Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN TEORI DAN KEBIJAKAN TENTANG ASN

2.1. KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM BIROKRASI


2.1.1. Konsep Birokrasi
Dalam terminologi ilmu politik, dikenal empat model birokrasi
yang umumnya ditemui dalam praktek pembangunan dunia ketiga,
yaitu : Weberian, Parkinsonan, Jacksonian, dan Orwellian (Fatah,
1998: 192). Namun dari keempat teori tersebut yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model birokrasi Weberian. Istilah
birokrasi Weberian ini diambil dari nama Max Weber sesorang
sosiolog Jerman, yang juga merupakan seorang penggagas konsep
birokrasi modern. Birokrasi Weberian dianggap cocok dalam
penelitian ini karena mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi yang
dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, biasanya
masalah admisnistrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada
organisasi besar seperti organisasi pemerintah. Weber dikenal dengan
konsepnya mengenai tipe ideal bagi sebuah otoritas legal rasional,
otoritas legal rasional disini adalah birokrasi.

Menurut Weber (1947: 330) kriteria-kriteria tipe ideal


birokrasi yaitu :
1) “A continous organization of official functions bound by rules”.
Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang
berkesinambungan.

1
2) “A specific sphere of competence”. Tugas-tugas tersebut dibagi
atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-
fungsinya di bidang yang kompeten, yang masing-masing
dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.
3) “The organization of officers follows the principle of hierarchy”.
Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan
rincian hak-hak kontrol dan pengaduan.
4) “The rules which regulate the conduct of an office may be
technical rules or norms”. Aturan-aturan yang sesuai dengan
pekerjaan diarahkan baik secara teknis sesuai dengan aturan
dan norma.
5) “The members of the administratitive staff should be completely
separated from ownership of the means of production or
administration”. Anggota sebagai sumber daya organisasi
berbeda atau terpisah dengan anggota sebagai individu pribadi.
6) “There is also a complete absence of appropriation of his official
position by the incumbent”. Pemegang jabatan tidaklah sama
dengan jabatannya.
7) “Administrative act’s, decision, and rules are formulated and
recorded in writing”. Administrasi didasarkan pada dokumen
dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor
(biro) sebagai pusat organisasi modern.
8) “Legal authority can be exercised in a wide variety of different
forms which will be distinguished and discussed later”. Sistem-
sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi
dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada
dalam suatu staf administrasi birokratik.

2
Lebih spesifik lagi Weber (1947: 333) menjelaskan kriteria
tentang staf administrasi yang menduduki sebuah birokrasi, yaitu :
1) “They are personally free and subject to authority only with
respect their impersonal official obligations”. Para anggota staf
bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka.
2) “They are organized in a clearly defined hierarchy of offices”.
Terdapat hirarki jabatan yang jelas.
3) “Each office has a clearly defined sphere of competence in the
legal sense”. Setiap kantor memiliki fungsi-fungsi jabatan yang
ditentukan secara tegas dan legal.
4) “The office is filled by free contractual relationship”. Para
anggota staf diangkat berdasarkan suatu kontrak yang bebas.
5) “Candidates are selected on the basis of technical qualification”.
Para anggota staf dipilih berdasarkan kualifikasi profesional,
idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh
melalui ujian.
6) “They are remunerated by fixed salaries in money, for the most
part with a right to pensions”. Para anggota staf memiliki gaji
dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun.
7) “The office is treated as the sole”. Kantor adalah lapangan kerja
yang utama bagi para anggota staff untuk memenuhi
kewajibannya.
8) “It constitutes a career”. Merupakan suatu struktur karir dan
promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
serta menurut pertimbangan keunggulan.
9) “The official works entirely separated from ownership and
without appropriation of his position”. Para anggota staf bekerja

3
secara terpisah dari pemilikmya dan tanpa pemberian hak
lebih karena posisi jabatannya.
10) “He is subject to strict and systematic discipline and
control in the conduct of the office”. Para anggota staf tunduk
pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam di kantor.

