Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KULIAH FARMAKOGNOSI BAHARI

Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Identifikasi Senyawa Steroid dan


Terpenoid dari Spons Callyspongia sp.

Oleh :

Alvin Valentino Gonsales

N11113069

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dibidang kelautan, Indonesia memegang peranan penting bagi


dunia karena memiliki keragaman hayati laut tertinggi di dunia yang
merupakan sumber daya organik. Di dalamnya terdapat 60.000 km persegi
areal terumbu karang (spons) yang mencakup 15 % terumbu karang dunia
(Kompas, 5 April 2004). Menurut Achmad (2004), sumber daya organik
merupakan gudang senyawa kimia yang sangat potensial sebagai sumber
senyawa baru yang unik yang tidak dapat ditemukan di laboratorium dan
mungkin sangat berguna dalam keperluan pengobatan, pertanian, dan
industri. Indonesia memiliki sumberdaya organik yang melimpah,
merupakan kekayaan yang sebagian besar belum diteliti kandungan
kimianya. Oleh karenanya, Indonesia adalah suatu negara yang sangat
prospektif untuk mengembangkan kimia organik bahan alam khususnya
bahan alam laut. Spons merupakan biota laut yang multiseluler primitive
(metazoan) tanpa jaringan nyata, yang merupakan sumber metabolit
sekunder terkaya (Eru,2005 & Romimohtarto, 2001).
Jumlah penyebarannya sangat banyak. Ada 15.000 spesies spons
laut di seluruh dunia dan sekitar 45 % senyawa bioaktif laut ditemukan pada
spons laut (Anonim, 2006). Perjalanan pencarian obat dari spons
dibeberapa perairan Indonesia sudah dilakukan, namun masih banyak
lokasi di Indonesia yang belum tersentuh (Wahyuono,2003). Salah satu
biota laut yang belum diteliti sebelumnya adalah Callyspongia sp.
Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak
tumbuh di perairan wilayah Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut
yang mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan obat (Satari, 1999). Namun sejauh ini belum banyak data
penelitian yang mengeksplorasi senyawa metabolit sekunder dari spons
Callyspongia sp sebagai bahan baku obat.

II.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengisolasi dan identifikasi senyawa metabolit sekunder pada


Callyspongia sp.

II.3 Prinsip Percobaan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada


metode yang sering digunakan dalam mengisolasi senyawa kimia bahan
alam yang meliputi pemilihan spesies spons, penentuan lokasi
pengambilan sampel, persiapan dan pengambilan sampel hewan,
maserasi, partisi, fraksinasi dan analisis dan identifikasi senyawa
menggunakan instrumen spektroskopi UV dan IR dari senyawa murni yang
diperoleh.
BAB II

URAIAN BIOTA LAUT

II.1 Klasifikasi Biota Laut

Kingdom : Animalia
Filum : Porifera
Sub filum : Invertebrata
Class : Demospongia
Sub class : Keratosa
Ordo : Haplosclerida
Famili : Callyspongiidea
Genus : Callyspongilla
Species : Callyspongia sp

II.2 Morfologi dan Anatomi


Porifera merupakan hewan berpori, dikatakan berpori karena
disekitar tubuhnya banyak terdapat lubang-lubang kecil. Porifera memiliki
ukuran tubuh yang beranekaragam dengan tinggi bisa mencapai 90 cm dan
lebar 1 cm. Porifera atau spon memiliki tiga lapisan sel utama yakni lapisan
yang mirip jeli (Mesoglea), Pinacocyte atau Pinacoderm, dan Choanocyte
atau Spongocoel.
Porifera secara morfologi memiliki ciri-ciri yang spesifik antara lain
Asconoid, Syconoid dan Leuconoid. Pencernaannya terjadi secara
intraseluler didalam koanosit dan amoebosit.

II.3 Habitat dan Penyebaran


Porifera mempunyai 3000 spesies dan secara umum hidupnya dilaut
dangkal sampai kedalaman 5 km. dari 3000 ribu spesies yang dikenal
hanya 150 spesies yang hidup di air tawar sampai kedalaman 2 meter dan
jarang lebih dari 4 meter yang biasanya hidup pada air jernih dan tenang.
Dilaut jenis calcarea umumnya terbatas pada daerah pantai dangkal.

II.4 Reproduksi dan Daur Hidup


Porifera dapat bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara
aseksual porifera memiliki tiga cara reproduksi yakni : fragmentasi,
pembentukan tunas, dan dengan memproduksi gemmules. Fragmen dari
spons dapat terlepas oleh arus atau gelombang. Porifera menggunakan
mobilitas pinacocytes mereka dan choanocytes dan membentuk kembali
dari mesohyl untuk kembali menempel ke permukaan yang sesuai dan
kemudian membangun kembali diri mereka sebagai spons kecil namun
fungsional selama beberapa hari. Kemampuan yang sama memungkinkan
spons yang telah diperas melalui kain halus untuk regenerasi. Sebuah
fragmen spons hanya dapat meregenerasi jika mengandung kedua
collencytes untuk menghasilkan mesohyl dan archeocytes untuk
menghasilkan semua jenis sel lain. Sebuah spesies sangat sedikit
berkembang biak dengan tunas.
Sedangkan secara seksual, sebagian besarporifera adalah
hermafrodit (berfungsi sebagai kedua jenis kelamin secara bersamaan),
meskipun spons tidak memiliki gonad (organ reproduksi). Sperma
diproduksi oleh choanocytes atau ruang choanocyte seluruh yang
tenggelam ke mesohyl dan membentuk kista spermatika sementara telur
dibentuk oleh transformasi archeocytes, atau choanocytes pada beberapa
spesies. Setiap telur umumnya memperoleh satu kuning dengan
mengkonsumsi "sel-sel perawat". Selama pemijahan, sperma meledak
keluar dari kista dan dikeluarkan melalui osculum tersebut. Jika mereka
kontak dengan spons dari spesies yang sama, aliran air membawa mereka
untuk ke choanocytes sehingga menelan mereka namun, bukannya
mencerna mereka, bermetamorfosis menjadi bentuk ameboid dan
membawa sperma melalui mesohyl untuk telur.
II.5 Kandungan Kimia.
Kandungan metabolit sekunder yang telah teridentifikasi dan
memiliki bioaktifitas dari spons di Indonesia antara lain β-sitosterol; Cholest-
5-en-3β-ol; Cholestan-3β-ol; Ergosta-5,22-dien-3β-ol; 9,19-Siklocholest-24-
en-3β-ol; dan Ergost- 5-en-3β-ol,
BAB III

METODE KERJA

II.1 Alat dan Bahan


II.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah corong pisah, evaporator, lempeng
KLT GF254, dan Kromatografi Kolom Vacum.

II.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah n-hexan, kloroform, etil asetat,
dan ekstrak sampel.

II.2 Cara Kerja


1. Ekstraksi dan Fraksinasi
Hasil maserasi ekstrak kloroform setelah disaring dievaporasi
pada tekanan rendah diperoleh maserat kental berupa residu berwarna
coklat sebanyak 1044 mL dan secara konversi berat pervolume
diperoleh ekstrak sebanyak 48 g. Hasil ekstraksi cair-cair dalam corong
pisah berturut-turut dengan pelarut n-heksan, kloroform dan etil asetat
pada penguapan mengunakan alat rotary vapor dengan tekanan
rendah diperoleh ekstrak n-heksan (3,8g), kloroform (6,8g), dan etil
asetat (2,6g)
Ekstrak kloroform (6,8g) tersebut selanjutnya difraksinasi
dengan menggunakan KKV dan eluen nheksan, campuran n-hesan-etil
asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 27 fraksi. Berdasarkan
analisis KLT fraksi dengan Rf yang sama digabung hingga diperoleh 4
fraksi utama (A-D), kemudian dievaporasi dan ditentukan beratnya
serta dimonitor dengan KLT dan dibandingkan dengan baku terpenoid
dan steroid. Sehingga diperoleh 2 senyawa yang memiliki nilai Rf yang
sama dengan baku terpnoid dan steroid. Kedua senyawa tersebut
kemudian dimurnikan dengan sistem KLT-Dua dimensi yang
menunjukan noda tunggal dari tiga macam sistem eluen.
2. Pengukuran Spektroskopi
Setelah mendapatkan senyawa tunggal, karakterisasi dan
identifikasi senyawa dilakukan dengan instrument Spektroskopi UV dan
IR. Senyawa (1) diperoleh sebagai serbuk berwarna putih dengan titik
leleh 176–177oC. UV (MeOH) λ max: 237 nm dan 366 nm; penambahan
pereaksi NaOH menunjukkan λ max : 237 nm dan 366 nm; spektrum IR
(Kbr) Vmax cm-1 :>3000 cm-1 (OH), 2918, 2962, 2850 cm-1 (C-H alifatik)
1705 cm-1 (C=O), 1261, cm-1 (O-CH3), 1097 cm-1 (C-O), 1465 cm-1 dan
1407 cm-1 (CH2 dan CH3) serta tekukan keluar bidang C-H pada
serapan 865, 801 dan 720 cm-1.
Senyawa (2) dperoleh sebagai kristal berwarna putih dengan
titik leleh 187–189oC. UV (MeOH), λ max : 229 nm dan 274 nm;
penambahan pereaksi geser NaOH menunjukkan λmax : 229 nm dan
274 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1 : 3433 cm-1 (OH), 2924 dan 2851
cm-1 (C-H alifatik) 1107 (C-O), 1710 cm-1 (C=O), 1464 dan 1374 cm-1
(CH2 dan CH3) serta serapan tekukan keluar bidang C-H pada serapan
959, 879 dan 793 cm-1.
BAB IV

