Anda di halaman 1dari 42

Kern Icterus

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005

BAB I PENDAHULUAN Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak. Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion). Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan umum. Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA KERN IKTERUS 2.1. Definisi Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1, 2, 3, 6. 2.2. Insidensi Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit 2, 7,
9

. Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia

berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu: - Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter. - Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian. - Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka. - Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai5, 6,8,10.

2.3. Klasifikasi Stadium 1 Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang. Stadium 2 Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas. Stadium 3 Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu. Stadium 4 Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental1. 2.4. Etiologi Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh: Ikterus fisiologis: - Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar. - Defek pengambilan bilirubin plasma. - Defek konjugasi bilirubin. - Ekskresi bilirubin menurun. Ikterus patologis: - Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati. - Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.

- Polisitemia. - Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung. - Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu1,2,3. 2.5. Patogenesis Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak. Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 2150 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus. Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau

kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2. Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama2, 9, 10. 2.6. Kriteria Diagnosis Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan

melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2. Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau disfungsi otak minimal yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak masuk sekolah2,4,5, 7. 2.7. Diagnosis Banding 2.7.1.Sepsis Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia. Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein. 2.7.2. Asfiksia

Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis. 2.7.3. Hipoglikemia Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar glukosa darah <> Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding. 2.8. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan kadar bilirubin. Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. - Pemeriksaan fungsi otak: EEG Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi. 2.9. Pengobatan 2.9.1. Transfusi Tukar Jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tandatanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan. Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit,

sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif2.

Teknik transfusi tukar: Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat. Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna. Gunakan darah segar dari donor darah (<> Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin. Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B (diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi. Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)

Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk mengatasi hiperbilirubinemia. Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB. Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi. Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena. Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC. Setiap 100 ml darah dikocok. Alat steril. Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis. Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit. Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna. Kateter jangan terbuka terhadap udara. Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT, osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur. Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai. Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%. Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi. Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum. Transfusi dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh darah. Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.

2.9.2. Fisioterapi Untuk tinggi, kekakuan intelek bayi yang sudah diarahkan gerakan Dengan serta cara ini mengalami pada cacat akibat kadar untuk bilirubin terlalu

pengobatan otot (kognitif). dan

fisioterapi untuk

memperbaiki fungsi anak

stimulasi

mengoptimalkan kemampuan si

diharapkan

sebisanya mendekati normal.

2.10. Prognosis Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran2. 2.11. Pencegahan - Segera menurunkan kadar bilirubin indirek. - Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar. Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini masih terus dikembangkan4. Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai

pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2. Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan2. - Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit. - Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit. - Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5. Tabel 1. Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm. Berat Badan Lahir (gram) <> 1000-1250 1251-1499 1500-1999 2000-2500 Tidak Ada Komplikasi (g/dL) 12-13 12-14 14-16 16-20 20-22 Ada Komplikasi* (g/dL) 10-12 10-12 12-14 15-17 18-20

*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.

Tabel 2. Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat tanpa hemolisis. Umur (Jam) Fototerapi (g/dL) Fototerapi & Persiapan Transfusi Tukar* (g/dL) <> 24-48 49-72 > 72 > 2 minggu ** 15-18 18-20 20 *** ** 25 30 30 *** Transfusi Tukar Jika Fototerapi Gagal (g/dL) ** 20 25 25 ***

* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar. ** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat. *** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.

BAB III KESIMPULAN

Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh , mulai dari peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kern ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.

DAFTAR PUSTAKA 1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus

Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84. 2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New

Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598. 3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi

Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97103 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/21/hikmah/konsultasi.htm http://adam.about.com/surgery/100018.htm# http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005 http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299

SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI SENIOR

Transfusi Darah Pada Anak


BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN

2005
BAB I PENDAHULUAN Transfusi darah sering menyelamatkan kehidupan, misalnya dalam kasus- kasus yang gawat, perawatan neonatus prematur yang intensif modern, anak dengan kanker, penerima cangkok organ adalah tidak mungkin tanpa transfusi.1 Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak,bayi dan dewasa) yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian golongan darah antara resipien dan donor merupakan salah satu hal yang mutlak.3 Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan.2,3,4,5,7 Transfusi darah telah mulai dicoba dilakukan sejak abad ke 15 dan hingga pertengahan abad ke 17, namun berakhir dengan kegagalan, karena cara pemberiannya dan pada waktu itu dipakai sebagai sumber donornya adalah darah hewan. Melalui berbagai percobaan dan pengamatan kemudian disimpulkan bahwa manusia yang semestinya menjadi sumber darah. Namun demikian pada masa ini, karena masih banyaknya kegagalan yang berakibat kematian, transfusi darah sempat dilarang dilakukan. Pada masa ini, transfusi darah telah dikerjakan langsung dari arteri donor ke dalam vena resipien. 2 Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau disegarkan dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh.3 Pada tahun 1901, Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh (rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar penting bagi transfusi darah modern. Meskipun kemudian ditemukan berbagai system antigen lain seperti Duffy, Kell dan lain-lain,