Apabila dipandang dari perspektif Weberian, jika birokrasi


tidak seimbang dengan “perolehannya”, maka birokrasi tersebut tidak
rasional lagi. Jadi jika dilihat susunan hierarkinya terlalu panjang
dan lebar, banyak pejabat yang kurang imbang dengan pekerjaannya.
Maka disini suasananya tidak rasional lagi (Miftah Thoha, 2003:
115). Miftah Thoha (2003; 17) menyederhanakan pemikiran Weber
dan Albrow mengenai kriteria-krieteria dalam tipe ideal birokrasi
yang rasional, yakni:
1) Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi
oleh jabatanya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau
kepentingan individual dalam jabatannya.
2) Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas
kebawah dan kesamping. Konsekuensinya ada jabatan atasan
dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih
besar dan ada yang lebih kecil.
3) Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu
secara spesifik berbeda satu sama lain.
4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus
dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing
pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

4
5) Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi
profesionlaitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui
ujian kompetitif.
6) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima
pensiunan sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang
disandangnya. Setiap jabatan bisa memutuskan untuk keluar
dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya
dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
7) Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan
promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan
pertimbangan yang objektif.
8) Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan
jabatannya dan resources instasinya untuk kepentingan
pribadi dan keluarganya.
9) Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan
suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

2.1.2. Definisi Good Governance


Di Indonesia good governance mulai menjadi sebuah
paradigma baru yang harus ada dalam sebuah organisasi
pemerintahan sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, hal
ini, terutama semakin gencar dipromosikan ketika UU No. 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintah Daerah diberlakukan. Menurut
sedarmayanti (2012:2) governance adalah kualitas hubungan antara
pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya,
Governance mencakup Tiga domain yaitu State
(Negara/Pemerintahan), Private Sectors (Sektor swasta/dunia usaha),
dan Society (masyarakat), sehingga Good Governance sector public

5
diartikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik,
dengan melibatkan para pemangku kepentingan, terhadap berbagai
kegiatan perekonomian, social politik dan pemanfaatan beragam
sumber daya seperti sumberdaya alam, keuangan dan manusia bagi
kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan menganut asas :
keadilan, pemerataan, persamaan, efisiensi, transparansi dan
akuntabilitas (World Conferences on Governance, UNDP, 1999).

Good governance dimaknai sebagai praktek penerapan


kewenangan penerapan pengelolaan berbagai urusan
penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan adminstratif
disemua tingkatan. Terdapat tiga pilar good governance yang
penting, yaitu :
1. Economic governance atau kesejahteraan rakyat
2. Political governance atau proses pengambilan keputusan
3. Administrative governance atau tata laksana pelaksanaan
kebijakan

Jika dikaitkan dengan tata kelola Pemerintahan maka good


governance adalah suatu suatu gagasan dan nilai untuk mengatur
pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat sehingga terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya
suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan mandiri.

2.1.3. Azas Good Governance


Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme terdapat Tujuh azas Good Governance, yaitu:

6
1. Kepastian Hukum
Mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Negara.
2. Tertib Penyelenggaraan Negara
Mengutamakan keteraturan, keserasian dan keseimbangan
dalam pengendalian dan penyelenggaraan Negara.
3. Kepentingan Umum
Mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Keterbukaan
Membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia
Negara.
5. Proporsionalitas
Mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggaraan negara
6. Profesionalitas
Mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Akuntabilitas
Setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan
Negara harus dapat dipertanggungawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

7
Sedangkan prinsip good governance menurut PP No. 101 Tahun 2000
Tentang Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil dalam Sedarmayanti
(2012:16) terdapat Sembilan Prinsip, yaitu Profesionalitas,
Akuntabilitas, Transparansi, Pelayanan Prima, Demokrasi, Efisiensi,
Efektivitas, Supremasi Hukum dan Diterima seluruh masyarakat.

Kemudian menurut tim pengembangan Kebijakan Nasional


Tata Kepemerintahan yang baik, Kementrian Perencanaan
Pembangunan/BAPPENAS, Tahun 2005 mengemukakan terdapat 14
Prinsip Good Governance, yaitu:
1. Wawasan ke Depan (Vision)
Dalam melaksanakan kegiatannya, Pemerintah harus memiliki
visi dan strategi yang jelas dan mapan dengan menjaga
kepastian hukum, adanya kejelasan setiap tujuan kebijakan
dan program, serta adanya dukungan dari pelaku untuk
mewujudkan visi.
2. Keterbukaan dan Transparansi (Openness and Transparancy)
Untuk melancarkan pelaksanaan good governance, Pemerintah
harus memastikan bahwa tersedianya informasi yang memadai
pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan
publik, serta adanya akses pada informasi yang siap, mudah
dijangkau, bebas diperoleh, dan tepat waktu.
3. Partisipasi Masyarakat (Participation)
Prinsip ini menunjukkan adanya pemahaman penyelenggara
negara tentang proses/metode partisipatif serta adanya
pengambilan keputusan yang didasarkan atas konsensus
bersama.
4. Tanggung Jawab (Accountability)