PEMBAHASAN

Senyawa 1 diperoleh berbentuk serbuk berwarna putih dengan titik


leleh 176–177oC. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard
menunjukkan positif warna merah ungu yang mengindikasikan golongan
senyawa triterpenoid. Dari spektrum UV tampak bahwa senyawa 1
memberikan pita serapan maksimum pada daerah panjang gelombang
λmaks 237 nm (9230) dan serapan pada panjang gelombang λ maks 366 nm
(727), setelah penambahan pereaksi geser NaOH tidak menyebabkan
pergeseran panjang gelombang yang mengindikasikan bahwa tidak ada
pergeseran gugus hidroksil.
Dari data spektrum IR tersebut di atas, nampak adanya serapan
pada νmaks >3000 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH, serapan pada
2918, 2962, 2850 cm-1 yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya
gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1463 cm -1 yang
merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1385
cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3 yang khas untuk
golongan triterpenoid (Yoshihiro et al, 2001). Serapan pada 1705 cm-1 yang
menunjukkan regangan ulur ikatan C=O sebagai keton siklik, serapan pada
1261 cm-1 menunjukkan adanya gugus metoksi dan serapan pada 1097 cm-
1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder serta tekukan keluar
bidang gugus CH pada serapan 865, 801 dan 720 cm -1 (Gambar 1).
Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa
triterpenoid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah senyawa
golongan triterpen.
Gambar 5. Struktur Molekul Senyawa Triterpenoid (Asam Karboksilat)

Senyawa 2 diperoleh berbentuk kristal berwarna putih dengan titik


leleh 187– 189oC. Karakter senyawa ini tidak berpendar dibawah UV,
namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat
menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut
dalam kloroform. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard
menghasilkan warna hijau biru yang mengindikasikan senyawa golongan
steroid hal ini juga didukung dengan adanya analisis spektrum UV dan IR.
Dari spektrum UV senyawa 2 diperoleh serapan maksimum pada λmax 229
nm (6543) dan 274 nm (2592). Penambahan pereaksi geser NaOH tidak
mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ditunjukkan pada serapan
λmax 229 dan 274 nm yang mengindikasikan tidak ada pergeseran gugus
hidroksil.
Selanjutnya informasi mengenai senyawa 2 sebagai senyawa
steroid diperoleh dari spektrum infra merah (Gambar 2) nampak adanya
bilangan gelombang maksimum pada daerah νmaks 3433 cm-1 yang
merupakan serapan untuk gugus OH (hidroksil), indikasi terhadap adanya
gugus hidroksil didukung oleh serapan pada daerah νmaks 1107 cm -1
merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder yang khas untuk
golongan steroid (Guogiang et al, 2005). Pada bilangan gelombang νmaks
2924, 2851 cm-1 terdapat serapan yang sangat kuat dan tajam
menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks
1464 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada
νmaks 1374 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3. Bilangan
gelombang pada νmaks 1710 cm-1 menunjukkan adanya serapan gugus
karbonil (C=O) sebagai keton siklik dan bilangan gelombang pada
gelombang νmaks 1259 cm-1 yang kuat menunjukkan adanya gugus
metoksi serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959,879 dan 793
cm-1 . Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-
senyawa steroid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 2 adalah
senyawa golongan steroid.

Gambar 6. Struktur molekul senyawa steroid ( β -sitosterol)


BAB V

PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Dari hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV dan IR)
menghasilkan 2 jenis senyawa yang diperoleh merupakan (1) senyawa
triterpendid dan (2) senyawa steroid.

IV.2 Saran

Callyspongia sp berpotensi untuk dikembangkan sebagai


fitofarmaka mengingat senyawa yang terkandung di dalamnya bersifat
bioaktif seperti steroid dan terpenoid. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi
lebih jauh dan analisis spektrum lebih lanjut agar dapat diketahui secara
pasti struktur senyawa yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanani, Endang, dkk.2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan dalam S


pons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian, Vol. II. Depok : UI Press
2. Amir,I & Bidiyanto,A., 1996, Mengenal Spons Laut (Demospongia) Sec.
Umum. Oseana, Vol 21 No 2, Lipi, Jakarta.
3. Astuti, P., 2003, Spons Invertebrata Laut Berpotensi sebagai Sumber
Bahan Baku Obat Alam, vol 8 No.26 Oktober-Desember (Edisi khusus).
Bagian Biologi-Farmasi, UGM, Yogyakarta
4. Eru Wibowo, A., dkk., 2005, Studi Eksplorasi Senyawa Metabolit
Sekunder dari biota Laut, Pusat Pengkajian dan penerapan Teknologi
Farmasi dan Medika.
5. Jasin, M., 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Sinar
Wijaya. Surabaya.
6. Kompas, 2004. Menggali Bahan Baku Obat di Dalam Laut. Terbit 12
Mei 2004. Jakarta.
7. Gisela P.C., Gina, C., dan Lazaro, J.E. 1994. Biological Essay For
Screening Of Marine Samples, “In Natural Produst Workshop”, Work
Book, Marine Science Institut, University Of The Philiphines, Philiphine,
15- 18.
8. Garson, M.J., 1994. The Biosynthesis of Sponge Secondary
Metabolites: Why it is Important? In : Soest, R. W. M. van, Th. M.G. van
Kempen and J. C. Braekman, Sponges in Time and space. Proc. 4 th
Int. Porifera Congr. Rotterda: Balkema.
9. Hooper, J.N,A., 1997. Guide to Sponge Collection and Identification.
Version Merch. Queensland Museum South Brisbane, Queensland

Anda mungkin juga menyukai