Anda di halaman 1dari 8

131 KONDISI SANITASI DAN KERACUNAN MAKANAN TRADISIONAL SANITATION CONDITION AND OUTBREAK OF TRADITIONAL FOOD Baiq Rien

Handayani dan Wiharyani Werdiningsih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan-Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Mataram E-mail:baiqrienhs@yahoo.com ABSTRAK Makanan tradisional adalah makanan yang diolah dari bahan baku lokal dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Teknologi pengolahan dan cara pengolahan yang masih sederhana, serta penjualan dan penyajian yang tidak higienis berkontribusi terhadap kurangnya keamanan konsumsi makanan tradisional. Oleh karena itu, kondisi makanan tradisional sejauh ini belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan konsumsinya terutama dari aspek mikrobiologi. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya mikroba patogen penyebab penyakit. Cemaran mikroba ini menimbulkan berbagai kasus keracunan dengan gejala sakit sampai kematian. Meskipun perkembangan tiga tahun terakhir memperlihatkan bahwa terjadi penurunan kasus keracunan, hal ini tetap menjadi indikasi bahwa penerapan sanitasi di lingkungan pengolahan pangan masih kurang memadai. ABSTRACT In general, traditional food is processed based on local material and consumed by the local people. And practically, due to the simple technology of processing and poor sanitation on packaging and distribution to consumer in local market, it is unsafe to consume. Therefore, the microbial safety could not be guaranteed because the pathogenic microorganisms in this kind of food still exist. Microbe contamination may cause outbreak and food borne disease with sickness symptom to the death cases. Although the last three years showed that outbreak cases tend to decrease, it still could be an indication that food sanitation has not been practically implemented in that process. ______________________________________ Kata kunci: kondisi sanitasi, keracunan, makanan tradisional Keywords: sanitation condition, food break, traditional food

PENDAHULUAN Makanan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia. Makanan tidak hanya dituntut cukup dari segi zat gizi dan memenuhi diet manusia tapi juga harus aman bila dikonsumsi. Makanan tradisional merupakan makanan yang dikonsumsi oleh golongan etnik tertentu. Makanan tradisional ini termasuk kelompok makanan, minuman, makanan jajanan serta bahan campuran atau ingredient yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia. Hasil keragaman suku bangsa dan budaya Indonesia memberikan kekayaan akan jenis makanan tradisional yang tidak ternilai harganya. Kekayaan ini akan lebih berarti bila makanan tradisional dapat tampil menarik, bergizi dan aman. Sebagai produk tradisional, makanan tradisional kita belum dapat sepenuhnya terjamin keamanan dari segi mikrobiologinya. Hasil kajian menunjukkan

bahwa banyak makanan tradisional yang kurang aman untuk dikonsumsi antara lain disebabkan oleh pertumbuhan mikroba merugikan yang umumnya ditunjang cara pengolahan, penjualan, penyajian yang belum memenuhi persyaratan sanitasi dan kesehatan serta teknologi pengolahan yang masih sangat sederhana. Untuk itu peran sanitasi menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan tumbuh dan berkembangnya mikroba pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi merupakan bagian penting dalam industri pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan produk makanan meliputi pengawasan bahan mentah, Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010