8
Dalam melaksanakan kegiatannya, Pemerintah harus
memastikan adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan
standar prosedur pelaksanaan serta adanya sanksi yang
ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan
kegiatan.
5. Supremasi Hukum (Rule of Law)
Untuk melancarkan pelaksanaan good governance, Pemerintah
harus menjamin adanya kepastian dan penegakan hukum,
adanya penindakan terhadap setiap pelanggar hukum, serta
adanya pemahaman mengenai pentingnya kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan.
6. Demokrasi (Democracy)
Prinsip ini menunjukkan adanya kebebasan dalam
menyampaikan aspirasi dan berorganisasi, serta adanya
kesempatan yang sama bagi anggota masyarakat untuk
memilih dan membangun konsensus dalam pengambilan
keputusan kebijakan publik.
7. Profesionalisme dan Kompetensi (Professionalism and
Competency)
Dalam melaksanakan kegiatannya, Pemerintah harus
berkinerja tinggi, taat asas, kreatif an inovatif, serta memiliki
kualifikasi di bidangnya.
8. Daya Tanggap (Responsiveness)
Prinsip ini menunjukkan bahwa dalam penerapan good
governance, Pemerintah harus menyediakan layanan
pengaduan dengan prosedur yang mudah dipahami oleh
masyarakat, serta adanya tindak lanjut yang cepat dari laporan
dan pengaduan.

9
9. Keefisienan dan Keefektifan (Efficiency and Effectiveness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, Pemerintah harus
menjamin terlaksananya administrasi penyelenggaraan negara
yang berkualitas dan tepat sasaran dengan penggunaan
sumberdaya yang optimal, adanya perbaikan berkelanjutan,
dan berkurangnya tumpang tindih penyelenggaraan fungsi
organisasi/unit kerja.
10. Desentralisasi (Decentralization)
Untuk melancarkan pelaksanaan good governance, Pemerintah
harus menjamin adanya kejelasan pembagian tugas dan
wewenang dalam berbagai tingkatan jabatan.
11. Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat
(Private and Civil Society Partnership)
Prinsip ini menunjukkan bahwa dengan penerapan good
governance maka akan adanya pemahaman aparat pemerintah
tentang pola-pola kemitraan, adanya lingkungan yang kondusif
bagi masyarakat kurang mampu (powerless) untuk berkarya,
terbukanya kesempatan bagi masyarakat/dunia usaha swasta
untuk turut berperan dalam penyediaan pelayanan umum,
sertaadanya pemberdayaan institusi ekonomi lokal/usaha
mikro, kecil, dan menengah
12. Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to
Reduce Inequality)
Prinsip ini menunjukkan adanya langkah-langkah atau
kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar
bagi masyarakat yang kurang mampu (subsidi silang,
affirmative action, dsb), tersedianya layananlayanan/fasilitas-
fasilitas khusus bagi masyarakat tidak mampu, adanya

10
kesetaraan dan keadilan gender, dan adanya pemberdayaan
kawasan tertinggal.
13. Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup (Commitment
to Environmental Protection)
Prinsip ini menjelaskan adanya keseimbangan antara
pemanfaatan sumber daya alam dan
perlindungan/konservasinya, penegakan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, rendahnya tingkat pencemaran
dan kerusakan lingkungan, dan rendahnya tingkat
pelanggaran perusakan lingkungan.
14. Komitmen pada Pasar yang fair (Commitment to Fair Market)
Untuk melancarkan pelaksanaan good governance, Pemerintah
harus memastikan tidak adanya praktek monopoli,
berkembangnya ekonomi masyarakat, dan terjaminnya iklim
kompetisi yang sehat.

11

Anda mungkin juga menyukai