tetapi system- system tersebut kurang berpengaruh. Tata cara transfusi darah semakin berkembang dengan digunakannya antikoagulan pada tahun 1914 oleh Hustin (Belgia), Agote (Argentina), dan Lewisohn (1915). Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem pengorganisasian bank darah yang terus berkembang sampai kini.2,3 Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam banyak hal, dalam bidang pediatri misalnya dalam perawatan neonatus prematur, anak dengan keganasan, anak dengan kelainan defisiensi atau kelainan komponen darah, dan transplantasi organ. Namun transfusi bukanlah tanpa risiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar tindakan transfusi, namun efek samping, reaksi transfusi, atau infeksi akibat transfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai keamanannya, indikasinya perlu diperketat. Apabila memungkinkan, masih perlu dicari alternatif lain untuk mengurangi penggunaan transfusi darah. Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood). Prinsip ini lebih ditekankan lagi di bidang ilmu kesehatan anak karena bayi maupun anak yang sedang tumbuh sebaiknya tidak diganggu sistem imunologisnya dengan pemberian antigenantigen yang tidak diperlukan. Prinsip dukungan transfusi darah bagi anak dan remaja serupa dengan bagi orang dewasa, tetapi neonatus dan bayi mempunyai berbagai aspek khusus.1,3 Banyak hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sehingga transfusi dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, salah satu tugas besar di masa yang akan datang adalah meningkatkan pemahaman akan penggunaan transfusi darah sehingga

penatalaksanaannya sesuai dengan indikasi dan keamanannya dapat ditingkatkan.2,3Referat ini diharapkan dapat menjadi penyegaran pengetahuan bagi kita dalam menghadapi kasus anak dan bayi yang memerlukan tindakan transfusi.

BAB II Darah dan Transfusi Darah 2.1. Darah sebagai organ Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari (1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktuwaktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.2,3 Peran penting darah adalah (1)sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2), yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.2,3 Selain itu, darah juga berfungsi (2)sebagai organ pertahanan tubuh(imunologik), khususnya dalam menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus (immunoglobulin).2,3 Fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu (3)peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.2,3

Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang diperlukan.2,3 2. 2 Definisi dan tujuan transfusi darah Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kehidupan.2,3,4,5,7 Berdasarkan asal darah yang diberikan transfusi dikenal: (1) Homologous transfusi; berasal dari darah orang lain, (2)Autologous transfusi; berasal dari darah sendiri. 4 Tujuan transfusi darah adalah: (1)mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah, (2)mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, (3)meningkatkan oksigenasi jaringan, (4)memperbaiki fungsi homeostasis, (5)tindakan terapi khusus.4 2. 3. Transfusi darah dalam klinik Darah dan berbagai komponen- komponen darah, dengan kemajuan teknologi kedokteran, dapat dipisahpisahkan dengan suatu proses dan ditransfusikan secara terpisah sesuai kebutuhan.3 Darah dapat pula disimpan dalam bentuk komponen- komponen darah yaitu: eritrosit, leukosit, trombosit, plasma dan factor- factor pembekuan darah dengan proses tertentu yaitu dengan Refrigerated Centrifuge. Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood). Dasar pemikiran penggunaan komponen darah: (1)lebih efisien, ekonomis, memperkecil reaksi transfusi, (2)lebih rasional, karena (a)darah terdiri dari komponen seluler maupun plasma yang fungsinya sangat beragam, serta merupakan materi biologis yang bersifat multiantigenik, sehingga pemberiannya harus memenuhi syarat- syarat variasi antigen minimal dan kompatibilitas yang baik, (b) transfusi selain merupakan live saving therapy tetapi jugareplacement therapy sehingga darah yang diberikan haruslah safety blood. Kelebihan terapi komponen dibandingkan dengan terapi darah lengkap: (1)disediakan dalam bentuk konsentrat sehingga mengurangi volume transfusi, (2)resiko reaksi imunologik lebih kecil, (3)pengawetan, (4)penularan penyakit lebih kecil,

(5)aggregate trombosit dan leukosit dapat dihindari, (6)pasien akan memerlukan komponen yang diperlukan saja, (7)masalah logistic lebih mudah, (8)pengawasan mutu lebih sederhana.4 2. 4. Indikasi Transfusi Darah2,5,8,9 Secara garis besar Indikasi Transfusi Darah adalah: 1. 1. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas. 2. 2. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia, hipoprotrombinemia, hipofibrinogenemia, dan lain-lain.Keadaan Anemia yang Memerlukan Transfusi Darah: 3. 1. Anemia karena perdarahan Biasanya digunakan batas Hb 7 8 g/dL. Bila Hb telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase yang membahayakan dan transfusi harus dilakukan secara hati-hati. 4. 2. Anemia hemolitik Biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5 g/dL. Hal ini dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya transfusi darah dilakukan. 5. 3. Anemia aplastik 6. 4. Leukemia dan anemia refrakter 7. 5. Anemia karena sepsis 8. 6. Anemia pada orang yang akan menjalani operasi 9. 10. 2. 5. Prosedur pelaksanaan transfusi darah Banyak laporan mengenai kesalahan tatalaksana transfusi, misalnya kesalahan pemberian

darah milik pasien lain. Untuk menghindari berbagai kesalahan, maka perlu diperhatikan hal- hal dibawah ini:

1. Identitas pasien harus dicocokkan secara lisan maupun tulisan (status dan papan nama). 2. Pemeriksaan identitas dilakukan di sisi pasien. 3. Identitas dan jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir permintaan darah. 4. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus diperiksa sebelumnya, serta diulang secara rutin. 5. Observasi ketat, terutama pada 15 menit pertama setelah transfusi darah dimulai. Sebaiknya satu unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status kardiovaskuler dan dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu kamar.4