132 penyimpanan bahan mentah, perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari peralatan, pekerja dan hama pada semua tahap selama pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk akhir. Penanganan sanitasi yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya hal-hal yang merugikan manusia seperti keracunan (food poisoning) maupun penyakit (food borne desease). Banyaknya kasus keracunan baik yang diberitakan surat kabar maupun yang tidak terungkap dari gejala ringan, muntah-muntah, sampai berat yaitu kematian menunjukkan penanganan sanitasi yang kurang baik. Hal ini dapat disebabkan karena pemahaman sanitasi yang masih kurang. berpotensi menimbulkan penyakit dengan gejala diare, muntah dan dehidrasi serupa kolera. Kontaminasi yang tinggi sangat mungkin diakibatkan karena penggunaan sayur-sayuran yang tidak tercuci bersih (perebusan tidak maksimal) dan kontaminasi dari pedagang karena biasanya penyajian dilakukan dengan menggunakan tangan. Untuk dapat menimbulkan enterotoksigenik/efek toksik pada saluran pencernaan dibutuhkan jumlah E. coli 106-1010 (Scott, 2006). Jumlah Coliform tersebut bisa meningkat sejalan dengan lamanya waktu antara penyajian dengan konsumsi oleh pembeli. Sebenarnya bakteri E. coli (Coliform) mudah dimatikan dengan pemanasan karena sifatnya yang relatif peka terhadap panas serta dapat dihancurkan segera oleh suhu pasteurisasi dan dengan pemasakan. Hasil tes konfirmasi keberadaan bakteri patogen pada beberapa kelompok makanan dan minuman disajikan pada Tabel 2. Bakmi-bakso dan nasi campur tidak menunjukkan adanya Salmonella. Hal ini kemungkinan disebabkan karena bakmi bakso disajikan pada kondisi panas dan nasi campur sudah memperoleh pemanasan yang cukup. Menurut Jay (2000) Salmonella tergolong mesofilik. Mikroba mesofilik cenderung tidak dapat tumbuh pada suhu tinggi (pemanasan). Sedangkan pada tauge goreng, lontong pecel dan ketoprak menunjukkan pertumbuhan mikroba yang cukup berarti yang dapat disebabkan karena kurangnya proses pemanasan, selain itu juga karena penggunaan bahan sayur-sayuran yang umumnya memang sudah terkontaminasi. Mikroba yang ditemukan pada makanan tradisional jenis minuman dapat dijadikan indikasi tingkat penerapan sanitasi (baikburuknya perilaku) oleh pekerja, lingkungan maupun faktor lain yang mendukung keberhasilan praktik sanitasi. Jumlah mikroba yang ditemukan pada makanan tradisional jenis minuman (Tabel 2) memperlihatkan bahwa kandungan total bakteri dan bakteri patogen pada minuman jajanan relatif lebih tinggi. Pada minuman jajanan kandungan bakteri rata-rata 105 CFU/ml dan di antaranya ada yang mengandung 105 Coliform MPN/ml dan 103 Coliform fekal MPN/ml. Tingginya kontaminasi tersebut menunjukkan penggunaan air yang tidak bersih dan tidak adanya perlakuan pemanasan sebelumnya. Beberapa minuman tersebut mempunyai potensi terhadap ancaman penyakit typus oleh Salmonella-Shigella, meskipun koloni masih menunjukkan jumlah yang kecil, kecuali cincau hijau. Data tersebut menggambarkan praktek sanitasi pada contoh makanan tradisional

KONDISI SANITASI MAKANAN TRADISIONAL Kondisi sanitasi untuk menjamin keamanan makanan tradisional sangat tergantung dari budaya praktek higiene perorangan, keluarga, masyarakat setempat, bahan mentah yang digunakan, dan polusi lingkungan. Budaya praktek higiene perorangan, peralatan, bahan baku, dan ruang pengolahan sangat besar peranannya dalam menentukan tingkat pencemaran mikroba dalam makanan (Fardiaz, 1998). Mikroba Pada Kelompok Makanan dan Minuman Beberapa mikroorganisme patogen yang ditemukan pada makanan tradisional antara lain adalah Salmonella Shigella, Vibrio cholerae, Vibrio Parahaemlyticus, dan Staphylococcus aureus (Winarno, 1997). Adanya mikroba patogen berbahaya tersebut menunjukkan bahwa penerapan sanitasi yang kurang baik pada makanan tradisional khususnya makanan jajanan (street food) baik selama pengolahan, penyiapan, penyajian dan penyiapan sementara. Sanitasi erat kaitannya dengan mikrobiologi. Keterkaitannya terutama dalam proses pembusukan dan keracunan pangan. Menurut Taylor (2002), Salmonella sp, Shigella sp,V. cholerae, V. parahaemolyticus, dan S. aureus termasuk kelompok bakteri patogen. Tabel 1 memperlihatkan cemaran mikroba yang ditemukan pada beberapa kelompok makanan dan minuman tradisional. Terlihat bahwa budaya praktek higiene sangat rendah dalam pengolahan makanan dan minuman yang ditunjukkan dengan adanya bakteri Coliform. Makanan jenis lontong pecel

