Anda di halaman 1dari 4

Mengaji itu Tahu Mau Mampu dan Indah Kalau saya suatu ketika disuruh mengisi pengajian untuk

mewakili uztadz yang berhalangan hadir, maka segera saya bertanya kepada para pendengar. saya ngaji di depan saudara-saudara sekalian ini benar atau salah? serentak mereka menjawab benar! alasannya benar apa? Karena Kang Asep diberikan kesempatan untuk menularkan ilmu kepada sesama. Sehingga dapat menegakkan perintah Nabi talim wa mutaallim. Ada salah satu hadirin menambahkan. kang Asep nanti dapat amplop dari apa yang Kang Asep utarakan. Disambut senyum dan saya tertawa. Ku timpali, nanti biar amplopnya tak kasihkan kamu, aku mengalah mengambil isinya saja. Mau gak? hahaha Sejurus kemudian saya utarakan. Saya dipercaya orang untuk menguraikan sesuatu yang berbau nasehat itu ada sisi salahnya bagi diriku dan justru para mustami lah yang benar. Saya utarakan kepada hadirin, Allah memberi manusia dua telinga, sedang mulut cuma satu. Itu artinya bahwa kita diperintahkan untuk memperbanyak mendengar daripada mengucapkan. Karena mendengar adalah gerbang dari pemahaman. Sedangkan bicara adalah pintu dari kesalahan. Berbicara itu pedal gasnya nafsu, spionnya ujub, sedang mendengar remnya sabar spionnya tahu diri (tawadlu). Lebih celaka mana? Ngegas atau ngerem.? Ada istilah banyak bicara banyak salahnya, sedangkan istilah Arab mengatakan assukutu al salamah diam yang mendengarkan itu selamat. kedua, bahwa yang dibenci Allah itu orang yang pandai. Wajah hadirin bertanyatanya. Aku bertumaninah sebentar dan ambil nafas dalam dalam, jangan keluarkan tenaga dalam! Ingat ini di pengajian bukan di lapangan. Sampai mereka berfikir akan kemana arah pembicaraan. Allah membenci orang yang tahu, tapi tidak melakukan. Kabura maqtan inda Allah an taquulu ma laa tafaluun. Allah tidak suka kepada para omdo alias omong doang. Dan saya disini bisa dikatakan itu, saya di depan kalian menduduki maqam NATO: no action talk only. Hanya ngomong tak mau melakukan, kalau bahasa kita jarkoni: iso ngajari ora iso nglakoni. Ada perbedaan antara tahu tapi tak mampu melakukan dengan tahu tapi tak mau melakukan. Dan mau melakukan tapi tak tahu. Yang pertama dinamakan selemahlemahnya iman atau orang dzaif (faillam yastathi fa biqalbihi fahuwa adhaful iman, yang kedua orang malas (allahumma audzubika minal ajzi wal kasl) yang ketiga dinamakan ahli faal. Justru yang ketigalah yang kemungkinan banyak selamatnya. Para tukang batu kelas kampung mungkin mengamalkan ilmu yang ketiga. Walau pun ia buta teknik sipil dan arsitektur tetapi ia terus mengerjakan pembangunan dan pembangunannya ternyata benar dan bermanfaat, walau kadang kurang indah.

Orang yang berilmu mempunyai dua konsekwensi: dicintai atau dibenci Allah. Kalau ia menumpuk ilmu tetapi tak punya komitmen untuk mengerjakan ia menempati maqom maghdzub dan kalau ia melakukan tetapi tak tahu, maka resiko terbesarnya adalah tersesat (dholin). Lebih ringan tersesat daripada dibenci. Bukan jalannya orang yang dibenci dan bukan pula orang yang tersesat. Ghairil magdzubi alaihim waladloollin. Nabi Muhammad saw yang bertutur, siapa saja yang mau mengamalkan ilmunya, maka Allah akan mewarisi pengetahuan yang sebelumnya tak diketahuinya. Jadi alur logikanya sekolah tak perlu kelamaan, mondok tak perlu puluhan tahun. Dapat ilmu sedikit langsung di amal tentu lebih baik daripada para pengumpul ilmu yang malas mengerjakan. Konsep pendidikan yang digemborkan Tan Malaka adalah menciptakan manusia prigel dan sekarang bergeser prioritas utamanya adalah pinter. Lebih baik Muhammad Yazid kenal internet langsung bikin website tanbihun.com, ketimbang Ahmad Saifullah sudah lama dan mempelajari ilmu internet tapi tak bikin apapun. Ilmu kelakune kanti laku. Istilah Jawa ini yang sering dilalaikan. Hingga orang-orang menguras pikiran memperdebatkan kemana dan dimana harus mencari ilmu. Di Yaman atau di Pekalongan, Di Iran apa di Lamongan, Di Mesir atau di daerah pesisir. Capek deh. Padahal mencari ilmu itu dimanapun dan kapanpun. Bahkan kata-kata dari Nabi adalah minal mahdi dikandunganpun harus sudah menuntut ilmu. Tentunya dengan ikhtiar orang tua bayi. Ilmu dikatakan baik dan benar kalau bermanfaat. Untuk apa beli mobil baru, kalau tak pernah memberi manfaat untuk sesama. Apa kata dunia kalau kelentikan tanganmu tak pernah berguna untuk masak, mencuci, ngemong, melayani, dan beramal shaleh. Bagaimana pula wajah ayu penuh poles yang tak pernah tersenyum membawa ketentraman orang sekitarnya. Rahmat bisa menjadi laknat kalau ia tak bermanfaat. Tapi usaha manusia untuk memanfaatkannya akan berbuah barakah. Besi pemberian Allah (rahmat) dijadikan pisau bermanfaat untuk masak (barakah). Tapi bisa jadi laknat kalau ia dibikin rudal yang melenyapkan bangsa lain. Jadi ketakutan kita bersama adalah bukan sekedar tak mencari ilmu, tetapi sesudah mencari ilmu apakah kita punya komitmen untuk mengamalkannya hingga bermanfaat? Ilmu itu Keindahan Kata hidayah seakar dengan kata hadiah. Apa artinya? Tentu saya harus bertanya dulu. Bagaimana hadiah disampaikan? Hadiah apapun pasti dikemas dengan indah untuk disampaikan. Diberikan dengan cara yang menjunjung orang yang dihadiahi. Sebagaimana hadiah, hidayah juga harus disampaikan dengan seindah mungkin.