BAB III BERBAGAI SEDIAAN DARAH UNTUK TRANSFUSI 3. 1. MACAM- MACAM KOMPONEN DARAH Untuk kepentingan transfusi, tersedia berbagai produk darah, seperti yang tercantum dalam tabel 3.1. Tabel 3. 1. Karakteristik darah dan komponen-komponen darah2,3,4
Komponen
Whole blood (darah lengkap)

Penyimpanan
Jika disimpan di lemari pendingin pada suhu 1-5C, memiliki masa simpan sampai 21 hari untuk darah sitrat (CPD/ citrate phosphate

Komposisi
Mengandung semua Anemia jenis komponen

Indikasi

Risiko
Harus diperiksa gol. darah ABO, cross

Pemberian
Pada saat kehilangan darah akut, secepat

Penggantian volume untuk kehilangan darah Setiap unit darah (> 15 20%) kantung darah infeksi. Reaksi febris match dan agen-agen mungkin yang masih

Komponen

Penyimpanan

Komposisi

Indikasi

Risiko
dan hemolitik

Pemberian
dapat ditoleransi.

dextrose), dan selama 35 hari untuk berkapasitas 350ml Renjatan berat darah CPDA-1(CPD & Adenin), dan 49 hari bila ditambahkan larutan nutritive SADM(Nacl, dextrose,adenine, manitol). darah dan 49ml Perbaikan f/ oksigenasi pengawet (anti

Aloimunisasi terhadap antigen

Pada kondisi lain, diberikan dalam 2 4 jam. 10 ml/KgBB akan meningkatkan Ht 5% dan mendukung volume.

pembekuan & zat aditif) atau 250ml

Transfusi tukar eritrosit, leukosit atau trombosit.

darah dengan 35ml Darah sitrat yang telah dikeluarkan pengawet, dengan dari lemari pendingin harus Ht 36 40%. digunakan dalam waktu 4 jam.

Packed red

Sama seperti whole blood. Penam-

Komponen ini dipisahkan dari donor tunggal

Anemia simptomatik, anemia karena keganasan, anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia defisiensi berat

Sama seperti whole blood.

Sejauh dapat ditoleransi pasien dalam 2 4 jam. Dosis 3 ml/Kg akan meningkatkan Ht 3%. Jika status kardiovaskuler stabil, berikan 10

cells (sel darah bahan larutan rejuvenatingdapat merah pekat) memperlama penyimpanan hingga 42 hari.

dengan sentrifugasi dengan ancaman gagal jantung/ infeksi darah lengkap. berat

Mengandung eritrosit, leukosit,

Trauma ml/KgBB dalam 2 4 Perdarahan akut jam. Jika tidak stabil, gunakan volume yang

trombosit dan sedikit plasma. Kasus yang lebih kecil. membutuhkan supportkardiopulmoner Setiap unit yang siap secara intensif (Ht <> ditransfusikan memiliki nilai Ht 55% setelah ditambahkan larutan aditif. Anemia kronis (Ht <>

Washed or filtered red

Pencucian dengan saline,akan menghilangkan Ab pada sel darah

Sama seperti packed Px dengan alergi yang butuh transfusi Sama seperti packed Sama seperti packed red red cells berulang red cells cells

Komponen

Penyimpanan

Komposisi

Indikasi
Px yang mempunyai ab terhadap protein plasma

Risiko

Pemberian

cells (sel darah merah, kelebihan kalium dan sisa merah yang dicuci) Saat sel-sel dicuci, mempunyai ketahanan 24 jam, selanjutnya bersifat sama sepertipacked red cells. leukosit.

Px dengan hemoglobinuria nocturnal proksismal

Frozen-thawed Komponen sel darah merah diawetkan dalam larutan

Sama seperti packed Px yang perlu transfusi antigenred cells matched(karena Ab sel darah merah menetap/mencegah terbentuknya Ab baru)

Sama seperti packed Sama seperti packed red red cells. cells.

deglycerolized gliserol, dan dibekukan, kemudian RBC (sel darah dicairkan dan dicuci agar gliserol, merah bekuplasma, antikoagulan, leukosit dan

Px dengan reaksi alergi dicairkan cuci) sisa trombosit tersingkirkan.

Fresh frozen

Plasma dari whole

Mengandung > 80% Defisiensi berbagai factor pembekuan Perlu di cross match. Secepat yang dapat dari seluruh protein (penggantian protein plasma plasma prokoagulan prokoagulan dan antikoagulan) dan antikoagulan Trauma dengan perdarahan hebat kadar faktor pembekuan Renjatan(syok) 1015% Risikovolume overload,penyakit ditoleransi pasien, tidak boleh >4 jam. Dosis 10

plasma(plasma blood, yangdipisahkan dan lalu segar beku) dibekukan dalam 8 jam, disimpan dibawah 18C hingga 1 tahun

infeksi, reaksi alergi. 15 ml/Kg mening-katkan

Penyakit hati berat

Imunodefisiensi yang tidak tersedia preparat khusus)

Pada bayi dengan enteropati disertai hilangnya protein (protein losing enteropathy)

Komponen

Penyimpanan

Komposisi

Indikasi

Risiko
Sama seperti fresh frozen plasma.

Pemberian
Dapat diberikan sebagai infus cepat. Dosis pak/Kg BB akan meningkatkan kadar faktor VIII 80 100% dan fibrinogen 200 250 mg/dL.

Cryoprecipitate Dibuat dengan membekukan plasma Mengandung faktor Terapi defisiensi faktor VIII, Von segar hingga <-65C, lalu dicairkan 18 jam pada 4C, VIII > 80 Iu/pak, XIII, Willebtand, dan fibrinogen. fibrinogen 100

disentrifugasi,cryoproteindipisahkan. 350/pak, dan Dapat disimpan 1 tahun pada 18C fibronectin pada konsentrasi > dari plasma.