B.R. Handayani & W. Werdiningsih: Kondisi sanitasi dan

133 tersebut masih rendah (Winarno, 1997). Menurut CAST (1994), untuk menyebabkan infeksi, dosis patogen yang dibutuhkan berturut-turut adalah sebagai berikut: Shigella sp (101-106 per gram makanan), V. Cholerae (106 per gram makanan), Salmonella typhi (<103-109 per gram makanan) dan Salmonella sp non typhi (105-1010 per gram makanan). Untuk dapat menimbulkan keracunan oleh Staphylococcus aureus maka jumlah sel harus mencapai 105 - 106 per gram makanan. Pada umunya jumlah mikroorganisme yang diperlukan untuk menimbulkan keracunan tergantung dari strain mikroba dan kesesuaiannya dengan inang. Misalnya anak-anak lebih rentan sehingga dibutuhkan jumlah mikroba yang lebih sedikit untuk menyebabkan keracunan. Demikian juga dengan orang tua dan orang yang sudah terkena sakit lainnya.

Tabel 1. Jumlah Mikroba Total dan MPN Coliform dari Makanan dan Minuman Sampel Makanan: 1. Bakmi-bakso 2. Tauge goreng 3. Lontong pecel 4. Nasi campur 5. Ketoprak Minuman: 1. Cendol 2. Bajigur 3. Es campur 4. Cincau hijau 5. Es mambo 6. Es puter 7. Sirup plastik 8. Teh plastik Sumber : Winarno (1997) Tabel 2. Test Kualitatif Terhadap Mikroba Patogen dalam Makanan dan Minuman Sampel Makanan: 1. Bakmi-bakso 2. Tauge goreng 3. Lontong pecel 4. Nasi campur 5. Ketoprak Minuman: 1. Cendol 2. Bajigur 3. Es campur 4. Es mambo 5. Cincau hijau 6. Es puter 7. Sirup plastik 8. Teh plastik SalmonellaShigella +++ +++ + + + ++ + Vibrio Cholerae + Vibrio Parahae moliticus ND ND ND ND ND ND ND ND Staphy lococcus ++ +++++ +++++ +++++ ++++ ND ND ND ND ND ND ND ND TPC (CFU/ml) 3,2 x 104 8,8 x 107 1,8 x 108 7,3 x 107 4,7 x 106 9,7 x 106 1,9 x 105 1,6 x 107 7,2 x 107 1,1 x 106 3,4 x 107 2,8 x 106 5,9 x 102 Coliform (MPN/g) Jumlah Coliform Coliform Fekal 0 1,5 x 104 1,7 x 104 1,1 x 104 1,0 x 104 1,2 x 105 9,4 x 10 1,1 x 105 2,1 x 105 9,8 x 102 6,7 x 103 4,8 x 102 4 0 5,0 x 103 3,6 x 10 7,6 x 10 6,4 x 10 6,2 x 103 2,0 5,1 x 103 5,2 x 102 2,2 x 10 1,0 0 6

Keterangan: ND = Not done (tidak dilakukan pengujian) Sumber : Winarno (1997)

Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010

134 Tabel 3. Jumlah Mikroba Dalam Makanan Tradisional (Jenis Makanan Ringan) Sampel Combro Pisang Goreng Risoles Kue Pukis Lemper Kue Lapis Getuk Nagasari Bugis Bubur Kacang Hijau Bacang Tahu Pong Cak Kwe Martabak Manis Carabikang Asinan Manisan Pala Bapau Bala-bala Kue Mangkuk Sumber : Winarno (1997) TPC (CFU/g) 1,3 x 105 9,1 x 104 1,7 x 105 1,9 x 105 4,7 x 105 7,1 x 106 3,3 x 107 1,6 x 105 1,8 x 107 2,0 x 104 6,7 x 103 1,5 x 104 7,7 x 102 1,6 x 105 3,8 x 104 1,2 x 106 9,1 x 104 1,9 x 103 7 x 105 1,5 x 105 Jamur dan Khamir (CFU/g) 2,2 x 10 4,8 x 103 6,9 x 10 4,5 x 10 2,2 x 102 4,4 x 102 1,5 x 104 3,4 x 103 5,1 x 104 0 1,7 x 103 3,2 x 0 8,5 x 6,5 x 3,1 x 4,2 x 7,6 x 5,2 x 7,0 x 102 102 102 105 103 10 10 10

Mikroba Pada Makanan (Makanan Ringan)

Jenis

Snack

Makanan tradisional jenis snack pada umumnya adalah makanan jajanan jenis kue-kue yang sering dijajakan di pasar, warung-warung kecil atau rumah-rumah makan dengan harga yang terjangkau. Tabel 3 menunjukkan jumlah total bakteri, jamur dan kamir yang ditemukan pada kelompok makanan tradisional jenis snack. Terlihat bahwa jenis makanan yang mengalami pemanasan yang cukup memiliki total bakteri yang rendah seperti terlihat pada bubur kacang hijau, cak kwe dan tahu pong (Winarno, 1997). KERACUNAN MAKANAN TRADISIONAL Keracunan makanan termasuk makanan tradisional disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung senyawa beracun yang dapat bersumber dari bakteri maupun fungi. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen dan organisme lain penyebab penyakit, yang bila berkembang dalam jumlah yang cukup tinggi dapat menimbulkan penyakit setelah dikonsumsi manusia (Jenie, 1996). Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri atau tbc, mudah

tersebar melalui makanan. Gangguan-gangguan kesehatan khususnya gangguan pada perut disebabkan antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi; keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun, toksin yang dihasilkan oleh bakteri, mengkonsumsi parasit hewan dan mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya (Scott dan Stevenson, 2006). Secara umum, istilah keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme mencakup gangguan-gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organismeorganisme tertentu dan gangguan akibat infeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolis toksik yang dihasilkan suatu mikroorganisme (Scott, 2006). Jenis Keracunan Makanan Keracunan makanan termasuk makanan tradisional dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi adalah penyakit yang disebabkan karena tertelannya mikroba patogen (bakteri dan virus)