Lembaga pendidikan agama kebanyakan masih berkutat mempelajari pada apa yang akan disampaikan hingga butuh hafalan dalil dan dalil, belum melirik ke dunia bagaimana cara menyampaikan dengan baik, benar, dan indah. Baik itu mizannya akhlak, instrumennya akal. Benar itu takarannya ilmu, alatnya otak. Indah itu bingkainya seni dan wadahnya hati. Kiai yang mendalam ilmunya belum tentu kata-katanya menyentuh hati, hingga manusia terpekur mengaca kesalahan-kesalahannya. Ilmu yang disampaikan kadang hanya bersandar di pelabuhan kepala, tak sedikitpun meraih daratan hati. Karena ilmunya tidak disampaikan dengan indah. Tanpa intonasi, aktualitas ekspresi, tanpa lagu dan puisi, syair, cerita, iringan music, humor, dll. Ilmu harus disampaikan dengan seni agar ilmu itu membuka pintu hati, hingga menjadi hidayah yang mendiami ruang qalbi. Anda bisa bertanya kenapa Mbah Rifai menyampaikan ilmunya dengan syair, dan puisi? Ditambah dengan mencipatakan kesenian terbang, jiduran, dan pujian, kaligrafi? Karena dalam syair itulah terdapat keindahan kata yang menggubah ilmu, hingga ilmu itu mencapai tujuannya menjadi hidayah. Seiring syiiran, pujian itulah hati manusia diemban, diayun-ayunkan, hingga bayi hati yang kelelahan bisa terlelap dan terjaga dengan kesegaran kembali menatap cahaya kebenaran. Kenapa pula Sunan Kalijaga menyampaikan ilmu harus dengan gamelan, dengan pewayangan, dengan imajinasi-imajinasi cerita. Bukankah itu semua adalah kesenian? Karena kesenianlah yang mampu membuka pintu hati. Kesenianlah yang dapat mengelus hati sekeras apapun menjadi lembut. Kadang orang mendengarkan alunan lagu, hingga meneteskan air mata. Di pengajian Simtuth Durar tak jarang teman-teman kita meneteskan air mata, karena hatinya ikut alunan syair simtuth dhurar, shalawatan dan kepyakan rebana yang membahana. Pengamalan keagamaan warga Rifaiyah yang timpang dengan pengajiannya, dapat dicurigai karena cara penyampaiannya tak menyentuh hati. Cara penyampaiannya garing kaku judes bawel lugu karena terikat pada metode tradisi turun temurun. Harus begini, dan harus begini, tak boleh begitu. Hingga setiap manusia harus menggadaikan otentisitasnya kepada pewarisan metade yang anti perubahan. Generasi baru menciptakan pengajian dengan kesenian rebana dengan syair simtuth durar ternyata sangat diminati dan mengambil hati pemuda. Terbukti hadirinnya dari empat kabupaten bersemangat terus menerus hingga beberapa tahun ini. Itu fakta bukan teori! Dan sebaiknya Ilmu tak cukup menghuni ruang otak, ia juga seharusnya menjadi penghuni hati. Dan kalau pengajian-pengajian semakin jarang peminatnya. Jangan dulu menuduh malasnya para mustami. Berkacalah! Apakah pengajiannya sudah

sedemikian sedap? karena kesegaran cita rasa masakan baru, atau metodenya hanya nget-ngetan masakan yang sudah lewat hingga membosankan? Kita juga harus khusnudzan kepada mereka yang tidak sempat hadir dalam majlis pengajian. Barangkali mereka juga melakukan ngajinya sendiri. Bagi mereka yang guru sedang ngaji: ngarang biji. Penulis terlihat juga ngaji: ngarang sawiji wiji. Bu Kaji sehari-harinya ngaji: ngancani pak kaji. Santri dalam pengajian suka ngaji: ngantuk nyambi ngaji. Pengangguran tak lupa ikut ngaji: nganggur ora mbejaji. Bagi yang suka shawalatan senang ngaji: ngawiti barzanji. Pemburu pusaka ngaji: nganggo aji-aji. Para pegawai memasuki tanggal muda juga ngaji: ngantongi gaji. Para pengkhianat rakyat jangan dianggap remeh mereka ngaji: ngawur nyalahi janji. Para calon presiden memamerkan fotonya dimana-mana juga sedang ngaji: ngakuaku aji. Bagi pengantin baru sudah wajar ngaji: ngasah barang siji. Bagi warga yang kepingin kena sawab pergi haji, mereka sudah tak sabar ngaji: ngadang Pak Kaji lan Bu Kaji. Akhire kang Asep juga ngaji: ngantuk nang jam siji. Paesan, 13 Dzul Hijjah 1433 H/ 29 Oktober 2012 M. 01:50 Ahmad Saifullah Ahsa

Anda mungkin juga menyukai