Konsentrat trombosit dari whole blood

Dipisahkan dari plasma kaya trombosit dan disimpan pada 22C selama 3 5 hari.

Setiap unit mengandung 5x1010trombosit.

Terapi trombositopenia atau defek fungsi trombosit.

Tidak diperlukancross Dapat diberikan sebagai match. Risiko lain sama denganwhole blood infus cepat atau yang diperlukan sesuai status kardiovaskuler, tidak lebih dari 4 jam. Dosis 10 ml/Kg, dapat meningkatkan trombosit setidaknya 50.000/L.

Konsentrat trombosit dengan teknikapheresis

Sama seperti unit donor acak

Kandungan trombosit sama dengan 6 10 unit konsentrat donor acak. Tergantung pada teknik yang digunakan, relatif bebas leukosit, bergu-na untuk mencegah aloimunisasi

Sama seperti konsentrat trombosit dari whole blood, khususnya jika aloimunisasi dapat menjadi masalah

Sama seperti

Sama seperti konsentrat

konsentrat trombosit trombosit dari whole dari whole blood blood

Komponen
Granulocytes

Penyimpanan

Komposisi

Indikasi
Neutropenia berat (<500/l)>

Risiko
Sama seperti trombosit. Reaksi leukostasis pulmoner. Reaksi febris berat.

Pemberian
Diberikan sebagai infus lebih dari 2 4 jam. Dosis: 1 unit/hari untuk neonatus dan bayi, 1x109granulosit/Kg.

Meskipun dapat disimpan pada suhu Mengandung 20 24C yang stabil, sebaiknya ditransfusikan sesegera mungkin setelah pengumpulan setidaknya 1x1010granulosit, juga eritrosit dan trombosit.

11. 3. 2. Transfusi Eritrosit Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan. Eritrosit diberikan untuk meningkatkan kapasitas oksigen dan mempertahankan oksigenasi jaringan.1 Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan untuk mengobati anemia dengan tujuan utama adalah memperbaiki oksigenisasi jaringan.2 Pada anemia akut, penurunan nilai Hb dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat >30% - 40% volume darah, maka umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel darah merah(SDM).2,3 Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi SDM dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. SDM juga diindikasikan pada anemia kronik yang tidak responsive terhadap obat- obatan farmakologik.3 Transfusi SDM pra- bedah perlu dipertimbangkan pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat), bila kadar Hb < st="on">Ada juga yang menyebutkan, jika kadar Hb <10gr/dl,>3 Transfusi tukar merupakan jenis transfusi darah yang secara khusus dilakukan pada neonatus, dapat dilakukan dengan darah lengkap segar, dapat pula dengan sel darah merah pekat(SDMP) / mampat(SDMM). Transfusi tukar ini diindikasikan terutama pada neonatus dengan ABO incompatibility atau hiperbilirubinemia yang tidak memberikan respon adekuat

dengan terapi sinar. Indikasi yang lebih jarang adalah DIC / pengeluaran toksin seperti pada sepsis. Biasanya satu/ dua volume darah diganti.3 Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar Hb adalah: (1)Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional penderita, (2)Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat, (3)Penyebab dan antisipasi anemia, (4)Ada atau tidaknya terapi alternatif lain1 Pedoman untuk transfusi pada anak dan remaja serupa dengan pada dewasa (lihat tabel 3.2) Untuk neonatus, tidak ada indikasi transfusi eritrosit yang jelas disepakati, biasanya, pada neonatus eritrosit diberikan untuk mempertahankan Hb, berdasarkan status klinisnya (lihat tabel 3.2). 1 Tabel 3. 2. Indikasi transfusi eritrosit pada anak1
Anak dan remaja Kehilangan akut >15% volume darah sirkulasi Hb <> Hb <> Hb <> Hb <> Bayi usia 4 bulan pertama Hb <> Hb <> Hb <> Hb <> Hb <>

Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar eritrosit yang dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam antikoagulan/medium pengawet pada nilai hematokrit kira-kira 60%. Dosis biasa adalah 10 15 ml/Kg, tetapi volume transfusi sangat bervariasi, tergantung pada keadaan klinis (misalnya perdarahan terus menerus atau hemolisis). Untuk neonatus, produk pilihan adalah konsentrat PRC (Ht 70 90%) yang diinfuskan perlahan-lahan (2 4 jam) dengan dosis kira-kira 15 ml/KgBB.1 Di Ilmu bagian

Kesehatan

Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis transfusi didasarkan atas makin anemis seorang resipien, makin sedikit jumlah darah yang diberikan per et mal dalam suatu seri transfusi darah dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan, untuk menghindari komplikasi gagal jantung. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis yang dipergunakan untuk menaikkan Hb adalah dengan menggunakan modifikasi rumus empiris sebagai berikut:2,3,5
Bila yang digunakan sel darah merah pekat (packed red cells), maka kebutuhannya adalah 2/3 dari darah lengkap, menjadi: 2,3 BB (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat) Untuk anemia yang bukan karena perdarahan, maka teknis pemberiannya adalah dengan tetesan. Makin rendah Hb awal makin lambat tetesannya dan makin sedikit volume sel darah merah yang diberikan. Jika menggunakan packed red cells untuk anemia, lihat tabel 3.3 Tabel 3.3. Dosis PRC untuk transfusi3 Hb penderita (g/dl) 7- 10 Jumlah PRC yg diberikan dlm 3-4 jam 10 ml/ kgBB *