B.R. Handayani & W. Werdiningsih: Kondisi sanitasi dan

135 bersama makanan. Selanjutnya mikroba ini berkembang biak dalam alat pencernaan dan menimbulkan reaksi konsumen. Bakeri diketahui sebagai penyebab utama kasus keracunan. Gejala pada konsumen pada umumnya timbul setelah inkubasi 2-36 jam tergantung dari jenis bakteri patogen dan pada umumnya dicirikan oleh gangguan alat pencernaan seperti sakit perut, mual, diare, muntah, demam, sakit kepala. Pada kasus yang serius, keracunan makanan bisa menyebabkan kematian (Scott, 2006). Mikroorganisme yang termasuk kelompok penyebab keracunan makanan tradisional seperti Salmonella, Clostridium, Galur E.coli 0157:H7 dan spesies Shigella. Infeksi dapat juga terjadi dengan media toksin yang disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enterotoksin (toksin yang mempengaruhi transfer air, glukosa dan elektrolit) selama kolonisasi dan pertumbuhannya dalam alat pencernaan. Intoksikasi adalah penyakit yang disebabkan karena tertelannya toksin dalam makanan yang sebelumnya diproduksi oleh mikroba dalam makanan. Gejala penyakit timbul lebih cepat daripada infeksi yaitu 3-12 jam setelah makanan dikonsumsi, yang ditandai dengan muntahmuntah hebat dan diare (Taylor, 2002). Akibat kontaminasi mikroba pada makanan dapat dibagi 2 kategori yaitu food poisoning (keracunan makanan) dan food borne desease (penyakit yang berhubungan dengan makanan). Mikroba Penyebab Keracunan Mikroba dapat menyebabkan penyakit atau keracunan dengan cara mengeluarkan toksin ke dalam makanan atau ikut tertelan bersama makanan yang dikonsumsi. Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Salmonella, Clostridium perfringens, Shigella, V. parahaemolyticus, V. Cholerae, Bacillus cereus, E. coli, bakteri penyebab keracunan antara lain adalah Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Pseudomonas cocovenenans, sedangkan dari golongan fungi antara lain adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus, dll (Dewanti, 1996). Berdasarkan klasifikasi diatas, ada dua intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri yaitu botulism yang disebabkan oleh Clostridium botulinum dan intoksikasi Staphilokoki, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Sthaphylococcus aureus. Gejalagejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi terlihat setelah 3-12 jam setelah memakan bahan makanan tersebut dan ditandai oleh muntahmuntah dan diare (Dewanti, 1996). Infeksi pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu (a) infeksi dimana makanan tidak menunjang pertumbuhan patogen tetapi sekedar membawa patogen tersebut, misalnya patogen penyebab tuberkulosis (Mycobacterium bovis dan M. tuberculosis), Brucellosis (Brucella abortus, B. mulitensis), dipteri (Corynebacterium diphteriae), disentri oleh Campylobacter, demam, tipus, cholera, hepatitis dan (b) infeksi dimana makanan berfungsi sebagai medium kultur untuk pertumbuhan patogen sehingga mencapai jumlah yang memadai untuk menimbulkan infeksi bagi konsumen makanan tersebut. Infeksi ini mencakup Salmonella, sp, Listeria, Vibrio parahaemolyticus, dan E. coli enteropatogenik. Penularan infeksi jenis kedua ini lebih mewabah daripada jenis-jenis gangguan perut yang lain. Gejala yang disebabkan oleh infeksi jenis ini mulai terlihat setelah 12-24 jam dan ditandai dengan sakit perut bagian bawah (abdominal pains), pusing, diare, muntahmuntah, demam dan sakit kepala. Beberapa peneliti menyarankan penyakit yang disebabkan oleh Clostridium perfringens dan Bacillus cereus dikategorikan sebagai intoksikasi karena kedua jenis bakteri ini dapat memproduksi toksin. Akan tetapi menimbulkan efek keracunan bila sejumlah sel hidup dikonsumsi. Demikian juga Salmonella dapat menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin di dalam saluran pencernaan. Sebaliknya S. aureus yang tergolong dalam intoksikasi dapat mengkolonisasi mukosa dalam saluran pencernaan dan menyebabkan diare kronis (Ryan dan Ray, 2004). KASUS KERACUNAN MAKANAN TRADISIONAL DI INDONESIA Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah berhasil mencatat kasus keracunan makanan minuman yang timbul selama kurun waktu 3 tahun (2007-2009) sebanyak 1381 kasus (Tabel 4). Kasus keracunan menunjukkan trend penurunan berturut-turut 603 kasus (2007), 468 kasus (2008) dan 310 (2009). Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran sanitasi yang semakin membaik dalam penanganan makanan dan minuman tradisional. Berbagai data kasus keracunan yang berhasil dicatat beberapa sumber (surat kabar nasional) tahun 2010 tertera pada Tabel 5. Kasus keracunan yang paling sering terjadi pada kurun waktu 1994-1998 adalah dari jasa katering yang menyediakan berbagai menu tradisional. Keracunan pada katering ini dapat disebabkan karena penyediaan makanan dalam jumlah besar sehingga penanganan sanitasi kurang. Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010

136 Pada umumnya jasa makanan katering dipersiapkan jauh (beberapa jam) sebelum makanan tersebut dikonsumsi. Karena jumlah yang dibutuhkan banyak dan membutuhkan waktu penyediaan yang lebih lama, akibatnya makanan dihidangkan bukan dalam keadaan segar (baru diolah) melainkan sudah mengalami penghangatan ulang. Padahal kondisi suhu untuk mencapai panas akan melewati suhu pertumbuhan mikroba patogen. Akibatnya mikroba dapat tumbuh kembali dan memproduksi toksin yang beracun. Selain itu bahan makanan yang baru diolah tidak dilakukan pendinginan segera sehingga suhu pertumbuhan memungkinkan mikroba patogen berbiak dan memproduksi toksin. Hal ini sesuai dengan pendapat Scott (2006) yang menyatakan bahwa penyimpanan dan penanganan suhu yang tidak tepat berkontribusi besar terhadap timbulnya keracunan pada makanan terutama yang disajikan dalam jumlah besar. Tabel 5 memperlihatkan bahwa kasus keracunan pada tahun 2010 pun disebabkan juga oleh konsumsi makanan katering. Kasus-kasus tersebut adalah kasus yang sempat terekam dan sangat mungkin masih banyak kasus yang terjadi karena keracunan makanan tradisional. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya praktek sanitasi pengelola makanan dan ketidaktahuan konsumen untuk membedakan makanan yang terkontaminasi karena seringkali makanan yang terkontaminasi mikroba patogen masih memiliki rasa maupun warna yang tidak berbeda.

Tabel 4. Data Kasus Keracunan Makanan Minuman Per Propinsi Tahun 2007-2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Propinsi Bali Bengkulu DI Yogyakarta DKI Jakarta Jambi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Lampung Maluku Nanggroe Aceh Darussalam Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Riau Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Jumlah 2007 22 46 100 92 19 21 8 12 5 1 9 3 26 7 35 9 10 22 25 23 0 21 39 11 13 24 603 2008 8 26 22 230 54 8 3 4 5 1 0 5 5 0 10 9 4 5 18 2 0 9 9 14 0 17 468 2009 1 33 2 28 40 2 1 9 15 2 2 0 0 0 1 13 11 10 13 36 0 29 28 18 0 16 310

Catatan: Kasus merupakan kejadian keracunan dengan jumlah korban satu orang. Data di atas berdasarkan jumlah kasus keracunan akibat makanan dan minuman yang dilaporkan ke sentra Informasi Keracunan Nasional, sampai Juli 2010.

B.R. Handayani & W. Werdiningsih: Kondisi sanitasi dan

137 Tabel 5. Kasus-Kasus Keracunan Makanan No. Kasus Keracunan Penyebab Keracunan kempong (semacam makanan yang terbuat dari sisa pembuatan tahu) Keracunan makanan resepsi perkawinan Keracunan susu dari pedagang sekitar sekolah Konsumsi katering perusahaan yang diduga kadaluarsa Konsumsi sosis yang diduga terkontaminasi bakteri Botulinum Keracunan kue jagung (tapilangi) Adanya mikroba dalam es cream Mr.Cool Keracunan susu dalam program Gerakan Minum Susu (Gerimis) Konsumsi bubur kacang hijau di kantin sekolah Keracunan takjil di masjid Keracunan makanan santap sahur Korban Non RS 35 Sumber Tempo Interaktif Tempo Interaktif

RS 2

Mati -

1 Warga desa Semboja, Pagerbarang, Kab. Tegal Jateng 1 Januari 2010 2 Warga kel.Baratan, Kec.Patrang,Kab.Jember 25 Februari 2010 3 Siswa SD 1 Grecol, Kec.Kalimanah, Kab.Purbalingga, Jawa Tengah 8 April 2010 4 Karyawan PT SGS, Cibitung, Bekasi 12 Maret 2010 5 Warga desa Papringan, Kec.Kaliwungu,Kab.Semara ng 15 Juni 2010 6 Warga desa Kojagete, Kec. Alok Timur,Kab.Sikka NTT 18 Juni 2010 7 Pelajar SD Krinjing 1, Kec. Kajoran,Kab.Magelang 4 Juli 2010 8 Siswa SD Dukuh, Kec. Sidomukti, Salatiga 27 Juli 2010 9 Siswa MI Misbakhussudur Malangsari, Bulu, Temanggung, Jawa Tengah 27 Juli 2010 10 Warga desa Muara Teweh, Barito Utara, Kalsel 19 Agustus 2010 11 Mahasiswa Univ.Trunojoyo, Fak.Ilmu Politik 24 Agustus 2010

11

44

33

12

Solo Post

17

118

Kompas Suara Merdeka Suara Merdeka Suara Merdeka Suara Merdeka Antara News

22 40

5 -

11

9 77

223

1 -

Antara News Tempo Interaktif

Sumber : Surat Kabar Nasional Berbagai Sumber (2010)

KESIMPULAN Kondisi makanan tradisional sejauh ini belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan konsumsinya terutama dari aspek mikrobiologi. Adanya kasus keracunan makanan pada tahun terakhir yang menyebabkan korban sakit atau meninggal menjadi indikasi bahwa penerapan sanitasi di lingkungan pengolahan pangan masih kurang memadai. Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan kasus keracunan

makanan tradisional dapat dilakukan dengan penerapan sanitasi yang baik dan terintegrasi mulai dari pengolah makanan, bahan baku, peralatan dan lingkungan pengolahan. DAFTAR PUSTAKA BPOM RI, 2010. Bidang Informasi Keracunan. Data Keracunan Makanan dan Minuman Per Propinsi Tahun 2007-2009.

Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010

138 Bryan. 1985., Foodservice Sanitation. 3th Edition. A NIFI text Book. Wm. C. Brown Publisher. CAST, 1994. Foodborne Pathogens: Risks and Consequences. Task Force Record. No.122. Council for Agricultural Science and Technology, Ames, IA. Dewanti, R. 1996. Keracunan Pangan Oleh Mikroba. Makalah Pelatihan CFNS IPBDirjen Dikti Depdikbud. Bogor 21 Oktober 2 November 1996. Fardiaz, D. 1998. Peluang, Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangan Makanan Tradisional. Makalah Seminar. PKMT LP IPB- PAU Pangan Dan Gizi. IPB. Bogor 21 Pebruari 1998. Jay, J.M. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth Edition. An Aspen Publication. Gouthersburg, Maryland. 679h. Jenie, B.S.L. 1996. Teknik Sanitasi Dalam Industri Pangan. Makalah Pelatihan. CFNS IPB-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Bogor 21 Oktober - 2 November 1996. Ryan, K.J. dan Ray, C.G. 2004. Sherris Medical Microbiology: An Introduction to Infectious Diseases. Fourth Edition. McGraw-Hill. New York. 983h. Scott, V.N. 2006. Biological Hazard and Controls. In HACCP: A Systemic Approach to Food Safety. Food Product Association: 19-35. Scott, V.N dan Stevenson, K.E. 2006. In HACCP: A Systemic Approach to Food Safety. Food Product Assosiation. Washington, 236 h. Taylor, S.L. 2002. Disease Processes In Foodborne Illness. In Foodborne Diseases, 2nd ed. Academic Press, New York. Winarno, F. G. 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademis. Institut Pertanian Bogor.

B.R. Handayani & W. Werdiningsih: Kondisi sanitasi dan

Anda mungkin juga menyukai