Anda di halaman 1dari 98

I.

PENDAHULUAN

Laut memiliki keanekaragaman organisme yang sangat besar. Sejak zaman dahulu organisme laut telah dimanfaatkan manusia, namun penggunaannya baru sebatas sumber makanan. Potensi lain dari kandungan organisme laut sampai saat ini relatif belum dimanfaatkan sebagai sumber bahan bioaktif (1). Beberapa organisme laut mampu memproduksi senyawa kimia untuk mempertahankan dirinya dari serangan predator. Senyawa kimia dengan bioaktivitas menarik ini diduga dapat dimanfaatkan manusia khususnya di bidang pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan banyak dari senyawa kimia tersebut berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri dan aktif menghambat pertumbuhan sel kanker (2). Organisme laut yang banyak diteliti kandungan kimianya pada umumnya dari kelompok invetebrata laut disusul kemudian tumbuhan laut. Dalam hal ini organisme yang termasuk kelompok invetebrata laut adalah spon laut (filum Porifera), hewan lumut (filum Bryozoa), soft koral (filum Cnidaria) dan hewan bermantel (filum Tunicata) (3), hingga saat ini tercatat lebih dari 10000 senyawa kimia yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari organisme laut (4). Dari hasil pengambilan sampel laut yang dilakukan di perairan Painan, sekitar pulau Babi, kabupaten Pesisir Selatan ditemukan spon sebagai salah satu spesies dari genus Petrosia yaitu Petrosia nigrans. Dari penelusuran kepustakaan dapat diketahui keluarga spon dari genus Petrosia ini cukup banyak diantaranya

adalah P. ficiformis, P.seriata, P.corticata, P.contignata, P.weinbergei dan lain-lain (5). Salah satu contoh senyawa aktif yang telah ditemukan dan dilaporkan dari genus Petrosia adalah alkaloid Manzamine-A, bersifat sitotoksik yang merupakan sifat dasar suatu senyawa berpotensi sebagai antikanker (6). Pada Petrosia sp. ditemukan senyawa poliasetilen, dideoxypetrosynol A yang menunjukkan aktivitas antitumor pada sel melanoma kulit manusia (7). Aktivitas antibakteri juga ditemukan pada hasil isolasi dari spon laut Petrosia contignata, yaitu senyawa Taraxeron dan DHomoandrostan (8). Dari informasi data base Marinlit dan data lainnya ternyata belum ditemukan laporan tentang kandungan kimia dari spesies Petrosia nigrans. Hasil uji pendahuluan terhadap ekstrak metanol dan masing-masing fraksi ekstrak sampel dari spesies ini memperlihatkan aktivitas sebagai antibakteri. Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Eschericia coli, Pseudomonas auruginosa. Berdasarkan hal tersebut dicoba untuk melakukan isolasi senyawa kimia utama dalam hal ini dari fraksi non polar dan menguji aktivitas antibakteri dari hasil isolasi spon laut Petrosia nigrans. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut metanol selanjutnya difraksinasi partisi dengan peningkatan kepolaran menggunakan n-heksana, etil asetat dan n-butanol (9). Pemisahan senyawa kimia dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom dan monitoring dengan metoda KLT, serta pemurniannya dilakukan dengan rekristalisasi (10). Kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan metoda dilusi.

Karakterisasi senyawa hasil isolasi dilakukan dengan cara pemeriksaan fisika, kimia dan fisikokimia (11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spon (Porifera) (12, 13) 2.1.1. Tinjauan Umum Spon merupakan hewan multiseluler dan termasuk dalam golongan invertebrata. Spon merupakan filum porifera dimana kata ini berasal dari kata latin, phorus = lubang kecil dan ferre = mengandung, membawa. Jadi kata tersebut menunjukan kekhususan hewan bersangkutan, yaitu memiliki banyak lubang kecil. Spon mempunyai ciri-ciri khusus: Hewan multiseluler, simetris radial atau asimetri. Tubuh spon memiliki banyak pori yang merupakan awal dari sistim kanal (saluran air) yang menghubungkan daerah eksternal dengan daerah internal. Tubuh spon tidak dilengkapi dengan appendiks dan bagian yang dapat

digerakan. Belum memiliki sistem saluran pencernaan makanan. Pencernaan makanan

berlangsung di dalam sel atau intraseluler. Spon tidak memiliki organ khusus untuk respirasi dan ekskresi, Pertukaran O2

dan CO2 berlangsung secara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Ekskresi dilakukan oleh sel-sel di seluruh permukaan tubuh secara difusi. Spon berkembangbiak secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan

secara aseksual dilakukan dengan membentuk tunas. Sedangkan pada

perkembangbiakan spermatozoid.

secara

seksual

melalui

pembuahan

sel

telur

oleh

Makanan hewan spon berupa partikel organik dan organisme kecil. Habitat dari spon umumnya terdapat di laut, tapi ada beberapa genus yang

hidup di air tawar. Spon hidup mulai dari perairan laut dangkal sampai beberapa meter di bawah permukaaan laut. Penyebarannya hampir di seluruh laut di dunia. Van Soest (1989, 1990) melaporkan bahwa fauna spon Indonesia berjumlah sekitar 800 spesies . Spon memiliki kandungan kimia yang beranekaragam dan berbagai bioaktivitas yang menarik seperti sebagai antikanker, antitumor, antiinflamasi dan sebagainya . 2.1.2. Morfologi Spon (12, 14) Hewan porifera (spon) mempunyai rongga di dalam tubuhnya yang disebut spongosoel. Diujung spongosoel terdapat lubang terbuka tempat keluarnya air yang disebut oskulum. Spongosoel dikelilingi oleh dinding yang tersusun atas 2 lapisan yaitu : Lapisan luar yang disebut lapisan epidermis atau ephitelium dermal sering juga disebut pinakosit yang kadang-kadang mempunyai satu flagellum. Pada epidermis tertentu terdapat porus atau lubang kecil yang disebut ostium Lapisan dalam yang terdiri atas jajaran sel-sel berleher yang disebut koanosit yang berbentuk botol dan ber flagellum.

Diantara kedua lapisan itu terdapat zat antara yang berbahan gelatin yang disebut mesoglea. Mesoglea merupakan lapisan nonseluler. Pada mesoglea terdapat : a) Amoebosit yang berfungsi mengambil dan mengedarkan zat-zat makanan yang telah dicerna oleh sel-sel koanosit ke sel-sel lainnya dan menghasilkan gelatin. b) Porosit (sel pori) atau miosit yang terletak disekitar pori yang berfungsi membuka dan menutup pori. c) Skleroblast yang berfungsi membentuk spikula (kerangka tubuh). d) Arkeosit merupakan sel amoebosit embrional yang tumpul dan

berfungsi melaksanakan reproduksi sel, membentuk sel-sel tunas dan sel gamet, mengganti sel rusak. e) Spikula merupakan unsur pembentuk tubuh. Biasanya spikula tersusun dari zat kapur dan serat-serat organik.

Gambar 1. Struktur tubuh hewan spon

Hewan spon mempunyai sistem saluran air yang berbeda-beda. Berdasarkan sistem peredaran air tersebut spon dapat dikelompokan atas 3 jenis : 1. 2. 3. Askon Leukon Sikon

1. Askon

2. Leukon

3. Sikon

Gambar 2. Bentuk spon laut berdasarkan sistem peredaran air

Ditinjau dari bahan pembentuk kerangkanya, maka spon ini dapat dibedakan atas tiga golongan : 1. Porifera lunak, porifera jenis ini kerangka tubuhnya tersususn dari bahan sponging (organis). 2. Porifera kapur, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan kristal zat kapur atau CaCO3.

3. Porifera silikat, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan kristal silikat H2Si3O7.

2.2 Spon Laut Petrosia nigrans 2.2.1 Klasifikasi (13, 14, 15) Spon laut Petrosia nigrans diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies 2.2.2 Morfologi Spon laut Petrosia nigrans merupakan hewan metazoa sederhana, berbentuk jonjot-jonjot, berwarna coklat kehitam-hitaman. Spon ini tumbuh melekat pada permukaan karang pada kedalaman 5-8 m. Tinggi tubuhnya sekitar 4-7 cm. Penyebaran spon dari genus ini umumnya di daerah perairan Carribean dan perairan Indonesia (16). 2.3 Kandungan Kimia Dan Bioaktivitas Spon Laut Petrosia nigrans Dari penelusuran literatur ternyata belum ada yang meneliti kandungan kimia serta bioaktivitas dari spon laut Petrosia nigrans ini. Dari penelitian yang telah : : : : : : Porifera Demospongiae Haplosclerida Petrosiidae Petrosia Petrosia nigrans

dilakukan, spon lain dari genus Petrosia dilaporkan memiliki beberapa kandungan kimia yang menarik seperti (6,7,8); Manzamine-A (i), dideoxypetrosynol A (ii), Taraxeron (iii) dan petrosamine (iv) . Senyawa aktif yang telah ditemukan dan dilaporkan dari genus Petrosia adalah alkaloid Manzamine-A, bersifat sitotoksik yang merupakan sifat dasar suatu senyawa berpotensi sebagai antikanker (6). Pada Petrosia sp. ditemukan senyawa poliasetilen, dideoxypetrosynol A yang menunjukkan aktivitas antitumor pada sel melanoma kulit manusia dan petrosamine yang menunjukkan aktivitas antibakteri (7). Aktivitas antibakteri juga ditemukan pada hasil isolasi dari spon laut Petrosia contignata, yaitu senyawa Taraxeron (8).

(i)

(ii)

10

N O

N N O

(iii) 2.4 Ekstraksi dan Fraksinasi (9) 2.4.1 Ekstraksi

(iv)

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa-senyawa kimia dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan lain-lain menggunakan pelarut tertentu. Teknik yang umum untuk ekstraksi senyawa kimia adalah dengan cara maserasi, sokletasi perkolasi dan perebusan. Maserasi merupakan proses penyarian sederhana yaitu dengan merendam sampel dalam pelarut yang sesuai selama 3-5 hari. Pelarut akan menembus ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang di luar sel maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metoda maserasi yaitu, teknik pengerjaan dan alat yang digunakan sederhana serta dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang bersifat termolabil. Sokletasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik menggunakan alat soklet. Pada cara ini pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah. Prinsipnya

11

adalah penyarian yang dilakukan berulang-ulang sehingga penyarian lebih sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Tapi metoda sokletasi ini tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang termolabil. Perkolasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik menggunakan alat perkolator. Pada cara ini pelarut dialirkan melewati sampel sehingga penyarian lebih sempurna. Tapi metoda ini membutuhkan pelarut yang relatif banyak. Perebusan merupakan teknik penyarian menggunakan pelarut air. Pada cara ini sampel direndam dengan pelarut kemudian dipanaskan sampai mendidih. Metoda perebusan merupakan metoda yang paling kuno dan sekarang jarang digunakan, karena proses penyarian kurang sempurna dan tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang termolabil. 2.4.2 Fraksinasi Fraksinasi merupakan teknik memisahkan Ekstrak hasil maserasi diuapkan pelarutnya sampai diperoleh ekstrak kental. Kemudian ektsrak ini difraksinasi

dengan berbagai pelarut yang memiliki kepolaran berbeda, sehingga masing-masing pelarut akan memiliki senyawa dengan kepolaran berbeda. 2.5 Metoda Pemisahan Dan Pemurnian Metoda yang umum digunakan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa, yaitu metoda kromatografi (10). Untuk tujuan kualitatif dapat digunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Sedangkan untuk pemisahan senyawa dalam jumlah besar dapat digunakan kromatografi kolom.

12

Pemisahan pada kromatografi berdasarkan pada perbedaan distribusi komponen pada fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam (adsorben) dapat berupa zat padat yang disusun secara merata didalam suatu kolom (kromatografi kolom) dan fasa gerak berupa eluen yang akan lewat didalamnya akibat pengaruh gaya gravitasi. atau berupa plat tipis (kromatografi lapis tipis) dimana eluen dibiarkan meresap naik berdasarkan daya kapilaritas. Komponen yang akan dipisahkan mempunyai aktivitas yang berbeda terhadap adsorben sehingga komponen yang non polar dan yang polar akan terpisah. Pada kromatografi kolom fasa diam yang digunakan dapat berupa silika gel. Sedangkan fasa geraknya dapat dimulai dari pelarut non polar kemudian kepolaran ditingkatkan secara bertahap, baik dengan pelarut tunggal atau kombinasi dua pelarut yang berbeda kepolarannya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan tingkat kepolaran yang dibutuhkan. Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk memilih sistem pelarut yang akan digunakan pada kromatografi kolom. Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditampung dan dimonitor dengan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi yang nilai Rf sama digabung, kemudian pelarutnya diuapkan sehingga akan diperoleh beberapa fraksi. Noda pada plat KLT dideteksi dengan penampak noda lampu ultraviolet 254, untuk senyawa-senyawa yang mempunyai gugus kromofor. Senyawa hasil isolasi jarang didapatkan berupa senyawa murni, biasanya dicemari oleh zat lain selama isolasi. Salah satu cara pemurniannya adalah dengan rekristalisasi, yaitu berdasarkan perbedaan kelarutan antara zat utama yang dimurnikan dengan senyawa minor dalam suatu pelarut tunggal atau campuran pelarut yang cocok. Pelarut yang digunakan dipilih berdasarkan kemampuan

13

melarutkan zat yang akan dimurnikan. Adanya perbedaan kelarutan akibat pemanasan atau penambahan pelarut lain akan menyebabkan senyawa utama akan mengkristal lebih dahulu. Proses rekristalisasi ini diulang beberapa kali sehingga didapatkan senyawa berbentuk kristal yang lebih murni dan ditandai dengan jarak leleh yang tajam.

