Anda di halaman 1dari 16

NAMA NPM

: FITRI AMELINA : 1106056491

RANGKUMAN 1. PENGHIBAHAN Penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah, saat hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu (pasal 1666). Digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian dengan cuma-cuma (om niet). Dimana perkataan itu ditujukan pada adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak lainnya tidak perlu memberi impalan atau kontra prestasi. Sehingga perjanjian ini bersifat satu pihak atau unilateral. Perkataan di waktu hidupnya si penghibah, adalah untuk membedakan penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku apabila si pemberi meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat diubah dan ditarik kembali oleh si pemberi. Pemberian dalam testament dalam KUHPerd disebut dengan legaat (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh peghibah. Penghibahan dalam sistem KUHPer hanya bersifat obligatoir saja, dalam arti belum memindahkan hak milik, karena hak milik ini baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan (secara yuridis). Penghibahan merupakan salah satu cara untuk pemindahan hak milik. Penghibahan hanya dapat mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika meliputi barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari, maka hibahnya batal (pasal 1667). Penghibah tidak boleh memperjajikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barang kepada orang lain yang terrmasuk dalam penghibahan, penghibahan semacam ini dianggap batal (pasal 1668). Terkait ketentuan-ketentuan mengenai tanah, sudah dicabut oleh adanya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960), tetapi untuk ketentuaan barang bergerak, masih berlaku.

Suatu hibah akan batal jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan tegas dalam akta hibah atau di dalam daftar yang ditempelkan padanya (pasal 1670). Penetapan yang dicantumkan dalam perjanjian penghibahan (pasal 1670), dengan mana diletakkan suatu kewajiban bagi si penerima hibah, lajimnya dinamakan suatu beban. Penghibah boelh memperjanjikan bahwa ia akan memakai sejumlah uang dari harta benda yang dihibahkan. Jika ia meninggal dengan tidak telah memakai jumlah uang tersebut, maka apa yang dihibahkan tetap pada penerima hibah seluruhnya (pasal 1671). Penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali barang yang telah diberikannya baik dalam hal penerima hibah sendiri, atau penerima hibah beserta keturunannya akan meninggal terlebih dahulu daripada si penghibah.

Kecakapan untuk Memberi dan Menerima Hibah Selain harus dewasa, seseorang haruslah mencapai usia 21 tahun, menikah, dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan (pasal 1677). Pasal 1678 melarang penghibahan antara suami dan istri selama perkawinan, ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberianpemberian barang-barang bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlampau tinggi, mengingat kemampuan penghibah. Penghibahn kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga-lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekadar oleh Presiden atau penguasa yang ditunjuk (pasal 1680), penguasa yang ditunjuk Presiden saaat ini adalah Menteri Kehakiman.

Cara Menghibahkan Sesuatu Pasal 1682 menetapkan: Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akte notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu. Dimana pemberian barang-barang bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang atas tunjuk, tidak memerlukan akta, dan sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima atau pihak ketiga atas nama penerima hibah.

Pasal 1684 menetapkan bahwa penghibahan yang diberikan kepada perempuan yang bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dlama Buku I KUHPer, yaitu atas izin suami. Pasal 1686 menetapkan bahwa hak milik atas benda-benda yang termaktub dalam penghibahan yang telah diterima secara sah, tidak berpindah kepada penerima kecuali dengan penyerahan atau levering. Penarikan Kembali dan Penghapusan Hibah Menurut pasal 1688, berupa tiga hal, yaitu: 1. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan nama penghibahan telah dilakukan; syarat yang dimaksud adalah beban. 2. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah. 3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.

A. PENITIPAN BARANG Penitipan terjadi, apabila menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannnya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya (pasal 1694). Menurut pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian riil yang berarti bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan; jika tidaks eperti perjanjian-perjanjian lainnya pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal pokok dari perjanjian itu. Ada dua macam penitipan barang menurut undang-undang, yaitu: 1. Penitipan Barang yang Sejati Penitipan barang sejati dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang bergerak (pasal 1696). Yang mana tidak akan terlaksana selain dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan (pasal 1697). Hal ini menggambarkan sifat perjanjian penitipan yang riil dan berlainan dari sifat perjanjian lain yang pada umumnya adalah konsensual.

Penitipan barang dapat terjadi secara sukarela atau karena terpaksa (pasal 1698). Dimana penitipan barang secara sukarela terjadi karena sukarela terjadi karena sepakat bertimbal-balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan (pasal 1699) dan hanya terjadi anatar kedua pihak yang memiliki kecakapan untuk membuat perjanjian. Sedangkan yang dinamakan penitipan karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksan dilakukan oelh seorang karena timbulnya malapetaka, misal: kebakaran, perampokan, dll (pasal 1703). Penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut ketentuan seperti penitipan sukarela (pasal 1705). Penitipan terpaksa mewajibkan si penerima titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya,

memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya sendiri (pasal 1706). Pasal 1707 menyebutkan ketentuan terkait penitipan terpaksa, yaitu: a. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya; b. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah untuk penyimpanan itu; c. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan; d. Jika ia telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian Penerima titipan tidak bertanggung jawab kecuali aopabila terjadi firce majeur, apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang ditiipkan. Bahkan dalam hal yang terakhir ini, ia tidak bertanggung jawab jika barangnya juga akan musnah seandainya telah berada di tangan peminjam (pasal 1708). Risiko musnahnya suatu barang karena keadaan memamksa memang merupakan tanggung jawab pemilik barang/peminjam.. contohnya adalah pemilik penginapan dan losmen, pasal 1709 meletakkan tanggung jawab pada pemilik losmen apabila terjadi kerusakan atau kehilangan. 2. Sekestrasi Sekestrasi adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, di tangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk mengembalikan barang kepada yang akan dinyatakan berhak beserta hasilnya setelah

perselisihan tersebut dadapt diselesaikan. Penitipa ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730). Sekestrasi karena persetujuan terjadi apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (pasal 1731). Dapat dilakukan terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak (pasal 1734). Pihak ketiga yang melakukan sekestrasi tidak dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan selesai, kecuali apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada alasan lain yang sah (pasal 1735). Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim memerintahkan supaya suatu barang karena persengketaan dititipkan pada seseorang (pasal 1736). Hakim dapat melakukan sekestrasi, apabila: a. Terhadapa barang-barang bergerak yang telah disita di tangannya seorang berutang (debitur). Adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas permintaan seorang penggugat b. Terhadap suatu barangbergerak maupun tidak bergerak, yang hak miliknya atau penguasaannya menjadi persengketaan. c. Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitur) untuk melunasi utangnya (pasal 1738). Dilakukan dalam hal kreditur menolak pembayaran yang akan dilakukan oleh debiturnya, sehingga debitur terpaksa meminta bantuan juru sita atau notaris untuk menawarkan barang atau uang tersebut kepada kreditur secara resmi. Menjadi kewajiban si penyita untuk membayar kepada penyimpan upahnya yang ditentukan dalam undang-undang (pasal 139).

B. PINJAM-PAKAI Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan

mengembalikannya (pasal 1740). Untuk membedakan dengan apa yang yang disebut pinjam dalam sehari-harinya, maka yang disebutkan pertama kita namakan pinjam-pakai dan yang disebutkan pertama kita namakan pinjam-

meminjam. Untuk mengadakan perbedaan tersebut diatas juga dipakai sebagai kriterium bahwa dalam pinjam-pakai barang yang dipinjam tidak habis atau musnah karena pemakaian, sedangkan dalam halnya pinjam-meminjam barang itu habis atau musnah karena pemakaian. Dalam pinjam-pakai ini pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik dari barang yang dipinjamkan (pasal 1741). Segala apa yang dapat dipakai orang dan tidak musnah karena pemakaian, dapat menjadi bahan perjanjian pinjampakai (pasal 1742). Perjanjian pinjam-pakai inimerupakan contoh daris uatu perjanjian sepihak atau unilateral (dimana perkataan sepihak ditujukan pada hanya adanya prestasi daris atu pihak saja), sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan untuk dipakai dengan cuma-cuma. Perikatan-perikatan yang timbul karena adanya perjanjian pinjam-pakai ini akan berpindah kepada ahli waris pihak yang meminjamkan dan para ahli waris yang meminjam. Namun, jika suatu peminjaman telah dilakukan karena mengingat orangnya yang menerima pinjaman dan telah diberikan khusus kepada orang tersebut secara pribadi, para ahli warisnya tidak dapat menikmati barang pinjaman etrsebut (pasal 1743). Bagian pertama pasal 1743, bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian pinjam-pakai berpindah kepada ahli waris dari kedua belah pihak sesuai dengan asas umum dari hukum pewarisan yang menetapkan bahwa semua hak dan kewajiban yang ada nilainya uang (aktiva dan passiva) daris eorang yang meninggal diwarisi oleh sekalian ahli warisnya. Namun, apabila suatu hak atau kewajiban ada hubunagnnya yang sangat erat dengan pribadi yang meninggal (pewaris), hak atau kewajiban itu tidak berpindah ke ahli warisnya.

Kewajiban si Peminjam Siapa yang menerima pinjaman sesuatu, diwajibkan menyimpan dan memelihara barang pinjaman itu. Jika ia memakai barangnya pinjaman guna suatu keperluan lain atau lebih lama dari pada yang diperbolehkan, maka selain bertanggung-jawab atas musnahnya barang sekalipun musnahnya barang iotu disebabkan karena suatu kejadian yang sama sekali tidak disengaja (pasal 1744).

Jika barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, yang mestinya dapat disingkiri seandainya si peminjam telah memakai barangnya endiri, atau jika hanya satu dari kedua barang itu saja yang dpat diselamatkan, peminjam telah memilih menyelamatkan dia punya barang sendiri, maka ia bertanggung jawab tentang musnahnya barang yang lainnya (pasal 1745). Dapat dilihat bahwa undang-undang menghendaki ketika peminjam dapat memakai barangnya pinjaman tetapi juga dapat memakai barangnya sendiri, maka ia terlebih dahulu harus memakai barangnya sendiri. Jika barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir harganya, maka musnahnya barang itu, biarpun ini terajdi karena suatu kejadian yang disengaja, adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali apabila telah diperjanjikan sebaliknya (pasal 1746). Jika barangnya berkurang harganya karena pemakaian untuk mana barang itu telah dipinjam, dna diluar kesalahan si pemakai, maka peminjam tidak bertnaggung jawab tentang hal tersebut (pasal 1747). Dan apabila si pemakai, untuk dapat memakai barang pinjaman telah mengeluarkan biaya, maka tidak dapat dituntut kembali atas penggantian biaya tersebut (pasal 1748). Jika beberapa orang bersama-sama menerima satu barang dalam peminjaman, maka mereka itu adalah masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab kepada si peminjam (pasal 1749).

Kewajiban Orang yang Meminjamkan Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan kecuali telah lewat waktu yang ditentukan, atau jika tidak ada ketentuan waktu yang demikian, setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai untuk keprluan yang dimaksudkan (pasal 1750). Di lain hal juga bisa terjadi bahwa secara tidak terduga dapat timbul suatu keadaan yng sangat mendesak dimana orang yang meminjamkan perlu memakai barangnya sendiri. Dalam kondisi ini, jika peminjam tidak suka mengembalikan barangnya secara sukarela, harus dimintakan perantara Hakim. Hal ini diatur dalam pasal 1751.

Jika si pemakai barang, selama waktu peminjaman, telah terpaksa mengeluarkan beberapa biaya luar biasa yang perlu, yang sebegitu mendesaknya hingga ia tidak sempat memberitahukan hal itu sebelumnya kepada orang yang meminjamkan, maka orang ini diwajibkan mengganti biaya-biaya tersebut kepada si pemakai (pasal 1752). Lalu, jika barang yang dipinjamkan mengandung cacat-cacat yang sedemikian , hingga orang yang memakainya dapat dirugikan karenanya, maka orang yang meminjamkan bertanggung jawab tentang akibat-akibatnya apabila dalam hal ini peminjam telah mengetahui adanya cacat-cacat dan tidak membertitahukannya kepada si pemakai.

C. PINJAM MEMINJAM Pinjam meminjam adalah suatub perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal 1754). Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya (Pasal 1755). Dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi karena hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika, sebelum pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung harganya menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu (1756).

Kewajiban Orang yang Meminjamkan Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian (pasal 1759). Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa, apabila

orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam (pasal 1760). Jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang , akan mengembalikannya bilamana ia mampu untuk itu, maka Hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktunya pengembalian (pasal 1761). Undang-undang menetapkan ketentuan pasal 1753 (tentang pinjampakai) berlaku terhadap pinjam-meminjam. Dengan sendirinya ketentuan tersebut hanya berlaku dalam hal yang dipinjamkan itu barang (bukan uang).

Kewajiban Si Peminjam Orang yang menerima pinjaman sesuau diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (pasal 1763). Bila tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, maka Hakim berkuasa memberikan kelonggaran, menurut ketentuan pasal 1760 KUHPer yang sudah kita bicarakan diatas sewaktu kita mmebahas kewajioban-kewajiban orang yang meminjamkan. Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan membayar harganya, harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, harus dikembalikan. Pasal 1764 menetapkan bahwa dalam hal tidak terdapat penunjukan tempat pengembalian, harus diambil tempat dimana pinjaman telah terjadi, dalam menetapkan harga barang yang ahrus dibayar oleh si peminjam.

Meminjamkan dengan Bunga Pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga ats peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Siapa yang telah menerima pinjaman dan membayar bunga yang tidak telah diperjanjikan, tidak boleh menuntutnya kembali maupun kemudian

menguranginya dari jumlah pokok, kecuali apabila bunga yang dibayar itu melebihi bunga menurut undang-undang; dalam hal mana uang yang telah dibayar selebihnya boleh dituntut kembali atau dikurangkan dari jumlah pokok.

Pembayaran bungan yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan si berutang untuk membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai saat pengembalian atau penitipan uang-pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih (pasal 1766). Menyebutkan bahwa bunga yang terlanjur dibayar meskipun tidak ada perjanjian tentang bunga, dapat diminta kembali sekedar melebihi bunga menurut undang-undnag. Pasal 1767 menyebutkan bahwa besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.

PERTANYAAN: 1. Ketentuan Hukum Perjanjian mengenai Safe Deposit Box. Layanan Safe Deposit Box adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya. Menurut BI, nasabah perlu mengetahui adanya biaya yang dibebankan kepada penyewa, antara lain uang sewa, uang agunan kunci dan denda keterlambatan pembayaran sewa. Selain itu, nasabah harus patuh terhadap aturan dengan tidak menyimpan barang-barang yang dilarang dalam safe deposit box. Nasabah juga perlu menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau disalahgunakan pihak lain. Kemudian memperlihatkan barang yang disimpan bila sewaktu-waktu diperlukan oleh bank. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang, maka uang agunan kunci akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan pembongkaran safe deposit box yang wajib disaksikan sendiri oleh penyewa. Nasabah juga harus memiliki daftar isi dari safe deposit box dan menyimpan foto copy (salinan) dokumen tersebut di rumah untuk referensi. Pasalnya, bank tidak bertanggungjawab atas perubahan kuantitas dan kualitas, hilang, atau rusaknya barang yang bukan merupakan kesalahan bank. Selain itu, kerusakan barang akibat force majeur seperti gempa bumi, banjir, perang, huru hara, dan sebagainya. Adapun barang-barang yang tidak boleh disimpan dalam safe deposit box:

Senjata api / bahan peledak.

Segala macam barang yang diduga dapat membahayakan atau merusak safe deposit box yang bersangkutan dan tempat sekitarnya.

Barang-barang yang sangat diperlukan saat keadaan darurat seperti surat kuasa, catatan kesehatan dan petunjuk bila penyewa sakit, petunjuk bila penyewa meninggal dunia

Safe Deposit Box adalah jasa bank diberikan khusus kepada para nasabah utamanya. Jasa ini dikenal juga dengan nama safe loket. Safe Deposit Box berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan disewakan kepada nasabah yang berkepentingan untuk menyimpan dokumen-dokumen atau benda-benda berharga miliknya. Safe Deposit Box sebagai salah satu jasa perbankan dalam hal penyimpanan barang-barang berharga dan surat-surat berharga milik nasabah (penyewa). Setiap bank mempunyai latar belakang yang sama dengan bank-bank yang lain dalam hal penggunaan Safe Deposit Box yang ditawarkan pada masyarakat, karena masyarakat semakin membutuhkan suatu fasilitas yang memberikan jaminan keamanan terhadap penyimpanan barang-barang berharga dan surat-surat berharga yang dimiliki. Ketentuan hukum juga banyak berkaitan dengan kegiatan operasional bank dalam hal pelayanan jasa perbankan khususnya mengenai Safe Deposit Box ini. Undang-undang atau peraturan hukum yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan Safe Deposit Box, yaitu: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PI.321/1994 tanggal 13 April 1994 yang mengatur jasa penyewaan Safe Deposit Box adalah Jasa Kena Pajak yang atas penyeranannya terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan juga pengaturan hukum safe deposit box yang diteluarkan Bank Indonesia. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Perbankan menyatakan penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak rnempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. Pasal 6 huruf h dan huruf 1 Undang-Undang Perbankan menyatakan bank menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, dan melakukan kegiatan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Perbankan disebutkan: Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip dan memenuhi kewajiban lain sesuai dengan kontrak. Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri. Dalam hal Bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada Bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan. Perjanjian Safe Deposit Box secara umum memiliki hubungan yang erat dengan ketentuan Bab VII Buku III KUHPerdata tentang perjanjian sewamenyewa. Pasal 1548 KUHPerdata

menyatakan sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada umumnya adalah merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti bahwa perjanjian tersebut sudah dikatakan sah dan mengikat pada detik tercapinya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Oleh karena yang diserahkan si penyewa adalah bukan hak milik atas barang, melainkan hanya hak pakai dan pemungutan hasil dari barang tersebut, maka di Negeri Belanda semua ahli hukum berpendapat bahwa, yang dapat menyewakan barang tidak hanya pemilik barang melainkan semua orang yang berdasar atas suatu hak berkuasa untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Misalnya Pasal 722 KUHPerdata mengizinkan sesorang yang mempunyai hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas suatu barang, untuk menyewakan barang itu, sedangkan menurut Pasal 823 KUHPerdata si penyewa adalah seseorang yang mempunyai hak memakai, sedangkan Pasal 827 KUHPerdata mengatakan bahwa seeorang yang mempunyai hak mendiami sebuah rumah tidak berhak untuk menyewakan kedua macam hak tersebut. 2. Ketentuan Hukum Perjanjian mengenai Perjajian Parkir. Bagaimanapun, adanya pertentangan pendapat ini, bisa juga dikarenakan contoh kasus yang digunakan masih terlalu sedikit, sehingga mungkin dalam kasus-kasus yang lain sebenarnya Mahkamah Agung tegas menyatakan adanya perjanjian.

Sebagaimana dalam salah satu kasus yang disebutkan sebelumnya, meski mendasarkan kewajiban pengelola pada perbuatan melawan hukum, namun Mahkamah Agung toh menegaskan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan barang. Pertanyaannya kemudian, mengapa kualifikasi perjanjian ini menjadi penting, serta bagaimana seharusnya mengurai permasalahan perjanjian parkir ini. Kebetulan, terdapat satu tulisan (De Toepassing van Exoneratieclausules in het Parkeercontract, Rechtskundig Weekblad, 1982-1983, 2161-2178) berdasarkan praktek di Belgia, di mana konstruksi yang digunakan masih bisa dibandingkan dengan di Indonesia, karena adanya kemiripan dasar hukum (KUHPerdata/BW). Faure sebenarnya juga cukup dikenal di Indonesia sebagai ahli hukum (pertanggungjawaban) lingkungan. Secara garis besar, dalam menangani sengketa terkait perjanjian parkir, pertamatama perlu dikualifikasikan dulu, apa perjanjian yang berlaku di antara pengelola parkir dan pemilik kendaraan (konsumen). Selanjutnya, baru bisa diurai lebih lanjut, klausula-klausula apa yang boleh dianggap berlaku (atau tidak) dalam perjanjian tersebut. Terakhir, tindakan para pihak terkait akan bisa dinilai berdasarkan hak dan kewajiban para pihak, sehubungan dengan isi dan ruang lingkup dari perjanjian tersebut. Kualifikasi Perjanjian Parkir Dalam prakteknya di Belgia, menurut Faure, perjanjian parkir biasa

dikualifikasikan ke dalam tiga kategori: perjanjian sewa, perjanjian penitipan barang, atau perjanjian umum. Mengapa kualifikasi tersebut penting? Hal ini berhubungan dengan hak dan kewajiban para pihak terkait yang kemudian berlaku. Apabila perjanjian parkir dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa, maka pengelola parkir hanya akan dianggap sebagai pemilik suatu barang (tempat) yang mempersilahkan pemilik mobil, untuk mengunakannya dalam waktu tertentu, dengan membayarnya. Sedang apabila perjanjian parkir dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang, maka dengan sendirinya terdapat kewajiban dari pengelola untuk menjaga mobil yang diparkir dengan baik, serta mengembalikannya dalam kondisi semula. Dasar hukumnya dapat dilihat dalam dua ketentuan pasal di bawah ini.

Pasal 1548 Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. Pasal 1694 Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama. Dengan demikian, dalam prakteknya di Belgia, tetap terbuka kemungkinan untuk mengkualifikasikan perjanjian parkir sebagai dua bentuk perjanjian yang berbeda (sementara di Indonesia Mahkamah Agung tegas menyatakan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan). Masalahnya dengan adanya kualifikasi yang terbuka seperti ini, tentu dibutuhkan adanya kriteria atau tolak ukur tertentu yang dapat dijadikan patokan yang membatasi keduanya. Apa kira-kira patokan itu? Menurut Faure, dalam prakteknya patokan itu bisa dicermati, antara lain, dalam beberapa kriteria berikut ini: 1. Apakah terjadi serah terima kunci mobil? Diserahkannya kunci mobil, tentu akan memperkuat argumentasi bahwa perjanjian parkir dalam kasus tersebut memang perjanjian penitipan barang. 2. Apakah terdapat petunjuk-petunjuk khusus bagaimana mobil harus diparkirkan? Semakin banyak dan ketat petunjuk yang diberikan, tentu semakin memperkuat adanya indikasi bahwa perjanjian parkir tersebut adalah perjanjian penitipan barang. 3. Apakah ada pengawasan dalam gedung parkir? Semakin (terlihat) ketatnya pengawasan dalam parkir, akan membuat perjanjian parkir juga semakin mudah dianggap perjanjian penitipan. 4. Berapa besarnya tarif parkir? Beberapa orang berpendapat bahwa tarif parkir bisa dijadikan patokan. Meski begitu, ada beberapa pendapat berbeda yang mengatakan bahwa besarnya tarif parkir tidak relevan menunjukkan harga tempat parkir, karena harga yang rendah bisa juga dimaksudkan pengelola untuk menarik pelanggan.

5. Keberadaan garasi khusus. Apabila mobil disimpan dalam sebuah garasi tertutup, apa yang terjadi dalam garasi tersebut, pada dasarnya di luar tanggungjawab pengelola parkir, sehingga akan lebih mudah dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa. Akibat Kualifikasi Perjanjian Parkir Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, pengkualifikasian perjanjian parkir relevan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian parkir (perlu diperhatikan bahwa dalam prakteknya di Indonesia pihak penggugat sudah langsung merujuk pada UU Perlindungan Konsumen yang sangat umum). Kalau kualifikasinya ternyata perjanjian sewa menyewa, posisi pengelola parkir tentu lebih bebas, namun beda halnya kalau ternyata perjanjian parkir dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang. Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan (dalam hal ini pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian penitipan bukan hanya perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk menjaga barang tersebut), namun juga bersifat hasil (untuk mengembalikan barang tersebut dalam kondisi yang sama dengan saat diterima). Pasal 1714 Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang sama dengan yang diterimanya. Dengan demikian, kalau titipan itu berupa uang tunai maka wajib dikembalikan uang tunai dalam jumlah dan jenis mata uang seperti semula biarpun mata uang itu sudah naik atau turun nilainya. Pasal 1715 Penerima titipan hanya wajib mengembalikan barang titipan itu dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat pengembalian. Kekurangan yang timbul pada barang itu di luar kesalahan penerima titipan, harus menjadi tanggungan pemberi titipan. Kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut dalam keadaan yang sama, juga mengandung konsekuensi bahwa beban pembuktian ada pada penerima titipan. Jadi, pada prinsipnya secara hukum dia wajib untuk mengembalikan barang yang dititipkan, kecuali bisa dibuktikan sebalknya. Dia hanya bisa dianggap tidak bertanggungjawab, jika dapat membuktikan bahwa tidak (dapat) dikembalikannya barang itu, bukan merupakan kesalahannya. Dalam prakteknya, pembuktian

terbalik seperti ini, sulit untuk dipenuhi oleh pihak tergugat, sehingga dengan mudah dia akan dianggap telah melakukan wanprestasi. Klausula Baku Dalam perjanjian parkir, klausula baku menjadi relevan untuk dibahas, karena dalam prakteknya pengelola parkir akan berusaha untuk membatasi

pertanggungjawabannya, dengan menentukan beberapa syarat atau klausula. Hal ini, dengan beberapa batasan, dimungkinkan oleh undang-undang. Dalam hukum Indonesia, syarat atau klausula seperti ini, meski hampir selalu dirujukkan pada ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dapat dilihat juga dasar hukumnya dalam KUHPerdata. Pengertian syarat atau klausula adalah (beberapa) ketentuan yang menangguhkan atau membatalkan ketentuan (pokok) perjanjian. Pasal 1253 Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu. Pertanyaannya kemudian, dalam situasi seperti apa, syarat atau klausula itu bisa dianggap berlaku atau tidak berlaku. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dicermati bunyi Pasal 1254 KUHPerdata berikut ini. Secara umum, suatu syarat akan dianggap batal demi hukum, jika syarat itu bertujuan pemenuhan perjanjian menjadi tidak mungkin, bertentangan dengan kesusilaan (ketertiban umum), atau dilarang oleh undang-undang. Pasal 1254 Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang

digantungkan padanya tak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai