Anda di halaman 1dari 5

Mata Ketiga Cinta: Inspiratif(kah?

)
Oleh Usup Supriyadi

Mereka yang membatasi ruang kemanusiaan/ dengan batasbatas negara// sesungguhnya/ belum mengerti makna kemanusiaan// Kalimat dalam kutipan tersebut mengalamatkan pesan yang dalam. Saya kutip dari sajak Apakah Sampai Padamu Berita tentang Mahanazi? karya Helvy Tiana Rosa dalam buku kumpulan puisinya yang bertajuk Mata Ketiga Cinta terbitan AsmaNadia Publishing House, cetakan pertama; Februari 2012.

Helvy Tiana Rosa--selanjutnya saya singkat HTR. Selain dikenal sebagai prosais profesional ternyata penyair yang tidak sekadar. Di bukunya tersebut, HTR memasukkan 42 puisi yang bertitimangsa antara tahun 1985-2011. Hal itu membuktikan bahwa jalan kepenyairan digelutinya. Lebih lanjut, HTR menyatakan, bahwa karya sastra yang sesungguhnya banyak ditulis olehnya ialah puisi. Hanya saja, manuskrip-manuskrip sajaknya banyak yang hilang. Jadi yang ada di Mata Ketiga Cinta ialah puisi-puisi yang berhasil terselamatkan, dengan Cinta sebagai tema besarnya. Singkat kata, hal yang menarik ialah ketika saya membaca sampul belakang buku tersebut, tertulis di bagian bawah ISBN: Puisi Inspiratif. Maka untuk itulah saya jadi ingin menyelami Mata Ketiga Cinta agar saya bisa mendapatkan kesan sebenarnya, 'sungguhkah sajak-sajaknya bisa dikata inspiratif?' Hatta, setelah saya membaca-resapi, membaca-indahkan, saya dapati banyak sajaknya memang mengandung daya yang dapat menginspirasi pembaca atau apresiator sastra. Puisi-puisinya cenderung bentuk dari kristalisasi penghayatan terhadap segala bentuk silaturahmi batiniah maupun lahiriah. Oleh karena itulah, pembaca dimungkinkan untuk tidak sekadar mendapatkan pengalaman literer-estetik, tetapi juga pengetahuan dan penyadaran yang bisa memantik radar-radar keinsafan, sehingga setiap diri bisa kembali menggunakan serta sadar bahwa mata ketiga (itu adalah) cinta terhadap kehidupan dan kemanusiaan.

Misalnya saja, sajak yang berjudul Apakah Sampai Padamu Berita tentang Mahanazi? begitu terasa sekali 'ilham' yang menyadarkan lagi menyalakan radar-radar kepeduliaan sosial-politis, sosial-budaya, humanistis, dan begitu menyuarakan cinta akan manusia dan kemanusiaan yang memanusiawikan manusia itu sendiri. Di sajaknya tersebut saya juga menemukan jejak semangat agar kita jangan hanya diam kala ditindas atau dizalimi sebagaimana pernah digaungkan oleh Widji Thukul, aforisme yang dahsyat, hanya ada satu kata: lawan! lalu HTR mengakhiri sajaknya itu dengan kalimat yang menguji nyali kita: Lawan Mahanazi! (mahanazi di sini ialah zionis cs). Juga Salam Negeriku begitu melihatkan aku-lirik yang nasionalis-islamis, sehingga perjuangan tetap berlandaskan kepada kehendakNya, yakni tidak bersedih (QS. At Taubah: 40), selalu bersabar (QS. Al-Baqarah 153), sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Qs Al-Insyirah 5-6), hanya masalah waktu saja, semuanya pasti akan menuai berkah setelah musibah. Selama tetap yakin dan meminta pertolongan hanya kepadaNya (QS. Al Fatihah 5).

Kemudian, HTR sebagai seorang yang beragama Islam, tak luput pula membuat sajak bernuansa relijius-sufistik, pengalamannya menunaikan ibadah haji serta umrah--menurut saya berdasarkan frasa-frasa yang dituliskannya--berhasil membikin puisi yang tidak sekadar berisi memberikan khotbah tetapi bait-bait selain mengilhami pembaca untuk juga berniat menunaikan ibadah tersebut, jua memberikan kesadaran imani yang hakiki. Dituliskan olehnya pada akhir sajak berjudul Thawaf: : kuputuskan membangun ka'bah/ sepanjang masa/ dalam dada///. Sebuah akhir sajak yang mengajak dan bernilai. Kita memang harus selalu mengingat Allah di 'dalam dada' dengan jalan berpikir, berzikir, dan ngukir. Haruslah di rumah bernama 'kalbu' Allah di'tempat'kan, agar setiap langkah tentu diawali dengan 'basmalah' dan apapun hasilnya kita senantiasa bersyukur mengucap 'hamdalah'.

Terakhir, salah satu sajak yang memuasi sekaligus memuisi sehingga ianya pasti memberikan inspirasi bagi pembaca ialah sajak yang oleh HTR diberi tajuk Fi Sabilillah dan berikut ini saya nukilkan secara utuh isi puisi tersebut:

Jangan dilarang Orang yang melayang pandang Ke sabilillah : ia sudah tahu resah nyata semesta Seringai malam bumi kita

Jangan ditahan Orang yang ingin melemparkan diri Ke sabilillah : ia sudah tahu ramuan cinta yang firdaus Juga rejam rintangan itu

Jangan dinanti Orang yang pergi Ke sabilillah : ia sudah tahu ke mana Harus menjual nyawa

Ini menurut saya adalah sajaknya yang begitu mengilhami sehingga menyusuplah kesadaran kepada dasar kalbu sehingga tingkah pun tidak menuai barah. 'Jangan dilarang', 'jangan ditahan', 'jangan dinanti', ujaran-ujaran yang menyiratkan bahwa memang dalam usaha mengarungi 'fi sabilillah' maka kita khususnya yang ditinggalkan, umpama oleh suami atau saudara yang berjihad (baca: berjuang secara sungguh-sungguh dalam hal-hal yang makruf) lantas ia yang ditinggalkan itu, seperti istrinya atau keluarganya, harus ikhlas 'jangan melarang', 'jangan menahan', dan 'jangan menanti'.

Begitupun sang mujahidnya, jangan berharap 'dilarang', 'ditahan' apatah lagi 'dinanti'. Semua semata mencari rida Allah, dan itu memang butuh keistiqamahan, tiada mudah tapi tak mustahil untuk dilakoni. Tidak hanya dalam berjihad, dalam berhijrah pun demikian, sebab dikatakan kalau hijrahnya karena wanita maka, ya cuma dapat wanitanya itu tidak dapat ridaNya.

Pada akhirnya, kesemua sajak-sajak HTR dalam Mata Ketiga Cinta memang banyak memberikan inspirasi, khususnya yang berkaitan dengan hal-ikhwal cinta, tidak sebatas cinta antarmuda-mudi, orangtua kepada anaknya, tetapi sampai kepada cinta ilahiah dan melewati batas-batas negara, warna kulit, bahasa, bahkan agama sekalipun. Walaupun harus diakui, dalam segi teknis, ada saya dapati kesalahaan ketikan pada ejaan. Dari segi bentuk sajak-sajaknya banyak yang bergaya naratif-prosaik, meski begitu tetap mengalun dan anggun tidak terlihat memaksakan harus berima. Namun, saya senang dengan adanya visualisasi berupa gambargambar yang cukup mendukung ruh sajaknya. Ya, dengan hadirnya buku kumpulan sajaknya ini, membuktikan HTR tidak sekadar penulis yang membatasi dirinya hanya menulis di dunia prosa, tapi juga di dunia fiksi. Dan memang, sebaiknya kita menjadi calon-calon pengarang atau penyair yang tidak membatasi pada salah satu bidang saja.

Saya bahagia membaca Mata Ketiga Cinta saya benar-benar mendapat inspirasi. Bahwa cinta adalah kata yang begitu bahasa dan menjadi alat komunikasi yang asasi dan hakiki. Menjadikan

kita manusia menjelma kembali pada asalnya, yakni khalifah Allah yang seharusnya memakmurkan dunia dan berbagi dengan sesama atas nama cintaNya. Untuk calon penyair berikutnya, mengabarkan tugas bahwa menyair tidak sekadar berindah-indah merangkai kata hingga terlalu langit tapi cobalah juga menyuarakan mereka yang begitu akar rumput, agar segala nilai membumi. Tidak seperti, zionis yang begitu bangganya berlakon iblis. Selamat kepada Hely Tiana Rosa, saya harapkan ini adalah awal. Dinanti karya-karya--khususnya puisi-selanjutnya. Jika ditanya kepada saya: Mata ketiga cinta, inspiratifkah? Jawab saya jelas; Ya. Salam!

Anda mungkin juga menyukai