2.6 Penentuan Struktur (17, 18, 19) Penentuan stuktur senyawa kimia dapat dilakukan secara fisika menggunakan spektroskopi infra merah, ultraviolet, Resonansi Magnet Inti (RMI), spektrum HMBC (Heteronuclear Multiplet Bond Connection), HSQC (Heteronuclear Singlet Quantum Connection). 2.6.1 Spektroskopi inframerah Suatu molekul yang menyerap sejumlah energi yang diberikan oleh suatu radiasi elektromagnetik dapat mengalami berbagai jenis eksitasi. Eksitasi ini dapat berupa elektronik rotasi, perubahan orientasi spin inti, deformasi ikatan dan sebagainya. Disebabkan setiap jenis eksitasi memerlukan sejumlah energi yang tertentu maka absorpsi yang bersangkutan timbul di dalam daerah spektrum elektromagnet yang berbeda pula. Daerah spektrum inframerah meliputi panjang gelombang 0,75-300 m. Atom-atom dalan molekul tidak diam melainkan bergetar (vibrasi) dan berotasi pada sumbu kesetimbangannya. Jika suatu molekul menyerap sinar inframerah, maka dalam molekul itu akan terjadi perubahan tingkat energi

14

vibrasi dan rotasi dari keadaan tingkat energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Supaya suatu molekul dapat menyerap sinar inframerah, maka getaran vibrasi dan rotasi molekul tersebut harus disertai perubahan muatan dari dari momen dipol molekul tersebut. Penyerapan energi inframerah merupakan proses terkuantisasi, hanya energi tertentu dari radiasi inframerah yang diserap molekul, sesuai dengan kisaran frekuensi vibrasi rentangan (streching) dan vibrasi bengkokan (bending). Ada 2 macam vibrasi yang utama dalam molekul : 1. Vibrasi ulur (stretching) Berkaitan dengan jarak antara 2 atom dalam molekul sepanjang sumbu ikatan. 2. Vibrasi tekuk (bending) Menyangkut perubahan sudut antara 2 ikatan atau gugus terhadap sisa molekul. Ada 4 tipe pula, yaitu ; 2.6.2 Guntingan (scissoring) Kibasan (twisting) Goyangan (rocking) Pelintiran (waging)

Spekroskopi Ultra Violet (UV) Spektroskopi uv adalah salah satu bentuk spektroskopi absorpsi. Pada cara ini cahaya atau gelombang elektromagnetik dalam hal ini sinar uv berinteraksi dengan zat yang kemudian diamati adalah absorpsi sinar. Bagian dari suatu

15

molekul yang bertanggung jawab pada absorpsi sinar uv adalah kromofor (chrome = warna, for = pembawa). Pada bagian tersebut ditempatkan atau dilokalisir e- phi (), e- sunyi (n) yang kedua-duanya dapat dieksitasi oleh sinar uv. Untuk mengeksitasi e- sigma tidak cukup energi yang berasal dari sinar uv. Jadi sebab itulah bagian jenuh dalam molekul (ikatan tunggal) tidak dilibatkan dalam absorpsi sinar. Kromofor dapat dibagi 2 kelompok : 1. Kromofor yang disamping ikatan sigma juga mengandung ikatan phi, maka disini ikatan phi yang dieksitasi oleh e- sinar . Peralihan e- phi kekeadaan yang lebih tinggi disebut peralihan/ transisi phi ke phi. 2. Kromofor disamping ikatan sigma dan phi, juga mengandung e- sunyi yang tidak mengikat. Maka disini e- phi maupun e- sunyi dapat beralih/ transisi kekeadaan e- yang lebih tinggi. Maka terjadi 2 peralihan yaitu phi ke phi dan e- sunyi ke phi. 2.6.3 Spektroskopi Resonansi Magnet Inti (RMI) Inti dari atom-atom tertentu akan mempunyai spin, dimana dari spin ini akan menghasilkan momen magnetik. Jika inti yang berputar diletakan didalam medan magnet, maka sesuai dengan hukum kuantum mekanik, momen magnetiknya akan searah (pararel dan mempunyai energi yang rendah) atau berlawanan arah (anti pararel dan mempunyai energi yang tinggi) dari arah medan magnet yang diberikan. Jika suatu energi yang diberikan pada inti berada dalam medan magnet, maka inti yang berada dalam keadaan pararel akan berubah arahnya menjadi antipararel (beresonansi). Spektroskopi RMI ini terbagi atas dua, yaitu

16

1. Spektroskopi proton (1H) RMI 2. Spektroskopi karbon (13C) RMI Kemudian perkembangan lebih lanjut didapatkan hubungan-hubungan antara proton dengan 13C RMI dalam bentuk gambaran dua dimensi, seperti ; COSY (Correlated spectroscopY) HSQC (Heteronuclear Singlet Quantum Connection) HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Connection) DEPT (Distortionless Enhencement by Polarization Transfer) TOCSY (Total Correlation SpectroscopY)

2.7 STEROID 2.7.1 Tinjauan Umum Steroid merupakan kelompok senyawa bahan alam yang tersebar luas, dahulu steroid dianggap sebagai senyawa dari hewan yaitu sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lain-lain, namun sekarang semakin banyak ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Steroid merupakan senyawa metabolit sekunder yang termasuk kedalam triterpenoid dengan kerangka dasarnya sistem cincin siklopentano perhidrofenantren (i) (9, 20, 21, 22, 23). Sistem cincin ini terdiri atas 3 cincin sikloheksana (A,B,C) dan satu cincin siklopentana (D) (19, 21).
R2

C A B

R3

R1

17

(v)

(vi)

Gambar 3. Kerangka dasar steroid Banyak diantara steroid merupakan bentuk turunan atau homolog, biasanya mengandung 29 atom C (24). Pada atom C10 dan C13 biasanya terdapat gugus metil dan kebanyakan pada atom C3 terikat gugus hidroksi. Ditinjau dari segi struktur molekul, perbedaan antara berbagai kelompok steroid ditentukan oleh substituen R1,R2 dan R3 yang terikat pada kerangka dasar karbon (vi). Sedangkan perbedaan senyawa satu dengan yang lain dari suatu kelompok tertentu ditentukan oleh panjang rantai karbon R1, gugus fungsi yang terdapat pada substituen R1,R2,R3 dan jumlah serta posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap (22). 2.7.2 Sumber Penyebaran Steroid Steroid merupakan metabolit sekunder yang dikandung pada hampir semua jaringan tumbuhan tingkat tinggi, juga ditemukan pada tumbuhan rendah seperti ganggang dan jamur, terutama sterol (9, 20, 22). Steroid pada tumbuhan biasanya dalam bentuk ester-ester asam lemak . Kolesterol adalah steroid yang umum ditemukan pada hewan, disamping itu juga ditemukan pada bakteri dan ganggang biru. Dalam jumlah terbatas, distribusi steroid pada beberapa famili tumbuhan juga ditemukan pada hewan dan sebaliknya (20). 2.7.3 Fungsi dan Bioaktivitas Steroid Senyawa-senyawa steroid berkaitan dengan beberapa hormon dan keaktifan biologi. Hormon seks dan asam-asam empedu bertindak sebagai mediator sejumlah

18

fungsi tubuh. Hormon seks menentukan ciri seks sekunder pada manusia dan mamalia. Estrogen (progestin) berfungsi untuk mengatur masa reproduksi wanita dan androgen merangsang perkembangan organ reproduksi pria (21, 25). Cairan empedu merupakan pengemulsi dalam bentuk garam natrium membantu penyerapan lemak dan lipid lainnya pada proses pencernaan (21). -sitosterol merupakan hipokolesterolemia yang berguna untuk pencegahan aterosklerosis. -sitosterol bersaing dengan kolesterol pada tempat penyerapan di saluran cerna. Reduksi penyerapan kolesterol menyebabkan penurunan konsentrasi -lipoprotein darah, dimana mencegah kolesterol kembali pada atherosclerotic plaque di pembuluh darah (21). Glikosida jantung mempunyai kemampuan meningkatkan kontraksi sistol dan kontraktilitas dalam gagal jantung. Glikosida jantung dapat juga digunakan dalam pengobatan gagal jantung kongestif (21). Hormon adrenokortikoid diproduksi pada korteks luar gland adrenalin dan terbagi atas dua kelompok berdasarkan aktivitas biologisnya, yaitu mineralkortikoid dan glukokortikoid. Hormon mineralkortikoid berfungsi mengekskresikan cairan dan elektrolit, sedangkan glukokortikoid berfungsi dalam metabolisme cairan (21). Peroksida sterol yang umumnya dihasilkan oleh jamur dan organisme laut seperti spon memiliki bioaktivitas yang sangat menarik seperti sitotoksik, antifouling, antioksidan, dan sebagai antimikroba (43,44,46,47,48). Peranan gugus fungsi terhadap keaktifan biologis steroid telah banyak diselidiki para ahli, misalnya penggantian gugus hidroksil pada C3 dari molekul vitamin D dengan karbonil, tiol atau atom klor menghilangkan antirakhitik (22).

19

2.7.4 Biosintesa Steroid Steroid terbentuk secara biosintesis dari isopentenil piropospat (isopren aktif) dan mempunyai hubungan reaksi yang sama dengan biosintesis terpenoid. Kenyataan menunjukan bahwa skualen merupakan senyawa antara dalam biosintesis steroid. Pengetahuan biosintesis steroid didasarkan pada pembentukan kolesterol. Meskipun senyawa kimia ini tidak begitu penting secara lansung sebagai pra zat steroid-steroid lain, namun dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme umum biosintesis steroid. Tahap awal biosintesis steroid adalah sama bagi semua steroid alam, yaitu pengubahan asam asetat menjadi asam mevalonat dan skualen menjadi lanosterol atau sikloartenol. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari triterpenoid lanosterol, sedangkan pada jaringan tumbuhan berasal dari triterpenoid sikloartenol (9, 22, 26). Skualen terbentuk dari dua molekul farnesi piropospat (FPP) yang bergabung secara ekor ke ekor, kemudian berubah menjadi 2,3-epoksiskualen. Lanosterol terbentuk dari kecendrungan 2,3-epoksiskualen yang mengandung lima ikatan rangkap untuk melakukan siklisasi ganda. Siklisasi ini diawali oleh protonasi gugus epoksi dan diikuti oleh pembukaan lingkar epoksida (20, 21, 22). Lanosterol dapat membentuk kolesterol dengan menyingkirkan tiga gugus metil dari molekul lanosterol, yaitu dua dari atom C4 dan satu dari satu dari atom C14. Penyingkiran ketiga gugus metil itu berlansung secara bertahap mulai dari gugus metil pada atom C14 dan selanjutnya dari atom C4. Kedua gugus metil dari dari atom C4 disingkirkan sebagai karbon dioksida (CO2). Sedangkan gugus metil pada atom C14 disingkirkan sebagai asam format (HCOOH), setelah itu gugus metil mengalami

20

oksidasi menjadi aldehid (20, 21, 22, 25). Adapun reaksi selanjutnya yang dialami kolesterol dan sikloartenol akan menghasilkan berbagai kelompok steroid. Oleh karena pokok reaksi biogenesis yang terjadi adalah sama, maka senyawa yang

termasuk dalam suatu kelompok tertentu akan mempunyai struktur dasar yang sama pula (22).

21

Gambar 4. Mekanisme Biosintesa Steroid (26)

22

2.7.5

Steroid Dari Invertebrata Laut (28)

Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk membuktikan biosintesis steroid dari invertebrata masih belum dapat disimpulkan, karena memiliki beberapa masalah dalam evaluasi kemampuan biosintesis steroid. Pengumpanan substrat radioaktif yang larut dalam air misalnya dalam bentuk asetat atau mevalonat pada organisme lautan menimbulkan masalah karena menyebabkan terjadinya pengenceran yang besar bila senyawa tersebut ditambahkan pada air laut yang volumenya relatif besar. Senyawa yang berlabel tersebut disuntikan pada badan hewan invertebrata, ada kecenderungan senyawa itu akan keluar dari badan hewan untuk membuat keseimbangan dengan air sekitarnya dari pada diproses oleh hewan itu sendiri. Maka diperkirakan bahwa sumber steroid dari hewan invertebrata laut adalah : Biosintesa sendiri dari asetil ko-A melalui asam mevalonat dan skulen, tapi dalam jumlah yang relatif kecil. Absorpsi dan asimilasi dari steroid makanan. Modifikasi dari steroid makanan. Lintasan steroid dari ganggang simbiotik atau organisme lain yang ada hubungannya dengan hewan inang , seperti alga, jamur atau bakteri. Pada spon laut (porifera) telah dilakukan juga banyak penelitian mengenai biosintesa steroid. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Minale dan Sodano (1977) tentang biogenesis kalisterol, dilaporkan bahwa Calyx nicaensis tidak mensintesisnya tapi adanya modikasi dari steroid makanan. Pemasukan sitosterol berlabel dan stigmasterol ke dalam Calyx nicaensis tidak menimbulkan atom berlabel pada

23

kalisterol. Hal ini membuktikan kemampuan spon tersebut untuk melakukan oksidasi dan menata ulang suatu sterol dari makanan disekitarnya.

