Anda di halaman 1dari 5

HONNE TO TATEMAI DAN OMIAI

THE JAPANESE MIND ROGER J. DAVIS & OSAMU IKENO

Disusun oleh:
Arri Akbar Kesumaputra Anak Agung Istri Acyuta Kirana Lady Mahendra Hadza Min Fadhli Robby Gusti Hening Pusthikaputra Dominicus Suseno Fatih Wicaksono Shabrina Annisarasyiq Kukuh Pribadi Alifa Alwan Azra 10/299385/SP/24117 10/296260/SP/23821 10/297220/SP/23952 10/298963/SP/24025 10/297029/SP/23916 10/299750/SP/24207 10/305002/SP/24344 10/296691/SP/23864 10/297298/SP/23965 10/296945/SP/23898

Omiai Pernikahan bukan merupakan sesuatu yang diidam-idamkan bagi para pemuda-pemudi di Jepang masa kini. Di tengah zaman yang serba bergerak cepat, pemuda-pemudi di Jepang lebih memilih untuk bertahan dalam pekerjaannya dan tidak menghiraukan aspek-aspek personal secara serius, seperti misalnya masalah pernikahan. Berbeda dengan pemuda di Indonesia yang masih mementingkan pernikahan sebagai upaya membangun masa depan, tidak demikian halnya dengan pemuda-pemudi di Jepang. Tren pernikahan yang semakin menurun setiap tahun ini telah menjadi perhatian tidak hanya dalam masyarakat, namun juga bagi pemerintah Jepang, karena dengan menurunnya jumlah pasangan yang menikah di Jepang telah menyebabkan turunnya tingkat kelahiran yang menyebabkan munculnya aging society di masyarakat Jepang. Namun, ditengah merebaknya tren jomblo diantara pemuda-pemudi Jepang, tetap saja tradisi Jepang terkait tentang pernikahan masih bertahan. Pada masa kini, terdapat dua cara dimana dua orang pemuda-pemudi Jepang dapat menikah, yakni pernikahan berdasarkan cinta dan omiai atau perjodohan. Omiai dalam bahasa Jepang secara harfiah berarti melihat satu sama lain. Secara substansial, omiai merupakan sebuah cara dimana orang Jepang melakukan perjodohan antara kedua pemuda-pemudi yang kemudian akan menikah dan membentuk sebuah keluarga. Tradisi omiai sudah eksis sejak zaman dahulu di Jepang, dan terbentuk melalui hubungan masyarakat di desa-desa. Praktik omiai yang terdapat dalam masyarakat Jepang dilaksanakan dalam kontrol keluarga yang kuat, terutama dalam masalah pemilihan pasangan. Dalam proses pemilihan pasangan tersebut, kami melihat bahwa omiai memiliki beberapa kemiripan dengan budaya pernikahan yang terdapat di Indonesia, terutama pernikahan berbudaya Jawa, dimana pemilihan pasangan harus mendapatkan pertimbangan dan restu dari orangtua. Selanjutnya, dalam proses omiai ini, terdapat pertemuan perkenalan antara pasangan atau dalam istilah Jepang disebut nakodo. Dalam proses nakodo ini, kedua keluarga dari pihak mempelai bertemu dan berkenalan satu sama lain. Setelah proses nakodo, kedua mempelai kemudian menjalani sebuah proses yang bisa dibilang mirip dengan proses pingitan dalam budaya Jawa. Yang membedakan dengan pingitan dalam budaya Jawa adalah bahwa kedua mempelai tidak boleh bertemu sebelum proses lamaran, sedangkan dalam budaya Jawa berlaku sebaliknya. Selama proses pingitan ini, pihak keluarga masing-masing mempelai melakukan penjajakan serta riset lebih lanjut tentang pasangan yang akan dinikahi.

Bila memang dianggap cocok, maka penjajakan akan dilanjutkan dalam sebuah proses lamaran resmi atau disebut juga dengan yuino. Dalam prosesi yuino, pihak mempelai pria akan memberikan cincin pernikahan atau sejumlah mahar berupa uang atau barang hasil kerja kepada mempelai wanitanya. Selanjutnya, proses yuino ini akan berakhir pada pernikahan yang menyatukan dua mempelai pria dan wanita yang akan melakukan pernikahannya entah dengan cara Shinto, Buddha, atau Kristen. Bila ditinjau lebih lanjut dengan pertanyaan mengapa omiai masih begitu populer di antara masyarakat Jepang, maka dapat dijawab bahwa tradisi ini memiliki legitimasi yang kuat karena sifat masyarakat Jepang yang sangat menghargai ikatan keluarga dan juga lingkungan moru (pedesaan) sekitarnya. Pembentukan sebuah ikatan keluarga yang baru tentunya harus mendapatkan penerimaan dari ie (keluarga) dan moru yang ada di masyarakat sekitar. Dibandingkan dengan pernikahan yang berdasarkan cinta, yang dimana pernikahan ini belum tentu bisa diterima secara kuat oleh masyarakat, tentu saja kemudian masyarakat Jepang lebih memilih untuk melakukan tradisi omiai yang sudah lumrah sejak berabad-abad lamanya.

