Anda di halaman 1dari 48

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Komunikasi Birokrasi 2.1.1.1. Konsep Komunikasi Birokrasi Sebagaimana diketahui bahwa konsep komunikasi birokrasi pada substansinya merupakan modifikasi atau konstruk dari dua konsep dasar yakni; konsep komunikasi dan konsep birokrasi yang memiliki batasan dan dimensinya an sich. Namun untuk keperluan pijakan analisis dalam penelitian, dibawah ini akan dipaparkan sesuai kebutuhan penelitian. Birokrasi, diartikan sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan, (Kamus Teknik Bahasa Italia dalam Albrow, l998 : 11). Hal yang sama juga dikemukan oleh Lance Castles (dalam Alfian dan Syamsuddin (eds), l991 : 228) bahwa : Birokrat yang paling penting bagi kita adalah mereka yang umumnya melaksanakan peran manajerial, yang memerintah baik di badan-badan sentral maupun bidang masing-masing yang umumnya dideskripsikan dalam bahasa administrasi negara sebagai manajemen menengah atau atas. Dalam menjalankan perannya, birokrasi memainkan system manajemen yang baik oleh Blau dan Mayer (2000:72) diistilahkan dengan manajemen ilmiah yang bertujuan merasionalisasi produksi dan administrasi dengan menentukan dan menerapkan metode-metode operasi yang paling efisien. Pendapat ini didukung pula oleh Leonard dan Blau (dalam Kumorotomo, l996:69), bahwa:

Birokrasi adalah organisasi yang rasional yang melaksanakan tugas-tugas berdasarkan penerapan manajemen ilmiah. Birokrasi adalah organisasi yang memaksimalkan efisiensi dalam administrasi. Pekerjaan birokrasi pada dasarnya berpijak pada tugas dan fungsi pemerintah, yang eksistensi pemerintah tiada lain untuk memberikan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan (Rasyid, 1997:48). Sebelumnya diuraikan oleh Salusu (1996:8) bahwa: Fungsi utama pemerintah ialah mengatur, memerintah, menyediakan fasilitas, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tidak ada organisasi lain dalam negara yang lebih tinggi dari pemerintah itu. Karena itu, diperlukan suatu manajemen yang ilmiah dan rasional dalam mengelola dan melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan itu sehingga secara langsung diwujudnyatakan dalam memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Adapun kekuatan untuk itu adalah dengan diberikannya input berupa kuasa oleh masyarakat kepada pemerintah dalam hal ini adalah organisasi publik atau birokrasi. Sehubungan dengan itu Ndraha (1998:4-5) bahwa: Organisasi pemerintah, disamping fungsi politik, juga memerlukan fungsi manajemen dan fungsi operasional. Seperti dketahui, unit kerja teknikoperasional adalah unit kerja yang langsung memproduksi, mendistribusikan, mentransfer atau menjual alat pememenuhan tuntutan sovereign dan kebutuhan konsumer. Pemerintah sebagai sebuah organisasi dalam menjalankan fungsinya tersebut, perlu menerapkan suatu system manajemen yang baik, sebagaimana dikemukakan Blau dan Mayer (2000:72) bahwa: Manajemen ilmiah bertujuan merasionalisasi produksi dan administrasi dengan menentukan dan menerapkan metode-metode operasi yang paling efisien. Berdasarkan tugas dan fungsi pemerintah, dan tujuan penerapan system manajemen ilmiah itu, diperlukan

10

sebuah wadah birokrasi yang tentunya akan dapat mensistematisasi seluruh upaya menggolkan tugas dan fungsi pemerintah, yaitu birokrasi. Dalam kaitan ini Blau dan Mayer (l987:4) mengungkapkan bahwa: Birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugastugas administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematik. Agar birokrasi sebagai suatu organisasi dapat menjalankan fungsi pemerintah tersebut secara efisien, maka dalam kaitannya dengan hal ini, Mill (dalam Albrow, l996:9) mengemukakan bahwa: Pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara professional, inilah merupakan esensi dan arti birokrasi. Pekerjaan pemerintah sering dikaitkan sebagai pekerjaan birokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Blau dan Mayer (2000:3) bahwa: Istilah birokrasi menjadi suatu julukan yang mengacu pada inefisiensi dan inefektivitas pemerintahan. Julukan tersebut dapat dimaklumi, oleh karena pekerjaan birokrasi yang cendrung kaku, dan berbelit-belit, sering dianggap sebagai pola kerja dari pemerintah. Sebagaimana penting diungkapkan oleh Thoha (l999:12), bahwa terdapat beberapa sifat dari birokrasi itu, yaitu: 1. Adanya spesialisasi atau pembagian kerja 2. Adanya hierarkhi yang berkembang 3. Adanya suatu sistem dari prosedur atau aturan-aturan 4. Adanya hubunganhubungan kelompok yang bersifat impersonalitas 5. Adanya promosi dan jabatan yang berdasarkan atas kecakapan. Lebih lanjut sifat-sifat birokrasi tersebut menjadi karakteristik birokrasi, yang selanjutnya membedakan organisasi birokrasi dengan organisasi yang lain. Menyangkut hal ini, Weber (dalam Robbins, l994:338) mengemukakan

11

karakteristik yang merupakan esensi birokrasi atau yang disebut juga organisasi yang ideal yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Pembagian kerja Hierarkhi kewenangan yang jelas Formalisasi yang tinggi Bersifat tidak pribadi (impersonal) Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan aas kemampuan 6. Jenjang karier bagi pegawai 7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribaadi. Karakteristik tersebut menggambarkan tipe ideal birokrasi menurut Weber mengenai organiasi yang rasional dan efisien. Hal ini didukung oleh Warwick (l993:4) yang mengemukakan emapat cirri dari birokrasi yaitu: 1. Adanya suatu struktur hierakhis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi ( a hierarchical structure involving delegations of authority from the top to the bottom of an organization) 2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official posisitions or offices, each having prescribed duties and responsibility); 3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rule, regulations and standards governing operations of the organization and behavior of its members); 4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan kualifikasi dan penampilan ( technically qualified personal employed on a carrier basis, with promotion based on qualifications and performance). Dengan demikian maka berbagai sifat dan ciri serta karakteristik tersebut yang kemudian membedakan keberadaan birokrasi pemerintah dari organisasi lainnya, dimana birokrasi pemerintahan merupakan sekumpulan jabatan dan tugas yang terkoordinasi secara formal, dalam jenjang dan struktur yang kompleks, yang bekerja berdasarkan peraturan formal yang berlaku.

12

Sehubungan dengan itu, upaya untuk memperbaiki citra dan berbagai anggapan negatif terhadap cara kerja dan kinerja birokrasi pemerintahan, sekurang-kurangnya sebagaimana dikemukakan oleh Kumorotomo (l996:72), bahwa: Efisiensi dalam bidang administrasi negara harus dapat disesuaikan dengan aspirasi masyarakat yang harus dilayani sehingga ia lebih merupakan pola efisiensi yang dinilai ( value efficiency). Pendapat ini ditegaskan pula oleh Weber (dalam Masoed dan Andrew, l993:9899) bahwa: Efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas hanya bis dijamin apabila badan-badan yang bekerja atas dasar pembagian kerja dan kemampuan teknis, hierarkhi wewenang, pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi, impersonalitas hubungan dan karier. Dengan demikian birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga non departemen, baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi, kabupaten dan kotamadya, kecamatan, bahkan di tingkat desa/kelurahan. Birokrasi dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah birokrasi pada Kecamatan Ujungbulu Kabupaten Bulukumba. Selanjutnya konsep komunikasi dikemukakan oleh Redfied (dalam Yuwono, l985:2-3) sebagai, Proses penyampaian informasi dari suatu sumber informasi ke suatu tujuan. Hal yang lebih bernuansa kebersamaan dalam hubungan dengan komunikasi dikemukakan oleh Lawrence dan Schram (1984:6) bahwa komunikasi sebagai "proses saling berbagi informasi atau menggunakan informasi secara bersama". Apa yang diungkapkan terakhir ini masih dinilai sederhana, argumennya, karena menggunakan informasi secara bersama saja

13

belum tentu hal itu akan berlangsung efektif. Pamudji (1994:120) mengatakan bahwa "komunikasi berarti penyampaian suatu maksud kepada pihak lain dalam rangka penerangan, perintah dan sebagainya". Pengertian yang diajukan Pamudji ini sedikit lebih memberikan orientasi yang jelas tentang tujuan komunikasi itu, yaitu tentang maksud penyampaian informasi yang sebatas sosialisasi atau penerangan, selain itu terdapat orientasi pada pemberian instruksi atau perintah dan sebagainya. Lebih dari itu komunikasi menurut Merrihue (dalam Yuwono, l985:3), diartikan sebagai Kegiatan mengajukan pengertian yang dinginkan dari pengirim informasi kepada penerima informasi dan menimbulkan tingkah laku yang diinginkan dari penerima informasi. Komunikasi itu bukan sekedar proses penyampaian infomasi dari satu pihak ke pihak lain, akan tetapi komunikasi dipandang sebagai proses penyampaian pengertian atau maksud tertentu melalui sejumlah informasi. Diterima atau dipahaminya pengertian tersebut oleh penerima, nampaknya belum cukup untuk mengkategorikan sesuatu proses sebagai komunikasi, bila proses tersebut tidak diikuti dengan tindakan atau reaksi sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi pengertian. Untuk itu, komunikasi didefinisikan oleh Moore (l987:78) sebagai: Proses penyampaian pengertian antar individu, semua masyarakat manusia dilandasi kapasitas untuk menyampaikan maksud, hasrat, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman dari orang yang satu kepada orang lainnya. Mengikuti pandangan di atas, maka untuk bisa menyampaikan sebuah pengertian, komunikasi itu harus dilakukan dengan segenap kesadaran dan penghayatan seluruh unsur manusia yang dapat membantu penyampaian