2.8 Bakteri uji Pemilihan bakteri uji tergantung pada tujuan pengujian, untuk mengetahui aktivitas antibakteri digunakan bakteri yang bersifat patogen dan merugikan bagi manusia, dan mewakili setiap kelompok pengujian. Bakteri uji biasanya terdiri dari bakteri (gram positif, gram negatif) (27, 29). 2.8.1 Tinjauan Umum Bakteri Bakteri adalah makhluk hidup yang berukuran kecil, terdiri dari satu sel, hanya dapat dilihat dengan mikroskop dan berkembang biak dengan membelah diri atau secara aseksual. Berdasarkan perbedaan dinding selnya, bakteri dibagi menjadi dua bagian, yaitu (27, 29). 2.8.1.1. Bakteri Gram Positif. Dinding sel bakteri gram positif cukup tebal 20-80 nm, terdiri dari 60-100 % peptidoglikan. Beberapa organisme gram positif mengandung substansi dinding sel yang disebut asam teikoat. Fungsi dari asam teikoat belum diketahui dengan pasti, namun mutan yang kehilangan kemampuan untuk membuat asam teikoat akan cacat dalam pemisahan sel, contoh : Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis (27, 29).

1. Staphylococcus aureus

24

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dari famili Micrococcaceae, bersel tunggal, berbentuk bola, tidak bergerak, tidak berkapsul, tersusun berkelompok seperti anggur, dan menghasilkan pigmen. Bakteri ini dapat dijumpai pada kulit, selaput lendir hidung, mulut, dan intestin. Juga dapat ditemukan pada udara dan air. Staphylococcus aureus menyebabkan infeksi supertisial, infeksi subkutan, osteomylitis dan dapat juga menyebabkan keracunan pada makanan. Infeksinya dapat berupa furunkel ringan sampai yang fatal pada kulit. 2. Staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis berbentuk bulat, berukuran 0,8-1 m, terdapat dalam bentuk tunggal maupun berpasangan, umumnya berupa untaian anggur. Organisme ini bersifat anaerob fakultatif kurang virulen (tidak dapat menimbulkan penyakit), tetapi dapat menimbulkan Stick Abscex (pengumpulan nanah dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan), juga dapat menimbulkan infeksi saluran kemih. 2.8.1.2. Bakteri Gram negatif Dinding sel bakteri gram negatif mempunyai susunan kimia yang lebih rumit daripada bakteri gram positif. Dinding sel bakteri gram negatif mengandung peptidoglikan yang lebih sedikit, tetapi diluar lapisan peptidoglikan ada struktur membran kedua yang tersusun atas protein fosfolipida dan lipolisakarida. Contoh : Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (27, 29). 1. Escherichia coli

25

Escherichia coli termasuk bakteri Enterobacteriaceae. Bakteri ini terdapat dalam saluran intestinal dalam jumlah yang besar dan tersebar luas pada feses manusia dan hewan. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk tongkat pendek, tidak mempunyai kapsul, ada yang bergerak dan ada yang tidak bergerak. Pergerakannya sangat sulit untuk dideteksi. Escherichia coli tumbuh baik secara aerob fakultatif pada temperatur 10-46oC dan temperatur optimum pada 37oC. 2. Pseudomonas aeruginosa Organisme ini merupakan bakteri gram negatif dari famili

Pseudomonadaceae yang berbentuk batang, tunggal, berpasangan atau berkelompok, bergerak menggunakan flagel pada salah satu ujung. Pseudomonas aeruginosa bersifat aerobik obligat dan terdapat sebagai bagian flora normal kulit maupun saluran usus manusia. Dapat menimbulkan infeksi pada saluran kemih, saluran pernapasan, luka bakar dan luka biasa. 2.8.2 Pertumbuhan Bakteri Uji 2.8.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bakteri Uji Pertumbuhan bakteri uji merupakan pertambahan ukuran dari sel bakteri yang pada mulanya berukuran kecil menjadi berukuran sebesar sel induknya. Pertumbuhan ini berlangsung cepat dengan adanya faktor-faktor luar yang menguntungkan seperti (27, 29) 1. Nutrisi

26

Kebutuhan nutrisi bakteri meliputi bahan makanan umum seperti air, karbohidrat sebagai sumber karbon, protein sebagai sumber nitrogen dan ion-ion organik. 2. Suhu Bakteri uji dapat tumbuh baik pada suhu optimum. Untuk bakteri uji yang digunakan suhu optimumnya adalah 35-37oC. Sedangkan bakteri berdasarkan pada suhu digolongkan atas : Psikofilik : bakteri yang dapat hidup pada suhu 10 20oC Mesofilik : bakteri yang hidup pada suhu 20 40oC Termofilik : bakteri yang hidup pada suhu lebih tinggi dari 50 60oC Bakteri patogen umumnya mempunyai suhu optimum lebih kurang 37oC

3. pH Medium Sebagian besar spesies bakteri tumbuh pada pH 6,8 7,2. 4. Oksigen Berdasarkan kebutuhan oksigen, bakteri dibedakan atas bakteri aerob yang tumbuh dengan adanya oksigen dan bakteri anaerob yang dapat tumbuh tanpa oksigen. Ada juga bakteri anaerob fakultatif yaitu bakteri dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen.

5. Zat kimia

27

Zat kimia yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri tanpa membunuhnya disebut bakteriostatik, sedangkan zat kimia yang dapat membunuh bakteri disebut bakterisid.

2.8.2.2 Fase Pertumbuhan Bakteri Fase pertumbuhan bakteri dapat diproyeksikan sebagai logaritma jumlah sel terhadap waktu pertumbuhan, dibagi 4 fase (27) : 1. Fase Penyesuaian (Lag Phase) Merupakan fase penyesuaian pada lingkungan (adaptasi) dan lamanya tergantung pada macam bakteri, umur biakan dan nutrien yang terdapat dalam medium. Dalam fase ini bakteri belum mengadakan pembelahan. 2. Fase Pertumbuhan (Logarhytmic / Exponential Phase) Pada fase ini pembiakan bakteri berlangsung cepat, sel-sel mulai membelah dan jumlahnya meningkat secara logaritma sesuai dengan pertambahan waktu. Pada beberapa bakteri pada fase ini biasanya menghasilkan senyawa metabolit primer seperti karbohidrat (alkohol) dan protein.

3. Fase Stasioner (Stationary Phase) Pada fase ini terjadi satu keadaan seimbang antara jumlah bakteri yang berbiak dengan jumlah bakteri yang mati sehingga jumlah keseluruhan bakteri adalah tetap. Pada beberapa bakteri pada fase ini biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti antibiotika dan polimer.

28

4. Fase Kematian (Period of Decline) Pada fase ini jumlah bakteri yang mati makin banyak, ini disebabkan semakin habisnya jumlah makanan dalam medium sehingga pembiakan berhenti dan keadaan lingkungan yang sangat jelek diakibatkan oleh semakin banyak hasil metabolit yang tidak berguna dan mengganggu pertumbuhan bakteri.

Log jumlah sel 4

3 2 Waktu pertumbuhan (jam) 1

30 5 10 Gambar 5. Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri Keterangan: 1. Fase lag 3. Fase stasioner 2. Fase log (eksponensial) 4. Fase kematian.

4 1

2.8.3

Pembiakan Bakteri

2.8.3.1 Pembiakan secara in vitro

29

Pada pembiakan ini diperlukan medium yaitu suatu tempat tumbuh yang mengandung makanan untuk bakteri, sehingga bakteri dapat berkembang biak. Berdasarkan konsistensi bahan medium dapat dibagi atas tiga macam, yaitu : media cair, media semi solid dan media padat. Pada pembiakan secara in vitro, media ditanami dengan bakteri kemudian diinkubasi dalam inkubator yang suhunya berkisar antara 36 37oC (27, 30). Ada tiga cara menanam bakteri, yaitu : 1. Slant ( agar miring ) Tempatnya adalah tabung reaksi, dimana permukaan media miring. 2. Plate ( agar plate ) Bakteri yang ditanam digoreskan pada permukaannya. 3. Poured plate ( agar tuang ) Media yang bentuk cair pada suhu 40 45oC bersama-sama suspensi bakteri dituangkan dalam plate, kemudian dibiarkan dingin sehingga media memadat. 2.8.3.2.Pembiakan secara in vivo Pada pembiakan secara in vivo ini digunakan binatang percobaan, misalnya : marmot, kelinci atau tikus putih. Binatang ini penting artinya karena bakteri tertentu dapat menyebabkan penyakit pada binatang percobaan dan memberikan gejala-gejala yang khas pada binatang tersebut. Bakteri itu dapat diisolasi dari tubuh binatang tersebut (27, 30). 2.8.4 Uraian Tentang Antibakteri 2.8.4.1. Mekanisme Kerja Antibakteri

30

Antibakteri menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri dengan bermacam cara yaitu (27, 29) : 1. Menghambat sintesa dinding sel bakteri Dinding sel bakteri mengandung zat yang secara kimia merupakan suatu polimer kompleks suatu mukopeptida (peptidoglikan) terdiri dari polisakarida dan polipeptida. Suatu obat antibakteri bila berikatan dengan reseptor selnya dapat mengakibatkan kerusakan pada dinding sel bakteri atau menghambat reaksi pembentukan dinding sel. Kerusakan pada dinding sel atau hambatan

pembentukannya dapat berakibat lisis pada sel sehingga sel bakteri akan mati. 2. Menghambat sintesa protein sel bakteri Protein merupakan suatu senyawa yang sangat penting pada bakteri, dua pertiga dari berat kering bakteri terdiri dari protein. Sel bakteri dalam kehidupannya perlu mensintesis protein. Sintesis protein belangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan t-RNA. Ribosom bakteri terdiri atas dua sub unit yang dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintesa protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S. Penghambatan sintesis protein dapat terjadi dengan cara mencegah masuknya asam amino baru ke dalam rantai peptida yang baru. Pengamatan sintesis ini dapat juga dikarenakan pesan mRNA salah dibaca pada daerah pengenalan ribosom, akibatnya asam amino yang dimasukkan ke dalam peptida ini menghasilkan protein yang tidak fungsional. 3. Mempengaruhi membran sel bakteri

31

Membran sel adalah struktur yang semipermiabel yang mengendali pengangkutan banyak metabolit ke dalam dan ke luar sel. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri seperti protein, asam nukleat dan nukleotida yang mengakibatkan kematian sel. 4. Menghambat biosintesa asam nukleat Pada umumnya antimikroba menghambat sintesa asam nukleat dengan cara berikatan dengan benang halus ganda DNA. Kompleks DNA dengan antibakteri yang terbentuk menghambat RNA polimerasi yang terlibat dalam biosintesa DNA atau RNA dan menghambat pembentukan mRNA. Penghambatan sintesis ini dapat juga dengan cara berikatan dengan RNA polimerase sehingga menghambat sintesa bakteri. 2.8.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Antibakteri Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja antibakteri adalah sebagai berikut (27, 31) : 1. Konsentrasi Konsentrasi suatu zat yang digunakan bergantung kepada bahan aktif dari suatu zat tersebut dan mikroorganisme yang akan diuji. 2.Waktu Pemberian suatu zat antibakteri dalam waktu yang lama akan memberikan waktu yang cukup bagi zat tersebut untuk bekerja. 3.Suhu

32

Secara umum peningkatan suhu mempercapat laju reaksi kimia. Dengan naiknya suhu biasanya dapat mempercepat daya kerja zat tersebut. 4. pH Keadaan pH mungkin saja dapat menentukan apakah suatu zat dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme.

2.8.5 Metoda Pengujian Aktivitas Antibakteri Aktivitas antibakteri suatu sampel dapat dideteksi dengan mengamati respon pertumbuhan berbagai jenis bakteri yang berkontak dengan ekstrak sampel tersebut. Hal ini memungkinkan dilakukan suatu uji aktivitas antibakteri yang terdapat dalam sampel tersebut. Metoda pengujian aktivitas antibakteri dibedakan atas 3 cara, yaitu (30, 31): A. Metoda Difusi Metoda difusi merupakan metoda yang sederhana dalam pengujian aktivitas antibakteri. Pada metoda ini, pencadang (reservoir) mengandung sampel uji yang ditempatkan pada permukaan medium yang telah diinokulasi dengan bakteri uji. Setelah inkubasi, diameter daerah bening sekitar pencadang diukur. Prinsip metoda difusi yaitu uji potensi ekstrak tumbuhan berdasarkan luas daerah hambatan pertumbuhan bakteri karena berdifusinya ekstrak tumbuhan dari titik awal pemberian ke daerah difusi.

B. Metoda Dilusi

33

Metoda dilusi merupakan metoda yang paling sederhana dibandingkan metoda pengujian aktivitas antibakteri lainnya. Sampel uji dicampur dengan medium cair yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Prinsip metoda ini adalah ekstrak tumbuhan diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, lalu masingmasing konsentrasi ditambah suspensi bakteri dalam media. Setelah inkubasi, diamati ada tidaknya pertumbuhan bakteri dengan melihat kekeruhan dari masingmasing konsentrasi ekstrak yang dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi ekstrak terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan, disebut dengan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau Mininum Inhibitory Concentration (MIC). Beberapa keuntungan dari metoda dilusi ini antara lain : 1. Metoda dilusi dapat menghitung Konsentrasi Hambat Minimum (KHM). 2. Metoda dilusi menjamin homogenitas yang lebih besar antara media, larutan ekstrak dan bakteri dibanding metoda difusi dan bioautografi. 3. Metoda dilusi tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor difusibilitas ekstrak, keadaan media, maupun ukuran molekul obat. 4. Sampel dan media yang digunakan sedikit. 5. Pelaksanaan lebih cepat dan ekonomis. C. Metoda Bioautografi Bioautografi adalah metoda untuk mengetahui lokasi aktivitas antibakteri pada kromatogram. Metoda ini berdasarkan pada metoda difusi, dimana sampel akan berdifusi dari kromatogram ke medium yang telah diinokulasi dengan bakteri uji dan daerah hambat terlihat tepat pada bercak kromatogram. Metoda ini sangat

34

membutuhkan perlengkapan mikrobiologi yang kompleks, masalah perbedaan difusi senyawa dari kromatogram ke medium agar, konsentrasi bercak pada kromatogram yang tidak terukur dan mudahnya kontaminasi oleh mikroba udara, membuat metoda ini agak rumit dalam pengerjaannya. Plat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) disemprot dengan susupensi bakteri, kemudian diinkubasi selama beberapa hari. Daerah hambatan divisualisasikan dengan penampak noda, seperti garam tetrazolium (32).

2.8.6 Antibiotik Pembanding Dalam pengujian aktivitas antibakteri senyawa hasil isolasi biasanya digunakan senyawa-senyawa antibakteri lain yang telah diketahui aktivitasnya sebagai pembanding. Tujuan penggunaan pembanding ini adalah untuk mengetahui kepekaan dari bakteri uji yang digunakan. Senyawa antibakteri yang digunakan biasanya yang berspektrum kerja luas atau dapat bekerja pada semua kelompok bakteri uji (31). Kloramfenikol Merupakan suatu antibiotik yang dihasilkan dari jamur Streptomyces venezuelae. Kloramfenikol berupa kristal jarum berwarna putih yang sukar larut dalam air dan rasanya sangat pahit. Rumus molekul dari kloramfenikol adalah sebagai berikut:

35

Gambar 6. Rumus Molekul Kloramfenikol Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesa protein bakteri. Yang dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesa protein bakteri. Efek toksik kloramfenikol pada mamalia terutama pada sistem haematopoetik sehingga dapat menyebabkan anemia aplastik yang fatal . Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap bakteri tertentu. Kloramfenikol bekerja dengan spektum luas atau dapat bekerja terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

36

3.1 Waktu dan Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Alam dan Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang selama lebih kurang 6 bulan.

3.2

Metodologi Penelitian

3.2.1 Alat dan Bahan A. Alat Seperangkat alat destilasi, penangas air, desikator, rotary evaporator (BUCHI), wadah maserasi (botol), lemari pengering (oven), bejana kromatografi lapis tipis (chamber), kolom kromatografi berbagai ukuran, botol semprot, gelas ukur, lumpang, pinset, plat tetes, pipet mikro, pipet kapiler, pipet tetes, tabung reaksi, corong, corong pisah, erlenmeyer berbagai ukuran, vial, kertas saring, jarum ose, kain kasa, kertas perkamen, kapas, spatel, lampu spritus, kertas cakram (Whatman), cawan Petri, stirer magnetic, vorteks (Fisons Whirlimixer
TM

), shaker, timbangan analitik,

lampu UV254 (Betracher Lamag), Fisher-John Melting Point Apparatus, microtiterplate 96-well, lemari aseptis, autoklaf, Laminar Air Flow cabinet (ESCO), incubator (Galenkamp plus), spektrofotometer UltravioletVisibel Pharmaspec 1700 (Shimadzu), spektrofotometer inframerah (Perkin Elmer F-T IR Spektrum one), spektrometer 13C-NMR DELTA2 125 MHz dan 1H-NMR DELTA2 500 MHz. .B. Bahan

37

Spon laut Petrosia nigrans, air suling, asam sulfat, logam magnesium, asam klorida pekat, asam asetat anhidrat, besi (III) klorida, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, pereaksi Vanilin/H2SO4, metanol, nheksana, etil asetat, n-butanol, amoniak, kloroform, DMSO (dimetil sulfoksida), silika gel 60 (4063) m (Merck), plat silika GF254, plat silika PF254, Nutrient Agar (Merck), Nutrient Broth (Merck), kloramfenikol, bakteri uji Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa. Bakteri uji diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Sumatera Barat. 3.2.2 Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil di perairan Painan sekitar pulau Babi, kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. 2. Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan di Museum Zoologi Amsterdam Belanda oleh Dr.R.W.M.van Soest. Voucher sampel disimpan dengan nomor koleksi ZMAPOR 18572 dan nomor koleksi DH 33. 3. Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia Petrosia nigrans Spon Laut

Pemeriksaan terhadap kandungan metabolit sekunder dilakukan berdasarkan metoda Simes yang dimodifikasi (36), yaitu: Pemeriksaan dilakukan terhadap ekstrak kental metanol, lalu ditambahkan masing-masing 510 ml air suling dan CHCl3, dikocok kuat dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air digunakan untuk senyawa flavonoid, fenolik dan saponin.

38

Uji flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan logam Mg dan HCl pekat, reaksi positif jika terjadi warna merah muda sampai merah. Uji

fenolik dilakukan dengan cara menambahkan larutan FeCl3, reaksi positif untuk fenolik jika terbentuk warna biru. Uji saponin dilakukan dengan mengocok lapisan air dalam tabung reaksi lain, terbentuknya busa yang menetap selama 15 menit berarti positif adanya saponin. Sedangkan lapisan CHCl3 digunakan untuk uji senyawa steroid, terpenoid dan alkaloid. Untuk uji terpenoid dan steroid, lapisan CHCl3 disaring dengan menggunakan norit dan dibiarkan mengering pada plat tetes, setelah kering ditambahkan asam asetat anhidrat dan H2SO4 pekat dimana jika terbentuk warna merah, positif untuk terpenoid dan warna biru atau hijau positif untuk steroid. Untuk uji alkaloid lapisan CHCl3 ditambah dengan CHCl3 amoniak lalu ditambah 1 ml asam sulfat 2N, kemudian dikocok perlahan, ambil lapisan asam dan ditambah satu tetes pereaksi Mayer atau Dragendorf, positif adanya alkaloid bila terbentuk endapan putih dengan pereaksi Mayer atau warna jingga dengan pereaksi Dragendorf. 4. Ekstraksi dan Fraksinasi Sebanyak 1 kg spon laut Petrosia nigrans dirajang halus, dimaserasi dengan metanol sebanyak 1 L. Perendaman dilakukan selama 3-5 hari

dengan beberapa kali pengulangan dan sesekali dikocok. Sampel yang dimaserasi tersebut kemudian disaring kemudian pelarut dari gabungan maserasi diuapkan in vacuo sampai kental hingga didapat ekstrak kental sebanyak 41,67 g. Ekstrak tersebut ditambahkan air suling sebanyak 1000 ml.

39

Fraksinasi

dilakukan

dengan

pelarut

yang

berbeda

tingkat

kepolarannya di dalam corong pisah. Fraksinasi diawali dengan pelarut non polar n-heksana sebanyak 5 x 150 ml, sehingga diperoleh fraksi n-heksana dan fraksi air. Fraksi n-heksana diuapkan dengan rotary evaporator dan diperoleh fraksi kental n-heksana sebanyak 640 mg. Fraksinasi berikutnya dengan pencampuran dengan pelarut semi polar etil asetat sebanyak 7 x 150 ml sehingga diperoleh fraksi etil asetat dan fraksi air. Fraksi etil asetat kemudian diuapkan dengan rotary evaporator dan diperoleh fraksi kental etil asetat sebanyak 1,4 g. Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan n-butanol sebanyak 8 x 150 ml, sehingga diperoleh dua fraksi, yaitu fraksi n-butanol dan fraksi air. Fraksi n-butanol diuapkan dengan rotary evaporator dan didapatkan fraksi kental n-butanol sebanyak 2,4 g. Kemudian masing-masing diuji aktivitas antibakteri. 5. Uji Aktivitas Antibakteri Pengujian pendahuluan aktivitas antibakteri dari ekstrak metanol dilakukan dengan metoda difusi agar. Sedangkan pengujian aktivitas antibakteri fraksi ekstrak dan senyawa hasil isolasi dilakukan dengan metoda dilusi sehingga KHM dari senyawa dapat ditentukan (37,38). Untuk pengujian aktivitas tersebut maka dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut : a. Sterilisasi Alat dan Bahan Alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci bersih dan dikeringkan, tabung reaksi, Erlenmeyer, gelas ukur, vial ditutup mulutnya

40

dengan kapas, kemudian dibungkus dengan kertas perkamen. Kertas cakram dimasukkan ke dalam salah satu cawan Petri dan semua cawan petri dibungkus terpisah dengan perkamen kemudian dibungkus dengan kertas perkamen. Kemudian semua alat disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset, jarum ose disterilkan dengan cara flambier. Lemari aseptis dibersihkan dari debu lalu disemprot dengan etanol 70%, biarkan 15 menit sebelum digunakan (27,39). b. Pembuatan Media Pembenihan 1. Nutrient Agar (NA) Sebanyak 20 gram serbuk Nutrient Agar dilarutkan dalam 1 liter air suling, dipanaskan diatas hotplate sambil diaduk menggunakan stirrer magnetic sampai terbentuk larutan jernih kemudian disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 15 lbs selama 15 menit (39). 2. Nutrient Broth (NB) Sebanyak 8 gram serbuk Nutrient Broth dilarutkan dalam 1 liter air suling, dipanaskan diatas hotplate sambil diaduk menggunakan stirrer magnetic sampai terbentuk larutan jernih kemudian disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 15 lbs selama 15 menit (39). . c. Peremajaan Bakteri Uji

41

Bakteri uji dari stok kultur murni ditanam pada medium agar miring NA , lalu diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C , diremajakan setiap 2 minggu sekali. d. Pembuatan Stok Kultur Biakan untuk Pengujian Metoda Dilusi Sebanyak 1 Ose koloni bakteri diambil dari hasil peremajaan bakteri biakan murni kemudian disuspensikan dalam 10 ml media NB dalam Erlemeyer dan dishaker selama 12 jam 120 rpm suhu 27 0C. e. Pembuatan Suspensi Bakteri Uji Pembuatan suspensi bakteri uji dengan metoda difusi agar dapat dilakukan dengan mengambil koloni mikroba uji dari agar miring 1-2 Ose lalu disuspensikan dalam NaCl fisiologis steril dalam tabung reaksi steril, kemudian dihomogenkan dengan vorteks. Kekeruhan suspensi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis sehingga diperoleh transmitan 25% pada 580 nm untuk bakteri. Pada metoda dilusi pembuatan suspensi dilakukan dengan mengambil 100 l stok kultur biakan dan diencerkan dengan media NB sampai volume 10 ml lalu dihomogenkan dengan vorteks lalu diukur transmitannya dengan spektrofotometer UV-Vis sehingga didapat suspensi dengan transmitan 25 %. f. Pembuatan Sampel Uji Pembuatan sampel uji pada pengujian dengan metoda difusi agar untuk ekstrak kental dan metoda dilusi untuk fraksi ekstrak dilakukan dengan

42

cara melarutkan sampel dalam DMSO sehingga diperoleh konsentrasi 1% (10000 ppm). Pembuatan sampel uji untuk senyawa hasil isolasi dengan metoda dilusi dilakukan dengan cara melarutkan sampel dalam DMSO sehingga diperoleh konsentrasi 0,1 % (1000 ppm). g. Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Metoda Difusi Agar Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak metanol dilakukan dengan metoda difusi agar. Sebanyak 100 l (0,1 ml) suspensi bakteri dipipet dengan pipet mikro dimasukkan ke dalam cawan Petri steril kemudian masukkan media NA dalam kondisi cair sebanyak 12 ml untuk bakteri. Kemudian goyang cawan Petri hingga homogen, dan biarkan memadat. Selanjutnya letakkan kertas cakram steril yang mengandung 10 l larutan uji di atas permukaan media. Inkubasi pada suhu 37oC untuk bakteri selama 18-24 jam. Diamati adanya pertumbuhan bakteri dan diukur diameter hambat dengan jangka sorong. Sebagai kontrol negatif digunakan kertas cakram steril yang mengandung DMSO 10 l. Sedangkan sebagai pembanding digunakan kloramfenikol 0,3% untuk bakteri masing-masing sebanyak 10 l. h. Penentuan Aktivitas Antibakteri dan Penentuan KHM Metoda Dilusi dengan

Pada lubang ke-1 Microtiterplate 96-Well dimasukkan 180 l suspensi kultur bakteri, sedangkan pada lubang nomor 2-6 dimasukkan 100 l, pada lubang ke 7 dan ke 8 dimasukkan berturut-turut 90 l untuk kontrol positif dan kontrol negatif. Kemudian pada lubang pertama ditambahkan