Chapter Honne to Tatemae Masyarakat Jepang mempunyai kebiasaan yang cukup berbeda dalam berkomunikasi. Kebiasaan yang berbeda ini tidak jarang menjadi faktor yang menghalangi komunikasi yang baik dengan masyarakat non-Jepang. Biasanya, masyarakat non-Jepang akan kesulitan memahami maksud percakapan yang diutarakan masyarakat Jepang. Bagaimanapun, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Perbedaan yang terjadi juga tidak lepas dari pengaruh norma dan budaya yang dianut masyarakat Jepang sendiri. Pengaruh budaya dan norma yang dianut inilah, salah satunya, yang membentuk fondasi kebiasaan dan tata cara berkomunikasi masyarakat Jepang. Salah satu konsep komunikasi yang mendasar di Jepang antara lain adalah Honne dan Tatemae. Honne adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan keinginan hati. Di Jepang, Honne sendiri digunakan untuk mengekspresikan sesuatu yang bersifat personal. Honne muncul dari niatan yang muncul dari dalam diri seseorang. Biar begitu, penggunaan Honne di

Jepang tidaklah seluas di negara-negara lain. Masyarakat Jepang tidak terbiasa dan sulit untuk mengekspresikan isi hatinya kepada orang lain. Itulah kenapa Honne hanya digunakan pada kondisi tertentu dan bersifat personal. Penggunaan Honne biasanya digunakan untuk menanyakan pendapat pribadi seseorang terhadap persoalan di luar dunia sosial mereka. Masyarakat Jepang yang menggunakan Honne dalam berkomunikasi pun terbatas dalam kelompok kecil yang memang memiliki kedekatan sosial yang erat, seperti sahabat, atau kekasih. Di luar itu, ada norma-norma yang mengharuskan mereka untuk selalu menjaga perasaan lawan bicara mereka. Sehingga, kebanyakan masyarakat menggunakan Tatemae dalam komunikasi mereka. Tatemae adalah tindakan yang terlihat dalam keseharian masyarakat Jepang pada umumnya. Tatemae biasa digunakan dalam situasi formal, di mana setiap orang wajib diharapkan mampu berlaku sebagaimana yang lingkungan harapkan. Biasanya, hal ini berkaitan dengan status sosial seseorang dalam sebuah kelompok, perusahaan atau perumahan misalnya. Mereka dituntut untuk menjaga wibawa dan penampilannya di muka publik, meski mungkin itu bertolak belakang dengan keinginan mereka. Tatemae juga merupakan konsep komunikasi yang berdasarkan atas tenggang rasa dan kerendahan hati. Masing-masing masyarakat Jepang sangat berhati-hati dalam berkomunikasi untuk menjaga perasaan lawan bicara mereka. Bahkan, sering kali pemilihan kata dan tindakan yang dilakukan itu sangat bertentangan dengan maksud sebenarnya tindakan mereka. Banyak perusahaan Jepang menawarkan paket wisata gratis dari kantor mereka. Namun, yang terjadi justru kebanyakan pekerja tidak mengambil paket wisata yang ditawarkan kantor mereka. Alasan yang biasanya muncul adalah perasaan tidak nyaman karena mengambil paket wisata itu bisa saja memengaruhi penilaian kinerja mereka di kantor itu. Konsep ini sebenarnya banyak diterapkan di negara-negara lain, terutama negara-negara Asia, di mana ada tatanan komunikasi yang telah diatur secara normatif dalam sistem masyarakat. Sayangnya, konsep ini sering diartikan oleh masyarakat Barat, terutama Eropa dan Amerika, yang mengagungkan kesetaraan sebagai perilaku yang tidak jujur atau bermuka dua. Penggunaan Honne dan Tatemae dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Keuntungannya, ada tata cara dan norma yang, walau tidak secara tertulis dibuat, mengatur bagaimana berkomunikasi dengan orang lain. Begitu juga penggunaan Honne dan Tatemae menjaga adanya rasa hormat dan kesopanan dalam berbicara. Sebab, setiap orang tidak bisa begitu saja mengucapkan halhal yang ada di pikiran mereka. Di satu sisi, penggunaan Honne dan Tatemae

menghalangi masyarakat Jepang dalam mengekspresikan diri mereka. Oleh karena ada norma yang harus dijaga dalam berkomunikasi dengan orang lain, maka hubungan yang terjalin akan bersifat kaku. Sangat sulit untuk seorang yang baru saja bertemu untuk bisa mengakrabkan diri karena ada perasaan saling menjaga diri satu sama lain. Sama seperti dalam kasus remaja laki-laki yang baru saja mencukur rambutnya dan merasa puas dengan hasilnya. Namun, ternyata teman-temannya berpendapat sebaliknya dan membicarakan model rambut itu di belakangnya. Ketika dia bertanya pendapat temannya tentang model rambutnya, tentu temannya ini akan kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam hal ini, biasanya sang teman tersebut tetap akan menggunakan Tatemae, walaupun mereka berteman dekat, karena kecenderungan masyarakat Jepang untuk menghindari konflik dengan orang lain. Terlepas dari itu semua, konsep Honne dan Tatemae ini telah membangun fondasi yang kokoh dalam masyarakat Jepang. Sebab, konsep yang fundamental ini salah satu faktor pembangunan kerangka sosial masyarakat Jepang. Tata cara dan norma berkomunikasi yang ada telah dikonstruksikan sejak lama, dan mampu bertahan sampai sekarang. Itu bukti bahwa konsep ini merupakan dasar-dasar masyarakat Jepang yang kuat dalam berkomunikasi dengan sesamanya ataupun masyarakat non-Jepang

Anda mungkin juga menyukai