14

pengertian tersebut. Dalam kaitan dengan ini, Cooley (dalam Djopari, l995:2-3) menyatakan bahwa, Komunikasi mencakup ekspresi wajah, sikap dan gerakgerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, telegrap, telepon dan apa saja yang merupakan penemuan terakhir untuk menguasai ruang dan waktu. Berikut, berdasarkan pemahaman tentang seluruh konsep komunikasi di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam komunikasi. Pertama, komunikasi harus melibatkan dua orang atau lebih. Kedua, merupakan pertukaran informasi yang besifat dua arah. Ketiga, mengandung pemahaman. Keempat, menimbulkan tindakan untuk melaksanakan atau menerjemahkan pesan yang telah diterimanya. Sejalan dengan empat pertimbangan tersebut, maka menurut Moore, sebuah pengumuman yang dipasang di papan pengumuman bukan merupakan komunikasi. Tetapi kalau pengumuman tadi telah dibaca, dimengerti, dan ditanggapi, maka pengumuman itu bisa disebut komunikasi. Selanjutnya dapat ditegaskan bahwa unsur yang tergolong kedalam komunikasi yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Pemberi berita (pembicara, pengirim); Yang menyampaikan (mengatakan, mengirim, menyiarkan); Berita-berita (perintah, laporan, saran); Penerima berita (orang yang dituju, responden, pendengar); Reaksi (jawaban). (Redfied dalam Yuwono, 1985)

Dari berbagai pengertian itu, dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk menyampaikan suatu pengertian tertentu yang diharapkan pihak yang menerima pengertian tersebut dapat bereaksi atau bertindak sesuai dengan maksud

15

pemberi informasi. Karena itu dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur utama komunikasi menyangkut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumber informasi (pemberi informasi, orang/manusia); Penerima informasi (ligkungan penerima informasi, orang/manusia) Infomasi atau berita Penyampaian informasi Saluran atau sarana informasi; Reaksi atau efek dari informasi tersebut terhadap penerima infomasi.

Dalam kaitan dengan birokrasi, maka komunikasi dapat diartikan sebagai proses kegiatan komunikasi penyampaian informasi yang dilakukan secara sistematik oleh aparatur pemerintah, sebagai upaya memberikan pengetahuan dan pemahaman atas tugas pemerintah dalam menyelenggarakan dan melayani masyarakat, meliputi kualitas aparat; proses penyampaian pikiran; sarana atau media; pesan yang disampaikan dan; iklim komunikasi yang ada. 2.1.1.2. Proses Komunikasi Menurut Moore (l987:81), Proses komunikasi itu dapat dibandingkan dengan tata cara produksi dan konsumsi. Dengan memakai analogi proses komunikasi dengan proses produksi dan konsumsi ini, yang menjelaskan bahwa: Proses komunikasi melibatkan produksi makna (Production of meaning) dan konsumsi makna (concumption of meaning). Lebih lanjut Moore (1987) menguraikan bahwa: Produksi makna itu dilakukan melalui penggunaan bahan-bahan mentah yang terdiri dari kata-kata, gambar-gambar, lambang-lambang, dan tindakan komunikator. Sedangkan konsumsi makna (concumption of meaning) dilakukan melalui pendengaran, penglihatan, sentuhan, perasaan, dan penciuman yang dilakukan oleh khalayak.

16

Moore (l987 : 84) menggambarkan proses komunikasi tersebut dalam sebuah model komunikasi dasar berikut : Gambar 1 Model Komunikasi Dasar Noise Noise

Source or encoder Originator

Medium

message

Medium

destination Decoder receiver Originator

Noise Gambar 2 : Model Komunikasi Dasar

Noise

Agar komunikasi berlangsung, maka harus terdapat sumber (source) dan penerima (receiver) yang memiliki pengalaman yang sama. Menurut Moore (l987 : 82), istilah komunikasi sendiri didasarkan pada istilah latin communis yang berarti sama. Jelasnya, jika penerima tidak memiliki pengetahuan yang sama dengan pengirim mengenai bahasa atau sandi, konsep, sistem nilai, dan sebagainya, maka pengiriman makna akan terhambat atau benar-benar gagal. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pentingnya kesamaan pengalaman ini berarti bahwa, Komunikator harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai penerima atau komunikan untuk menyampaikan konsep-konsep yang dapat dipahami agar dapat disandi kedalam lambang-lambang sebagaimana dimaksudkan oleh si komunikator atau pengirim. Moore menguraikan bahwa : Gangguan atau noise menunjukkan hambatan dalam proses atau peristiwa komunikasi, dari ketidakpahaman statis menjadi ketidakpahaman verbal.

17

Sementara umpan balik (feedback) menunjukkan pengiriman kembali pesan yang diterima komunikan kepada komunikator. Sejalan dengan definisi Moore, maka Effendi (1992:56-57) menyimpulkan bahwa: Proses komunikasi adalah proses pengoperan lambang-lambang yang mengandung pengertian tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu proses komunikasi itu setidaknya meliputi lima unsur utama, yaitu : 1. Komunikator (Communicator), yakni orang yang menyampaikan atau mengatakan atau menyiarkan pesan (message). 2. Pesan (message), yaitu idea, informasi, opini, dan sebagainya. 3. Saluran (Channel, media) ialah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan. 4. Komunikan (audience), yaitu orang yang menerima pesan. 5. Effek, yakni pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan. Schramm (dalam Effendi, l992 : 58) mengutarakan pendapatnya yaitu : proses komunikasi itu didasarkan atas kesangkutpautan (relationship). Kesangkutpaut ini dapat terjadi antara dua orang atau seseorang dengan sejumlah orang. Mengenai hakikat kesangkutpautan ini, Schramm merumuskan sebagai, setala (in tune) antar satu sama lainnya, terfokuskan kepada informasi yang sama. Unsur kesangkutpautan komunikasi tersebut biasanya dipancangkan dalam

kesangkutpautan sosial tertentu yang menunjang penggunaan dan interprestasi terhadap informasi. Disamping Komunikator dan komunikan, unsur penting lainnya dalam komunikasi adalah pesan. Aspek pesan ini menjadi perhatian Face and Faules (l998 : 26) yang mengatakan bahwa : Bila kita melihat apa yang terjadi ketika seseorang terlibat dalam komunikasi, kita menemukan bahwa terdapat dua bentuk umum tindakan yang terjadi : 1. Penciptaan pesan atau lebih tepatnya penciptaan pertunjukkan (display) ; 2. Penafsiran pesan atau penafsiran pertunjukkan.

18

Menunjukkan (to display) berarti anda membawa sesuatu untuk diperhatikan seseorang atau orang lain, secara teknis apa yang anda tunjukkan atau tempatkan sehingga terlihat jelas memang mempresentasikan anda, anda adalah suatu pertunjukkan pesan yang berjalan. Keberadaan seseorang, gaya, perilaku, atau tindakan adalah merupakan suatu pesan yang dapat ditafsirkan orang lain. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Goldhaber (dalam Face and Faules, l998 : 28) : Pertunjukkan pesan dapat terjadi pada kantor, kantor adalah pertunjukkan pesan, sebuah kampus bagaimanapun terlihatnya merupakan sebuah pertunjukkan pesan bagi mereka yang mengunjunginya, suatu memo juga mempresentasikan gagasan yang dinyatakan, sebuah gambar, surat kabar, karangan bunga, tata letak, semua itu adalah pertunjukkan pesan. Dapat dipahami bahwa setiap obyek yang dipertunjukan oleh seseorang sessungguhnya merupakan sebuah pesan dan bila melibatkan dua orang atau lebih, yang satu sebagai pemberi dan yang lain penerima atau penafsir dari pesan yang dipertunjukan maka terjadilah komunikasi. 2.1.1.3. Jenis Komunikasi Effendi (l992 : 75) membedakan komunikasi dalam tiga kategori utama yaitu : Komunikasi personal, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Komunikasi pribadi atau personal merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, personal communication, yang sesuai dengan makna yang dikandung oleh istilah itu, merupakan proses penyampaian pikiran yang bersifat pribadi. Sementara itu komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi, didefinisikan sebagai komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi yang hanya berlangsung antara seorang komunikator dengan paling banyak dua orang komunikan. Apabila

19

komunikannya lebih dari dua orang, proses komunikasi disebut komunikasi mikro atau kecil (micro/small group communication). Kategori kedua adalah komunikasi kelompok. Effendy (1992:88) komunikasi kelompok adalah sebagai : komunikasi yang berlangsung antara seorang (komunikator) dengan sejumlah orang (komunikan) yang banyaknya lebih dari dua orang di suatu tempat tertentu. Sebagaimana disebutkan di atas, kategori ini dibagi menjadi dua bagian, yakni komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar. Klasifikas kelompok kecil atau besar, menurut Effendy (l992 : 88-89) bahwa : tidak ditentukan oleh jumlah komunikan dengan hitungan secara matematis, misalnya sekian puluh atau sekian ratus, tetapi besar kecilnya kelompok komunikan ditinjau dari intensitas komunikasi yang berlangsung. Berdasarkan pengertian ini, dapat diartkan kelompok kecil sebagai kelompok komunikan yang dalam situasi komunikasi terdapat kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal. Dengan kata lain, komunikator dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan salah seorang anggota kelompok. Contoh dari komunikasi kelompok kecil ini adalah rapat, diskusi, forum, kuliah, cermah, seminar dan lain sebagainya. Komunikasi kelompok besar atau kelompok makro adalah komunikasi dengan sekelompok komunikan yang oleh karena jumlahnya yang besar, situasi komunikasinya tidak memungkinkan terjadinya umpan balik verbal. Dengan perkataan lain, kecil sekali kemungkinan bagi komunikator untuk bertanya jawab. Situasi dialogis tidak terjadi. Contoh dari komunikasi kelompok besar atau makro