5- 7 <5,> <5,> <5,>

5 ml/ kgBB ** 3 ml/ kgBB** 3 ml/ kg BB** + furosemid Transfusi tukar, parsial atau lengkap

3. 3. TRANSFUSI SUSPENSI TROMBOSIT Suspensi trombosit dapat diperoleh dari 1 unit darah lengkap segar donor tunggal, atau dari darah donor dengan cara/ melalui tromboferesis. Komponen ini masih mengandung sedikit sel darah merah, leukosit, dan plasma. Komponen ini ditransfusikan dengan tujuan menghentikan perdarahan karena trombositopenia, atau untuk mencegah perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan trombositopenia yang akan mendapatkan tindakan invasive.2,3 Indikasi transfusi trombosit pada anak dan bayi dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut ini.

Tabel 3. 4. Indikasi transfusi trombosit pada anak1 Transfusi trombosit harus diberikan kepada penderita dengan angka trombosit <50x109/L, jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami prosedur invasif. Penelitian pada penderita trombositopenia dengan gagal sumsum tulang menunjukkan bahwa perdarahan spontan meningkat tajam jika trombosit turun menjadi <20>9/L. Dengan alasan ini maka banyak

dokter anak menganjurkan transfusi trombosit profilaksis untuk mempertahankan trombosit >20 x109/L pada anak dengan trombositopenia karena gagal sumsum tulang. Pemberian komponen ini sebagai profilaksis pada pasien tanpa perdarahan terutama menjadi kontroversi bidangonkologi pediatric. Angka tersebut juga menimbulkan kontroversi karena banyak ahli memilih transfusi pada batas 5-10x109/L untuk penderita tanpa komplikasi. Meskipun demikian, transfusi dengan komponen ini mutlak diperlukan oleh pasien leukemia akut yang sedang menjalani kemoterapi, dan mengalami trombositopenia berat (trombosit <>2 , dengan perkiraan setiap unit trombosit akan dapat meningkatkan jumlah trombosit sebesar 10.000/m2. 1,2,3 3. 4. TRANSFUSI SUSPENSI GRANULOSIT/ NEUTROFIL Penggunaan komponen ini untuk profilaksis juga masih kontroversi. Suspensi terbukti tidak/ kurang memberi manfaat, kecuali pada granulositopenia berat (granulosit <>2,3 Indikasi transfusi granulosit tercantum dalam tabel 3.5.

1 minggu) dan infeksi bakteri fulminan." v:shapes="_x0000_s1028" width="343" height="210"> Tabel 3. 5. Indikasi transfusi Granulosit pada anak1
Menurut The American Association of Blood Banks merekomendasikan hal berikut: (1)Neonatus <>2,3 Transfusi granulosit harus dipertimbangkan pada penderita neuropenia, karena sering meninggal karena infeksi bakteri atau jamur yang progresif. Transfusi granulosit ditambahkan pada penderita neutropenia berat (<0,5x109/L) yang disebabkan oleh gagal sumsum tulang. Penderita neutropenia yang mengalami infeksi biasa memberi respon kepada terapi antimikroba saja asalkan fungsi sumsum tulang membaik pada awal infeksi. Penggunaan transfusi granulosit

untuk sepsis bakteri yang tidak responsif terhadap antibiotika pada penderita dengan neutropenia berat (<0,5>9/L) telah didukung oleh sebagian besar penelitian, telah dilaporkan selama ini.1 Neonatus dan bayi dengan berat badan kurang dari 10 Kg harus menerima 1 - 2 x109/Kg neutrofil tiap transfusi granulosit. Bayi dan anak yang lebih besar harus mendapat dosis total 1x1010 tiap transfusi granulosit, sedangkan remaja 2 - 3x1010. Transfusi granulosit harus diberikan setiap hari sampai infeksi menyurut atau neutrofil meningkat hingga 0,5 x109/L.1 Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, transfusi granulosit juga diberikan pada penderita leukemia, penyakit keganasan lain dan anemia aplastik dengan jumlah hitung leukosit < 2000/mm3 dengan suhu > 39C. Komponen yang disediakan oleh LTD-PMI adalah suspensi buffy coat yang golongan darah ABO-nya cocok.5 3. 5. Transfusi Plasma Segar Beku (fresh frozen plasma) Plasma segar beku adalah bagian cair dari darah lengkap yang dipisahkan kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah. Hingga sekarang, komponen ini masih diberikan untuk defisiensi berbagai factor pembekuan. (Bila ada/ tersedia, harus diberikan factor pembekuan yang spesifik sesuai dengan defisiensinya).2,3 Plasma beku segar ditransfusikan untuk mengganti kekurangan protein plasma yang secara klinis nyata, dan defisiensi faktor pembekuan II, V, VII, X dan XI. Kebutuhan akan plasma beku segar bervariasi menurut faktor spesifik yang akan diganti.1 Komponen ini dapat diberikan pada trauma dengan perdarahan hebat atau renjatan (syok), penyakit hati berat, imunodefisiensi tanpa ketersediaan preparat khusus, dan pada bayi dengan enteropati disertai kehilangan protein (protein losing enteropathy).Meskipun demikian, penggunaan komponen ini sekarang semakin berkurang. Dan bila diperlukan, maka dosisnya 2040 ml/ kgBB/hari. 2,3 Indikasi lain transfusi plasma beku segar adalah sebagai cairan pengganti selama penggantian plasma pada penderita dengan purpura trombotik trombositopenik atau keadaan lain

dimana plasma beku segar diharapkan bermanfaat, misalnya tukar plasma pada penderita dengan perdarahan dan koagulopati berat. Transfusi plasma beku segar tidak lagi dianjurkan untuk penderita dengan hemofilia A atau B yang berat, karena sudah tersedia konsentrat faktor VIII dan IX yang lebih aman. Plasma beku segar tidak dianjurkan untuk koreksi hipovolemia atau sebagai terapi pengganti imunoglobulin karena ada alternatif yang lebih aman, seperti larutan albumin atau imunoglobulin intravena.1 Pada neonatus, transfusi plasma beku segar memerlukan pertimbangan khusus. Indikasi transfusi plasma beku segar untuk neonatus meliputi: (1)Mengembalikan kadar eritrosit agar mirip darah lengkap untuk kepentingan transfusi masif, misalnya pada transfusi tukar atau bedah jantung; (2)Perdarahan akibat defisiensi vitamin K; (3)Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dengan perdarahan; (4)Perdarahan pada defisiensi faktor koagulasi kongenital bila terapi yang lebih spesifik tidak tersedia atau tidak memadai.1 Pedoman transfuse FFP pada anak, dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut.

Tabel

3. 6. Indikasi transfusi plasma beku segar pada anak1

12.

3. 6. Transfusi Kriopresipitat Komponen ini diperoleh dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 40C dan

kemudian bagian yang tidak mencair, dikumpulkan dan dibekukan kembali. Komponen ini mengandung faktor VIII koagulan/ anti hemophilic globulin(AHG) sebanyak 80-120 unit, factor XIII yang cukup banyak, factor von Willebrand, dan 150-200 mg fibrinogen.2,3,5

Komponen ini digunakan untuk pengobatan perdarahan, atau pada persiapan pembedahan penderita hemofilia A, penyakit von Willebrand, dan hipofibrinogenemia serta kadang diberikan juga pada DIC. Dosis yang dianjurkan secara empiris 40-50 unit/ kgBB sebagai loading dose, yang diteruskan dengan 20-25 unit / kgBB setiap 12 jam, sampai perdarahan telah sembuh.2,3 Panggunaannya pada penderita hemofilia A, yaitu untuk menghentikan perdarahan karena berkurangnya AHG. AHG ini tidak bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit, atau eritrosit, tetapi pemberian yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukkan antibodi yang bersifat inhibitor terhadap faktor VIII. Oleh karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis, seperti pada tabel 3.7 berikut.5 Tabel 3. 7. Hubungan faktor VIII dan gejala perdarahan pada hemofilia
Kadar Faktor VIII (%) 1 15 5 25 25 50 Gejala Perdarahan spontan sendi dan otot Perdarahan hebat setelah luka kecil Perdarahan hebat setelah operasi Cenderung perdarahan setelah luka atau operasi

Cara pemberian kriopresipitat adalah dengan menyuntikkan secara IV langsung, tidak melalui tetesan infus. Komponen ini tidak tahan dalam suhu kamar, jadi diberikan sesegera mungkin setelah mencair.5 3. 7. Konsentrat factor VIII (factor anti hemofilia A) Komponen ini merupakan preparat kering yang mengandung konsentrat factor VIII, prokoagulan, yang diperoleh dari kumpulan (pooled) plasma dari sekitar 2000-30.000 donor. Hasil dimurnikan dengan teknik monoclonal, dan dilakukan penonaktifan virus melalui misalnya

pemanasan (heattreated). Pengemasan dalam botol berisi 250 dan 1.000 unit. Dosis pemberian sama dengan kriopresipitat. 2,3 3. 8. Kompleks factor IX
Komponen ini disebut juga kompleks protrombin, mengandung factor pembekuan yang tergantung vitamin K, yang disintesis di hati, seperti factor VII, IX, X, serta protrombin. Sebagian ada pula yang mengandung proteinC. Komponen ini biasanya digunakan untuk pengobatan hemofilia B. Kadang diberikan pada hemofilia yang mengandung inhibitor factor VIII dan pada beberapa kasus defisiensi factor VII dan X. Dosis yang dianjurkan adalah 80-100 unit/kgBB setiap 24 jam.2,3 3. 9. Albumin Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara fraksionisasi Cohn. Larutan 5% albumin bersifat isoosmotik dengan plasma, dan dapat segera meningkatkan volume darah. Komponen ini digunakan juga untuk hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia), luka bakar hebat, pancreatitis, dan neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dosis disesuaikan dengan kebutuhan, misal pada neonatus hiperbilirubinemia perlu 1-3g/kgBB dalam bentuk larutan albumin 5%.2,3 3. 10. Imunoglobulin Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma, dan yang bakudiperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang hiperimun didapat dari donor dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya diberikan untuk mengatasi imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau infeksi bakteri yang tidak dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang digunakan adalah 1-3 ml/kgBB. 2,3 3. 11. Transfusi darah autologus

Transfusi jenis ini menggunakan darah pasien sendiri, yang dikumpulkan terlebih dahulu, untuk kemudian ditransfusikan lagi. Hal ini sebagai pilihan jika pasien memiliki zat anti dan tak ada satu pun golongan darah yang cocok, juga jika pasien berkeberatan menerima donor orang lain. Meski demikian, tetap saja tidak lepas sama sekali dari efek samping dan reaksi transfusi seperti terjadinya infeksi.2,3 BAB IV Komplikasi Transfusi Darah 4. 1. Reaksi transfusi darah secara umum

Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah.2,3 13. 4. 2. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan.2,3 Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian.2,3

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: (a)meningkatkan perfusi ginjal, (b)mempertahankan volume intravaskuler, (c)mencegah timbulnya DIC.2,3 14. 4. 3. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler.2,3 Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.2,3 4. 4. REAKSI TRANSFUSI NON-HEMOLITIK 1. Demam Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1 dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya.2,3 2. Reaksi alergi Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang

bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut.2,3 3. Reaksi anafilaktik Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan.2,3 Penatalaksanaannya adalah (1)menghentikan transfusi dengan segera, (2)tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid, (3)berikan antihistamin dan epinefrin. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu melalui intubasi.2,3
4. 5. Efek samping lain dan resiko lain transfusi 4. 5. 1. Komplikasi dari transfusi massif Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam.4 Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan

hemostatik, acute lung injury.4

15. 16. 17.

4.5. 2. Penularan penyakit Infeksi a. Hepatitis virus Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah.

Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 2,3 18. 19. b. AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome) Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu

dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat.2,3 20. 21. c. Infeksi CMV Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien

dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini.2,3 22. 23. d. Penyakit infeksi lain yang jarang Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah

malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).2,3 24. Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan

ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang adekuat.2,3

25. e. GVHD(Graft versus Host disease) 26. GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan

imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah.2,3 BAB V Pemeriksaan Yang Berhubungan Dengan Transfusi Darah Untuk mengetahui jenis pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum transfusi dan hal-hal yang kemungkinan akan terjadi setelah transfusi, haruslah diketahui beberapa unsur yang ada di dalam darah yang akan ditransfusikan.Unsur penting yang harus diketahui karena mempunyai unsur antigenik adalah: 27. 1. Eritrosit: Untuk eritrosit, diperlukan pemeriksaan penggolongan darah menggunakan sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS dan P, Kell, Lutheran, Duffy, Kidd, Lewis, dan lain-lain. 28. 2. Leukosit dan trombosit: Walaupun sifat antigenik pada leukosit dan trombosit relatif lemah, tetapi saat ini menjadi penting sekali di bidang transplantasi organ, karena bersifat antigen jaringan. 29. 3. Serum: Sifat antigeniknya lemah, tetapi kadang dapat menimbulkan reaksi transfusi 5,6,9 Transfusi darah yang ideal haruslah mempunyai sifat antigeni darah donor yang cocok seluruhnya terhadap antigen resipien. Hal ini sangat sulit dalam pelaksanaannya. Untuk keperluan praktis, umumnya secara rutin dilakukan pengujian sebagai berikut:

30. 1. Golongan darah donor dan resipien dalam sistem ABO dan Rhesus, untuk menentukan antigen eritrosit. Menentukan golongan Rhesus dilakukan dengan meneteskan complete anti D pada eritrosit yang diperiksa (lihat tabel 5.1).5 Tabel 5. 1. Uji golongan darah ABO
Ditetesi uji sera Eritrosit Golongan Anti A Anti B Anti AB A B AB O + + + + + + + -

31. 2. Reverse Grouping, yaitu menentukan antibodi dalam serum donor dan resipien, terutama mengenai sistem ABO (lihat tabel 5.2).5 Tabel 5. 2. Reverse Grouping
Ditetesi eritrosit yang diketahui Serum Golongan Darah Sel A A B AB O + + Sel B + +

32. 3. Cross match Setelah golongan darah ditentukan, kemudian dilakukan cross match dari darah donor dan resipien yang bersangkutan. Ada dua macam cross match, yaitu major cross match (serum

resipien ditetesi eritrosit donor), dan minor cross match(serum donor ditetesi eritrosit resipien). Cross match yang lengkap haruslah dalam tiga medium, yaitu: a. NaCl Fisiologis b. Enzim (metode enzim) c. Serum Coombs (metode Coombs tidak langsung) Semua pemeriksaan harus dilakukan dalam tabung serologis dan setiap hasil yang negatif harus dipastikan secara mikroskopis. Untuk pemeriksaan yang lengkap tersebut diperlukan waktu 2 jam. Dalam keadaan darurat dapat dikerjakan cross match dalam NaCl fisiologis pada gelas obyek. Bahayanya adalah tidak dapat ditentukan adanya incomplete antibody dalam darah resipien atau donor, sehingga risiko reaksi transfusi makin besar.5 33. 4. Pemeriksaan lain terhadap infeksi. Misalnya lues, malaria, hepatitis, dan HIV (lihat tabel 5.3).5,6,9 Tabel 5. 3. Risiko transmisi agen-agen infeksi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan rutin terhadap produk-produk darah 5,6,9
Penyakit Transmisi Prosedur dan prosespemeriksaan Perkiraan risiko transmisi

Sifilis

Risiko rendah, spirochaeta tidak dapat Riwayat donor, RPR atau ditransmisikan melalui darah segar dan mati bila <> VDRL disimpan selama 72 jam dalam suhu 4C

Darah yang diambil saat fase prodromal dapat mentransmisikan virus. Infeksi melalui transfusi jarang terjadi, karena viremia fase akut penyakit Hepatitis A Riwayat donor yang hebat, tidak ada karier asimtomatik, dan tidak ada transmisi pada individu yang ditransfusi ganda.

