Anda di halaman 1dari 6

PROFIL BESIPAE SEBAGAI WILAYAH PENGEMBANGAN TERNAK DI INSTALASI BESIPAE TAHUN 2008

A. Pendahuluan Gambaran wilayah tujuan pengembangan wilayah pertanian terpadu. Letak Potensi wilayahnya (umum) Potensi kawasan

1. Keadaan Biofisik Kawasan Besipae Status Kawasan Besipae sebagai areal pengembangan peternakan, khususnya pengembangan ternak sapi merupakan kawasan hutan yang dikonversikan menjadi hak pengelolaan kepada Dinas Peternakan Provinsi NTT. Kawasan tersebut seluas 4000 ha, meliputi empat wilayah Desa yaitu Desa Mio, Desa Linamnutu, Desa Polo dan Desa Oe Ekam dalam wilayah Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Selanjutnya, kawasan di sekitar kawasan proyek Besipae tersebut, mempunyai luas sekitar 6.000 ha, potensial untuk di jadikan kawasan pendukung pengembangan ternak sapi. Berdasarkan derajat kemiringan dari lahan, kawasan proyek Besipae, sebanyak 88 % mempunyai kemiringan 15o-40o, kemiringan diatas 40o sebanyak 7,88% dan kemiringan kurang dari 15o sebanyak 4,21% dari total luas lahan. Oleh karena kemiringan lahan relatif bergelombang sampai berbukit atau lebih besar dari 10%, maka didalam kawasan utama tersebut mempunyai drainase yang cukup baik, tetapi potensi terjadinya erosi sangat besar. Kedalamam solum Kawasan Besipae berkisar dari 30-60 cm, serta mempunyai tekstur tanah halus seluas 2400 ha, tekstur tanah sedang bertekstur kasar. Kondisai kimia tanah di Kawasan Besipae, khususnya di Desa Binel dan Linamnutu menurut Aldric (1984), menunjukkan kesuburan tanah (indicator N 1.000 ha dan 500 ha lainnya

dan P) dalam keadaan rendah sedang. Selanjutnya dengan indikator nilai kapasitas tukar kation dan pH tanahnya, cukup responsif terhadap upaya pemupukan. Dengan kondisi lahan demikian, melalui proyek NTT Livestock Development Project yang lalu, telah ditebarkan bibit pakan verano sebagai cover (penutup tanah) dan sebagai hijauan makanan ternak, dilakukan pembangunan embung sebanyak 22 buah (10 buah yang berfungsi di musim hujan), dan pada punggung-punggung catchment area dilakukan penanaman tanaman konservasi seperti lamtoro dan turi secara larikan menurut kontur. Oleh karena manajamen pengelolaan dan pendekatan pengembangan yang kurang memadai, maka kawasan tersebut menjadi rusak, sehingga sisa 4 buah yang berfungsi dengan baik pada saat ini. Memperhatikan keseluruhan kombinasi perubahan diatas, maka lahan Instalasi Besipae termasuk kemampuan lahan kelas IV. Menurut sistim ANZDEC, kelas tanah seperti ini adalah tanah-tanah dengan ancaman erosi yang besar. Potensi penampungan antar 0,1 0,2 UT/Ha dan kurang kondusif bagi pengembangan peternakan. Komposisi Botani, terutama jenis-jenis hijauan makanan ternak (HMT) di Kawasan padang rumput Besipae, di dominasi oleh rumput-rumput parenial dari tanaman Graminae dengan dominasi sub famili paricodeae, seperti Bathriochloa glabra dan Heteropogon centotrus dan juga sub famili Poaideae, seperti Ischaemum timorenses yang merupakan rumput kecil. Sementara itu, komponen legume herba yang ada sekitar 19,38%. Kecilnya jumlah legume tersebut, menunjukkan mutu padang di daerah ini relatif rendah. Walaupun jumlah legume rendah, tetapi jumlah jenis spesiesnya cukup tinggi, yakni sekitar 19 spesies legume herba yang bertebaran. Hal ini merupakan peluang keanekaragaman hayati yang dapat di kembangkan, seperti Desmodium heterophylum, Desmodium intortum, dan lain-lain. Dalam hal produksi hijauan, ditemukan bahwa adanya fluktuasi yang cukup besar searah dengan curah hujan. Keadaan curah hujan dan produksi hijauan padang rumput di Kawasan Besipae, ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Curah Hujan dan Rataan Produksi Hijauan Pakan di Kawasan Besipae Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Sumber: Riwukaho (1993). Curah Hujan (mm) 329 103 95 72,5 39 12 Rataan Produksi Hijauan (Kg BK/Ha) 10052,5 9444,2 7.792 5.254 3.706,5

Bila 1 UT dengan berat badan sekitar 200 Kg membutuhkan sekitar 20 Kg rumput segar/hari dan interval pemotongan rumput 40 hari, maka produksi hijauan pada bulan Februari mampu mendukung 12,56 ekor sapi/Ha. Namun, pada kondisi bulan Juni dengan interval pemotongan 60 hari, maka jumlah ternak yang dapat didukung adalah sebanyak 3,09 ekor sapi/hari. Jadi secara potensial, bila jumlah ternak pada musim hujan dan kemarau sama, maka ternak tersebut akan kekurangan pakan. Di samping produksi hijauan makanan ternak (HMT), nilai nutrisi padang rumput Besipae juga kurang mendukung pertumbuhan dan produksi ternak yang diusahakan. Riwukaho (1993) menemukan pada bulan Februari, protein kasar hijauan padang 7,44% dan bulan juni turun menjadi 3,32%. Selanjutnya, berat badan ternak sapi rata-rata di bulan Juni akan menurun menjadi rata-rata 193,6 Kg. Berdasarkan gambaran di atas, secara kuantatif Kawasan Besipae mempunyai padang rumput yang luas, tetapi mutunya rendah dalam mendukung pengembangan ternak sapi. Oleh karenanya, perlu dirumuskan langkah-langkah alternatif dalam mengintrodusir paket teknologi yang memadai.

2. Keadaan Sosial Budaya

Mayoritas penduduk di Kawasan Besipae mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani/peternak. Di musim paceklik, sebagian besar penduduk keluar desa untuk mencari nafkah sebagai tukang, buruh dan sebagainya. Selanjutnya ibu rumah tangga lebih berperan membantu suami dalam menggarap lahan pertanian/ternak yang diusahakan, juga berperan membantu ekonomi keluarga melalui usaha menenun. Jenis usaha tani yang di kembangkan oleh penduduk setempat adalah pertanian lahan kering, dengan komoditi utama adalah jagung dan ternak. Dalam pemeliharaan ternak, sebagian besar masih mengusahakan dengan pola tradisional, yakni di lepas bebas di padang rumput, sedangkan sebagian kecil penduduk lainnya telah mengembangkan sistim pemeliharaan ternak sapi dengan cara diikat di sekitar rumah. Hal tersebut di lakukan karena adanya keterbatasan ketersediaan pakan di musim kemarau, sampai dengan tahun 2008, penduduk yang menjadi petani mitra adalah sebanyak 133 KK dengan populasi sapi sebanyak 367 ekor Mayoritas penduduk dalam Kawasan Besipae adalah etnik Timor Dawan yang mempunyai ikatan kekerabatan yang cukup tinggi. Ikatan tradisional dalam sistim kekerabatan tersebut, menempatkan adanya elit tradisional dalam tatanan kehidupan bermasyarakat disamping Kepala Desa sebagai Pimpinan formal, seperti dikenal adanya Tua Adat. Tua Adat tersebut merupakan gate-keeper atau filter dari adanya intervensi atau perubahan-perubahan sosial, budaya maupun ekonomi yang masuk dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

3. Pemanfaatan Lahan oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT Lahan yang dimanfaatkan oleh dinas peternakan provinsi NTT untuk kegiatan peternakan adalah seluas 2.300 Ha untuk padang pengembalaan, termasuk penanaman hijauan makanan ternak insentif 245 Ha. Jenis HMT yang dikembangkan adalah jenis Lamtoro, Turi, Gamal dan Kabesak. Seluas 5 Ha di gunakan umtuk perumahan karyawan, mess, kandang ternak, gudang dan bak air, sedangkan sisanya adalah kawasan hutan.

4. Pengembangan Ternak Komoditas utama ternak di Besipae adalah sapi Bali. Jumlah sapi Bali di Besipae yang masih menjadi milik Pemerintah adalah a. Pemeliharaan oleh 133 KK Petani mitra di sekitar lokasi Besipae sebanyak 367 ekor. b. Dipelihara di Pedock Besipae = 49 ekor. 5. Sarana Prasarana Prasarana jalan aspal membelah lokasi 20 Km, bangunan dan gedung 17 unit digunakan untuk mess karyawan, kantor dan bengkel serta laboratorium sebanyak 16 buah dalam keadaan rusak ringan dan beberapa dalam keadaan rusak berat. Fasilitas air minum berupa generator pompa air 1 buah dan 4 buah bak air dalam keadaan baik, sedangkan jaringan air/pipa perlu perbaikan karena telah berumur lebih dari 25 tahun. Sarana pendukung lainnya adalah 1 unit mobil pick up, 2 unit kendaraan roda dua, 1 unit mesin press pakan, 1 unit penggilingan jagung, gandengan 2 unit, motor listrik 1 unit dan motor air 1 unit. 6. Sumber Daya Manusia Jumlah karyawan di Instalasi Besipae sebanyak 11 orang yang terdiri dari 6 orang tenaga PNS, 2 orang CPNS dan 3 orang tenaga honor. 7. Permasalahan 1. Sarana dan prasarana yang dibangun pada tahun 1982 1983 lalu telah banyak mengalami kerusakan mulai dari rusak ringan sampai dengan rusak berat karena minimnya biaya pemeliharaan. 2. Dam yang dibangun sebagai sumber air bagi ternak dan manusia telah mengalami pendangkalan sebanyak 18 buah sehingga tidak bermanfaat selama musim kemarau. sebanyak 416 ekor dengan rincian sebagai berikut :

PERMASALAHAN, TANTANGAN & PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK DI INSTALASI BESIPAE

Anda mungkin juga menyukai