43

20 l sampel dihomogenkan dengan cara mengaduk dengan pipet mikro, kemudian dipipet 100 l suspensi dari lubang pertama dan dimasukkan pada lubang kedua dan dihomogenkan, dari lubang kedua dipipet 100 l dan dimasukkan ke lubang ketiga dan dihomogenkan begitu seterusnya sampai pada lubang ke-6, 100 l terakhir dibuang, Untuk kontrol positif ditambahkan 10 l kloramfenikol dengan konsentrasi 12 ppm pada lubang ke-7 dan 10 l DMSO pada lubang ke-8 sebagai kontrol negatif. Lakukan inkubasi dari Microtiter plate 96-Well di lemari aseptis selama 24 jam pada suhu 25-27 0C. Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat tidak adanya kekeruhan yang menunjukkan tidak terjadi

pertumbuhan bakteri, konsentrasi yang menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan bakteri merupakan nilai KHM nya. 6. Isolasi dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi Hasil monitor dengan plat KLT terhadap fraksi n-heksana menunjukkan pola penyebaran senyawa-senyawa yang baik dengan menggunakan fase gerak n-heksana : etil asetat 7:3 dan penampak noda lampu UV254. Pada kromatografi kolom fraksi n-heksana digunakan fase diam silika gel 60 (40-63) m (Merck) sebanyak 42 g. Pembuatan suspensi silika gel dengan menggunakan pelarut n-heksana : etil asetat 7:3, kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang bagian bawahnya telah disumbat terlebih dahulu dengan kapas. Suspensi tersebut dimasukkan ke dalam kolom sambil diketok-ketok agar silika gel memadat. Fraksi n-heksana dimasukkan sebanyak 640 mg yang dilarutkan dengan sedikit pelarut yang sama dengan pelarut untuk pensuspensi silika gel dan dimasukkan dengan pipet tetes

44

secara hati-hati agar tidak merusak permukaan atas suspensi silika gel. Pengelusi yang digunakan adalah : n-heksan : etil asetat (7 : 3) n-heksan : etil asetat (6 : 4) n-heksan : etil asetat (1 : 1) Etil asetat (100 %) etil asetat : metanol Metanol (100 %) 500 ml 500 ml 200 ml 200 ml 200 ml 200 ml

Hasil kromatografi ditampung dengan vial 20 ml sebanyak 63 fraksi. Eluat tersebut dimonitor dengan plat KLT dengan penampak noda lampu UV254. Fraksi yang memiliki Rf sama digabung sehingga diperoleh 11 fraksi yaitu NS-1 (1-2), NS-2 (3-7), NS-3 (8-10), NS-4 (12-19), NS-5 (20-25), NS-6 (26-34), NS-7 (35-39), NS-8 (40-45), NS-9 (46-50), NS-10 (51-59), NS-11 (60-63). Dari hasil penggabungan tadi, fraksi NS-2 mengalami pengkristalan di dasar vialnya dan dilakukan rekristalisasi dengan menggunakan beberapa pelarut campur yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol. Fraksi dengan berat 40 mg ini memperlihatkan satu noda di bawah lampu UV254 pada plat KLT dengan eluen n-heksana : etil asetat (4:1) tapi setelah disemprot dengan Metanol/H2SO4 10 % ternyata memberikan dua noda. Pemisahan dilanjutkan menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif yang luas pelatnya berukuran 20 x 20 cm dengan ketebalan 0,5 2 mm. Fasa diam yang digunakan adalah silika gel 60 (40-63) m (Merck) dan fasa

45

geraknya n-heksana : etil asetat (4:1), hasil KLT preparatif dimonitor dengan lampu UV254. Pita senyawa terpisah yang telah ditentukan dikerok dengan spatel kemudian senyawa terpisah diisolasi dari adsorbent dengan pelarut yang sesuai sehingga didapatkan kristal NS-2-1 berupa kristal jarum berwarna putih sebanyak 16 mg. Akan tetapi pada saat karakterisasi senyawa dengan 1H dan 13C-RMI, kristal NS-2-1 terlihat belum murni. Pada fraksi NS4 juga terjadi pengkristalan di dasar vial dan dilakukan pemurniannya dengan menggunakan pelarut campur seperti n-heksana, etil asetat dan metanol yang hasilnya senyawa NS-4-1 berupa kristal jarum berwarna putih sebanyak 11 mg. Senyawa hasil isolasi diuji aktivitas antibakterinya dengan metoda dilusi. 7. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi Karakterisasi senyawa NS-4-1 (fraksi NS-4) hasil isolasi meliputi meliputi pemeriksaan, organaleptis, pemeriksaan fisika, pemeriksaan kimia dan pemeriksaan KLT dan pemeriksaan fisikokimia. 1. Pemeriksaan Organoleptis Pemeriksaan organoleptis ini meliputi pemeriksaan bentuk dan warna dari senyawa murni hasil isolasi (lampiran 9, tabel 5). 2. Pemeriksaan fisika Pemeriksaan fisika meliputi kelarutan, dan penentuan jarak leleh dengan menggunakan alat Fisher Jhon Melting Point Apparatus. Caranya dengan meletakkan butir kristal diantara dua kaca objek dan ditempatkan

dibawah kaca pembesar, sebelumnya alat ini diatur suhunya. Suhu dicatat pada saat kristal mulai meleleh sampai meleleh sempurna ini disebut

46

dengan jarak leleh. Penentuan jarak leleh ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk memastikan hasil jarak leleh yang didapatkan. 3. Pemeriksaan kimia Pemeriksaan kimia dilakukan dengan mereaksikan senyawa hasil isolasi dengan pereaksi tertentu yang menunjukkan golongan senyawa kimia utama seperti pereaksi Libermann Bourchad, Metanol/ H2SO4 10 % dan vanilin asam sulfat merupakan pereaksi positif untuk golongan terpenoid dan steroid, larutan FeCl3 1 % untuk golongan fenol, serbuk Mg/HCl pekat untuk golongan flavonoid, sedangkan pereaksi Dragendorf dan pereaksi Mayer untuk golongan alkaloid. 4. Pemeriksaan KLT Pemeriksaan KLT digunakan untuk melihat kemurnian senyawa hasil isolasi fasa gerak yang digunakan untuk senyawa NS-4-1 dengan fasa gerak n-heksana etil asetat (4:1) diperoleh harga Rf = 0,3 (lampiran 9, tabel 5, gambar 17). 5. Pemeriksaan Fisikokimia a. Pemeriksaan spektroskopi Ultraviolet-Visibel Pemeriksaan spektrum Ultraviolet-Visibel dilakukan dengan

menggunakan alat spektrofotometer Ultraviolet-Visibel Pharmaspec 1700 (Shimadzu). Senyawa hasil isolasi sebanyak 1 mg dilarutkan dalam pelarut metanol sebanyak 10 ml kemudian diukur serapannya.

b. Pemeriksaan spektroskopi inframerah

47

Pemeriksaan spektroskopi Inframerah dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer inframerah (Perkin Elmer F-T IR Spektrum one), dimana senyawa hasil isolasi ditimbang 1 mg digerus bersama dengan KBr 100 mg, lakukan pengempaan sampai terbentuk seperti sebuah pellet yang tipis dan transparan lalu diukur serapan inframerahnya. c. Pemeriksaan spektrum RMI Pemeriksaan spektrum RMI (1H dan 13C ) dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta dengan alat spektrometer NMR DELTA2 125 MHz dan 1H-NMR DELTA2 500 MHz.
13

C-

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

48

4.1 1.

HASIL Dari hasil uji pendahuluan kandungan kimia terhadap spon laut Petrosia nigrans menunjukkan adanya kandungan senyawa terpenoid, steroid, fenolik dan saponin.

2.

Dari 1 kg sampel basah spon laut Petrosia nigrans diperoleh ekstrak kental metanol 41,67 g (4,167 %). Dari hasil fraksinasi diperoleh fraksi n-heksana sebanyak 640 mg (0,064 %), fraksi etil asetat sebanyak 1,4 g (0,14 %) dan fraksi butanol sebanyak 2,4 g (0,24 %).

3.

Dari fraksi n-heksana diisolasi senyawa murni yaitu senyawa NS-4-1 seberat 11 mg (1,71 % dari fraksi n-heksana) dengan Rf = 0,3 (n-heksana : etil asetat 4:1) (lampiran 9, tabel 5, gambar 17). berupa kristal jarum bewarna putih dengan jarak leleh 146-147 C.

4.

Pemeriksaan kimia terhadap senyawa NS-4-1 memberikan hasil positif terhadap pereaksi Liebermann Burchard dengan warna hijau, pereaksi Metanol/H2SO4 10 % memberikan warna merah muda. Sedangkan dengan pereaksi vanilin asam sulfat, NS-4-1 memberikan warna hijau kebiruan (lampiran 9, tabel 5).

5.

Pemeriksaan dengan menggunakan spektrofotometer IR terhadap senyawa NS4-1 menunjukkan pita-pita serapan pada bilangan gelombang 3525-3391 cm-1 (regang 0-H), 2957 cm-1 dan 2873 cm-1 ( regang C-H), 1650 cm-1(regang C=C), 1465 cm-1 dan 1378 cm-1 (lentur C-H), dan 956-653 cm-1 (lentur C=C) (lampiran 10, gambar 20, tabel 6).

49

6.

Pemeriksaan spektrum 1H-RMI dari senyawa NS-4-1 dalam pelarut CDCl3 memperlihatkan sinyal yang tumpang tindih pada pergeseran 0,7-2,1 ppm, sinyal multiplet pada pergeseran 3,95 ppm, sepasang sinyal doublet yaitu pada pergeseran 6,22 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz) dan pada pergeseran 6,48 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz).

7.

Pemeriksaan spektrum

13

C-RMI senyawa NS-4-1

dalam pelarut CDCl3

memperlihatkan 29 sinyal dengan pergeseran kimianya (ppm) : 12,39, 12,69, 18,24, 18,77, 19,03, 19,65, 20,71, 23,07, 23,49, 26,44, 28,32, 29,01, 30,19, 33,77, 34,77, 35,79, 37,00, 37,02, 39,49, 44,81, 46,09, 51,14, 51,65, 56,38, 66,54, 79,30, 82,23, 130,84, 135,47. 8. Dari data IR, 1H-RMI, 13C-RMI, HSQC dan HMBC senyawa NS-4-1 diduga memiliki rumus molekul C29H48O3 yang memiliki struktur 5,8-epidioksi-24etilkolest-6-en-3-ol. 9. Senyawa NS-4-1 aktif sebagai antibakteri dengan KHM 50 ppm terhadap S. aureus sedangkan pada bakteri P. aerugenosa dan E. coli masing-masing dengan KHM 100 ppm.

4.2

PEMBAHASAN

50

Ekstraksi kandungan kimia dari spon laut Petrosia nigrans dilakukan dengan merajang halus spon tersebut. Penghalusan ini bertujuan untuk memperluas permukaan sampel agar kontak antara pelarut dengan sampel semakin luas sehingga mempermudah penetrasi pelarut ke dalam membran sel dan proses pelarutan senyawa-senyawa yang terkandung di dalam sampel sempurna (9,40). Penyarian sampel dilakukan dengan cara maserasi karena maserasi merupakan metode ekstraksi yang pengerjaannya dan alat-alat yang digunakan sederhana, yaitu cukup dengan merendam sampel dalam pelarut organik selama 3-5 hari dan sesekali dikocok. Setelah 5 hari disaring menggunakan kapas. Metanol digunakan sebagai pelarut dalam maserasi ini karena metanol merupakan pelarut yang dapat melarutkan hampir semua senyawa organik dalam spon laut, baik polar maupun non polar dan metanol mempunyai titik didih rendah (67,5 C) sehingga mudah diuapkan. Ekstrak metanol yang diperoleh diuapkan pelarutnya secara in vacuo karena dalam keadaan vakum tekanan uap pelarut akan menjadi turun dan pelarut akan mendidih dan pada temperatur lebih rendah dari titik didihnya sehingga dapat mengurangi resiko kerusakan senyawa termolabil yang ada di dalam sampel. Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya. Pelarut n-heksana akan menarik senyawa-senyawa non polar menjadi

karena sifatnya yang non-polar, etil asetat untuk menarik senyawa semi polar karena bersifat semi polar dan senyawa polar ditarik dengan pelarut butanol yang bersifat polar.