20

adalah rapat raksasa, seperti dalam kampanye massa pemilihan umum. Dalam kaitan model komunikasi kelompok makro atau besar ini, menurut Effendy (l992 : l07) akan terjadi regresi intelektual dan contagion mentale (wabah mental) yang menjelaskan bahwa : Dalam rapat raksasa, individu-individu yang merupakan anggota kelompok yang begitu besar, hampir-hampir tidak berfungsi ratio atau intelektualnya. Sebaliknya emosinya menaik, sehingga gampang terjadi semacam wabah mental : apabila seorang bertepuk tangan, merembetlah sehingga seluruhnya bertepuk tangan; jika seorang anggota kelompok berteriak ganyang lawan, maka anggota-anggota lainnya akan berteriak ganyang. Mereka yang berteriak itu sudah tidak menggunakan pikirannya lagi, terbawa oleh arus emosi. Jiwanya dikuasai oleh suatu perasaan tertentu. Dalam situasi seperti itu, orang-orang yang tergabung dalam kelompok besar menjadi lebih berani, lebih mudah tersinggung, lebih mudah dipengaruhi, lebih mudah percaya, menjadi fanatik, ekstrim dan antusia. Kategori jenis komunikasi yang ketiga adalah komunikasi massa, yaitu komunikasi yang dilancarkan seorang komunikator (wartawan, penyiar radio, reporter televisi, atau sutradara film) melalui media massa (surat kabar, radio siaran, televisi siaran, atau film teatrika/bioskop) kepada khalayak, Effendy (l992 : l02). Pandangan lain mengenai jenis-jenis komunikasi, dapat juga dilihat dari pendapat Moore (l987 : 78-85) yang membedakan empat jenis komunikasi, yaitu : komunikasi internal, komunikasi eksternal, komunikasi informal, dan komunikasi formal. Moore (l987 : 79), komunikasi internal didefinisikan sebagai : Pertukaran informasi antara manajemen organisasi dengan publik internalnya, yaitu para karyawan, dan komunikasi eksternal diberi pengertian sebagai Pertukaran informasi antara manajemen dengan publik eksternal, yaitu pelanggan, masyarakat sekitar, penyalur dan pengedar, pemasok, lembaga pemerintahan, para pendidik dan lain-lain. Lebih lanjut Moore (1987 : 83-84) menjelaskan bahwa :

21

Komunikasi informal menunjuk pada komunikasi antara dua orang atau lebih dalam suatu situasi sosial atau bisnis yang membicarakan hal-hal tentang sifat perseorangan atau bisnis. Sedangkan komunikasi formal digunakan oleh manajemen untuk menyampaikan informasi kepada dan menerima dari eksekutif dan para karyawan dalam sebuah perusahaan. 2.1.1.4. Efektivitas Komunikasi Dalam konteks komunikasi keberhasilan suatu komunikasi sangat ditentukan oleh dua komponen yaitu : komunikator dan komunikan. Namun tidak dapat dilepaskan dari aspek pesan. Dalam kaitan ini Scramm (dalam Effendy, l992 : 13) menyatakan bahwa: Komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference) yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Dengan kata lain komunikasi dalam proses komunikasi akan berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima komunikan. Menurut Yuwono (l985 : 6-7) bahwa : Komunikasi dikatakan efektif, jika mampu merealisasikan misi komunikasi. Bila dihubungkan dengan akibat positif atau misi yang diharapkan dari komunikasi, maka komunikasi yang efektif itu tercapai jika mampu mewujudkan tiga aspek utama, yaitu : 1. Timbulnya kemahiran kerja diantara para pejabat dan personil dalam organisasi aparatur pemerintah ; 2. Timbulnya kemauan kerja ; dan 3. Timbulnya kerja sama. Mengenai ciri-ciri dari masing-masing ketiga aspek tersebut, bahwa berhasil diwujudkannya kemahiran kerja, antara lain terlihat dari ciri tidak banyak melakukan kesalahan dalam penanganan tugas dan terampil dalam penanganan tugas. Sedangkan ciri dari dimilikinya kemauan kerja, antara lain berupa, penanganan tugas dilakukan tepat waktunya dan tidak meninggalkan waktu dinas untuk kepentingan pribadi atau golongan. Terakhir, ciri dari terwujudnya kerja sama, antara lain berupa, tidak ada kekembaran pandangan atau penanganan dan tidak ada kekosongan perhatian mengenai hal yang harus ditangani di antara seluruh personil.

22

Ketiga hal tersebut menjadi ukuran atau kriteria untuk menilai kegagalan atau keberhasilan komunikasi administrasi. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi, Moore (l987 : 81) menyebut tiga faktor yang berpengaruh terhadap keefektifan komunikasi, yaitu : pengirim (sender), media komunikasi, dan penerima (receiver). Menurut Cutlip dan Center (dalam Djopari, l995 : 6-7) berpendapat bahwa : Komunikasi yang efektif harus dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu : fact-finding ; planning ; communicating ; dan evaluation. Fact-finding adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan fakta-fakta/data. Misalnya data tentang : apa yang diperlukan dalam masyarakat, mengapa masyarakat bersikap masa bodoh, mementang dan lain-lain. Planning berisi kegiatan membuat rencana tentang apa yang ahrus / akan dilakukan dalam menghaapi problema-problema itu. Sedangkan Communicating adalah melakukan komunikasi sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan sebaik-baiknya sebagai hasil pemikiran yang mantap/matang berdasarkan data/fakta-fakta yang telah dikumpulkan. Terakhir evaluation, berupa penilaian apakah tujuan itu sudah tercapai, apakah perlu diadakan lagi operasi, atau perlu menggunakan cara-cara lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. 2.1.1.5. Parameter Komunikasi Birokrasi Disamping itu dalam pendekatan ilmu komunikasi, konsep komunikasi tersebut memiliki multi makna, seperti yang dikemukakan oleh Arifin (dalam Ruslan, 1998 : 87) mengungkapkan bahwa : komunikasi merupakan suatu konsep yang memiliki multi makna, dan oleh karenanya komunikasi dapat dibedakan, sebagai proses sosial, sebagai suatu gejala/peristiwa, sebagai suatu ilmu pengetahuan dan sebagai kiat-kiat atau keterampilan khusus. Setiap organisasi bagaimanapun bentuk dan jenisnya pasti berhubungan dengan komunikasi. Mengenai hubungan organisasi dengan komunikasi, William V. Hanney dalam bukunya yaitu Communication and Organizattional Behaviour

23

seperti yang dikutip oleh Effendi (1999 : 16), yaitu : Organization Consist of a number of people; it involves interdepedence; interdepedence alls coordination; and coordination requeres communication. Formula ini mengandung pengertian bahwa organisasi terdiri atas sejumlah orang; yang melibatkan keadaan yang saling bergantung; ketergantungan memerlukan koordinasi; dan koordinasi mensyaratkan komunikasi, karena itu, komunikasi adalah suatu sine qua bagi organisasi. Koordinasi mempunyai arti yang luas seperti yang dikemukakan oleh Effendi (1999 : 116) bahwa : Dalam berbagai literatur dapat dijumpai arti koordinasi dimana disebutkan bahwa koordinasi bersumber pada perkataan bahasa latin, coordinatio yang berarti kombinasi atau interaksi yang harmonis. Interaksi yang harmonis diantara para karyawan suatu organisasi, baik dalam hubungannya secara timbal balik maupun secara horizontal diantara para karyawan secara timbal balik pula, disebabkan oleh komunikasi. Demikian pula interaksi antara pimpinan organisasi, apakah ia manajer tingkat tinggi (top manager) atau manajer tinggkat menengah (middle manager) dengan khalayak luar organisasi. Komunikasi yang terjadi dalam organisasi termasuk organisasi

pemerintahan mempunyai dua dimensi yakni dimensi komunikasi yang memperlihatkan proses manajemen dalam organisasi dan dimensi komunikasi yang memperlihatkan hubungan organisasi dengan lingkungan atau khalayak di luar organisasi. Pendapat tersebut menurut Effendi, (1999 : 122) kedua dimensi ini dikenal dengan nama dimensi komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal didefinisikan oleh Laurence D. Brennan (dalam Effendi 1999 : 122) sebagai : Interchange of ideas among the adminstrator and its particular structure (organization) and interchange of ideas horizontally and vertically within the firm which gets work done (opratinal and management) . (Pertukaran gagasan diantara para administrator dan karyawan dalam suatu perusahaan

24

atau jawatan tersebut, lengkap dengan strukturnya yang khas (organisasi) dan pertukaran gagasan secara horisontal dan vertikal di dalam perusahaan atau jawatan yang menyebabkan pekerjaan berlangsung (operasi dan manajemen). Komunikasi internal terkait dengan proses komunikasi yang berlangsung dalam organisasi yang terdiri dari komunikasi vertikal dan komunikasi horisontal. Sedangkan pengertian komunikasi eksternal menurut Moore (1987 : 79) adalah Pertukaran informasi antara manajemen dengan publik eksternal yaitu pelanggan, masyarakat sekitar, penyalur dan pengedar, pemasok, lembaga pemerintah, para pendidik dan lain-lain. Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Effendi (1999 : 117) komunikasi eksternal adalah : Komunikasi antara pimpinan orgasniasi dengan khalayak diluar organisasi. Pada instansi-instansi pemerintah seperti departemen, direktorat, jawatan, dan perusahaan-perusahaan besar, disebabkan oleh luasnya ruang lingkup, komunikasi lebih banyak dilakukan oleh kepada hubungan masyarakat (public relation officer) dari pada oleh pimpinan sendiri. Dalam komunikasi yang dilakukan organisasi pemerintahan sering berisikan informasi menyangkut hak dan kewajiban masyarakat serta kewenangan dan kewajiban pemerintah. Komunikasi tersebut biasanya dalam bentuk penyuluhan dan penerangan yang memberikan penjelasan tentang mekanisme pengurusan layanan pada saat masyarakat mengurus layanan, pemasangan iklan atau informasi dan kegiatan lainnya seperti dalam pameran pembangunan. Selanjutnya komunikasi pemerintahan dalam kaitan dengan struktur dan perilaku menurut Gibson (1997 : 440) mengidentifikasi faktor-faktor yang mengganggu proses komunikasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Latar belakang (frame of reference) Mendengarkan secara selektif Pertimbangan nilai (value judgement) Dapat dipercaya sumbernya (source credibility)

