Anda di halaman 1dari 8

WASPADAI OBAT ANTI OBESITAS Ni Made Rai Wahyuni S

Obesitas sering diartikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Sebenarnya patokan yang digunakan sebagai penentu apakah seseorang mengalami obesitas adalah suatu ukuran yang disebut indeks massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak bergantung pada umur maupun jenis kelamin. Overweight atau sering disebut dengan kelebihan berat badan adalah tahap sebelum dikatakan obesitas secara klinis. Obesitas dikatakan terjadi kalau terdapat kelebihan berat badan 20% karena lemak para pria dan 25% pada wanita. .

Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berbeda dengan kawasan lain, hal ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand masing-masing adalah 1.9, 4.6, 3.2, dan 2.9 kg/m2 lebih

rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cut off IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu. (Sugondo, 2006) Menurut WHO (2011) pada tahun 2008, sekitar 1,5 milliar dewasa (20+) adalah overweight dan lebih dari 200 juta laki-laki dan sekitar 300 juta wanita adalah obese. WHO juga memprediksi bahwa pada tahun 2015, sekitar 2.3 milliar dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 milliar akan obese. Sedangkan menurut RISKESDAS (2007) prevalensi obesitas pada penduduk dewasa di atas 15 tahun di beberapa kota besar di Indonesa cukup tinggi seperti di Sumatera utara 20.9% dengan 17.7% pria dan 23.8% wanita, di DKI Jakarta 26.9% dengan 22.7% pria dan 30.7% wanita, Jawa Barat 17.0% dengan 14.4% pria dan 29.2% wanita, Jawa tengah 17.0% dengan 11.6% pria dan 22.0% wanita, DI Yogyakarta 18.7% dengan 14.6% pria dan 22.5% wanita, Jawa timur 20.4% dengan 15.2% pria dan 25.5% wanita. Dan di Indonesia adalah 19.1% dengan wanita 23.8% dan pria 13.9%. Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya

mendapatkan makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di negara-negara ini, termasuk Indonesia. Tingginya prevalensi ini, telah membuat obesitas mendapat perhatian yang cukup singnifikan dalam medis. Obesitas lebih sering terjadi antara wanita dan yang menyedihkan; prevalensi pada anak-anak juga mengingkat pada taraf yang mengkhawatirkan.( Flier et al, 2005) Obesitas yang ditandai dengan kelebihan lemak tubuh merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama yang banyak di dunia. Konsekuensi dari obesitas yang penting dan perlu diperhatikan yaitu obesitas meningkatkan risiko hipertensi, dislipidemia, diabetes tipe 2, penyakit jantung, gangguan tidur, osteoarthritis, dan beberapa jenis kanker.

Bila seseorang mengalami obesitas ada 3 solusi yang umumnya dipilih untuk mengatasinya. Pertama adalah pengaturan makan atau lebih popular disebut diet. Diet paling sering menjadi solusi awal bagi orang dengan obesitas atau bahkan orang normal yang ingin tampak lebih menarik dengan tubuh kurus. Bagi orang yang tekun dan disiplin solusi ini mungkin berhasil, namun banyak juga yang berhenti di tengah karena sulit mengubah kebiasaan makan dan hasil yang di dapat perlu waktu lama. Solusi kedua yang sering dikombinasi dengan diet yaitu latihan fisik atau olahraga. Hal ini juga sering mengalami hambatan karena perlu menyisihkan waktu terutama bagi orang-orang dengan aktivitas padat. Pada akhirnya banyak orang mengambil cara yang paling praktis dan efisien yaitu menggunakan obat-obatan. Dalam pengelolaan obesitas, gaya hidup dan modifikasi perilaku, termasuk pola makan dan olahraga yang tepat dianjurkan menjadi awal penanganan untuk obesitas. Terapi dengan obat sebenarnya direkomendasikan untuk pasien yang telah mengalami obesitas, atau pasien kelebihan berat badan dengan adanya penyakit penyerta misalnya pasien dengan diabetes. Obat anti-obesitas diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, sesuai dengan mekanisme mereka tindakan: penekan nafsu makan, penghambat penyerapan lemak, stimulator pengeluaran energi dan thermogenesis. Banyak obat telah digunakan untuk mengobati obesitas selama bertahun-tahun. Namun, sebagian besar obat anti-obesitas yang telah disetujui oleh United States Food and Drug Administration (USFDA) dan dipasarkan kini telah ditarik karena penemuan pasca-pemasaran efek samping yang serius. Ulasan ini merangkum nasib obat anti-obesitas yang telah diperkenalkan untuk penggunaan klinis. PHENTERMINE AND FENFLURAMINE Kombinasi phentermine dengan fenfluramine atau dexfenfluramine pernah umum digunakan dalam mengelola obesitas. Phentermine adalah obat noradrenergik, yang merangsang pelepasan noradrenalin dan mengurangi asupan makanan dengan bertindak pada -adrenergik reseptor di hipotalamus perifornical. Fenfluramine dan