51

Fraksinasi ini didasarkan pada sifat kelarutan dari senyawa-senyawa organik dimana senyawa tersebut akan mudah larut di dalam pelarut yang mempunyai tingkat kepolaran yang sama atau hampir sama. Fraksinasi ini bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang ada berdasarkan sifat kepolarannya. Fraksi yang didapat dipekatkan in vacuo sehingga didapat ekstrak kental untuk setiap fraksi, ini bertujuan untuk mengetahui berat dari masing-masing fraksi. Metoda yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri terhadap ekstrak adalah difusi agar. Metoda ini bertujuan untuk melihat diameter hambat pertumbuhan bakteri uji. Besarnya diameter hambat yang ditimbulkan dapat menentukan kemampuan aktivitas ekstrak sebagai antibakteri. Pada uji pendahuluan yang telah dilakukan, ekstrak metanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji walau diameter hambatnya cukup kecil dibanding dengan kontrol positif (lampiran 5, 6, gambar 11, 12, 13, 14, tabel 2). Pengujian aktivitas terhadap fraksi n-heksana, etil asetat dan n-butanol dan senyawa kimia utama dilakukan dengan menggunakan metoda dilusi. Metoda ini dilakukan karena sampel yang ada hanya sedikit selain itu dapat menentukan KHM dari suatu zat uji secara langsung. Prinsip kerja metoda ini adalah dengan membandingkan kekeruhan antara larutan kontrol dengan larutan uji yang

dilakukan pengenceran bertingkat sehingga diperoleh konsentrasi setengah dari konsentrasi awal. Pengamatan dapat dilihat langsung secara visual dimana suspensi bening pada lubang microtiterplate 96-Well menunjukkan tidak terjadi pertumbuhan bakteri dan konsentrasi pada lobang tersebut diangggap langsung sebagai KHM.

52

Metoda dilusi merupakan metoda pengujian aktivitas antibakteti yang lebih sederhana dan memiliki beberapa keuntungan diantaranya : Sampel yang digunakan lebih sedikit karena untuk mendapatkan konsentrasi diinginkan tidak perlu membuat konsentrasi baru tetapi dapat dilakukan pengenceran dari larutan induk. Metoda ini dapat menjamin homogenitas yang lebih besar antara media dan larutan ekstrak dibandingkan metoda difusi dan metoda Bioautografi. Jumlah ekstrak yang digunakan relatif sedikit, dapat digunakan untuk pengujian aktivitas dari beberapa fraksi dan senyawa. Lebih sederhana dapat ditentukan langsung konsentrasi Hambat Minimum (KHM) nya. Antibiotik kloramfenikol 0,3 % digunakan sebagai kontrol untuk pengujian aktivitas antibakteri pada pengujian dengan metoda difusi agar dan konsentrasi 12 ppm pada metoda dilusi. Kloramfenikol merupakan salah satu antibiotik berspektrum luas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Sebagai pelarut sampel dan kontrol negatif digunakan DMSO (dimetilsulfoksida). DMSO merupakan salah satu pelarut yang dapat melarutkan hampir semua senyawa baik polar maupun non polar. Selain itu DMSO tidak memberikan daya hambat pertumbuhan bakteri sehingga tidak menggangu hasil pengamatan pengujian aktivitas antibakteri dengan metoda difusi agar maupun dilusi. Bakteri uji yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri adalah bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aerugenosa,

53

dan Escherichia coli, bakteri ini digunakan karena sudah mewakili bakteri gram positif dan gram negatif selain itu bakteri ini merupakan mikroorganisme patogen yang dapat menginfeksi tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit, penyakit saluran pernafasan, dan penyakit saluran pencernaan. Dari hasil uji aktivitas antibakteri pada masing-masing fraksi ekstrak, setiap fraksi memperlihatkan adanya daya hambat bakteri. Fraksi n-heksana memberikan KHM 1000 ppm terhadap setiap bakteri, fraksi etil asetat memberikan KHM 500 ppm terhadap Pseudomonas auruginosa dan KHM 1000 ppm terhadap bakteri lainnya. Sedangkan fraksi n-butanol memberikan KHM 500 ppm terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus epidermidis dan KHM 1000 ppm terhadap bakteri lainnya (lampiran 5, 7, gambar 15, tabel 3). Dari hasil pemonitoran dengan metoda KLT dan uji aktivitas antibakteri terhadap semua fraksi , maka pengerjaan isolasi dilanjutkan pada fraksi nheksana, sebab pola penyebaran noda KLT fraksi ini memperlihatkan pemisahan noda yang sangat baik menggunakan fase gerak n-heksana : etil asetat 7:3. Selain itu fraksi ini juga memperlihatkan aktivitas antibakteri walaupun aktivitasnya tidak sebesar fraksi lainnya. Kromatografi kolom merupakan metoda pemisahan yang paling umum digunakan dan dapat memisahkan komponen kimia dalam sampel (10). Isolasi fraksi n-heksana dilakukan dengan metoda kromatografi kolom dengan fase gerak n-heksana : etil asetat (7:3, 6:4, 1:1), etil asetat 100 %, etil asetat : metanol (1:1) dan terakhir dengan metanol 100 % yang menghasilkan

54

11 fraksi yaitu NS-1 sampai dengan NS-11. Fraksi NS-2 dan fraksi NS-4 mengalami pengkristalan di dasar vialnya. Fraksi yang telah menunjukkan hampir satu noda pada plat KLT direkristalisasi dengan menggunakan sistem dua pelarut yang tidak bercampur, dimana senyawa yang akan direkristalisasi mudah larut dalam satu pelarut dan sukar larut atau tidak larut sama sekali di dalam pelarut lainnya. Pada penelitian ini digunakan beberapa campuran pelarut seperti n-heksana, etil asetat, dan metanol. Isolat yang didapat dicuci dengan menggunakan satu pelarut atau

campuran beberapa pelarut dilakukan berulang-ulang kali, sehingga diperoleh senyawa murni yang menunjukkan satu noda bulat bila dimonitor dengan plat KLT. Fraksi NS-2 direkristalisasi dengan menggunakan beberapa pelarut campur yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol. Fraksi dengan berat 40 mg ini memperlihatkan satu noda di bawah lampu UV254 pada plat KLT dengan eluen nheksana : etil asetat (4:1) tapi setelah disemprot dengan Metanol/H 2SO4 10 % ternyata memberikan dua noda dimana Rf kedua senyawa itu hampir sama. Karena jumlah sampel sangat sedikit maka pemisahan dilanjutkan menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif yang luas pelatnya berukuran 20 x 20 cm dengan ketebalan 0,5 2 mm. Fasa diam yang digunakan adalah silika gel 60 (40-63) m (Merck) dan fasa geraknya n-heksana : etil asetat (4:1), hasil KLT preparatif dimonitor dengan lampu UV254. Pita senyawa terpisah yang telah ditentukan dikerok dengan spatel kemudian diekstraksi dengan pelarut etil asetat sehingga didapatkan kristal jarum NS-2-1 berwarna putih sebanyak 16 mg. Akan

55

tetapi, walaupun telah menunjukkan satu noda pada lampu UV254 dan penampak noda Metanol/ H2SO4, pada pemeriksaan spektrum 1H dan 13C-RMI, kristal NS-21 ini terlihat belum murni karena sangat banyaknya sinyal proton dan karbon yang terlihat pada spektrum. Pemurnian tidak dilanjutkan karena sampel yang tersisa sangat sedikit dan oleh karena campuran senyawa ini terdiri dari senyawasenyawa yang memiliki harga Rf yang sama maka sangat sulit dipisahkan. Pada fraksi NS-4 juga terjadi pengkristalan di dasar vial dan dilakukan pemurniannya dengan menggunakan pelarut campur seperti n-heksana, etil asetat dan metanol yang hasilnya senyawa NS-4-1 berupa kristal jarum berwarna putih sebanyak 11 mg. Karakterisasi senyawa NS-4-1 meliputi penentuan jarak leleh menggunakan alat Fisher-Johns Melting Point Apparatus, diketahui bahwa NS-4-1 memiliki jarak leleh 146-147 C. Nilai ini menunjukkan bahwa senyawa NS-4-1 relatif murni karena jarak lelehnya yang sempit Penentuan golongan senyawa hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan beberapa pereaksi kimia. Senyawa NS-4-1 diduga golongan steroid karena hasil uji dengan pereaksi Metanol/H2SO4 10 % berwarna merah muda dan pereaksi Liebermann Bourchard berwarna hijau, sedangkan dengan vanilin asam sulfat berwarna hijau kebiruan (lampiran 9, gambar 17-19, tabel 5). Pemeriksaan spektrum Inframerah bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi yang dikandung senyawa tersebut (41). Senyawa NS-4-1 menunjukkan pita-pita serapan pada bilangan gelombang 3525-3391 cm-1 (regang 0-H), 2957 cm-1 dan

56

2873 cm-1 (regang C-H), 1650 cm-1(regang C=C), 1465 cm-1 dan 1378 cm-1 (lentur C-H), dan 956-653 cm-1 (lentur C=C) (lampiran 10, gambar 20, tabel 6). Pemeriksaan spektrum 1H-RMI senyawa NS-4-1 memperlihatkan kelompok sinyal yang khas pada daerah 0,7-2,1 ppm yang saling tumpang tindih, ini memberikan informasi bahwa senyawa tersebut adalah suatu steroid (42) . Hal ini diperkuat dari data 13C-RMI yang menunjukkan adanya 29 atom C (lampiran 11, gambar 21, tabel 7). Sinyal multiplet pada pergeseran 3,95 ppm menunjukkan adanya proton yang terikat dengan atom C yang mengandung atom elektronegatif (oksigen) sehingga pergeseran kimianya kearah downfield (daerah dengan ppm lebih tinggi) (53). Hal ini didukung oleh spektrum
13

C-RMI pada pergeseran

kimia 66,54 ppm yang menunjukkan ikatan CH yang terikat dengan gugus OH. Pada pergeseran kimia 6,22 ppm dan 6,49 ppm terdapat sepasang sinyal doublet yang diduga berasal dari proton yang terikat pada ikatan rangkap salah satu cincin inti steroid. Spektrum HSQC (Heteronuclear Single Quantum Connection) memberikan informasi tentang korelasi antara masing-masing proton dengan atom C yang mengikatnya. Proton pada pergeseran kimia 6,22 ppm berikatan dengan atom C pada pergeseran kimia 135,77 ppm. Proton pada pergeseran kimia 6,49 ppm berikatan dengan atom C pada pergeseran kimia 130,9 ppm. Proton pada pergeseran kimia 0,80 ppm memperlihatkan sinyal singlet yang berikatan dengan atom C pada pergeseran 12,7 ppm (lampiran 13, gambar 23, tabel 9). Diduga ini merupakan sinyal proton dari gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C kuarterner (C10) yang terletak antara cincin A dan cincin B inti steroid. Proton

57

pada pergeseran kimia 0,88 ppm memperlihatkan sinyal singlet yang berikatan dengan atom C pada pergeseran kimia 18,24 ppm (lampiran 13, gambar 23, tabel 9). Diduga sinyal proton ini berasal dari gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C kuarterner (C13) yang terletak antara cincin C dan cincin D inti steroid. Spektrum HMBC (Heteronuclear Multiplet Bond Connection) memberikan informasi tentang korelasi antara masing-masing proton dengan atom C tetangga sampai dua ikatan (1H-C-13C) atau tiga ikatan (1H-C-C-13C). Proton pada

pergeseran kimia 6,22 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz ) (C6) bertetangga dengan proton pada pergeseran kimia 6,49 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz)) (C7). Proton pada pergeseran kimia 6,22 ppm dan 6,49 ppm ini bertetangga dengan atom C pada pergeseran kimia 82,23 ppm (C5) dan 79,30 ppm (C8) (lampiran 14, gambar 24, tabel 10). Hal ini memperkuat adanya ikatan rangkap antara atom C6 dan C7 pada cincin B inti steroid. Sinyal-sinyal pada spektrum 1H-RMI diatas merupakan sinyal khas senyawa 5,8-epidioksi sterol. Karateristik yang membedakannya dengan sterol yang lain adalah adanya ikatan rangkap yang terdapat diantara C6 dan C7 cincin B inti steroid dan juga adanya ikatan epidioksi (-O-O-) yang terdapat diantara pada C 5 dan C8. Hal ini diperkuat lagi oleh spektrum 13C-RMI, HSQC dan HMBC. Hasil spektrum ini dibandingkan dengan spektrum senyawa 5,8-epidioksi sterol lainnya (43) ( lampiran 16, 17, gambar 25, tabel 12). Dari hasil analisa data spektrum 1H-RMI ,
13

C-RMI, HSQC dan HMBC

diperkirakan senyawa NS-4-1 ini mempunyai struktur inti seperti gambar berikut (vii)

58

19 12 11 18 1 2 3 HO 10 9

R
17

C
8

13 14 O H

16 15

A
4

B
6

O H

: (vii) Untuk memperkirakan rantai samping (-R) yang terdapat pada senyawa NS4-1, maka senyawa ini dibandingkan dengan senyawa sterol lain yang memiliki jumlah atom C yang sama (29 atom C) dan mempunyai pergeseran kimia 13CRMI yang hampir sama. Pembanding yang digunakan adalah -sitosterol karena senyawa golongan sterol ini memiliki 29 atom C (19). Pergeseran kimia 13C-RMI rantai samping (-R) kedua senyawa ini memiliki persamaan pada atom C20 sampai dengan atom C29 (lampiran 18, 19, gambar 26, tabel 14). Hal ini diperkuat dengan spektrum HSQC senyawa NS-4-1 yaitu terlihat adanya enam gugus metil (-CH3) pada pergeseran 12,39 ppm, 12,69 ppm, 18,24 ppm ,18,77 ppm, 19,03 ppm, dan 19,65 ppm (lampiran 13, gambar 23, tabel 9). Dua diantaranya diduga terdapat pada cincin inti steroid yaitu pada pergeseran 12,69 ppm (C18) dan pergeseran 18,24 ppm (C19) sehingga diperkirakan ada empat gugus metil (-CH3) yang terdapat pada rantai samping senyawa NS-4-1.

