Anda di halaman 1dari 18

Kasus Gayus Tambunan Merusak Tatanan Hukum

Minggu, 28 Maret 2010 14:37 WIB

Jakarta, (tvOne) Satuan Tugas (Satgas) Pemberantas Mafia Hukum mengungkapkan, bahwa kasus Gayus Tambunan merupakan kasus mafia yang tergolong berat. Dampak kerusakannya juga sangat besar. "Bayangkan, jika kasus ini dibiarkan, dampaknya akan sangat merusak," ujar Sekretaris Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/3). Dia menekankan, kategori beratnya kasus ini karena bukan hanya menyangkut aparat pajak, melainkan juga terkait dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain, dampak besar dari kasus ini adalah dari sisi penerimaan negara. Padahal, penerimaan negara selama ini sebagian besar disumbang dari pajak. "Bayangkan, jika kasus ini dibiarkan terjadi," katanya. Karena itu, kata Denny, Satgas membantu kepolisian untuk mengungkap kasus tersebut. Satgas telah menghimpun informasi sangat penting dan strategis dari Gayus Tambunan guna menginvestigasi kasus ini lebih lanjut. Informasi itu terkait dengan mafia yang bukan sekedar melibatkan orang pajak, tetapi juga terkait dengan mafia peradilan, yakni mencakup institusi penegak hukum lainnya. "Kami sudah serahkan kepada Mabes Polri untuk ditindaklanjuti." Anggota Satuan Tugas (Satgas), Mas Achmad Santosa mengungkapkan, pengadilan pajak merupakan tempat penyelewengan yang dilakukan pegawai pajak. Gayus Tambunan kini tengah diburu oleh Ditjen Pajak dan Kepolisian Indonesia. Gayus menjadi tersangka dugaan makelar

kasus pajak karena di rekeningnya terdapat duit senilai Rp 25 miliar yang diduga berasal dari wajib pajak. (VIVAnews)

Besar Kecil Normal


Bagikan21 0

Kasus Gayus Tambunan Bukan Penggelapan Pajak


Kamis, 25 Maret 2010 | 21:16 WIB Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yenti Ganarsih berpendapat bahwa kasus yang menjerat Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, tidak dapat disebut sebagai kasus penggelapan pajak. "Saya melihat itu merupakan kasus penyuapan yang kemudian berujung pada pencucian uang," katanya kepada Tempo di Jakarta, Kamis (25/3). Yenti menilai bahwa dana sebesar Rp 25 miliar yang masuk ke dalam rekening milik Gayus merupakan bentuk suap. "Dana itu kemudian dialirkan entah kemana sebagai bentuk pencucian uang, dan masih tersisa sekitar Rp 400 Juta. Itu semua harus betul-betul ditelusuri," kata dia. Seharusnya, Yenti melanjutkan, ada penelusuran lebih lanjut terkait sumber dana itu sendiri. "Bisa saja uang itu diberikan oleh orang atau perusahaan yang memiliki kepentingan penggelapan pajak," kata dia. Oleh karena itu, dia menekankan perlunya penyidikan lebih lanjut agar terkuak jumlah kerugian negara yang sebenarnya dari penggelapan pajak yang diduga melibatkan Gayus Tambunan tersebut. "Sangat mungkin jumlahnya lebih besar dari Rp 25 miliar," kata Yenti. EZTHER LASTANIA

Kasus Gayus Tambunan, Menguak Mafia Hukum di Indonesia

Jakarta - Tim independen yang dibentuk Kepala Kepolisian RI telah mengantongi bukti-bukti untuk mengungkap keberadaan mafia hukum dalam penanganan kasus Gayus Halomoan Tambunan. "Semuanya adalah bukti penting dan strategis," kata Denny Indrayana, Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

Denny mengungkapkan hal itu dalam konferensi pers di gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan di Jalan Juanda, Jakarta, kemarin sore. Namun ia enggan menyampaikan apa saja bukti penting tersebut. Anggota Satuan Tugas lainnya, Yunus Husein, juga tak bersedia menjawab soal dugaan adanya aliran uang dari Gayus kepada para penegak hukum. Sebab, dari pemeriksaan atas pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu sebelumnya, beredar kabar bahwa ada "guyuran" sejumlah uang kepada polisi, jaksa, hingga hakim masing-masing Rp 5 miliar.

Diduga gara-gara itulah Gayus terbebas dari hukuman. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, 12 Maret lalu, Gayus, yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis bebas. "Mengalirnya (uang) belum kelihatan ke aparat negara atau ke penegak hukum," kata Yunus.

Yang pasti, kata Yunus, setoran uang yang masuk ke rekening Gayus Tambunan berasal dari perusahaan dan perorangan. Total uang yang diduga sebagai hasil korupsi, penggelapan, serta berkaitan dengan pencucian uang itu Rp 28 miliar, bukan Rp 25 miliar seperti banyak diberitakan.

Tentang keberadaan Gayus, yang kini dideteksi telah kabur ke Singapura, anggota Satuan Tugas, Mas Achmad Santosa, menyatakan optimismenya bahwa polisi akan bisa segera menangkapnya. "Dalam waktu tak lama Polri akan bisa menghadirkan GT (Gayus Tambunan)," kata Mas Achmad.

Selain itu, Mas Achmad mengklarifikasi berita yang menyebutkan adanya 10 pejabat di Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat mafia, sebagaimana diungkapkan Gayus. Yang benar, kata Mas Achmad, Gayus mengaku bahwa praktek yang dilakukannya itu sudah menjadi

semacam kelaziman di kantornya. "Secara berseloroh, dia bilang ada 10-an-lah yang seperti dirinya," ujarnya.

Dengan adanya fakta dan pengakuan itu, Satuan Tugas mendesak agar kasus Gayus ini diusut tuntas. Sebab, kata Denny Indrayana, kasus ini dinilai bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan. "Sekarang saja sudah mulai muncul pemikiran untuk tidak membayar pajak," kata Denny.

Satuan Tugas pun yakin bahwa terungkapnya kasus Gayus ini bisa menjadi pintu masuk bagi pembenahan sistem perpajakan dan penegakan hukum. Perbaikan di kantor pajak, kata Denny, antara lain dengan memperketat pengawasan di kalangan internal.

Menurut penilaian Satuan Tugas, upaya reformasi birokrasi di kantor pajak sebenarnya sudah cukup berhasil membuat ruang gerak orang-orang seperti Gayus makin sempit. Namun, dengan kecilnya peluang itu, praktek mafia perpajakan masih juga terjadi.

Priyo: Goncangkan Saja Kasus Gayus Tambunan Febrina Ayu Scottiati - detikNews <p>Your browser does not support iframes.</p> Gayus Tambunan dalam sidang. <a href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a59ecd1b&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM BER_HERE' target='_blank'><img src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?zoneid=24&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM BER_HERE&amp;n=a59ecd1b' border='0' alt='' /></a> Jakarta - Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, menyambut baik usul Panja Komisi IX DPR membentuk Pansus Mafia Pajak. Mengungkap skandal mafia pajak secara tuntas memang memerlukan tindakan kolektif lintas Komisi DPR. "Baguslah kalau itu bisa dibuat," ujar Priyo di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/1/2011). Sebelumnya dia menanggapi rencana Komisi III DPR membentuk panja mafia pajak. Menurutnya sudah ada panja yang kurang lebih lebih serupa di Komisi XI DPR dan sebaiknya Komisi III DPR melakukan koordinasi tanpa perlu membentuk pansus.

"Kami minta koordinasi supaya tidak terlihat sektoral. Bisa saja kita tarik menjadi pansus, tapi untuk sementara itu (panja) cukup. Saya berharap ada koordinasi khusus dan akan kami jembatani," ujar Priyo. Politisi senior dari Partai Golkar itu juga mensinyalir adanya upaya politisasi terhadap isu kasus Gayus Tambunan. Agar politisasi tidak berkelanjutan, maka perlu ada upaya menuntaskan kasus yang beberapa bulan terakhir jadi perhatian masyarakat. "Demi keadilan saya tetap mendesak. Buka saja, goncangkan saja," tegas dia. (feb/lh)

Megawati: Penegakan Hukum di Indonesia Masih Buruk


Achmad Yani

09/01/2011 14:35 Liputan6.com, Jakarta: Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputri prihatin dengan masih buruknya penegakan hukum di Indonesia. Menurut Presiden RI periode 2001-2004 itu, Ahad (9/1), tahun 2010 diwarnai oleh memburuknya kepatuhan pada hukum yang merupakan fondasi dari tertib sosial dan rasa saling percaya. "Hukum seolah-olah ditampilkan sebagai garda terdepan untuk melayani keadilan," katanya. Megawati mengatakan, penegakan hukum telah kehilangan martabat dan substansi keadilan. Sehingga hukum lebih mudah ditegakkan kepada rakyat jelata, namun tidak berdaya ketika menghadapi mafia pajak Gayus Tambunan, kejahatan perbankan, seperti kasus Bank Century serta pencurian kekayaan alam. "Hal inilah yang menjadi masalah pokok selama tahun 2010. Hukum justru takluk di telapak kaki kekuasaan," tuturnya.

Pada bagian lain Megawati juga menyatakan, tingkat kemiskinan terus bertahan, sementara angka pengangguran bertahta angkuh pada tingkat yang mencemaskan. Arah pembangunan dan pengelolaan ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar telah membikin pemerintah lalai akan fungsi distribusi yang berkeadilan. "Saya paham betul bahwa tantangan yang dihadapi bangsa ini tidak kecil, tidaklah ringan. Karena itulah diperlukan konsolidasi dan mobilisasi semua kekuatan kolektif kita sebagai bangsa untuk bergotong royong menjawab tantangan tersebut," katanya. Konsolidasi itu, menurut dia, bukan soal bagi-bagi kekuasaan. Tetapi, soal ideologi, soal masa depan bersama yang diidealkan, soal nation and character building (membangun karakter bangsa) dan soal keberpihakan kepada rakyat. Untuk itu semua, Megawati mengemukakan, sebagai bangsa, harus berani memutar haluan dan mesti kembali mengukuhkan konsensus yang telah dicapai oleh para pendiri Republik ini.(IAN/Ant)

Potret Buruk Hukum Indonesia Tahun 2009


Joko Widiyarso - GudegNet Sebuah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang di dalamnya terdapat sejumlah lembaran uang berada dalam sebuah sangkar, layaknya sebuah burung. Selain sejumlah uang yang terselip di dalamnya, buku yang seharusnya menjadi pijakan utama para penegak hukum tersebut juga digembok dengan tujuan agar buku tersebut tidak perlu dibuka lagi. "Hukum di Indonesia itu dipermainkan orang-orang yang berduit, jadi tak perlu lagi buku KUHP dan KUHAP tersebut dibuka-buka lagi karena pada dasarnya duit lah yang berkuasa," kata perupa Hamzrut yang memaparkan karya instalasinya 'Cage' yang dipamerkannya di Arslonga, Senin (4/1). Menurutnya, sangkar bercatkan warna merah putih adalah representasi negara Indonesia, yang bahkan hingga saat ini masih saja mempraktikkan hukum yang terus saja dikandangkan. Dengan karya tersebut, Hamzrut dengan tegas menyatakan bahwa pada tahun 2009, dunia hukum dan keadilan di Indonesia masih sangat memprihatinkan, yakni hanya berpihak pada yang kaya dan selalu jauh dari rakyat kecil. "Masa orang seperti Anggodo yang sudah terbukti salah masih bisa bebas, sedangkan banyak

kasus pencurian kakao oleh orang miskin yang telah divonis sekian tahun penjara," katanya menggebu-gebu. Meski demikian, Hamzrut masih berharap banyak bahwa duni hukum dan pengadilan di Indonesia akan lebih baik, khususnya pada tahun mendatang di 2010. "Saya masih optimis dunia hukum akan lebih baik, paling tidak saya berharap demikian," pungkasnya. Sementara itu perupa lainnya yakni Budi Darma juga menggambarkan Indonesia pada tahun 2009 lalu dalam bingkai yang cenderung negatif. Dengan karyanya 'Merajut Tali Perjuangan', Budi hendak menampilkan bagaiman masyarakat khususnya kelas bawah sudah tak lagi didengan oleh pemerintah. "Saya bahkan bisa bilang bahwa rakyat sudah muak dengan pemerintah. Makanya mereka lebih memilih untuk melakukan segala sesuatunya dengan caranya sendiri, dan tak lagi mengandalkan pemerintah yang selalu memgecewakan mereka," tandaasnya. Hamzrut dan Budi Darma adalah dua dari 28 perupa yang turut dalam pameran seni rupa 'Memoart Indonesia 2009' yang digelar di Arslonga hingga 10 Januari mendatang. Pada kesempatan pameran yang dibuka pada akhir tahun (31/12) tersebut, Arslonga memberikan kesempatan bagi perupa untuk merespon dan menyuarakan tema apa saja yang terjadi dalam periode tahun 2009 di Indonesia. Seperti biasa, hampir seluruh perupa menggambarkan keadaan Indonesia pada tahun 2009 lalu dalam bingkai hitam yang penuh kepedihan, ketidakadilan, kesengsaraan, dan segala yang berkesan negatif.

Antiklimaks Buruknya Hukum Indonesia


Selasa, 6 November 2007 - 08:05 wib Fetra Hariandja - Okezone

JAKARTA - Pengadilan Negeri (PN) Medan memvonis besas Direktur Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) Adelin Lis, tersangka pembalak liar (illegal logging) di Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Keputusan itu dinilai sebagai antiklimaks buruknya penegakan hukum di Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bahkan menilai telah terjadi dua peristiwa besar dalam kasus tersebut. Pertama, pernyataan Menkopulhukam Widodo AS bahwa tidak ada kaitannya pejabat pemerintah dengan kasus Adelin Lis. Kedua, PN Medan telah memvonis bebas Adelin Lis. "Kedua peristiwa tersebut sebagaia antiklimaks penegakan hukum di Indonesia. Tentunya, menimbulkan implikasi yang besar," kata Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad saat dihubungi okezone, Selasa (6/11/2007). Terkait implikasi, Chalid memaparkan, keputusan itu semakin merendahkan kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kemudian, semakin memperburuk kepercayaan rakyat terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas pembalakan liar. Terakhir, semakin terpuruknya diplomasi internasional tentang lingkungan hidup yang dibangin Indonesia. "Rendahnya kepercayaan rakyat itu tidak lepas dari langkah Menteri Kehutanan (Menhut) MS Ka'ban yang menyrati kuasa hukum Adelin Lis," tegas Chalid. Keputusan Menhut mengirim surat menyirat sebuah kesimpulan fantastis bahwa Adelin Lis hanya melakukan pelanggaran administrasi. Tragisnya, surat itu dikirim Ka'ban ketika proses persidangan sedang berjalan. "Akibatnya juga berpengaruh terhadap kinerja hakim. Hakim yang terlibat dalam persidangan itu tertekan," kilahnya. Seperti diberitakan okezone, jaksa penuntut umum (JPU) PN Medan menuntut Adelin Lis 10 tahun penjara karena dinilai bertanggung jawab atas kerusakan hutan di Kabupaten Madina, seluas 48 ribu hektar. Selain itu, JPU Harley Siregar dihadapan majelis hakim yang diketuai Arwan Biryn SH juga menuntut Adelin lis membayar denda senilai Rp1 miliar, subsider 6 bulan kurungan, dan membayar ganti rugi secara tanggung renteng senilai Rp119 miliar dan USD2,938 juta bersama Ir Wasington Pane selaku Direktur Perencanaan PT KNDI, Oscar Sipayung selaku DIRUT, Ir Budi Ismoyo KADISHUT Kabupaten Madina dan Ir Sucipto Lumban Tobing mantan Kadishut Kabupaten Madina yang dibebaskan dalam putusan sela Majelis Hakim PN Madina.

'nBASIS
Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya

Pak Tarlan (81 Tahun): POTRET BURUKNYA PEMAHAMAN HUKUM DI INDONESIA


with 2 comments Formalisme menjadi salah satu penyakit parah dalam penegakan hukum di sebuah negara yang sedang sakit parah. Tarlan dan kawan-kawan, dan mungkin banyak lagi yang lain di belahan lain bumi Indonesia, adalah contoh orang yang terzholimi atas paradigma formalisme hukum itu: diwajibkan mendapatkan gelar tamat SD untuk dapat menjadi karyawan tetap petugas kebersihan di tempatnya bekerja, Mesjid Istiqlal.

KOMP AS.com mengutip pernyataan Tarlan yang menyatakan tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China. Tarlan yang tidak tamat SD dijadikan referensi, ya bersalahan jadinya. Mestinya, Tarlan wajar saja tidak tahu, pepatah yang paling tepat untuk kasusnya adalah menuntut ilmu itu kewajiban bagi siapa saja semenjak buaian sampai ke pintu lahat. Bahasa sononya uthlubu al-ilm faridhatan min al-mahdi ila allahdi. Ini pun tidak tepat jika Tarlan meniru gaya orang-orang lain (banyak di antaranya pejabat) yang cuma ingin ijazah, bukan ilmu. Tetapi, menurut penuturannya pada sebuah stasiun tv nasional, memang ada keseriusan belajar. Jadi Tarlan tidak cuma ikut ujian dan ingin menggondol gelar perdana dalam sistem pendidikan nasional: tamatan SD. Masih ingat Marsinah? Udin wartawan Yogya? Munir? Ingat Siti Hajar? Ingat Prita? Ingat nenek Minah? Oh, kiranya pilu hati mengenang semua itu. Mereka tak mendapatkan keadilan hukum. Mereka tak memperoleh pembelaan negara. Mereka tak dipihaki oleh perasaan keadilan dari institusi penegak hukum yang bekerja mewakili negara. Semua boleh disebut untuk dan atas nama paradigma formalisme hukum. Atas nama dan untuk formalisme hukum pula Tarlan menjadi peserta program paket A. Tarlan bekerja sebagai petugas kebersihan di Mesjid Istiqlal, mesjid megah yang dibangun sebagai salah satu kebanggan Indonesia pada masa pemerintahan Bung Karno. Di dalam mesjid megah yang

dirancang oleh Friedrich Silaban inilah biasanya upacara-upacara keagamaan kenegaraan digelar seperti Isra dan Miraj dan Nuzulul-quran. Presiden dan Wakil Presiden (selama ini) juga akan dianggap janggal jika tidak tampak di Mesjid ini saat sholat Idulfithri dan Idul Adha. Juga akan selalu ada hewan qurban yang sehat dan besar dari keluarga Presiden dan Wakil Presiden untuk disembelih saat Idul Adha. Tarlan yang berusia 81 tahun, dengan 19 orang cucu, kemaren Jumat tertangkap tangan oleh media sedang mengikuti ujian Paket A yang diselenggarakan di lingkungan kerja Suku Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah (Sudin Dikmen) Jakarta Pusat. Sejak setahun lalu aktif mengikuti program pendidikan Paket A, Tarlan yang pernah memperoleh pendidikan sampai kelas 5 Sekolah Rakyat (nama zaman dulu untuk pendidikan setara SD), adalah penduduk Jakarta. Dalam pengakuannya kepada KOMPAS.com, jika berhasil memperoleh ijazah SD ia akan melaporkannya kepada pimpinannya agar dapat diangkat menjadi karyawan tetap. Rupanya, masih menurut pengakuannya kepada KOMPAS.com, selam ini ia bekerja sebagai salah seorang petugas kebersihan di Masjid kebanggaan Indonesia yang dibangun pada zaman Bung Karno itu, yang memprasyaratkan pemilikan ijazah SD. Bersama Tarlan ada orang tua yang lain yang sama-sama berjuang untuk maksud yang sama: jadi karyawan tetap di Mesjid Istiqlal. Ada Mulyani yang berusia 50 tahun. Ada pula Hussein yang berusis 55) tahun. Kalau sudah menjadi karyawan tetap, kami akan digaji sesuai UMR, kata Hussein kepada KOMPAS.com. Sepintas kasus Tarlan dan kawan-kawan tidak janggal sama sekali. Namun, dalam kasus ini tergambar jelas potret pemahaman dan penegakan hukum di Indonesia yang begitu buruk. Mengapa? Sebagai seorang petugas kebersihan, adakah skill advantege yang signifikan bagi Tarlan jika memperoleh status baru sebagai tamatan SD? Karena itu pula menjadi wajar mempertanyakan betapa kaku dan betapa tumpulnya hati nurani orang-orang pembijaksana di Istiqlal itu. Atau perlukah Mahkamah Konstitusi menterjemahkan aturan pola penggajian petugas kebersihan dalam kaitan dengan UMR? Perlukah Menteri Tenaga Kerja membuat Kepmen untuk karyawan Mesjid Istiqlal? Perlukah Menteri Penertiban Aparatur Negara menerbitkan peraturan khusus untuk kasus Tarlan dan kawan-kawan? Atau barangkali ini dapat menjadi pekerjaan pertama bagi satgas yang akan dibentuk oleh Presiden untuk pemberantasan mafia hukum? Barangkali Menteri Agama atau siapalah yang berwenang perlu menegur manajemen mesjid Istiqlal atas penzholiman yang naif ini.

Petisi 28: SBY Gagal Dalam Penegakan Hukum

inilah.com/Wirasatria Oleh: Bayu Hermawan Nasional - Selasa, 23 November 2010 | 04:08 WIB TERKAIT

Kotak "Koin Untuk Presiden" di DPR Hilang HMI Subang Nilai Presiden SBY Lebay "Koin Untuk Presiden" Busukkan Wibawa Pemerintah Priyo: Koin Untuk Presiden Pernak-pernik Demokrasi "Koin Untuk Presiden" Akibat SBY Suka Curhat

INILAH.COM, Jakarta - Petisi 28 menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain itu Petisi 28 melihat saat ini hukum hanya dijadikan panglima untuk mempertahankan kekuasaan SBY sebagai Presiden. Hal tersebut disampaikan oleh Haris Rusly Moty sebagai perwakilan dari Petisi 28 saat mendatangi Mabes Polri, Jakarta, Senin (22/11/2010). Menurut Haris, Petisi 28 menilai Presiden SBY telah gagal dalam penegakan hukum di Indonesia, dan saat ini penegakan hukum jauh dari keadilan yang diharapkan masyarakat. "Penegakan hukum di pemerintahan SBY saat ini hukum ditempatkan bukan sebagai alat penegakan keadilan, tapi sebagai panglima untuk pertahankan kekuasaan SBY sampai 2014," ucap Haris. Petisi 28 mengatakan hal ini bukan hanya dilihat dari kasus mafia pajak Gayus H Tambunan semata, namun juga kasus-kasus lain yang hingga saat ini belum diselesaikan seperti kasus Bank Century, kriminalisasi pimpinan KPK, hingga IPO Krakatau Steel. "Sebab di pemerintahan SBY ini, hukum hanya ditempatkan untuk melindungi kepentingan dengan berbagai modus, ini bisa dilihat dari kasus pengemplangan pajak, Ipo Krakatau Steel, dimana kasus pencurian uang negara hingga saat ini tidak pernah diselesaikan," tegasnya. Lebih lanjut Petisi 28 mengatakan Presiden SBY tidak bisa membedakan antara memimpin penegakan hukum dengan mengintervensi hukum. "Seharusnya memimpin untuk menjaga penegakan hukum agar sesuai dengan keinginan rakyat dan sesuai konstitusi, namun yang terjadi dia mengintervensi dan mengacaukan penegakan hukum," tegasnya. Menurutnya kasus Gayus H Tambunan ini seharusnya digunakan untuk pembuktian dalam memberantas para pengemplang pajak, sebelum rakyat akhirnya mengambil langkah sendiri. "Jika tidak ada langkah untuk mengatasi kasus ini, rakyat akan kembali turun ke jalan, dan jangan salahkan kami jika rakyat mengambil jalan kekerasan," tegasnya. [TJ]

Permasalahan Hukum di Indonesia

>> 11.20.2009
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).

Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.

Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Sehingga dapat di katakan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum. Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Antara lain 1. Tingkat Kekayaan Seseorang Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad Bob Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan

menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara hanya sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.

2. Tingkat Jabatan Seseorang Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, sementara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. 3. Nepotisme Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. 4. Tekanan Internasional Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat.

Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.

1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya damai dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. 2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat

menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama. 3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu. 4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya. Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya. Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.

Potret Penegakan Hukum di Indonesia Masih Buram Anwar Khumaini - detikNews <p>Your browser does not support iframes.</p> <a href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a59ecd1b&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM BER_HERE' target='_blank'><img src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?zoneid=24&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM BER_HERE&amp;n=a59ecd1b' border='0' alt='' /></a>

Aksi 2 Pendukung Cicak Vs Buaya di Depan MK Karyawan KPK Nobar Sidang MK Jakarta - Rekaman upaya kriminalisasi terhadap KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK) makin menunjukkan potret penegakan hukum di Indonesia masih buram. Penegakan hukum di negeri yang berlandaskan hukum ini pun terancam. "Ini menggambarkan potret buram hukum kita. Bukan tidak mungkin kasus-kasus lain pun juga banyak yang seperti itu. Kebetulan kasus ini saja yang baru terungkap," kata ahli hukum pidana UGM, Eddy OS Hiariej kepada detikcom, Rabu (4/11/2009). Mafia-mafia peradilan yang selama ini didengungkan oleh para pegiat antikorupsi ini ternyata bukan isapan jempol belaka. Eddy menjelaskan, terungkapnya isi rekaman di MK kemarin semakin meneguhkan, bahwa mafia peradilan masih menjadi ancaman penegakan hukum. "Bahwa yang kita dengungkan apa yang disebut mafia peradilan terbukuti," imbuhnya. Bagaimana menumpas mafia peradilan agar tidak terus membayang-bayangi dunia hukum kita? Eddy meminta agar setiap penyelesaian kasus haruslah dilakukan dengan transparan. Ini penting untuk kembali dilakukan oleh para penegak hukum agar kemungkinan-kemungkinan kecil untuk terjadinya penyelewengan hukum bisa dihindari. "Pengungkapan kasus harus transparan. Bayangkan, seorang buronan dan DPO saja bisa melakukan pertemuan dengan Kabareskrim. Ini bisa terjadi karena pengungkapan kasus tidak transparan," kata pria yang mengajar hukum pidana di FH UGM ini. Apakah para petinggi Polri dan Kejaksaan harus diganti sebagai bentuk tanggung jawab atas kasus ini?

"Tidak serta merta kita harus menjustifikasi seperti itu. Kecuali kalau hasil rekaman tersebut telah diselidiki dan memang terbukti," pungkas Eddy.

www.suaranews.com/.../kasus-gayus-tambunan-menguak-mafia.html www.tempointeraktif.com hukum.tvone.co.id/.../kasus_gayus_tambunan_merusak_tatanan_hukum www.detiknews.com/ berita.liputan6.com/.../Megawati.Penegakan.Hukum.di.Indonesia.Masih.Buruk berita.liputan6.com/.../HTI.Keluhkan.Buruknya.Sistem.Hukum.di.Indonesia www.mediaindonesia.com/.../Buruknya-Hukum-Indonesia - Amerika Serikat news.okezone.com/.../antiklimaks-buruknya-hukum-indonesia

Anda mungkin juga menyukai