25

5. Persoalan bahasa (cemantic problem) 6. Penyaringan (filtering) 7. Bahasa dalam kelompok (group language) 8. Perbedaan status (status diference) 9. Tekanan waktu (time preasure) 10. Beban komunikasi yang terlalu berat (communication overlead) Disisi lain Mangkunegara (2000 : 148) menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi komunikasi yaitu Pihak sender atau disebut komunikator dan faktor pihak receiver atau komunikan. Menurutnya kedua pihak memiliki faktor pengganggu yang dalam proses komunikasi antara lain ketrampilan, pengetahuan dan media saluran yang digunakan. Secara teoritik, pengertian komunikasi didasarkan paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell (dalam Effendy, 2000 : 10), bahwa : Cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ?. Paradigma itu menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yakni : 1. Komunikator (communicator, source, sender) 2. Pesan (message) 3. Media (channel, media) 4. Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) 5. Efek (effect, impact, influence) Senada dengan yang dikemukakan oleh Harold Lasswell, Ndraha (2003 : 469) mengemukakan bahwa konsep atau metodologi yang dapat digunakan sebagai bahasa baku dan metodologo konstruksi komunikasi pemerintahan, seperti messages, sender, receiver, noise, encoder, decoder , process, network, interdependence, relationship, dan environment. Dari berbagai hibrida konstruk menurut Ndraha itu maka dapat dipelajari konsep-konsep komunikasi seperti, Sumber, Pesan, Penerima, Faktor gangguan, Pembuatan sandi, Penguraian sandi, Proses, Jaringan, ketergantungan,, hubungan, dan lingkungan. Sumber (sender)

26

dapat disebut komunikator dan penerima (receiver) disebut sebagai komunikan. Lebih jauh Ndraha (2003 : 482) memberikan gambaran komunikasi pemerintahan sebagai berikut : Komunikasi pemerintahan merupakan proses timbal-balik penyampaian informasi dan pesan antara pemerintah dengan yang di-perintah, pihak yang satu menggunakan frame of reference pihak lain, pada posisi dan peran tertentu, sehingga perilaku dan sikap pihak lain berbentuk, berubah, atau terpelihara, berdasarkan kesaling-mengertian (verstehen, mutual empathic understanding) dan kesaling-percayaan (mutual trust) antara kedua belah pihak. Komunikasi pemerintahan dapat terjadi manakala proses komunikasi tersebut berkaitan dengan kepentingan pihak masyarakat. Hal ini karena pemerintahan merupakan sarana atau alat dan hanya dengan pemerintahanlah tujuan bersama atau cita-cita masyarakat dapat tercapai, sebab ia memperoleh kekuasaan sah dari rakyatnya untuk mengatur kehidupan bersama. Asante dan Fry (dalam Ndraha, 2001 : 619) mengemukakan bahwa : Public communication is the conscious attempt of human to change or modity the biliefs, attitudes, values, and behaviors ofan audience in the public arena throught symbolic manipolitions of sense. Bagi ilmu pemerintahan, bagian terpenting dari defenisi di atas adalah bagaimana memanipulasi simbol-simbol yang ada didalam masyarakat tersebut untuk menjadi pengertian bersama, yaitu symbolic manipulation of sense. Selanjutnya yang harus diperhatikan adalah mengidentifikasi muatan pesan (messages) dan alat-alat atau cara-cara yang efektif untuk menumbuhkan dan memelihara kepercayaan masyarakat. Muatan pesan sebagaimana dikemukakan itu, Ndraha (2003 : 472) adalah :

27

Fakta-fakta (bukti-bukti) yang dapat menunjukan pebnetapan variasi janji, pemenuhan berbagai kewajiban pemerintah dalam kedudukannya sebagai pemerintah, dan pemikulan resiko tindakan yang diambilnya berdasarkan pilihan bebas menurut hati nuraninya (freies ermessen, discretional decision). Menurut Yuwono (l985 : 7) setidaknya ada lima faktor yang

mempengaruhi efektivitas komunikasi, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. komunikan. Dari pengertian rumusan tersebut di atas maka dapat dijelaskan rumusan ini mengandung pengertian bahwa kualitas komunikator adalah sifat-sifat yang dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi yaitu sebagai berikut : Pertama, Kualitas komunikator ini menyangkut beberapa hal, antara lain berupa kemampuan berpikir dan bermental baik ini berarti bahwa secara obyektif komunikator memiliki kemampuan mengolah informasi sehingga menimbulkan kepercayaan para penerima berita (komunikan). Kedua, yakni informasi yang disampaikan menyangkut data dan materi yang ingin disampaiakn oleh komunikator kepada komunikan sehingga mendapat kejelasan, kecukupunan dan kepastian informasi secara cepat dan tepat. Data komunikasi yang baik harus memenuhi syarat, yaitu : benar; waktu atau kebasian data dan tempat (relevansi). Sedangkan penyampaiannya harus penuhi syarat : kejelasan, konsistensi, kecukupan, pertimbangan waktu (timing dan timeliness), dan distribusi. ketiga, adalah media dan saluran komunikasi yang mengandung pengertian tentang alat atau sarana yang digunakan oleh pihak-pihak yang Kualitas komunikator; Infomasi yang disampaikan; Media dan saluran komunikasi; Komunikan; Suasana komunikasi antara komunikator dan

28

berkomunikasi. Alat atau sarana tersebut sebagai penunjang penyampaian pesan atau informasi sehingga mudah dicerna dan dimengerti oleh komunikator. Keempat, komunikan yaitu orang yang menerima pesan atau informasi. Penerima pesan atau yang membutuhkan informasi menjadi tujuan berkomunikasi karena sasaran yang ingin dicapai yaitu kamunikan mengerti dan memahami isi dari informasi atau pesan yang disampaikan sehingga dapat melakukan sesuatu sesuai dengan pesan yang diberikan. Dan Kelima, suasana komunikasi antara komunikator dan komunikan, yaitu iklim komunikasi yang tercipta pada saat melakukan komunikasi yang selanjutnya menurut Yuwono (l987 : 19), salah satu iklim yang penting adalah : memelihara keadilan dalam organisasi. Dengan demikian iklim komunikasi berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi yang dibangun. 2.1.2. Kualitas pelayanan publik 2.1.2.1. Konsep Pelayanan Publik Konsep publik mengandung pengertian yang luas. Dalam literatur Indonesia istilah ini digunakan dalam makna yang sama dengan umum, sebagai terjemahan dari kata public. Shepherd dan Wilcox (1979 : 5) memberikan pengertian the public is, of course, the whole community, indivuals, sharing citizenship, responsibilities, and benefits. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, kata publik atau umum merupakan sebutan bagi masyarakat umum, yang menurut Saefullah (1999 : 5), memiliki pengertian yang sama dengan yang dikemukakan Shepherd dan Wilcox tersebut.

29

Pelayanan umum (public service), oleh Saefullah (1999 : 5) diartikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi warga negara atau yang secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Dapat dipahami bahwa pihak yang dilayani adalah masyarakat umum yang adalah warga negara atau penduduk suatu negara. Dari segi pihak yang melayani, pelayanan publik dapat dilakukan oleh birokrasi pemerintah sendiri atau badan-badan swasta dengan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah. Dalam hal pelayanan publik yang dilakukan oleh badan-badan swasta, menurut Pamudji (1994 : 22) bahwa pemerintah tetap memegang posisi kunci, yaitu wewenang perizinan, yang dilaksanakan oleh aparatnya. Tujuan dilaksanakannya pelayanan umum adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk-produk tertentu. Produk-produk mana menurut Ndraha (1997 : 60), berkisar pada barang (barang modal dan barang pakai) sampai pada jasa (jasa pasar dan jasa publik) dan layanan civil. Menyangkut jasa publik, Ndraha dalam Kybernan Nomor 5 (1998 : 2)

menyatakan, jasa publik yaitu jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang pengelolaan, produksi dan jual-belinya diletakkan di bawah kontrol pemerintah. Berbeda dengan jasa publik yang dapat dijual-beli dan diprivatisasi, maka layanan civil tidak dijual beli. Ndraha (Kybernan, No.1, 1998 : 1) menyatakan bahwa: Layanan civil tidak dijual-beli, dimonopoli oleh badan publik (pemerintah, negara), dan tidak boleh diprivatisasikan (diswastakan), sedangkan layanan publik dapat dijual-beli dibawah kontrol legislatif. Setiap badan

30

publik berfungsi memproduksi dan mendistribusikan layanan civil pada saat diperlukan. Layanan civil merupakan produk pelayanan publik yang tidak dijual beli, tetapi dimonopoli oleh birokrasi pemerintah pada level pemerintahan tertentu, maka kualitas pelayanannya sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pemerintahan pada level pemerintahan itu. 2.1.2.2. Kualitas Pelayanan Istilah kualitas seringkali digunakan untuk menggambarkan kondisi tertentu dari produk manusia dan lingkungannya, yang memenuhi atau melebihi harapan. Goetsh dan Davis (Tjiptono, 1996 : 51), menyatakan bahwa: Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Dalam hubungannya dengan pelayanan, Triguno (1997 : 76) memberi pengertian kualitas sebagai : Standar yang harus dicapai oleh seorang / kelompok / lembaga / organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan / persyaratan pelanggan / masyarakat. Dari pengertian itu terlihat bahwa kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. Bagi Triguno (1997 : 78), Pelayanan yang terbaik, yaitu melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta professional dan mampu.

31

Senada dengan Triguno, Wyckof (dalam Tjiptono, 1996 : 59) mengartikan bahwa kualitas jasa atau layanan sebagai Tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Apabila jasa atau layanan yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya bila jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang

diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk. Kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan. 2.1.2.3. Jenis Dan Manajemen Pelayanan Dalam kehidupan pemerintahan, pelayanan publik banyak sekali jenisnya terutama bila dilihat dari kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan bila dilihat dari kegiatan pemerintah yang harus memberikan pelayanan bisa dibedakan berdasarkan kekhususan yang mengakibatkan perbedaan jenis pelayanan yang diberikan. Jenis pelayanan dapat juga dilihat dari tugas setiap departemen yang menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan masyarakat termasuk pemerintah daerah (kota dan kabupaten) hingga pada pemerintahan kecamatan sebagai garda depan yang langsung berhubungan dengan masyarakat utamanya urusan administrasi pelayanan, perizinan dan lainnya. Namun demikian secara

32

operasional, Saefullah (1999:8) membedakan pelayanan umum yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dalam dua kelompok besar, yaitu : pertama, pelayanan umum yang diberikan tanpa memperhatikan orang perseorangan, tetapi keperluan masyarakat secara umum. Dalam pelayanan ini meliputi penyediaan sarana dan prasarana transportasi, penyediaan pusat-pusat kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, pemeliharaan keamanan, dan lain sebagainya; kedua, pelayanan yang diberikan secara orang perseorangan, pelayanan ini meliputi kemudahankemudahan dalam memperoleh pemeriksaan kesehatan, memasuki lembaga pendidikan, memperoleh kartu penduduk dan surat-surat lainnya, pembelian karcis perjalanan, dan sebagainya. Sementara itu, terhadap pelayanan publik yang dilaksanakan di daerah, dapat juga dibedakan sesuai dengan tingkat pemerintahan yang wajib membiayainya, yang oleh Prawirohardjo (1996:10) dapat digolongkan dalam empat kategori, yaitu : a) Pelayanan-pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. b) Pelayanan-pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat I. c) Pelayanan-pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat II. d) Pelayanan-pelayanan publik yang pembiayaannya dipikul secara bersama misalnya oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I. Mengacu pada pendapat Saefullah dan Prawirohardjo itu, maka jenis pelayanan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: pelayanan umum dan pelayanan perseorangan, bahwa kedua jenis pelayanan ini menjadi tanggungjawab dari pemerintah. Termasuk diantaranya pelayanan kartu tanda penduduk yang merupakan bagian dari pelayanan perseorangan. Perwujudan atas komitmen pemberian pelayanan yang telah dibangun oleh pemerintah dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan tergantung dari kemampuan

33

aparat

pemerintah,

sebagaimana

dikemukakan

Rasyid (1997:48)

bahwa

keberhasilan aparat dalam menjalankan misi pemerintahan dapat dilihat dari kemampuannya mengemban ketiga fungsi hakiki, yakni fungsi pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development). Dalam perspektif pemerintahan, pelaksanaan fungsi pelayanan yang melahirkan keadilan pada hakekatnya merupakan hasil dan keluaran atas pelaksanaan tugas pelayanan pemerintah. Pada perkembangannya sejalan dengan munculnya pemahaman tentang adanya negara kesejahteraan (welfare state), dimana campur tangan pemerintah tidak sebatas pada pemberian perlindungan dan dalam arti atas keselamatan fisik dari berbagai tindakan yang tidak manusiawi melainkan masuk hingga pemberian pelayanan kepada masyarakat, seperti dikemukakan oleh Prawirohardjo (1993:8) bahwa, secara berangsur-angsur, fungsi awal dari pemerintahan yang bersifat represif (polisi dan peradilan), kemudian bertambah dengan fungsi-fungsi lain yang bersifat melayani. Secara historis pandangan itu agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Rasyid (1997:11) yang melihat dari sudut hakekat pembentukan pemerintahan itu sendiri yakni: Pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya dalam mencapai kemajuan bersama. Adapun perwujudan sikap mental seorang pegawai dalam kaitan dengan sikap mental produktivitas kerja, antara lain dikemukakan oleh Sedarmayanti (1996 : 57) menyangkut sikap :

34

a. b. c. d. e. f. g.

Motivatif Disiplin Kreatif Inofatif Dinamis Profesional Berjiwa kejuangan

Pada prinsipnya kehadiran pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas sesuai harapan masyarakat. Pelayanan itu bergantung pada aktualisasi komitmen pemerintah melalui aneka kebijakan strategis, program dan kegiatan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Dalam konteks perjuangan untuk melayani masyarakat secara memuaskan sesuai kebutuhannya itu pada gilirannya melahirkan suatu studi tersendiri oleh Saefullah (1999:6) dinyatakan sebagai, melahirkan suatu studi yakni service management, yang mendiskusikan mengenai bagaimana cara memberikan pelayanan sebaikbaiknya dan meningkatkan kualitas pelayanan umum. Berlanjut pada tiga aspek yang direkomendasikan oleh Stave Macauli dan Sarah Cook (dalam Yosua dan Sambodo, (1997:12) yakni; (1) Kualitas produk dan layanan yang dihasilkan; (2) Cara memberikan layanan tersebut; dan (3) Hubungan antar pribadi yang terbentuk melalui layanan tersebut. Dengan demikian kriteria kualitas pelayanan kepada masyarakat sebagai produk atau prestasi kerja yang harus diperjuangkan oleh pemerintah dalam manajemen pelayanan sekurang-kurangnya mengisyaratkan ketiga aspek tersebut. Hal ini dapat dimengerti bahwa wacana mengenai pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat akan melibatkan empat unsur terkait yakni : pertama, pihak pemerintah atau aparat pemerintah yang melayani; kedua, pihak masyarakat yang dilayani; ketiga, jalinan hubungan antara yang melayani dan yang dilayani,

35

hubungan ini akan menentukan tingkatan pelayanan pemerintah (delivery of services) dan pemanfaatan pelayanan tersebut oleh masyarakat (public service accessibility) dan; keempat, adanya pengaruh lingkungan diluar perangkat pemerintah dan masyarakat, seperti politik, sosial-budaya, ekonomi dan hukum.

2.1.1.4.

Parameter Kualitas pelayanan publik Menurut Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) (dalam Hidayat

dan Sucherly,l986:86) Sektor pemerintahan, termasuk dalam sektor jasa. Pengalaman melakukan pengukuran terhadap kualitas jasa atau pelayanan menunjukkan adanya kesulitan terutama dalam mengukur produk jasa yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan keluaran sekto pemerintahan yang berupa jasa pelayanan terhadap masyarakat banyak jenis atau ragamnya, sehingga sulit dikuantifikasikan serta dinilai dengan harga. Penilaian terhadap kualitas jasa atau pelayanan publik bersifat kompleks dan sulit dilakukan, dibandingkan dengan menilai kualitas produk barang. Namun meskipun sulit diukur, bukan berarti kualitas jasa atau pelayanan publik tersebut tidak dapat diukur. Saat ini kriteria-kriteria pokok penilaian terhadap kualitas jasa atau pelayanan secara umum telah banyak diteliti dan diungkapkan oleh lembaga penelitian maupun oleh para pakar. Selanjutnya Parasuraman dkk (dalam Tjiptono, l996:70) mengemukakan lima dimensi pokok untuk menilai kualitas jasa atau pelayanan, yaitu : 1. Bukti langsung (tangibles), yang meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. 2. Keandalan (realibility), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.

36

3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. 4. Jaminan (assurance ), yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. 5. Empati (emphaty), yang meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan Menurut Kennedy dan Young (dalam Supranto,l997:l07), ada enam dimensi

untuk menilai atau menetukan mutu pelayanan, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keberadaan pelayanan Ketanggapan pelayanan Ketepatan pelayanan Profesionalisme pelayanan Kepuasaan keseluruhan dengan pelayanan Kepuasaan keseluruhan dengan barang

Kriteria yang sama dengan Parasuraman dkk, dikemukakan oleh Kotler (dalam Supranto,l997:561) yang meliputi : 1. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. 2. Keresponsifan (responsiveness), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan. 3. Keyakinan (confidence), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawanan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan assurance. 4. Empati (emphaty), yaitu syarat untuk peduli, memberikan perhatian pribadi bagi pelanggan. 5. Berwujud (tangibles), yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media komunikasi. Mengenai ciri-ciri manajemen kualitas pelayanan, menurut Gaspersz (1997 : 13-14) setidaknya ada lima hal, yaitu : 1. 2. Berorientasi pada pelanggan; Terdapat partisipasi aktif yang dipimpin oleh menajemen puncak (top management) dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus;

37

3.

Terdapatnya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab spesifik untuk kualitas; 4. Terdapat aktivitas yang berorientasi pada tingkat pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja; dan 5. Terdapat filosofi pada upaya yang menganggap bahwa kualitas merupakan jalan hidup atau way of life. Sehubungan dengan hal tersebut, Siagian (1998 : 50) mengemukakan bahwa : Peningkatan kinerja organisasi publik dalam memberikan pelayanan dikaitkan dengan prinsi-prinsip efisiensi. Artinya dalam upaya menampilkan kinerja yang memuaskan dalam pemberian pelayanan bekerja sedemikian rupa sehingga hanya menggunakan sarana, daya dan dana. Selanjutnya Ndraha (2003 : xxxiii) mengatakan bahwa penyiapan jasa publik dan layanan civil sampai masyarakat atau individu mengalaminya, merupakan sebuah proses siklik yang terdiri dari beberapa rute, mulai lingkungan 1 (manusia) ke lingkungan 2 (konsumer), kembali ke lingkungan 1 melalui simpulan input, throughput, output, outcome dan feedback Berdasarkan komponen itu, maka dimensi yang digunakan untuk mengukur variabel kualitas pelayanan publik menggunakan konsep Parasuraman dkk (dalam Tjiptono, l996:70), Sebagai dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan publik yaitu dimensi bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati. 2.1.2. Pengaruh Komunikasi Birokrasi Terhadap Kualitas pelayanan publik Perkembangan yang sangat pesat dalam bidang teknologi, utamanya teknologi informasi dan komunikasi, telah secara tak terhidarkan menyebabkan dunia seolah menyempit menjadi sebuah kampung kecil, dimana antar satu bagian atau tempat di ujung dunia, dapat dengan mudah saling berhubungan dan

38

mengetahui apa yang terjadi pada bagian atau ujung dunia lain. Globalisasi dunia, telah menyebabkan batas-batas antar negara seakan tanpa makna, karena banyak hak yang dapat mengalir secara mudah melampaui batas-batas negara. Sekalipun, di atas peta batas-batas antar negara tetap eksis, namun dalam realitasnya, terutama dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan lebih-lebih ekonomi, dunia seakan tanpa batas. Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat bangsa dari seluruh, seolah menjadi bagian satu entitas imajiner yang tanpa batas. Seolah seluruh negara di muka bumi ini lebur menjadi sebuah negara dunia. Dalam kaitan dengan fenomena ini. Kenichi Ohmae (l995:viii) mengatakan bahwa Terdapat empat hal yang pada abad 21 mendatang akan secara relatif bergerak tanpa rintangan menyebrang batas-batas negara, yakni: industri, investasi, individu, dan informasi. Ini menandakan bahwa pada masa yang akan datang, bahkan untuk sebagaian fenomena tersebut telah mulai nampak pada dewasa ini, negara-negara bangsa di dunia, tidak mungkin lagi mengisolasi diri dari komunitas dunia. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Model negara tertutup seperti pada abad l9, sudah tidak mampu bertahan lagi. Dalam kaitannya dengan akan semakin intensifnya perputaran informasi di seluruh kawasan dunia, maka dapat diduga bahwa akan terjadi Perang komunikasi dan informasi, sehingga hanya mereka yang

menguasai informasi dan dapat melakukan komunikasi secara efektiflah yang dapat survive dan menguasai masa depan. Bagi negara-negara berkembang, kemampuan komunikasi dan menyampaikan informasi mempunyai arti yang sangat penting, karena hanya dengan kemampuan komunikasi yang handal-lah,

39

maka negara-negara berkembang dapat meyakinkan para pemilik modal internasional (kapital international) untuk menanamkan inventasi di negaranya. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, sulit untuk bisa berharap akan terjadi aliran model ke suatu negara. Dalam perspektif internal, kemampuan komunikasi suatu pemerintahan angat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh negara atau pemerintah, sehingga terkesan pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap suatu masalah. Misal dalam hal pengatasan kemiskinan, pemerintah harus dapat mengkomunikasikan secara efektif, mengapa masih banyak masalah belum dapat diatasi secaara rasional, dengan tetap mengkomunikasikan bahwa telah banyak hal dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, sehingga rakyat atau masyarakat percaya bahwa telah ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi berbagai masalah. Dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan organisasi pemerintahan, komunikasi juga memegang peranan yang sangat strategis. Yuwono (l985 :1) mengatakan bahwa : Keberhasilan suatu organisasi dalam mewujudkan tercapainya tujuan organisasi secara efisien dalam mewujudkan tercapainaya tujuan organisasi secara efisien tergantung kepada berbagai macam faktor, salah satunya adalah komunikasi yang dikembangkan dan diatur secara baik dalam organisasi. Mengacu pada pendapat Yuwono itu, dan dikaitkan dengan salah satu tujuan pokok dari dibentuknya sebuah pemerintahan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (Rasyid l997:18), maka dapat dikatakan bahwa keberhasilan birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan publik,

40

salah

satunya

dipengaruhi

oleh

kemampuan

organisasi

atau

birokrasi

pemerintahan dalam melakukan komunikasi.

2.2. Kerangka Pemikiran Keberhasilan suatu organisasi dalam mewujudkan tercapaimya tujuan organisasi secara efisien tergantung berbagai macam faktor. Keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para anggota organisasi jelas membawa pengaruh dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Disamping hal tersebut salah satu faktor yang diperlukan untuk mencapai tujuan ialah komunikasi yang dikembangkan dan diatur secara baik oleh organisasi. Setiap kegiatan organisasi yang melibatkan keharusan pelaksanaan tugas dari para anggotanya memerlukan informasi yang cukup memadai sesuai dengan tahap kegiatannya. Tidak satupun dari organisasi kegiatan yang tidak memerlukan informasi, baik dalam artian pemberian pengertian ataupun dalam arti penyampaian informasi dan pemahaman (Willard V dan Davis, dalam Yuwono 1985 : 3-4). Ditinjau dari sudut ilmu komunikasi yang mempelajari dan meneliti proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku seseorang maka dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, proses komunikasi terjadi secara primer dan sekunder, sebagaimana dikemukakan oleh Effendy (1992 : 18) bahwa : Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau lambang (simbol) sebagai media komunikasi yang salah satunya adalah bahasa. Bahasa paling banyak digunakan dalam komunikasi karena hanya

41

bahasalah yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, yang disampaikan melalui pesan-pesan. Proses komunikasi juga melibatkan dua komponen yang kedua-duanya adalah manusia. Menarik disimak sehubungan dengan keterlibatan manusia dalam proses komunikasi penyataan Thoha (1991 : 107) yang mengemukakan bahwa : jika ada manusia berkomunikasi dengan makhluk halus menurut lazimnya tidak lumrah. Artinya tidak semuanya manusia biasa melakukannya. Karena itu dalam pembahasan penelitian ini tidak mempunyai kecenderungan membicarakan komunikasi yang tidak lumrah, justru sebaliknya komunikasi yang rasional dan dapat dilaksanakan dalam birokrasi pemerintahan. Dalam konteks penelitian ini, ada dua komponen yang dibicarakan yaitu komponen pertama adalah Birokrat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dan diharapkan berperan secara komunikatif dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan dan khususnya pelayanan publik yang berkualitas. Hal kedua adalah komunikan yaitu publik atau masyarakat sebagai orang yang mendapatkan layanan. Kedua unsur aktor komunikasi dalam penelitian ini tentunya diarahkan untuk dapat mencapai kesepahaman dalam memaknai isi pesan atau informasi yang disampaikan baik oleh birokrat kepada publik, demikian pula sebaliknya tatkala pesan diinformasikan oleh publik, maka birokrat pun diharapkan dapat memaknai dan menterjemahkan isi pesan baik dalam bentuk masukan seperti dukungan dan tuntutan ataupun dalam bentuk keluaran penerimaan dan kepercayaan masyarakat kepada birokrat. Dalam pembahasan selanjutnya birokrasi yang terkait dalam komunikasi ini adalah Birokrasi dalam artian suatu organisasi pemerintah yang menjalankan

42

tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan. Seperti yang disampaikan Mill (dalam Albrow, 1989 : 8) bahwa : pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara professional, inilah esensi dan arti birokrasi. Menurut kamus teknik bahasa Italia terbitan 1828 (dalam Albrow, 1989 : 11) dinyatakan bahwa : Birokrasi adalah kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan. Berkaitan dengan pengertian tersebut menyadari tujuan organisasi, tidak dapat diwujudkan oleh organisasi aparatur pemerintah itu sendiri, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang salah satu azasnya adalah demokrasi, maka yang menjadi persoalan bukan hanya bagaimana menyelenggarakan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari kecenderungan dimana walaupun birokrasi pemerintahan dijalankan dengan baik oleh aparaturnya tetapi kalau masyarakat tidak dipercaya, dapat membawa pengaruh buruk dan menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam menciptakan aparatur pemerintahan yang berwibawa. Pemerintahan yang berwibawa dapat terbangun bila memiliki kemampuan untuk merespon tuntutan dan memenuhi harapan-harapan masyarakat yang rasional. Sistem pemerintahan demokratis sebagai instrumen yang manusiawi dapat menjembatani pola hubungan pemerintahan dengan mengakomodir tuntutan dan dukungan itu sebagai bagian dari penegakan sistem yang bersifat equillibrium, mengedepankan keseimbangan dan kesinambungan pemeliharaan sistem yang dibutuhkan masyarakat. Dalam pola hubungan yang seimbang itu, maka komunikasi birokrasi akan berbicara sebagai organ yang mutlak diperlukan dalam menjembatani berbagai

permasalahan kebutuhan publik yang semakin kompleks dan kian berubah cepat.

43

Prinsip-prinsip empati, penghargaan terhadap yang berbicara atau lawan bicara dan kemauan untuk mengerti pembicaraan atau informasi yang disampaikan merupakan kata kunci bagi keberhasilan membangun komunikasi birokrasi yang intens dan komunikatif. Karena itu, komunikasi yang berkualitas dalam pelayanan publik dapat dilaksanakan secara efektif bila aparatur birokrasi sebagai sumber pesan atau informasi mempunyai empati dan tidak memvonis masyarakat hanya sebagai penerima pesan atau informasi yang dianggap tidak tahu apa-apa atau sebaliknya masyarakat menuding birokrasi dengan mengatakan pelayanan yang diberikan berbelit-belit, rumit dan melelahkan. Ketidakefektifan suatu komunikasi karena sikap apriori terlebih dahulu baik kepada komunikator maupun kepada komunikan sebelum tersambung komunikasinya. Penilaian dan sikap apriori itu akan menyebabkan perilaku yang defensif terutama oleh publik. Seseorang atau publik yang sudah berperilaku demikian akan membuat jarak dan bersifat tertutup kepada birokrasi (tidak respek). Secara teoritik, pengertian komunikasi didasarkan paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell (dalam Effendy, 2000 : 10), bahwa : Cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ?. Paradigma itu menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yakni : 6. Komunikator (communicator, source, sender) 7. Pesan (message) 8. Media (channel, media) 9. Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) 10. Efek (effect, impact, influence) Menurut Ndraha (2003 : 469) bahwa konsep atau metodologi yang dapat digunakan sebagai bahasa baku dan metodologo konstruksi komunikasi

44

pemerintahan, seperti messages, sender, receiver, noise, encoder, decoder , process, network, interdependence, relationship, dan environment. Dari berbagai hibrida konstruk menurut Ndraha di atas komunikasi dapat dipelajari konsep-konsep komunikasi seperti, Sumber, Pesan, Penerima, Faktor gangguan, Pembuatan sandi, Penguraian sandi, Proses, Jaringan, ketergantungan,, hubungan, dan lingkungan. Sumber (sender) dapat disebut komunikator dan penerima (receiver) disebut sebagai komunikan. Lebih jauh Ndraha (2003 : 482) memberikan gambaran komunikasi pemerintahan sebagai berikut : Komunikasi pemerintahan merupakan proses timbal-balik penyampaian informasi dan pesan antara pemerintah dengan yang di-perintah, pihak yang satu menggunakan frame of reference pihak lain, pada posisi dan peran tertentu, sehingga perilaku dan sikap pihak lain berbentuk, berubah, atau terpelihara, berdasarkan kesaling-mengertian (verstehen, mutual empathic understanding) dan kesaling-percayaan (mutual trust) antara kedua belah pihak. Komunikasi pemerintahan dapat terjadi manakala proses komunikasi tersebut berkaitan dengan kepentingan pihak masyarakat. Hal ini karena pemerintahan merupakan sarana atau alat dan hanya dengan pemerintahanlah tujuan bersama atau cita-cita masyarakat dapat tercapai, sebab ia memperoleh kekuasaan sah dari rakyatnya untuk mengatur kehidupan bersama. Asante dan Fry (dalam Ndraha, 2001 : 619) mengemukakan bahwa : Public communication is the conscious attempt of human to change or modity the biliefs, attitudes, values, and behaviors ofan audience in the public arena throught symbolic manipolitions of sense. Bagi ilmu pemerintahan, bagian terpenting dari defenisi di atas adalah bagaimana memanipulasi simbol-simbol yang ada didalam masyarakat tersebut untuk menjadi pengertian bersama, yaitu symbolic manipulation of sense.

45

Selanjutnya yang harus diperhatikan adalah mengidentifikasi muatan pesan (messages) dan alat-alat atau cara-cara yang efektif untuk menumbuhkan dan memelihara kepercayaan masyarakat. Muatan pesan sebagaimana dikemukakan itu, Ndraha (2003 : 472) adalah : Fakta-fakta (bukti-bukti) yang dapat menunjukan pebnetapan variasi janji, pemenuhan berbagai kewajiban pemerintah dalam kedudukannya sebagai pemerintah, dan pemikulan resiko tindakan yang diambilnya berdasarkan pilihan bebas menurut hati nuraninya (freies ermessen, discretional decision). Sedangkan menurut Yuwono (l985 : 7) setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. komunikan. Dari pengertian tersebut di atas maka dapat dijelaskan rumusan ini mengandung pengertian bahwa kualitas komunikator adalah sifat-sifat yang dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi yaitu sebagai berikut : Pertama, Kualitas komunikator ini menyangkut beberapa hal, antara lain berupa kemampuan berpikir dan bermental baik ini berarti bahwa secara obyektif komunikator memiliki kemampuan mengolah informasi sehingga menimbulkan kepercayaan para penerima berita (komunikan). Kedua, yakni informasi yang disampaikan menyangkut data dan materi yang ingin disampaiakn oleh komunikator kepada komunikan sehingga mendapat kejelasan, kecukupunan dan kepastian informasi secara cepat dan tepat. Data komunikasi yang baik harus memenuhi syarat, yaitu : benar; waktu atau kebasian data dan tempat (relevansi). Kualitas komunikator; Infomasi yang disampaikan; Media dan saluran komunikasi; Komunikan; Suasana komunikasi antara komunikator dan

46

Sedangkan penyampaiannya harus penuhi syarat : kejelasan, konsistensi, kecukupan, pertimbangan waktu (timing dan timeliness), dan distribusi. ketiga, adalah media dan saluran komunikasi yang mengandung pengertian tentang alat atau sarana yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Alat atau sarana tersebut sebagai penunjang penyampaian pesan atau informasi sehingga mudah dicerna dan dimengerti oleh komunikator. Keempat, komunikan yaitu orang yang menerima pesan atau informasi. Penerima pesan atau yang membutuhkan informasi menjadi tujuan berkomunikasi karena sasaran yang ingin dicapai yaitu kamunikan mengerti dan memahami isi dari informasi atau pesan yang disampaikan sehingga dapat melakukan sesuatu sesuai dengan pesan yang diberikan. Dan Kelima, suasana komunikasi antara komunikator dan komunikan, yaitu iklim komunikasi yang tercipta pada saat melakukan komunikasi yang selanjutnya menurut Yuwono (l987 : 19), salah satu iklim yang penting adalah : memelihara keadilan dalam organisasi. Dengan demikian iklim komunikasi berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi yang dibangun. Dari pendapat Yuwono tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi pemerintahan maka konsep yang diangkat oleh penulis sebagai dimensi penelitian ini adalah kualitas komunikasi, proses penyampaian pikiran, sarana atau media, pesan yang disampaikan dan iklim komunikasi. Perbedaan pemahaman antara birokrasi dengan publik yang disebabkan oleh perbedaan status sosial, ekonomi dan pendidikan, membuat kesenjangan yang kian melebar itu menjadi alasan tersendiri bagi publik atau masyarakat

47

bersifat destruktif. Mungkin saja perbedaan pemahaman antara birokrasi dengan publik akan ada kebijakan pemerintahan, peraturan dan ketentuan, proses pengelolaan administrasi pemerintahan, aspirasi masyarakat maupun hal lain yang berkenaan dengan kebutuhan bersama antara pemerintah dengan masyarakat dapat dijembatani oleh komunikasi birokrasi dan tentu saja peran itu lebih besar dimainkan birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik. Makna penyampaian pesan berupa informasi dalam membangun komunikasi menurut Muhammad (2004 : 198) sebagai berikut : Pemberian informasi kepada publik bertujuan untuk mengubah sikap publik terhadap informasi yang diberikan misalnya bertambah kepercayaan orang atau kesan baik orang terhadap organisasi tersebut. Dengan bertambah baiknya kesan orang akan hasil produk atau jasa organisasi akan memperbaiki pemasaran hasil produksi dan menambah kepercayaan pemberi dana atau badan pemerintah untuk meningkatkan bantuannya terhadap organisasi tersebut. Proses komunikasi diperlukan dalam menjalankan fungsi suatu organisasi, termasuk didalamnya organisasi pemerintah yang mempunyai tugas utama memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, pada umumnya setiap organisasi memiliki karakteristik umum, antara lain bahwa setiap organisasi memerlukan informasi (Muhammad, 2004 : 29). Muhammad (2004 : 30) mengemukakan bahwa : Semua organisasi memerlukan informasi untuk hidup. Tanpa informasi organisasi tidak dapat jalan. Dengan adanya informasi bahan mentah dapat diolah menjadi hasil produksi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Begitu juga sebaliknya dengan tidak adanya informasi suatu organisasi dapat macet atau mati sama sekali. Untuk mendapatkan informasi adalah melalui proses komunikasi. Tanpa komunikasi tidak mungkin kita mendapat informasi. Oleh karena itu komunikasi memegang peranan penting dalam organisasi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan bagi organisasi.

48

Informasi yang diserap oleh organisasi menjadi bahan dasar penyusunan strategi atau kebijakan organisasi dalam menyikapi kebutuhan dan keinginan konsumer atau publik. Dengan demikian pelayanan akan bersifat dinamis yang dilakukan birokrasi, memberikan kesan yang cukup sulit untuk menggambarkan bentuk nyata mengenai birokrasi sehingga orang-orang yang profesional dalam badan pemerintahan sebagai pelaku dan pelaksana pekerjaan-pekerjaan itu lebih dikenal oleh masyarakat umum lebih dari pada birokrasi itu sendiri. Dengan demikian kerap terjadi orang yang menyatakan tentang birokrasi, maka yang terlintas dalam pemahamannya adalah sosok aparat pemerintah, yang dianggap profesional dalam administrasi pemerintahan. Sehubungan dengan pemahaman itu, dalam konsep penelitian ini juga menganggap birokrasi dianggap sebagai sosok aparatur pemerintahan. Artinya peneliti memandang birorasi sebagai individu yang melaksanakan pekerjaan pemerintahan yaitu pelayanan masyarakat. Pemahaman ini selaras dengan pengertian birokrasi yang diutarakan Rasyid (1991 : 15-16) yang memandang birokrasi sebagai konteks pengelolaan kekuasaan negara, yang menyatakan bahwa : birokrasi adalah makhluk yang sesungguhnya selalu hadir dalam setiap peristiwa, yang selanjutnya menyatakan bahwa birokrasi yang hanya menjalankan kebijakan pemimpin politik memainkan peranan yang menentukan kelangsungan hidup suatu bangsa. Tidak pernah ada kekosongan administrasi, baik didalam proses perumusan maupun dalam proses pelaksanaan setiap pekerjaan.