59

Dari keseluruhan analisa diatas diperkirakan senyawa NS-4-1 dari spon laut Petrosia nigrans ini mempunyai rumus molekul C29H48O3 dengan nama 5,8epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol, dan struktur seperti gambar berikut :
29 28

21 19 12 11 18 1 2 3 HO 10 5 9 13 14 O

22 20 23
24

27 25 26

17

C
8

16 15

B
6 O

Gambar 7. Rumus Struktur 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol Dari hasil uji aktivitas antibakteri senyawa NS-4-1 terhadap masing-masing bakteri memperlihatkan senyawa ini memberikan KHM 50 ppm terhadap Staphylococcus aureus dan pada KHM 100 ppm terhadap bakteri Pseudomonas aerugenosa dan Escherichia coli (lampiran 5, 8, gambar 16, tabel 4). Dari hasil penelusuran literatur, senyawa epidioksi sterol yang dihasilkan dari kulit batang Feronia limonia memiliki aktivitas antibakteri walau aktivitasnya cukup lemah terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli (48). Senyawa-senyawa 5-8-epidioksi sterol merupakan senyawa metabolit sekunder yang biasanya terdapat pada jamur, lichenes, dan organisme laut seperti spon laut (44). Senyawa 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol pernah diisolasi dari spon laut Tethya aurantia dari perairan California (45). Dari pengujian bioaktivitas ternyata senyawa-senyawa dari golongan 5,8-epidioksi sterol ini memperlihatkan aktivitas yang menarik seperti sitotoksik, antioksidan dan lainnya (43,44,46,47).

60

V. KESIMPULAN DAN SARAN

61

5.1 Kesimpulan 1. Dari 1 Kg sampel basah spon laut Petrosia nigrans yang diambil di perairan Painan sekitar pulau Babi, kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat didapatkan senyawa kimia utama murni yaitu senyawa NS-4-1 berbentuk kristal jarum berwarna putih sebanyak 11 mg dengan jarak leleh 146-0C 1470C. 2. Berdasarkan data spektroskopi IR, 1H-RMI,
13

C-RMI, HSQC dan HMBC

diperkirakan senyawa NS-4-1 ini mempunyai rumus molekul C29H48O3 dengan nama 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol, serta struktur seperti gambar berikut :
29 28

21 19 12 11 18 1 2 3 HO 10 5 9 13 14 O

20

22 23
24

27 25 26

17

C
8

16 15

B
6 O

3. Senyawa ini menunjukkan aktivitas terhadap bakteri Pseudomonas aerugenosa , Escherichia coli masing-masing dengan KHM 100 ppm sedangkan terhadap Staphylococcus aureus dengan KHM 50 ppm. 5.2 Saran Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat mengisolasi senyawa kimia utama dari fraksi yang berbeda.

62

DAFTAR PUSTAKA

63

1. Suparno., Kajian Bioaktif Spon Laut (Porifera : Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Dalam Bidang Farmasi, Makalah Pribadi Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor, 2005. 2. Krajick, Kevin., Medicine From The Sea, http://www.smithsonianmag.si.edu/ issues04/may04/pdf/marine.pdf, 2004. 3. Edrada, R.A., V.Wray, D.Handayani, P.Schupp, M.Balbin-Oliveros, and P.Proksch., Structure Activity Relationship of Bioactive Metabolites from Some Indo-Pasific Marine Invertebrates, in Studies in Natural Products Chemistry, Atta-ur-Rahman (Ed), Elsevier Science, 21, 2000, 251 254. 4. Proksch, R. Ebel, R. A. Edrada, P. Schupp, W. H. Lin, Sudarsono, V. wray and K. Steube., Detection of Pharmacologically Active Natural Products Using Ecology. Selected Examples from Indopasific Marine Invetebrates and SpongeDerived Fungi, Pure Appl. Chem., Vol. 75, Nos. 23 pp, 2003, 343352. 5. Marinlit, Version September, A Marine Literature Database Produced and Maintained, by the Departement of Chemistry, University of Canterbury, New Zealand, 2001. 6. K. A. El Sayed, M. Kelly, U. A. K. Kara, k. K. H. Ang, I, Katsuyama, D. C. Dunbar, A. A. Khan, and M. T. Hamann., New Manzamine Alkaloids with Potent Activity against Infectious Disease, J. Am. Chem. Soc. 2001, 123, 18041808. 7. Hye Joung Cho, Song-Ja Bae, Nam Deuk Kim, Jee H. Jung and Yung Hyun Cho., Induction of Apoptosis by Dideoxypetrosynol A, A Polyasetylene from Sponge Petrosia sp., in Human Skin Melanoma Cells, International Journal of Molecular Medicine, 2004, 1091-1096. 8. Sutedja, Lenny, L.Z.Udin, dan A.Manupputy., Antimicrobial Activity of the Sponge Petrosia contignata Thiele, Sistem Informasi Dokumen Kegiatan Pusat Penelitian Kimia LIPI, Bandung, 2005. 9. Harborne, J.B., Metode Fitokimia : Penuntun Cara Menganalisis Tumbuhan, Terbitan kedua, diterjemahkan oleh K.Padmawinata dan I.Soediro, Penerbit ITB, Bandung, 1987. 10. Gritter, J. Roy, James M. Bobbitt.,Arthur dan E. Schwarting., Pengantar Kromatografi, Terbitan kedua, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1991. 11. Crews, P., J. Rodriguez and M. Jaspars., Organic Structure Analysis, Oxford University Press, New York, 1998.

64

12. Jasin, M., Zoologi Invertebrata Untuk Perguruan Tinggi, Cetakan Keempat, Penerbit Sinar Wijaya, Surabaya, 1992, 89-102. 13. Soest, R.W.M. van, T.M.G. van Kempen and J.C. Braekman, Sponges in Time and Space, A. A. Balkema, Rotterdam, 1994. 14. Kaestner, B. van A.and H. van H.E. Gruner, Lehrbuch der Spezieellen Zoologie, Band 1, Gustav Fischer Verlag, Stuttgart, 1980, 251-285. 15. Http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy.html 16. Ilan M, Gugel J, Van Soest RWM, Taxonomy, reproduction, ecology of new and Known Red Sea Sponges, Sarsia, 2004, 89, 388-410. 17. Clarke, C. G. E., Isolation and Identification Drug, The Pharmaceutical Prees, London, 1978. 18. Siverstein, R.M., G. C. Bassler and T.C. Morill, Spectrometric, Identification of Organic Compounds, 5th Ed., John Willey and Sons, New York, 1991. 19. Pouchert C.J. and J. Behnke, Aldrich Library of 13C and 1H NMR Spectra, ed.I, vol. III, Aldrich Chem. Co., Wisconsin, 1993. 20. Miller, L.P., Phytochemistry of Organic Metabolite, vol. II, Van Nostrand Reinhold Co., New York, Cincinati, Toronto London, Melbourne, 1973. 21. Tyler, V.E.,L.R. Brady and J.E. Robbes, Pharmacognocy, 7th ed., Lea and Febiger, Philadelpia, 1976. 22. Mann, J., Chemical Aspect of Biosynthesis, 1st ed., Oxford University Press, Oxford, New York, Tokyo, 1994. 23. Mann, J., R.S. Davidson, J.B. Hobbs, D.V. Banthorpe and J.B. Harborne, Natural Products, Their Chemistry and Biological Significance, 1st ed., Longman Scientific and Technical, England, 1994. 24. Pine, S.H., J.B. Hendrickson, DJ. Cram and G.S. Hammond, Organic Chemistry (Kimia Organik I), Terbitan ke-4, diterjemahkan oleh Roehyati Joedodibroto dan Sasanti W. Purbo Hadiwidjoyo, Penerbit ITB, Bandung, 1988. 25. Raphael, I., Natural Product, a laboratory guide, 2nd ed, Academic Press inc. San Diego Calivornia, 1991. 26. Mannito, P., Biosinthesis of Natural Product (Biosintesis Produk Alami), diterjemahkan oleh Koensoermardiyah, IKIP Semarang Press, Semarang, 1992.

65

27. Volk, W. A. dan M. F. Wheeler, Mikrobiologi Dasar, Ed. V, Jilid 2, diterjemahkan oleh Sumarto Adisumartono, Erlangga, Jakarta, 1990. 28. Scheuer, J.P., Marine Natural Products (Produk Alami Lautan Dari Segi Kimia Dan Biologi), diterjemahkan oleh Koensoermardiyah, Acadenic Press, New York San Fransisco London, 1978, 73-135. 29. Jawetz. B., J. L. Melnick, dan E. A. Adelberg., Mikrobiologi Kedokteran, Ed. XX, diterjemahkan oleh Edi Nugroho dan RF Maulany, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1995 30. Reeves, D. S., I. Phillips, J. D. Williams and R. Wise, Laboratory Methods in Antimicrobial Chemoterapy, Churchill Livingstone, New York, 1978. 31. Berghe, D. A. V. and A. J. Vlietinck, Screening Methods for Antibacterial and Antiviral Agents from Higher Plants, in Hostettmann (Ed), A Methods in Plant Biochemistry, 6, 1991, 47-68. 32. Betina, V., Bioautography in Paper and Thin Layer Chromatography and Its Scope in The Antibiotik Field, J. Chromatography, 78, 1973, 31-34. 33. Mustchler, E., Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, Ed. V, diterjemahkan oleh Widiano, M. B dan A. S Ranti, ITB, Bandung, 1991. 34. Parfitt, K., Martindale Pharmaceutical Press, 1999. The Complete Drug Reference, 32th ed,

35. Widodo, U., J. Bircher dan E. Lotteres, Kumpulan Data Klinik Farmakologik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993. 36. Simes, J.JH., J.G. Tracey, L.J. Webb and W.J. Dunstan, An Australian Phytochemical Survey Saponins and Eastern Australian Flowering Plant, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Australia, 1959. 37. Hertiani, T., S.I. Palupi, Saniferianti and D.H. Nurwindasari, In Vitro Test on Antimicrobial Potency Against Staphylococcos aureus, Escherichia coli, Shigella dysentriae and Candida albicans of Some Herbs Traditionally Used To Infection Diseases, Pharmacon, Vol. 4, No. 2, Desember 2003. 38. Lay, B. W., Analisis Mikroba di Laboratorium, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. 39. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatah Repoblik Indonesia, Jakarta, 1995.

66

40. Geisman, T. A., and D. H. G, Crout, Organic Chemistry of Metabolit Secondary Plant Metabolism, Universitas California, Los Angeles, 1966. 41. Dachriyanus, Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi, Andalas University Press, Padang, 2004. 42. Friebolin. H., Basic One and Two Dimensional NMR Spectroscopy, 2nd edition, Translate By Jack K. Becconsall, VHC Verlagsgessellscaft Mbh, D-6940 Weinheim (Federal Republic of Germany), 1993. 43. Y. Sera, K. Adachi, and Y. Shizuri, A New Epidioxy Sterol as an Antifouling Subtance from a Palauan Marine Sponge, Lendenfeldia chondrodes, J. Nat. Prod. 1999, 62, 152-154. 44. L. Gunatilaka, Y. Gopichand, F.J., J. Schmitz and C. Djerassi, Minor and Trace Sterols in Marine Invertebrates. 26.' Isolation and Structure Elucidation of Nine New 5a,8a-Epidioxy Sterols from Four Marine Organisms, J. Org. Chem. 1981, 46, 3860-3866. 45. Y. M. Sheikh, C. Djerassi, Steroids From Sponges, Tetrahedron, 1974, Vol. 30, 4095-4103. 46. S. W. Kim, S. S. Park, T. J. Min, and K. H. Yu, Antioxidant Activity of Ergosterol Peroxide (5,8-Epidioxy-5a,8a-ergosta-6,22E-dien-3b-ol) in Armillariella mellea, Bull. Korean Chem. Soc. 1999, Vol. 20, No. 7 819. 47. J. H. Sheu, K. C. Chang, and C. Y. Duh, A Cytotoxic 5-8-epidioxysterol from a Soft Coral Sinularia Species, J. Nat. Prod, 2000, 63,149-151. 48. M. Rahman, I. Alexander, Gray, Antimicrobial Constituents from The Stem Bark of Feronia limonia, Phytochemistry, 2002, 59, 73-77.

Lampiran 1. Spon laut Petrosia nigrans

67

DH-33

Gambar 8. Foto Spon laut Petrosia nigrans

Lampiran 2. Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia dari Spon laut Petrosia nigrans

68

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia Metabolit Sekunder dari Spon laut Petrosia nigrans No 1 2 3 4 5 Kandungan Kimia Alkaloid Flavonoid Terpenoid/Steroid Saponin Fenolik Pereaksi Mayer HCl/Mg Asetat anhidrat:H2SO4 Pekat Air/Busa FeCl3 Hasil + + +

Keterangan : + : Bereaksi - : Tidak bereaksi

Lampiran 3 : Skema Ekstraksi dan Fraksinasi Spon laut Petrosia nigrans

Spon laut Petrosia nigrans (1 Kg) Dirajang Halus

69

Maserasi dengan MeOH 3-5 Hari ( 1 L) Disaring

Ekstrak MeOH

Ampas

Ekstrak Kental MEOH (41,67 g)

Pekatkan in vacuo

Uji aktivitas Tambahkan Aquadest Fraksinasi dengan n-Heksana

Fraksi n-Heksana

Fraksi Air

Fraksi Kental n-Heksana (640 mg)

Pekatkan in vacuo Fraksi EtOAC

Fraksinasi dgn EtOAC Fraksi Air

Pekatkan in vacuo

Fraksinasi dgn n-Butanol


Fraksi Kental EtOAC (1,4 g)
(1,4 g)

Fraksi n-BuOH

Fraksi Sisa Pekatkan in vacuo

Fraksi Kental n-Butanol (2,4 g)

Uji aktivitas

Gambar 9. Skema Ektraksi dan Fraksinasi Spon laut Petrosia nigrans Lampiran 4 : Skema Isolasi dan Pemurnian Senyawa Kimia Utama dari Fraksi Non Polar Spon laut Petrosia nigrans

Fraksi n-heksana (640 mg)

70

Monitor dengan KLT Kromatografi kolom Tampung dengan vial

NS -1

NS -2

NS -3

NS -4

NS -5

NS -6

NS -7

NS -8

NS -9

NS -10

NS -11

- Kristal yang terbentuk dipisahkan dengan pelarut yang sesuai - Monitor dengan KLT - KLT Preparatif pelarut n-heksanaetil asetat (4:1) - Rekristalisasi Kristal NS-2-1 (16 mg)

- Kristal yang terbentuk dipisahkan dengan pelarut yang sesuai - Monitor dengan KLT - Rekristalisasi

Senyawa NS-4-1 (11 mg)

Tidak Dilanjutkan

Uji Aktivitas dan Penentuan KHM Uji Organoleptis Pengukuran Jarak Leleh Spektroskopi

Gambar 10. Skema Isolasi Senyawa NS-4-1 Spon laut Petrosia nigrans Lampiran 5 : Pemeriksaan Aktivitas Antibakteri Spon laut Petrosia nigrans

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Aktivitas Antibakteri dari Ekstrak Metanol Spon laut Petrosia nigrans dengan Metoda Difusi Agar

71

Bakteri

SA SE EC PA

Diameter Hambat Ekstrak Metanol (1% b/v) (mm) 7 9 7 6

Diameter Hambat K+ (mm) 11 20 30 12

Diameter Hambat K(mm) -

Keterangan :

SA : Staphylococcus aureus SE : Staphylococcus epidermidis EC : Escherichia coli PA : Pseudomonas aeruginosa Kontrol positif (K+) : Kloramfenikol 0,3%b/v Kontrol negatif (K-) : DMSO

Lampiran 5 (lanjutan) Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Aktivitas Antibakteri dari Fraksi Ekstrak Spon laut Petrosia nigrans dengan Metoda Dilusi

72

No 1.

Sampel Fraksi n-Heksana

Bakteri SA SE EC PA SA SE EC PA SA SE EC PA 1000 + + + + + + + + + + + + 500 + + + -

2.

Fraksi Etil asetat

3.

Fraksi n-butanol

Konsentrasi (ppm) 250 125 62,5 -

31,25 -

KHM (ppm) 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 500 1000 500 500 1000

Keterangan :

SA : Staphylococcus aureus SE : Staphylococcus epidermidis EC : Escherichia coli PA : Pseudomonas aeruginosa Kontrol positif : Kloramfenikol 12 ppm Kontrol negatif : DMSO 10 l + : Aktif (bening) : Tidak aktif (keruh)

Lampiran 5 (Lanjutan). Tabel 4. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa NS-4 1 dengan Metoda Dilusi

73

Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis Pseudomonas aeruginosa Escherichia coli

Sampel Uji

Konsentrasi senyawa (ppm) 100 + + + 50 + 25 12,5 6,25 3,125 -

KHM (ppm) 50 >100 100 100

NS-4-1

Lampiran 6. Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Metoda Difusi Agar

74

Gambar 11. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Gambar 12. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis Lampiran 6. (lanjutan)

75

Gambar 13. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap Bakteri Escherichia coli

Gambar 14. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa Lampiran 7. Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Ekstrak dengan Metoda Dilusi

76

Gambar 15. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Ekstrak Spon laut Petrosia nigrans Keterangan : A-F Pengenceran bertingkat suspensi bakteri dan sampel uji dengan konsentrasi awal 1000 ppm sampai 31,25 ppm. K+ Kontrol positif (Kloramfenikol 12 ppm) K- Kontrol negatif (DMSO 10 l) 1-3 Bakteri Escherichia coli 4-6 Bakteri Pseudomonas aeruginosa 7-9 Bakteri Staphylococcus epidermidis 10-12 Bakteri Staphylococcus aureus 1,4,7,10 2,5,8,11 3,6,9,12 Fraksi n-heksana Fraksi etil asetat Fraksi n-butanol

Lampiran 8. Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Kimia Utama dengan Metoda Dilusi

77

Gambar 16. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa NS-4-1 Keterangan : A-F Pengenceran bertingkat suspensi bakteri dan sampel uji dengan konsentrasi awal 100 ppm sampai 3,125 ppm. G Kontrol positif (Kloramfenikol 12 ppm) H Kontrol negatif (DMSO 10 l) 1-2 Bakteri Staphylococcus aureus 3-4 Bakteri Staphylococcus epidermidis 5-6 Bakteri Pseudomonas aeruginosa 7-8 Bakteri Escherichia coli

Lampiran 9. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi

78

Tabel 5. Karakterisasi Senyawa NS-4-1

No 1. 2.

Karakterisasi Organoleptis Pemeriksaan Fisika Bentuk Warna Kelarutan

NS-4-1 Kristal jarum Putih Larut nheksan,sangat larut etil asetat, sukar larut MeOH 1460C-147 0C Tidak bereaksi Hijau Tidak bereaksi Tidak bereaksi Hijau Kebiruan n-heksana : etil asetat(4:1) 0,3 (gambar 17) Diklorometana : etil asetat(9:1) 0,3 (gambar 18) Kloroform : etil asetat(9:1) 0,33 (gambar 19)

3.

Pemeriksaan kimia

4.

Pemeriksaan KLT

Jarak leleh - Dragendorf - LB - Sianidin test - Feri klorida - Vanilin.H2SO4 Eluen Rf Eluen Rf Eluen Rf

79

Lampiran 9. ( Lanjutan )

8 cm

2,4 cm

80

A Gambar 17. Pola KLT dari Senyawa Murni dengan Penampak Noda Liebermann Bourchard Keterangan : A. Senyawa NS-4-1, eluen n-heksana : etil asetat (4:1) Rf = 0,3

Lampiran 9 ( Lanjutan )

8 cm

2,4 cm cm

81

Gambar 18. Pola KLT dari Senyawa Murni dengan Penampak Noda Liebermann Bourchard Keterangan : A. Senyawa NS-4-1, eluen Diklorometana (DCM): etil asetat (9:1) Rf = 0,3

Lampiran 9 ( Lanjutan )

8 cm

2,7cm

82

Gambar 19. Pola KLT dari Senyawa Murni dengan Penampak Noda Liebermann Bourchard Keterangan : A. Senyawa NS-4-1, eluen Kloroform : etil asetat (9:1) Rf = 0,33

Lampiran 10. Spektrum dan Data IR Senyawa NS-4-1


33.3 32 30 28 26
1650 1172 858 779 725 1076 935 956 1028 2346

653

24 22 20 %T 18 16 14 12
2873 3391 3525 1465 1378 1045

10 8
2957

6.0 4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 cm-1 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0

Gambar 20. Spektrum Inframerah Senyawa NS-4-1

83

Tabel 6. Data Hasil Pemeriksaan Spektrum Inframerah Senyawa NS-4-1 No 1 2 3 4 5 Bilangan gelombang(cm-1) 3525 dan 3391 2957 dan 2873 1650 1465 dan 1378 956-653 Keterangan Regang O-H Regang C-H Regang C=C Lentur C-H Lentur C=C

Lampiran 11. Spektrum dan Data Spektroskopi 13C-RMI Senyawa NS-4-1

84

Gambar 21. Spektrum 13C-RMI Senyawa NS-4-1 Lampiran 11. (lanjutan )

85

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Spektrum 13C-RMI Senyawa NS-4-1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. CH3 12,39 12,69 18,24 18,77 19,03 19,65 (ppm) CH2 CH 20,71 29,44 23,07 35,79 23,49 46,09 28,32 51,14 29,01 51,65 30,19 56,38 33,77 66,54 34,77 130,84 37,00 135.47 39,49

C 37,02 44,81 79,30 82,23

Lampiran 12. Spektrum dan Data Spektroskopi 1H-RMI Senyawa NS-4-1

86

Gambar 22. Spektrum 1H-RMI Senyawa NS-4-1 Lampiran 12. (lanjutan)

87

Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Spektrum 1H-RMI Senyawa NS-4-1 No. 1. 2. 2. Ket: d = doublet m = multiplet (ppm) 6,22 6,48 3,95 Konstanta Kopling (J) 8,55 Hz 8,55 Hz Integritas proton 1 1 1 Ket. CH; d CH; d CH; m

Lampiran 13. Spektrum dan Data HSQC Senyawa NS-4-1

88

Gambar 23. Spektrum HSQC Senyawa NS-4-1 Lampiran 13. (lanjutan)

89

Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Spektrum HSQC Senyawa NS-4-1 No. 1. 2. 3. 4.


1

H (ppm)

13

C (ppm)

6,22 (1H, d, J = 8,55 Hz ) 6,49 (1H, d, J = 8,55 Hz ) 0,80 0,88

135,77 130,9 12,7 18,24

Lampiran 14. Spektrum dan Data HMBC Senyawa NS-4-1

90

Gambar 24. Spektrum HMBC Senyawa NS-4-1 Lampiran 14. (lanjutan)

91

Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Spektrum HMBC Senyawa NS-4-1 No. 1. 2.


1

H (ppm)

13

C (ppm)

6,22 (1H, d, J = 8,55 Hz ) 6,49 (1H, d, J = 8,55 Hz )

79,30 ; 82,23 79,30 ; 82,23

Lampiran 15. Data Penyebaran Atom C Senyawa NS-4-1

92

Tabel 11. Data Penyebaran Atom C Senyawa NS-4-1 No. CH3 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. (ppm) CH2 CH 34,77 30,19 66,5 37,00 135,47 130,84 79,30 51,14 37,02 20,71 39,49 44,81 51,65 23,49 28,32 56,38 12,69 18,24 35,79 19,03 33,77 29,01 46,09 26,44 18,77 19,65 23,07 12,39 C

82,23

Lampiran 16. Perbandingan Struktur Inti Senyawa 5-8-epidioksi sterol Pembanding (55) dengan Senyawa NS-4-1

93

21 19 12 11 18 1 2 3 HO 4 10 5 9 13 14 O

20

22 23
24

27 25 26

17

C
8

16 15

B
6 O

a.

29 28

21 19 12 11 18 1 2 3 HO 4 10 5 9 13 14 O

20

22 23
24

27 25 26

17

C
8

16 15

B
6 O

b.

Gambar 25. Perbandingan Struktur Kimia Senyawa 5-8-epidioksi sterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1 Keterangan : a. 5-8-epidioxycholest-6-en-3-ol b. Senyawa NS-4-1

Lampiran 17. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI atom C1 C20 Senyawa 5-8epidioksi sterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1

94

Tabel 12. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI atom C1 C20 Senyawa 5-8epidioxycholest-6-en-3-ol dengan Senyawa NS-4-1 CX (ppm) Senyawa NS-4-1 dalam 5-8-epidioxycholestCDCl3 6-en-3-ol (25) dalam CDCl3 34,77 34,8 30,19 30,2 66,54 66,5 37,00 37,0 82,23 82,1 135,47 135,4 130,84 130,7 79,30 79,4 51,14 51,2 37,02 37,0 20,71 20,7 39,49 39,5 44,81 44,8 51,65 51,6 23,49 23,4 28,32 28,2 56,38 56,1 12,69 12,6 18,24 18,2 35,79 35,7

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 C16 C17 C18 C19 C20

95

Lampiran 18. Perbandingan Struktur Rantai Samping -sitosterol Pembanding (56) dengan Senyawa NS-4-1

29 28

21 19 12 11 18 1 2 3 HO 4 10 5 9 13 14

20

22 23
24

27 25 26

17

C
8

16 15

B
6

a.

96

29 28

21 19 12 11 18 1 2 3 HO 4 10 5 9 13 14 O

20

22 23
24

27 25 26

17

C
8

16 15

B
6 O

b. Gambar 26. Perbandingan Struktur Rantai Samping Senyawa -sitosterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1 Keterangan : a. -sitosterol b. Senyawa NS-4-1

Lampiran 19. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI rantai samping (C20 C29) sitosterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1 Tabel 13. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI Rantai Samping (C20 C29) sitosterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1 Cx C20 C21 C22 C23 C24 C25 C26 C27 C28 C29 (ppm) Senyawa NS-4-1 dalam -sitosterol (26) dalam CDCl3 CDCl3 35,79 36,2 19,03 19,1 33,77 34,0 29,01 29,3 46,09 50,3 26,44 26,2 18,77 18,8 19,65 19,8 23,07 23,1 12,39 11,9

97

98

Anda mungkin juga menyukai