1 : 1.000.000

Viremia yang lama pada penyakit ini dan adanya Riwayat donor, 1 : 250.000 1 Hepatitis B karier asimtomatik membuat insidens hepatitis Pemeriksaan penjaringan : 30.000 B sebagai infeksi yang ditransmi-sikan melalui HbsAg, Hepatitis Non-A

transfusi yang tinggi. Insidens dapat diturunkan Non-B, Hepatitis C, dan melalui pemeriksaan penjaringan enterovirus Riwayat donor. kasus hepatitis Non-A Non-B post-transfusi adalah hepatitis C. Ciri khas virus ini mirip Pemeriksaan ALT, HBc, Hepatitis C dengan HBV. Infeksi hepatitis C dapat berakibat anti HCV. peningkatan insidens sirosis hepatis dan Pemeriksaan genom penyakit hepar terminal. virus. Hepatitis Non-A Non-B Bukan kasus spesifik, tetapi dikelompokkan sebagai agen bukan HAV, HBV, HVC, virus Epstein-Barr, dan sitomegalovirus, yang dapat menyebabkan hepatitis post transfusi Riwayat donor Pemeriksaan ALT dan anti HBc

1 : 100.000

Tidak diketahui, sekitar 1 : 100.000

HIV 2, HIV 2

Riwayat donor, penjaringan Anti HIV dengan Retrovirus sitotoksik yang penyebarannya dapat EIA,konfirma-si dengan melalui kontak seksual, parenteral (termasuk Western Blot, pemeriksaan antigenP24, melalui transfusi), dan vertikal. asam nukleat untuk genom virus Riwayat donor, pemeriksaan HTLV-I dan II dengan enzyme immunoassay screening test, konfirmasi dengan Western Blot

1 : 2.000.000 1 : 500.000

HTLVI,HTLV-II

Retrovirus yang penyebarannya dapat melalui kontak seksual, parenteral (termasuk melalui transfusi), dan vertikal, yang dapat menyebabkan keganasan limfoid dan mielopati

1 : 600.000

Keterangan: ALT = Alanine Transaminase; HAV, HBV, HCV = Virus hepatitis A, Virus hepatitis B, Virus hepatitis C; HTLV = Human T-cell lymphotropic virus; RPR = rapid plasma reagin; VDRL = pemeriksaan sifilis.

34. 35. 36.

BAB VI Penutup

Transfusi darah merupakan bentuk terapi yang dapat menyelamatkan jiwa. Berbagai

bentuk upaya telah dan hampir dapat dipastikan akan dilaksanakan, agar transfusi menjadi makin aman, dengan resiko yang makin kecil. Meskipun demikian, transfusi darah belum dapat

menghilangkan secara mutlak resiko dan efek sampingnya.3Haruslah terpatri dalam benak kita bahwa transfusi darah adalah upaya untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah perburukan, dan jangan dilakukan semata- mata untuk mempercepat penyembuhan. Untuk itulah indikasi transfusi haruslah ditegakkan dengan sangat hati- hati, karena setiap transfusi yang tanpa indikasi adalah suatu kontraindikasi. Maka untuk memutuskan apakah seorang pasien memerlukan transfusi atau tidak, harus mempertimbangkan keadaan pasien menyeluruh. Pada pemberian transfusi sebaiknya diberikan komponen yang diperlukan secara spesifik untuk mengurangi resiko terjadinya reaksi transfusi. Indikasi untuk pelaksanaan transfusi didasari oleh penilaian secara klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.3 37. Menyadari hal ini, maka perlu kiranya mereka yang terlibat dalam praktek transfusi darah

mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu kedokteran transfusi (transfusion medicine).

38. 39.

DAFTAR PUSTAKA

1. Strauss RG, Transfusi Darah dan Komponen Darah, dalam Nelson Ilmu Kesehatan

Anak (Nelson Textbook of Pediatrics), 1996, Jakarta, EGC, volume 2, Edisi 15, halaman: 1727-1732 40. 2. Djajadiman Gatot, Penatalaksanaan Transfusi Pada Anak dalam Updates in Pediatrics

Emergency, 2002, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, halaman: 28-41 41. 3. Ramelan S, Gatot D, Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak dalam Pendidikan

Kedokteran berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates, 2005, Jakarta, IDAI cabang Jakarta, halaman: 21-30

42.

4. Sudarmanto B, Mudrik T, AG Sumantri, Transfusi Darah dan Transplantasi dalam

Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak, 2005, Jakarta, Balai Penerbit IDAI, halaman: 217225 43. 5. Dr. Rusepno Hasan, Dr. Husein Alatas. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak,

1985,Jakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman: 483-490 44. 45. 46. 47. 48. 6. Palang Merah Indonesia. Pelayanan Transfusi Darah, 2002, Available at: http://www.palangmerah.org/pelayanan transfusi.asp. 7. Wagle Sammer, Hemolytic Disease of Newborn, 2003, available at: http://www.emedicine.com/ped/byname/hemolylic-disease-of-newborn.htm. 8. Gary, R Strange, William R, Steven L, 2002, Pediatric Emergency Medicine,

2ndedition. Boston: Mc Graw Hill, halaman: 527-529 49. 9. E. Shannon cooper,1992, Clinic in Laboratory Medicine, Volume 12, Number 4,

Philadelphia: WB Saunders Company, halaman: 655-665

Anda mungkin juga menyukai