49

Definisi komunikasi dan birokrasi yang dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi dan birokrasi adalah proses penyampaian pesan dan informasi penyelenggaraan pemerintahan kepada publik agar terdapat pemahaman dan menimbulkan perpaduan yang harmonis antara birokrasi dan masyarakat yang dilakukan aparatur birokrasi pemerintahan yang selanjutnya dapat diharapkan tercapai kualitas pelayanan yang optimal kepada publik atau masyarakat. Adapun ukuran-ukuran operasional dari komunikasi birokrasi hingga pada penandaan yang lebih detail dalam konteks penelitian ini diadopsi dari beberapa pendapat para ahli antara lain Yuwono (1985 : 4), Thoha (1983 : 167), Wayne Brent D. Peterson dan M. Dallas Burnett (dalam Efendy, 2000 : 32), Lasswel (dalam Effendy, 2000 : 10), Bormann and Nancy C. Bormann (1991 : 16), yang pada prinsipnya mengungkapkan pelbagai indikator primer dalam upaya perekaman pelaksanaan komunikasi birokrasi yang efisien, efektif, intens dan manusiawi, secara akumulatif dapat dijabarkan kedalam penelitian ini dengan kemungkinan dapat mengadopsi pemikiran dan pendapat lain yang relevan utamanya dalam proses pengejaran data dalam penelitian referensi dan lapangan. Pelayanan menurut Moenir (1995 : 17) adalah : proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung. Dalam pengertian tersebut terkandung aspek pelaksanaan atau penyelenggaraan dalam bentuk aktifitas atau kegiatan yang dinamakan pelayanan. Adapun pelayanan menurut Ndraha (1995 : 17) adalah sebagai berikut : Pelayanan (service) meliputi jasa dan pelayanan. Jasa adalah kondisi sedangkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat terkait dengan hak dasar dan lepas dari persoalan apakah pemegang hak itu dapat dibebani

50

suatu kewajiban atau tidak. Dalam hubungan ini dikenal adanya hak bawaan dan hak pemberian. Hak bawaan selalu bersifat individual dan pribadi. Sedangkan hak pemberian meliputi hak sosial politik dan hak individual. Lembaga yang berkewajiban memberikan hak-hak pemberian sebagian dipenuhi oleh pemerintah dan sebagian lagi dipenuhi pihak swasta. Kegiatan pemerintah untuk memenuhi hak bawaan dan hak pemberian inilah yang disebut pelayanan publik. Misi utama birokrasi pemerintahan itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat termasuk pelayanan masyarakat. Keterlibatan pemerintah dalam kegiatan pelayanan masyarakat hendaknya tanpa keinginan untuk mendapatkan keuntungan namun lebih didasarkan oleh pertimbangan sosial. Lebih lanjut Ndraha (1997 : 73) mengemukakan bahwa : pemerintah adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi, atau menjual alat pemenuhan kebutuhan rakyat berbentuk jasa publik dan layanan civil. Dari hal itu dapatlah dipahami bahwa pelayanan publik merupakan satu tugas yang harus dikerjakan dengan lebih baik oleh aparatur pemerintahan, untuk meningkatkan kepuasan publik. Pengertian publik yaitu masyarakat dimana menurut Linton (dalam Ngadiono, 1984 : 15) adalah : sekelompok manusia yang telah lama hidup dan bekerjasama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satuan sosial dengan batas-batas tertentu. Kemudian Keith Davis (dalam Ngadiono, 1984 : 16) menyatakan bahwa : Masyarakat merupakan kelompok sosial terkecil yang bertempat tinggal di daerah tertentu yang didalamnya mengandung seluruh kehidupan sosial. Menyadari bahwa peningkatan pelayanan kepada publik atau masyarakat hendaklah diketahui bahwa peningkatan itu dapat diukur melalui sejumlah kualitas yang dicapai. Konsep kualitas menurut Tjiptono (1996 : 51) sebagai berikut :

51

Konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri dari kualitas desain dan kualitas kesesuaian desain. Kualitas desain merupakan fungsi spesifik dari suatu produk sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang ditetapkan. Pada kenyataannya aspek ini bukanlah satu-satunya aspek kualitas. Keyakinan tersebut seperti digambarkan Dwiyanto (1995 : 6) yakni : Kualitas pelayanan menjadi semakin penting dalam menjelaskaan kinerja organisasi pelayanan publik. Kualitas pelayanan ini seringkali membentuk image masyarakat terhadap organisasi pelayanan publik. Banyaknya image negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diterimanya. Meyakini bahwa kualitas pelayanan telah semakin penting untuk mendapat perhatian dimana hal ini mampu menjelaskan kinerja organisasi publik. Sehubungan dengan ini Siagian (1998 : 50) mengemukakan bahwa : Peningkatan kinerja harus selalu dikaitkan dengn penerapan prinsip efisiensi. Artinya, dalam upaya menampilkan kinerja yang memuaskan, suatu sistem bekerja sedemikian rupa sehingga hanya menggunakan sebagian sarana, daya dan dan yang dialokasikan untuk menyelenggarakan fungsinya. Jadi, prinsip efisiensi yang lebih tepat ialah sasaran yang ditetapkan baginya tercapai tanpa harus menghabiskan sarana, dana dan daya yang tersedia. Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah aparatur pemerintah yang melaksanakan kebijakan pemerintah dan pelayanan masyarakat. Terutama dalam rangka pelayanan masyarakat, birokrasi harus melakukan komunikasi yang jujur, ramah, transparan dan intensif yang kemudian mampu memenuhi harapan masyarakat akan kualitas pelayanan yang diberikannya, yang terindikasi secara operasional kedalam beberapa pendapat para ahli seperti : Pamungkas (1996 : 207); dan Rasyid (1997 : 100); Supriatna (1997 : 105); Parasuraman (dalam Tjiptono, 1998 : 70); Kolarik

52

(1995 : 4); Djaenuri (1998 : 50); Siagian (1994 : 148), yang secara keseluruhan pemikiran dan pendapat yang dimunculkannya secara kritis dapat dijadikan sebagai pola acuan dalam pengejaran data primer di lapangan. Dengan demikian validitas dan reliabilitas pengukuran yang bersifat dispartial an sich dalam penelitian ini pada gilirannya dapat menegakkan citra positif birokrasi sehingga birokrasi dapat bekerja dengan kepercayaan masyarakat serta menghadirkan kewibawaan pada dirinya. Penilaian terhadap pelayanan publik bersifat kompleks dan sulit dilakukan, dibandingkan dengan menilai kualitas produk barang. Namun meskipun sulit diukur, bukan berarti kualitas pelayanan publik tersebut tidak dapat diukur. Saat ini kriteria-kriteria pokok penilaian terhadap kualitas jasa atau pelayanan secara umum telah banyak diteliti dan diungkapkan oleh lembaga penelitian maupun oleh para ahli antara lain, Parasuraman dkk (dalam Tjiptono, l996:70)

mengemukakan lima dimensi pokok untuk menilai kualitas jasa atau pelayanan, yaitu : 1. Bukti langsung (tangibles), yang meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. 2. Keandalan (realibility), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. 3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. 4. Jaminan (assurance ), yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. 5. Empati (emphaty), yang meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan

53

Kriteria yang sama dengan Parasuraman dkk, dikemukakan oleh Kotler (dalam Supranto,l997:561) yang meliputi : 1. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. 2. Keresponsifan (responsiveness), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan. 3. Keyakinan (confidence), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawanan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan assurance. 4. Empati (emphaty), yaitu syarat untuk peduli, memberikan perhatian pribadi bagi pelanggan. 5. Berwujud (tangibles), yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media komunikasi. Adapun mengenai ciri-ciri manajemen kualitas pelayanan, menurut Gaspersz (1997 : 13-14) setidaknya ada lima hal, yaitu : 1. Berorientasi pada pelanggan; 2. Terdapat partisipasi aktif yang dipimpin oleh manajemen puncak (top management) dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus; 3. Terdapat pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab spesifik untuk kualitas; 4. Terdapat aktivitas yang berorientasi pada tingkat pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja; dan 5. Terdapat filosofi pada upaya yang menganggap bahwa kualitas merupakan jalan hidup atau way of life. Selanjutnya Ndraha (2003 : xxxiii) mengatakan bahwa penyiapan jasa publik dan layanan civil sampai masyarakat atau individu mengalaminya, merupakan sebuah proses siklik yang terdiri dari beberapa rute, mulai lingkungan 1 (manusia) ke lingkungan 2 (konsumer), kembali ke lingkungan 1 melalui simpulan input, throughput, output, outcome dan feedback Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa dimensi yang dipakai dalam mengukur variabel kualitas pelayanan publik berdasarkan

54

pendapat Parasuraman

dkk (dalam Tjiptono, l996:70) yaitu bukti langsung,

keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati. Berbagai penjelasan alur pemikiran ini dapat disimpulkan dan diterangkan dengan gambar seperti terlihat di bawah ini : Gambar 2. Kerangka Pemikiran (epsilon)

Komunikasi Birokrasi (X) 1. Kualitas komunikator 2. Informasi yang disampaikan 3. Media dan saluran komunikasi 4. Komunikan 5. Suasana komunikasi antara komunikator dan komunikan. Sumber : Yuwono (l985 : 7) 2.3. Hipotesis

Kualitas pelayanan publik (Y) 1. Bukti Langsung 2. Keandalan 3. Daya tanggap 4. Jaminan 5. Empati. Sumber : Parasuraman dkk (dalam Tjiptono, l996:70)

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Komunikasi birokrasi yang berdimensi kualitas komunikator, informasi yang disampaikan, dedia dan saluran komunikasi, komunikan serta suasana komunikasi antara komunikator dan komunikan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik yang berdimensi bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati.

55

2.

Semakin intensif komunikasi birokrasi yang dibangun maka semakin meningkat kualitas pelayanan publik yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai