Anda di halaman 1dari 21

PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA MATERI TEOREMA PYTHAGORAS

MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Seminar Problematika Pembelajaran Matematika yang dibina oleh Bapak M. Shohibul Kahfi

Oleh: Ony Syaiful Rizal (208311411935)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN MATEMATIKA Pebruari 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Selama ini dalam dunia pendidikan masih didominasi oleh anggapan bahwa pengetahuan merupakan perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Selain itu praktek pembelajaran di sekolah cenderung menekankan pada kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Kemampuan penalaran yang mengkonstruksikan pengetahuan lebih sering

dikesampingkan. Padahal kemampuan tersebut akan dapat membantu siswa apabila menghadapi berbagai masalah kehidupan dimasa yang akan datang. Mathematic is the language of science. Engineers, physicist, and other scientists all use mathematics. Other expert, who are interested in number, quantities, shapes and space for their own sake, use pure mathematics. In modern world, mathematics is a key element in electronic and computing (Science Encyclopedia: 1997) dalam Agustina Dwi Saputri. Belakangan ini dalam dunia pendidikan ada kecenderungan untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alami. Telah terbukti bahwa pembelajaran yang hanya berorientasi target penguasaan materi hanya mampu dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi tidak berhasil untuk membekali anak memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang. Padahal belajar menjadi

lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajari, bukan hanya mengetahui. Siswa perlu mengerti tentang makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Pada dasarnya anak-anak perlu menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupan nanti. Seperti dalam kurikulum matematika sekolah, bahwa tujuan

diberikannya pelajaran matematika antara lain agar siswa mampu menghadapai perubahan keadaan dunia yang senantiasa berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran yang logis, rasional, cermat dan jujur serta efektif. Hal ini tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan hafalan, latihan soal yang rutin tanpa mengakaitkannya dengan kenyataan hidup sehari-hari. Kelas juga masih mengandalkan model-model pembelajaran yang berpusat pada guru sehingga siswa lebih mengenal pengetahuan dari apa kata guru, bukan datang dari menemukan sendiri. Pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah pada umumnya belum optimal dalam pencapaian tujuan. Salah satu faktornya adalah penggunaan pendekatan pembelajaran yang kurang tepat. Alasannya antara lain: guru tidak mempunyai cukup referensi mengenai beberapa pendekatan matematika yang dapat digunakan, waktu yang terbatas, dan alat pembelajaran yang terbatas jumlahnya. Beberapa hal di atas mengarahkan pada kesimpulan bahwa diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang lebih

memberdayakan siswa, yang tidak mengharuskan siswa menghafal faktafakta, tetapi pendekatan yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan.

Ada beberapa pendekatan yang saat ini mulai dikembangkan dan diterapkan, salah satunya adalah pendekatan kontekstual atau yang lebih dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning). CTL dapat menjadi alternatif pendekatan yang digunakan sebagai solusi permasalahan yang dihadapi guru, karena hakikat pendekatan kontekstual dapat dipelajari sehingga dapat langsung diterapkan dalam proses pembelajaran. Selain itu, pengembangan startegi dalam pendekatan ini dapat menjadikan pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakana tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana pembelajaran Matematika konstekstual itu? 1.2.2 Bagaimana penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teorema Pythagoras itu?

1.3 Tujuan Masalah Tujuan penulisan makalah ini ialah: 1.3.1 Untuk mengetahui pembelajaran Matematika konstekstual 1.3.2 Untuk mengetahui penerapan contextual teaching and learning (CTL) pada materi teorema Pythagoras.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pembelajaran Matematika Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan angka-angka. Matematika sendiri berasal dari bahasa latin Manthanen atau Mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Dalam bahasa Belanda Matematika disebut Wiskunde atau ilmu pasti, dan kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri utama Matematika adalah penalaran dedukatif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar konsep dalam Matematika bersifat konsisten. 2.1.1 Belajar Matematika Menurut Winkel (1999:10) dalam Sukirno (2009: 6) disebutkan belajar adalah aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungannya, yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Belajar merupakan suatu tindakan untuk mendapatkan informasi, pengetahuan, pemahaman, pengalaman sehingga tingkah laku dan kualitas individu dapat berkembang. Seseorang dikatakan belajar apbila dalam diri orang itu terjadi perubahan tingkah laku (perubahan hasil belajar). Dengan demikian belajar akan menyangkut proses belajar dan hasil belajar.

Menurut Oemar Hamali (1995: 35) dalam Sukirno (2009: 7) belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman, yang artinya belajar adalah merupakan suatu proses, suatu kegiatan belajar yang dibutuhkan ingatan dan pengalaman. Menurut Morgen (1978) dalam Sukirno (2009: 7) belajar adalah setiap perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dan latihan atau pengalaman. Menurut Hilgard dan Marquis dalam Sukirno (2009: 7) belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri. Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan proses perkembangan mental dan tingkah laku individu sehingga terjadi perubahan-perubahan dalam individu untuk dapat berkembang sebagai hasil dari belajar. Dari beberapa referensi diatas maka dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah proses interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan untuk melatih berfikir, bernalar, memecahkan masalah, dan menyampaikan informasi atau gagasan yang dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu.

2.2 Pembelajaran Matematika Kontekstual Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang akhir-akhir ini mulai berkembang pesat, baik materi maupun kegunaan. Perkembangan ini diiringi dengan adanya pembaruan kurikulum pada pembelajaran di sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran, saat ini mulai bermunculan penemuan atau pengembangan strategi pembelajaran. Penelitian telah banyak dilakukan untuk menemukan strategi pembelajaran yang tepat. Masing-masing strategi memiliki ciri khas dan keunggulan. Strategi pembelajaran yang saat ini sedang berkembang adalah strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Di Belanda pembelajaran ini dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME), sedangkan di Amerika lebih dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL). Pendekatan kontekstual adalah pendekatan dengan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan (Nurhadi,2002:1). Pendekatan ini mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pendekatan kontekstual juga berpijak pada aliran psikologis kognitif, menurut aliran ini belajar terjadi karena pemahaman individu akan

lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman. Menurut Sanjaya (2005:114) dalam Hertika Agustina dkk, pengertian CTL antara lain: 1. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi

pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh. 2. Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir. 3. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara Kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan. 4. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.

5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak ( Real World Learning). Proses pengembangan konsep dan gagasan pembelajaran matematika kontekstual bermula dari dunia nyata. Menurut Hauvel-Panhuizen (dalam Astuti:2003:12) dunia nyata takhanya berarti konkret secara fisik dan kasat mata, tapi juga dapat dibayangkan oleh alam pikiran. Hal ini berarti masalah yang digunakan dapat berupa masalah-masalah aktual (sungguh-sungguh ada dalam kehidupan siswa) atau masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Beberapa ciri khas dalam pembelajaran matematika kontekstual, antara lain, sebagai berikut. 1) Titik awal proses pembelajarannya adalah penggunaan masalah berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada dalam alam pikiran siswa. Masalah-masalah yang ada dapat disajikan dengan cerita, lambang, model, atau gambar. Dalam hal ini siswa diharapkan dapat menemukan alat matematis atau model matematis sekaligus memahami konsep atau prinsipnya. 2) Pembelajaran ini menghindari cara mekanik yaitu berfokus pada prosedur penyelesaian soal. Meskipun begitu belum sepenuhnya dapat diterapkan karena belum dapat dihilangkan, sehingga dalam

pelaksanaannya masih dijumpai meskipun tidak dominan. Siswa diharapkan dapat menemukan alat atau model matematis untuk dapat menyelesaikan masalah.

3) Siswa diperlakuakn sebagai peserta aktif dengan diberi keleluasaan menemukan sendiri atau mengembangkan alat, model dan pemahaman matematis melalui penemuan dengan bantun guru atau diskusi bersama teman. Menurut Slavin (dalam Astuti: 2003:19) kegiatan pembelajaran ini dapat dilakukan dengan diskusi kelompok antara siswa dengan orang dewasa atau dengan teman sebaya. Interaksi tersebut dapat diakomodasikan melalui belajar dalam kelompok heterogen (kelompok kooperatif yang beranggotakan 2-6 orang).menurut Slavin hal ini dapat mengakibatkan siswa yang berkemampuan lemah dapat belajar dari pemikiran teman sebayanya yang berkemampuan lebih, sehingga belajar akan teras mudah. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen, yaitu sebagai berikut. a. Contructivism (Kontruktivisme) Proses pembelajaran mengarahkan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif. Siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Sedangkan guru bertugas untuk memfasilitasi sehingga pengetahuan menjadi bermakna dan relevan bagi siswa b. Inquiry (Menemukan) Inquiry merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis dan analisis, sehingga

10

mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama pembelajaran dengan inquiry adalah sebagai berikut: 1) Keterlibatan siswa secara maksimal, yang melibatkan mental intelektual sosial emosional siswa. 2) Keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran. 3) Mengembangkan sikap percaya diri siswa tentang apa yang ditemukannya dalam proses inquiry. c. Questioning (Bertanya) Bertanya merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang

berlangsung secara informatif untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya akan

mendorong siswa sebagai partisipan aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan ini menurut Nurhadi (2002) berguna untuk: 1) menggali informasi, baik administratif maupun akademis, 2) mengecek pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, 8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

11

d. Learning Community (Masyarakat belajar) Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan teman atau orang lain (Nurhadi,2002:15).

