647.
produktivitasnya dapat mencapai + 25 t/ha.
SOP budidaya temulawak yang tersedia Akamine, H., Md. A. Hossain, Y. Ishimine,
pada saat ini masih bersifat umum, oleh K. Yogi, K. Hokama, Y. Iraha and
karena itu perlu SOP budidaya yang Y. Aniya. 2007. Effect of
bersifat spesifik terutama yang berwawasan application of N, P and K alone or in
lingkungan tumbuh, tingkat kesuburan combination on growth, yield and
lahan dan penggunaan varietas terpilih. curcumin content of turmeric
Pada status kesuburan tanah dengan (Curcuma longa L.). Palnt Prod. Sci.
kandungan N rendah, P cukup, dan K 10(1):151-154.
cukup, produksi rimpang mencapai 25,46
t/ha, dihasilkan pada perlakuan pemupukan Badan Pengawas Obat dan Makanan
300 kg Urea/ha, 200 kg SP36/ha, dan 200 (BPOM) RI., 2004. Informasi
kg KCl/ha. Untuk menghasilkan rimpang Temulawak Indonesia, 36 hal.
segar 25,46 t/ha, tanaman memerlukan hara
Direktorat Aneka Tanaman, 2000.
N, P dan K masing masing 193,44 kg,
Budidaya Tanaman Temulawak.
21,05 kg dan 221,34 kg/ha. Terdapat satu
Jakarta. 44 hal.
varietas unggul lokal Bathok banyak
dibudidayakan di Trenggalek pada dataran Djamhari, S. 2010. Memecah dormansi
rendah. Balittro telah melepas tiga varietas rimpang temulawak (curcuma
unggul nasional temulawak dengan nama xanthorriza R.) menggunakan
Cursina 1, Cursina 2 dan Cursina 3, yang larutan atonik dan stimulasi
mempunyai produktivitas dan kandungan perakaran dengan aplikasi auksin.
bahan aktif lebih tinggi dibandingkan Jurnal Sains dan Teknologi
dengan varietas Bathok dan aksesi lokal Indonesia 12 (1): 66-70.
lainnya. Budidaya temulawak disarankan
pada dataran rendah hingga menengah (200 FAO, 2000. Organic Farming : Demand for
m dpl – 800 m dpl), karena di dataran tinggi organic products has created new
produktivitasnya rendah. Budidaya yang export opportunities for the
menerapkan SOP dapat meningkatkan develoing world.
pendapatan bersih usaha budidaya htpp://www/fao.org/magazine.
temulawak yang semula Rp.2.287.500/ha spotlight.organic farming.html.
bisa menjadi Rp.4.955.000 -
Rp.6.455.000/ha. Pada budidaya Hasanah, M. and M. Rahardjo. 2008.
temulawak modern, perendaman rimpang Javanes turmeric cultivation.
temulawak dengan urin sapi dan air kelapa Proceeding of the first international
symposium on temulawak. Cibinong Bogor. Buletin Penelitian
Biopharmaca Research Center Tanaman Rempah dan Obat.
Bogor Agricultural University, Hlm 18(1):29-38.
207-212.
Rahardjo, M., Rosita SMD, E. Djauhariya,
Karimah, A., Purwanti, S., & Rogomulyo, N. Bermawie, E.R. Pribadi, H.
R. (2013). Kajian perendaman Nurhayati, Kosasih dan Enjang.
rimpang temulawak (Curcuma 2007. Respon nomor harapan
xanthorriza Roxb.) dalam urin sapi temulawakterhadap kombinasi
dan air kelapa untuk mempercepat pemupukan nitrogen, fosfat dan
pertunasan. Vegetalika, 2(2), 1-6. kalium. Laporan Teknis Penelitian
Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Kemala, S; Sudiarto, E. R. Pribadi, JT. Aromatik, Puslitbangbun, Badan
Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, Litbang Pertanian, Hlm 233-250.
M. Raharjo, B. Waskito, dan H.
Nurhayati, 2003. Studi serapan, Rahardjo, M., N. Ajijah, Gusmaini and M.
pasokan dan pemanfaatan tanaman Rizal. 2008. Respon of three
obat di Indonesia. Laporan Teknis promising lines of Curcuma
Penelitian Bagian Proyek Penelitian xanthorrhiza Roxb on organic and
Tanaman Rempah dan Obat. 61 hal. inorganic fertilizer applications.
Proceeding of the first international
Prana, M.S., 1985. Beberapa aspek biologi symposium on temulawak.
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Biopharmaca Research Center
Roxb.). Prosiding Simposium Bogor Agricultural University. p.
Nasional Temulawak. Bandung 17 108-115.
– 18 September 1985, hal. 42 – 48.
Setiono, R. T., C. Indrawanto, Ermiati dan
Rahardjo, M. 2001. Karakteristik beberapa E. R. Pribadi. 2007. Uji multi lokasi
bahan tanaman obat keluarga nomor nomor harapan temulawak
zingiberaceae. Buletin Plasma pada berbagai kondisi agroekologi.
Nutfah, Badan litbang Pertanian. Laporan Teknis Penelitian Balai
7(2):25-30. Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik, Puslit bangbun, Badan
Rahardjo, M dan O. Rostiana. 2005. Litbang Pertanian. Hlm 220-232.
Stándar Prosedur Operasiona
Budidaya Temu lawak. Sirkuler, Shaner, W.W., P.F. Philipp, and W.R.
no. 11. Budidaya Jahe, Kencur, Schmehl, 1982. Farming System
Temulawak, kunyit, Sambiloto dan Reserach and Development :
Pegagan. Balai Penelitian Tanaman gudelines for developing countries.
Obat dan Aromatik, Puslitbangbun, Boulder, Westview. 414 hal
Badan Litbang Perttanian. Hlm 25-
30 Sidik, M.W. Mulyono, A. Muhtadi, 1997.
Temulawak, Curcuma xanthorrhiza
Rahardjo, M. dan N. Ajijah. 2007. (Roxb). Seri Pustaka
Pengaruh pemupukan organik Pengembangan dan Pemanfaatan
terhadap produksi dan mutu tiga Tanaman Obat Alam. hal 1 – 105
nomor harapan temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb) di
Sukarman, M. Rahardjo, D. Rusmin dan
Melati. 2007. Efisiensi penggunaan
benih nomor harapan temulawak
Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Laporan Teknis Penelitian Balai
Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik, Puslitbangbun, Badan
Litbang Pertanian, Hlm 251-256.

Sutopo, L. 1995. Teknologi Benih. Penerbit


Rajawali. Jakarta.

Syakir, M., N. Maslahah and M. Januwati.


2008. Mix cropping system for
zingiberaceae for upland site and
dry agroecological zone of East
Java. Proceeding of the first
international symposium on
temulawak. Biopharmaca Research
Center Bogor Agricultural
University. p. 285-289.

Oldeman, L.R. 1975. An Agro-cimatic map


of Java., Publshed : Contr. Centr.
Inst. 17: 22 hlm.

Yusron, M. 2009. Respon temulawak


(Curcuma xanthorrhiza Roxb)
terhadap pemberian pupuk bio pada
kondisi agroekologi yang berbeda.
Jurnal Littri 15(4):162-167

Yusron, M. dan M. Januwati. 2005


Pengaruh pupuk bio terhadap
pertumbuhan dan produksi
temulawak (Curcuma xanthor rhiza
Roxb) di bawah tegakan sengon. J.
Ilmiah Pertanian, Gakuryoku.
11(1):20-23.

Anda mungkin juga menyukai