dexfenfluramine (d-isomer dari fenfluramine) adalah obat serotonergik, yang menyebabkan pelepasan serotonin untuk menekan nafsu makan dan mengurangi asupan makanan. Kedua phentermine dan fenfluramine secara individual disetujui oleh USFDA. Kombinasi phentermine dengan fenfluramine atau dexfenfluramine tidak dianggap lebih efektif daripada salah satunya saja, tetapi dosis yang lebih rendah masing-masing obat dapat digunakan dalam kombinasi, menyebabkan lebih sedikit efek samping. Namun, keduanya, fenfluramine dan dexfenfluramine ditarik dari pasar oleh USFDA pada tahun 1997 . Keputusan itu didorong oleh laporan awal dari 24 wanita yang menerima fenfluramine. Studi ini mengidentifikasi kerusakan katup jantung dalam hubungan dengan penggunaan fenfluramine. Temuan echocardiographic dan histologis menunjukkan morfologi katup tidak biasa yang menyerupai penderita penyakit jantung karsinoid. Dalam studi ini, hipertensi arteri paru juga diidentifikasi dari delapan wanita. SIBUTRAMINE Sibutramine digunakan secara luas setelah persetujuan oleh USFDA pada tahun 1997 . Sibutramine adalah obat serotonergik dan adrenergik yang menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin. Sibutramine menekan nafsu makan,

menyebabkan rasa kenyang, dan meningkatkan thermogenesis (pembentukan panas tubuh). Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa sibutramine menghasilkan penurunan berat badan sekitar 4,45 kg dalam 12 bulan pada orang dewasa kelebihan berat badan dan obesitas yang memiliki BMI 25 kg/m2 atau lebih besar. Pada pasien obesitas, sibutramine mampu mengurangi lingkar pinggang, yang merupakan prediktor kuat penyakit jantung. Selain itu, sibutramine menyebabkan penurunan dalam kadar hemoglobin glikosilasi pada pasien obesitas dengan diabetes tipe 2. Namun berdasarkan penelitian yang berlangsung kurang lebih 24 minggu, ada beberapa orang yang mendapatkan peningkatan kembali berat badan setelah pengobatan sibutramine dihentikan. Efek samping yang paling sering ditemui dari sibutramine adalah sakit kepala, mulut kering, insomnia, dan sembelit. Tidak seperti fenfluramine, penggunaan sibutramine tidak dihubungkan dengan peningkatan

hipertensi paru atau kerusakan katup jantung. Namun, sibutramine berakibat terhadap peningkatan denyut jantung dan menyebabkan rata-rata peningkatan 2 mmHg pada tekanan darah diastolik dan tekanan darah sistolik dengan dosis 10-15 mg per hari pada beberapa pasien. Peningkatan tekanan darah lebih jelas pada pasien yang lebih muda dan lebih gemuk.. Berdasarkan pertimbangan atas pengaruhnya pada tekanan darah, sibutramine tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan penyakit jantung koroner, aritmia jantung, hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung kongestif, atau riwayat stroke. Berdasarkan studi 5 tahun yang menguji pengaruh Sibutramin terhadap jantung (SCOUT) yang melibatkan 10742 pasien overweight atau obesitas dengan penyakit jantung, hipertensi atau diabetes tipe 2. Setelah periode awal 6-minggu , pasien yang menerima single-blind sibutramine memiliki rata-rata penurunan berat badan sebanyak 2,2 kg, pengurangan lingkar pinggang sebesar 2,0 cm, penurunan tekanan darah sistolik sebesar 3,0, tekanan darah diastolic 1,0 mmHg, dan penurunan denyut nadi 1,5 bpm. Pada bulan Januari 2010, sebuah laporan awal dari studi SCOUT, yang menunjukkan bahwa sibutramine dikaitkan dengan peningkatan risiko serius, non-fatal kejadian kardiovaskuler seperti infark miokard atau stroke dibandingkan dengan plasebo menyebabkan rekomendasi untuk menangguhkan penggunaan sibutramine oleh Committee for Medicinal Products (CHMP) untuk Human Use of the European Medicine Agency (EMEA). Sibutramine kemudian ditarik dari pasar Eropa. USFDA meminta agar profesional kesehatan diberitahu bahwa sibutramine tidak boleh digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Hasil lengkap dari studi SCOUT diterbitkan pada bulan September 2010. Pengobatan jangka panjang sibutramine ditunjukkan untuk meningkatkan risiko infark miokard nonfatal dan stroke non-fatal. USFDA memutuskan bahwa obat mungkin menimbulkan risiko kardiovaskular yang tidak perlu untuk pasien, dan sibutramine ditarik pada tanggal 8 Oktober 2010. RIMONABANT Sistem endocannabinoid memainkan peran penting dalam mengendalikan asupan makanan dan keseimbangan energi, serta metabolisme lemak dan glukosa.

Endocannabinoids bertindak sebagai ligan endogen yang mampu mengaktifkan dua jenis G protein-coupled reseptor cannabinoid, reseptor jenis cannabinoid 1 (CB1) dan jenis cannabinoid 2 (CB2). Reseptor CB1 diekspresikan dalam sistem saraf pusat dan pada jaringan perifer seperti jaringan adiposa, saluran pencernaan, hati dan otot, yang semuanya terlibat dalam metabolisme lipid dan glukosa. Reseptor CB2 terletak dalam sel-sel kekebalan tubuh dan hematopoietik (pembentuk komponen darah). Rimonabant, obat pertama selektif antagonis reseptor CB1 di otak dan di perifer, bertujuan memerangi obesitas dan faktor risiko yang terkait. Persetujuan penggunaan rimonabant direkomendasikan oleh CHMP dari EMEA pada bulan April 2006. Sejauh ini, telah ada empat uji besar klinis terhadap manusia yang menguji keamanan dan kemanjuran rimonabant. The rimonabant in obesity (RIO) melakukan percobaan terhadap efek rimonabant terhadap pasien obesitas, overweight, pasien

hiperlipidemia, dan diabetes tipe 2 . Rimonabant membantu menurunkan berat badan sekitar 4,7 kg pada 1 tahun follow up. Namun, belakangan dilaporkan bahwa penggunaan rimonabant dikaitkan dengan efek samping kejiwaan termasuk kecemasan, depresi dan keinginan bunuh diri. Peristiwa kejiwaan samping yang diamati dalam 26% dari peserta dalam kelompok rimonabant 20 mg dibandingkan dengan 14% dari mereka pada plasebo dalam empat penelitian yang sama. Pada Oktober 2008, penangguhan penggunaan rimonabant direkomendasikan oleh EMEA. Izin untuk penggunaan rimonabant juga ditolak oleh USFDA. ORLISTAT Orlistat, suatu pengahambat reversibel enzim lipase di saluran pencernaan yang berfungsi dalam pencernaan lemak. Obat ini telah disetujui untuk pengelolaan jangka panjang dari obesitas. Orlistat mengurangi asupan kalori dan menyebabkan penurunan berat badan dengan menghambat pemecahan lemak makanan dalam usus dan mengurangi penyerapan. Dalam meta-analisis dari 29 studi, orlistat mengurangi berat badan sekitar 2,59 kg dalam 6 bulan dan sekitar 2,89 kg dalam 12 bulan terapi. Bila dibandingkan dengan pengobatan dengan plasebo dan diet, orlistat secara signifikan mengurangi lingkar pinggang, kolesterol total, LDL-C dan tekanan darah,

dan peningkatan kadar glukosa darah dan resistensi insulin. Dalam prakteknya, efek samping yang paling umum dari orlistat mempengaruhi sistem pencernaan, seperti diare, perut kembung, sakit perut dan dispepsia. Selain itu, penggunaan jangka

panjang dari orlistat dapat mengakibatkan kekurangan dari vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Suplementasi vitamin yang cukup oleh karena itu mungkin diperlukan untuk pasien yang menggunakan orlistat. Harus diingat bahwa tentang efek jangka panjang pada kejadian kardiovaskular dari terapi dengan orlistat sangat terbatas oleh karena itu obat ini masih menjadi pilihan utama untuk terapi anti obesitas. EPHEDRINE AND CAFFEINE Efedrin dan kafein termasuk dalam kategori obat yang meningkatkan pengeluaran energi dan termogenesis. Dalam uji coba jangka panjang terkontrol plasebo klinis, kombinasi dari efedrin dan kafein menunjukkan efek yang lebih besar pada penurunan berat badan dari pada pengguanaan tanpa kombinasi. Zat-zat ini juga terkandung dalam beberapa suplemen kesehatan. Namun, sampai saat ini, kombinasi dari efedrin dan kafein belum disetujui sebagai pengobatan anti-obesitas.

Walaupun bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, obesitas telah menjadi suatu masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Hal ini dapat dikontrol melalui obat-obatan yang tentu saja harus aman dan efektif. Fenfluramine dan dexfenfluramine telah ditarik karena terbukti menyebabkan kerusakan katup jantung. Sibutramine bekerja dengan menekan nafsu makan dan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Di Eropa dan Amerika obat ini telah ditarik sehubungan dengan peningkatan kejadian kardiovaskular. Rimonabant merupakan antagonis reseptor endocannabinoid yang efektif mengurangi berat badan. Namun, efek samping berupa gangguan psikis juga menyebabkan penarikan obat ini. Orlistat disetujui di Eropa dan Amerika Serikat untuk pengobatan obesitas, namun penggunaannya dibatasi karena menimbulkan efek samping gastrointestinal. Efedrin dan kafein adalah bahan alami dalam makanan dan suplemen yang dapat membantu orang menurunkan berat badan.

Meskipun hasil yang menjanjikan pada pengurangan berat badan dan beberapa faktor risiko kardiovaskular, sebagian besar obat anti-obesitas yang dikembangkan sejauh ini belum disetujui atau harus ditarik dari pasar, karena efek samping yang merugikan. Untuk saat ini orlistat adalah obat anti obesitas yang disetujui secara luas. Perkembangan baru obat anti-obesitas masih sangat dibutuhkan. Meskipun obat-obatan menjadi solusi efektif penurun berat badan, seperti yang telah dipaparkan diatas berbagai obat ternyata memiliki efek samping terapi yang cukup parah. Bahkan menurut beberapa sumber terapi jangka panjang menggunakan orlistat dapat mengakibatkan kerusakan hati yang cukup parah. Namun data penelitian terhadap efek jangka panjang penggunaan obat ini masih minim, sehingga saat ini masih digunakan secara luas dan belum ada penangguhan dari badan pengawas obatobatan. Melalui paparan di atas dapat dimengerti pertimbangan mengapa para praktisi medis akan menganjurkan diet dan olah raga sebagai terapi utama pada kasus-kasus obesitas. Selain tidak memiliki efek negative, pengaturan makan serta olah raga sebagai terapi sekaligus pencegahan malah mampu meningkatkan kesehatan baik fisik maupun mental. Dengan kata lain hindarilah pemakaian obat dan jika tidak punya pilihan lain, bersikaplah selektif terhadap pemilihan obat yang anda lakukan.

Anda mungkin juga menyukai