Masyarakat belajar terjadi bila ada komunikasi dua arah yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. e. Modelling (Pemodelan) Pemodelan dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu maksudnya adanya model yang ditiru. Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh: cara melakukan pengukuran yang benar. Model tak hanya dari guru tapi juga dari siswa atau ahli. f. Reflection (Refleksi) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang dilakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Nurhadi,2002:18). Realisasinya dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut. 1) Pernyataan langsung, tentang apa-apa yang diperoleh hari itu. 2) Catatan atau jurnal di buku siswa. 3) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. 4) Diskusi. 5) Hasil karya. g. Authentic Assessment (Penilaian yang sebenarnya) Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran mengenai perkembangan belajar siswa

12

(Nurhadi,2002:19). Penilaian yang dilakukan bukan hanya karena bisa menjawab serangkaian pertanyaan di atas kertas, tapi juga

kemampuannya dalam mengaplikasikannya, inilah yang disebut authenthic. Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain: proyek kegiatan dan laporannya, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, dan tes tulis. The Northwest Regional Education Laboratory USA (dalam Asikin, 2003) mengidentifikasi adanya 6 kunci dasar yang menentukan kualitas dari pembelajaran konteksatual, yakni: 1) Pembelajaran bermakna Dalam pembelajaran bermakna, pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan sangat terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupan di masa mendatang. 2) Penerapan pengetahuan Jika siswa memahami apa yang dipelajari maka siswa mendapat menerapkannya dalam tatanan kehidupan. 3) Berpikir tingkat tinggi Siswa diminta untuk berpikir kritis dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.

13

4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kepada standar Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, nasional dan perkembangan IPTEK dan dunia kerja. 5) Responsif terhadap budaya Guru harus memahami dan menghormati nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, sesama rekan guru dan masyarakat tempat ia mendidik. Setidaknya ada empat perspektif yang harus diperhatikan yaitu individu siswa, kelompok siswa, tatanan sekolah dan tatanan masyarakat. 6) Penilaian autentik Berbagai macam strategi penilaian digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa yang sesungguhnya meliputi: penilaian proyek dan kegiatan siswa, dan panduan pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif menilai pembelajaran mereka sendiri.

2.3 Teorema Pythagoras Teorema Pythagoras adalah suatu teori yang ditemukan oleh seorang ahli Matematika bangsa yunani bernama Pythagoras pada abad ke enam SM. Dia adalah seorang tokoh yang sangat berjasa dibidang matematika. Berkat penemuannya, terutama terkait dengan segitiga siku-siku, telah membawa manfaat yang cukup besar dibidang apapun. Untuk mengabadikan namanya penemuan tersebut dikenal dengan Teorema Pythagoras. Pythagoras menyatakan bahwa:

14

Jumlah luas bujur sangkar pada kaki sebuah segitiga siku-siku sama dengan luas bujur sangkar di hipotenus. Sebuah segitiga siku-siku adalah segitiga yang mempunyai sebuah sudut siku-siku, kakinya adalah dua sisi yang membentuk sudut siku-siku tersebut, dan hipotenus adalah sisi ketiga yang berhadapan dengan sudut siku-siku tersebut. Pada gambar di bawah ini, a dan b adalah kaki segitiga siku-siku dan c adalah hipotenus.

Pythagoras menyatakan teorema ini dalam gaya goemetris, sebagai pernyataan tentang luas bujur sangkar: Jumlah luas bujur sangkar biru dan merah sama dengan luas bujur sangkar ungu.

2.4 Pendekatan Kontekstual Pada Materi Teorema Phytagoras Kegiatan mengajar merupakan salah satu kegiatan mengatur agar tercipta suatu sistem lingkungan belajar. Caranya dengan memanfaatkan media lingkungan yang ada di sekitar sekolah sehingga proses belajar menjadi menyenangkan bagi siswa dan guru, agar tercipta suatu system lingkungan belajar. Perlu diupayakan proses belajar mengajar yang mengacu pada peserta didik yang dinamis, kreatif, suasana senang dan interaktif antara

15

siswa dan guru. Dengan kata lain, proses belajar mengajar merupakan proses komulatif antara guru sebagai pemberi pesan, pengetahuan, keterampilan dan sikap serta budi pekerti yang bermoral tinggi dengan siswa sebagai peserta didik. Pada umumnya guru menyampaikan pesan dengan metode konvensional yaitu dengan ceramah. Dengan metode ini siswa sukar menangkap materi atau kehilangan kebermakanaannya meskipun materi yang diberikan sedikit dan tidak banyak memerlukan hafalan. Maka diperlukan suatu pendekatan yang sesuai, salah satunya adalah pendekatan kontekstual. Lingkungan dan alat peraga dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran, selain itu yang lebih penting adalah penggunanan teknik dan metodologi pengajaran guru. Pendekatan kontekstual dapat menghilangkan kesan seram pada matematika, suasana mencekam, siswa pasif dan tidak interaktif. Dalam pelaksanaannya rancangan pembelajaran mengacu pada : 1) pembelajaran dimulai dari hal konkret ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke yang sulit dan dari yang sederhana ke yang kompleks, 2) siswa diarahkan memiliki kemampuan untuk menggunakan prinsip teorema Phytagoras dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan dan media yang tepat, 3) pelaksanaan pembelajaran memperhatikan pengoptimalan media yang mengarah pada pelibatan siswa secara aktif baik fisik, mental maupun sosial. Pembelajaran matematika kontekstual dapat menggunakan beberapa media antara lain: Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berkarakteristik CTL, kartu masalah dan pemanfaatan lingkungan belajar.

16

a. LKS berkarakteristik CTL LKS ini merupakan pendukung pelaksanaan pembelajaran.

Pengerjaan LKS ini dilaksanakan secara kelompok. Media ini dibuat sebagaimana LKS yang sudah ada tapi berkarakteristik CTL, dimana siswa diarahkan untuk melakukan penemuan (inquiry) dan pemecahan masalah (problem solving) b. Kartu masalah Media ini berupa kartu yang mencantumkan masalah untuk diselesaikan oleh siswa. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan sehari-hari yang berhubungan dengan penggunaan teorema phytagoras. Penggunaan kartu ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan ruang, dan lingkungan belajar siswa tanpa menghilangkan esensinya. c. Lingkungan belajar Penggunaan lingkungan belajar merupakan salah satu solusi dari keterbatasan prasarana belajar. Pada pelaksanannya digunakan beberapa benda yang ada di kelas sebagai media dan alat peraga. Penggunaannya dikaitkan dengan penggunaan LKS. Beberapa benda yang digunakan antara lain: meja, buku tulis, pigura dan lain-lain yang dimanfaatkan siswa untuk menemukan prinsip Phytagoras. Dari beberapa media belajar diatas diharapkan siswa dapat lebih memahami konsep Pythagoras itu sendiri. Mereka tidak hanya menghafal rumus, tetapi mengetahui sendiri dari mana rumus tersebut diperoleh dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu siswa

17

tidak akan mudah lupa karena pengetahuan tersebut sudah melekat begitu dalam dalam pikiran mereka.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Metode pembelajaran CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquary), masyarakat belajar (learning

community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan kontekstual dapat menghilangkan kesan seram pada matematika, suasana mencekam, siswa pasif dan tidak interaktif. Dalam pelaksanaannya rancangan pembelajaran mengacu pada : 1) pembelajaran dimulai dari hal konkret ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke yang sulit dan dari yang sederhana ke yang kompleks, 2) siswa diarahkan memiliki kemampuan untuk menggunakan prinsip teorema Phytagoras dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan dan media yang tepat, 3) pelaksanaan pembelajaran memperhatikan pengoptimalan media yang mengarah pada pelibatan siswa secara aktif baik fisik, mental maupun sosial.

17

18

3.2 Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut adapun saran-saran kepada pihakpihak yang terkait sebagai berikut: 1. Guru matematika, hendaknya media pembelajaran CTL ini dapat dijadikan sebagai salah satu media dan model pembelajaran matematika yang lebih menarik dan interaktif bagi siswa. 2. Siswa, hendaknya dengan pembelajaran CTL ini dapat digunakan sebagai motivasi belajar matematika secara mandiri dan untuk meningkatkan prestasi belajar.

19

DAFTAR RUJUKAN

Astuti. 2003. Skripsi: Implementasi Pendekatan Kontekstual pada Pembelajaran Matematika SLTP. Semarang Agustina dkk, Hertika. 2009. Makalah: Pendekatan Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Contextual Teaching Learning. Malang Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Dwi Saputri, Agustina. 2005. Skripsi: Penerapan Pembelajaran Matematika Kontekstual Pada Materi Teorema Phytagoras Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Dan Aktivitas Siswa Mts Al Asror Semarang Tahun Pelajran 2004/2005. Semarang Junaidi, S. 2002. Matematika untuk SLTP Kelas 2. Jakarta: Esis Nurhadi. 2002. Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Depdiknas Nurhadi. 2004. Pendekatan Kontekstual dan Pendekatannya dalam KBK. Malang: UM Sukirno, 2009: peningkatan hasil belajar siswa kelas viii melalui model pembelajaran konstektual (CTL) pada pokok bahasan teorema

Pythagoras. Malang

Anda mungkin juga menyukai