Anda di halaman 1dari 26

PENGARUH PEMBERIAN Carboxymethyl Cellulose DAN SORBITOL PADA PEMBUATAN EDIBLE FILM DENGAN BAHAN DASAR WHEY TERHADAP

KADAR AIR, pH, KETEBALAN DAN WAKTU KELARUTAN

Oleh : TIARA NOFITA 05 163 020

USULAN PENELITIAN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2011

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu salah satu produk hasil peternakan yang memiliki kandungan zat gizi yang lengkap. Konsumsi susu sudah lama menjadi kebiasaan di masyarakat dari berbagai kalangan dengan berbagai proses pemanfaatannya menjadi produk pangan siap makan atau dikonsumsi dalam keadaan segar. Namun, aplikasi susu sebagai bahan kemasan masih belum berkembang saat ini. Whey merupakan hasil ikutan dari olahan susu, seperti yoghurt, mentega, dan keju yang jarang dimanfaatkan. Whey masih mengandung zat gizi tetapi dalam jumlah yang kecil. Whey menurut Soeparno (1996) masih mengandung nutrisi seperti air 93.2%, protein 0.8%, lemak 0.6%, laktosa 4.7% dan abu 0.5%, sehingga whey dapat dimanfaatkan dan tidak terbuang, serta dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah satu cara untuk memanfaatkan whey adalah dengan menjadikannya sebagai bahan dasar untuk kemasan yang dapat dimakan yang dikenal dengan edible film. Teknologi pengemasan berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Berbagai jenis kemasan dengan berbagai corak, warna, dan fungsinya terus berkembang seiring dengan tuntutan kebutuhan akan produk pangan yang berkualitas di pasaran. Namun, sejauh ini dapat dikatakan bahwa sebagian fokus pengembangan lebih banyak terarah kepada pengembangan kemasan yang belum ramah lingkungan. Edible film merupakan salah satu jenis kemasan yang masih belum berkembang seperti plastik dan sejenisnya. Meskipun berbeda dengan kemasan yang telah umum selama ini, perannya sangat penting dalam mempertahankan mutu produk pangan dan mengurangi pencemaran lingkungan. Sejauh ini aplikasi edible film dapat ditemukan

sebagai pelapis pada berbagai jenis buah-buahan. Bahan dasar utama untuk produksi edible film masih didominasi oleh sumber-sumber pertanian seperti tepung ubi, kedelai, gandum dan lain sebagainya. Sementara itu, sumber bahan baku edible film dari produk peternakan masih belum berkembang. Susu sebagai produk hasil peternakan dapat menjadi sebuah pilihan dalam rangka penganekaragam edible film. Dalam pembuatan edible film diperlukan adanya plasticizer yang dapat menghindari keretakan selama proses penanganan dan penyimpanan. Penambahan plasticizer berguna untuk mengatasi sifat rapuh, mudah patah, dan kurang elastis film (Krochta, Baldwin dan Nisperos-Carriedo, 1994). Plasticizer yang sudah biasa digunakan adalah sorbitol. Berdasarkan penelitian sebelumnya konsentrasi sorbitol yang digunakan dalam pembuatan edible film dari bungkil kacang tanah adalah 0.25%. Sorbitol sebagai pengganti gula dapat bermanfaat dalam menyediakan berbagai variasi produk rendah kalori dan rendah gula serta memberikan pilihan bebas yang lebih luas bagi penderita diabetes (Darmawan, 2005). Pemanfaatan sorbitol pada pembuatan edibel film berbahan dasar susu dirasa perlu dalam rangka pengembangan edible film. Selain plasticizer, pada pembuatan edible film ini biasanya juga ditambahkan bahan-bahan lain yang berperan sebagai stabilizer (Syarief, Koswara, Haryadi, Adjaya dan Arpah, 2002). Stabilizer adalah bahan tambahan makanan yang dibatasi penggunaanya dan biasanya dalam jumlah sedikit. Stabilizer umumnya digunakan untuk menstabilkan, memekatkan, dan mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk membentuk kekentalan tertentu. Stabilizer yang biasa digunakan adalah carboxymethyl cellulose (CMC). Carboxymethyl celluloce merupakan satu jenis stabilizer yang selama ini sudah banyak diaplikasikan pada produk pangan, aplikasi carboxymethyl cellulose dapat

dijumpai pada pembuatan es krim. Penggunaan carboxymethyl cellulose sebagai stabilizer pada pembuatan edible film berbahan dasar whey diharapkan juga mampu memberikan efek yang positif nantinya. Carboxymethyl cellulose yang biasa digunakan pada pembuatan edible film dengan konsentrasi 1.0%. Terkait dengan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Carboxymethyl Cellulose dan Sorbitol pada Pembuatan Edible Film dengan Bahan Dasar Whey Terhadap Kadar Air, pH, Ketebalan, dan Waktu Kelarutan. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh interaksi pemberian carboxymethyl cellulose dan sorbitol terhadap edible film yang terbuat dari whey? 2. Bagaimana konsentrasi yang tepat pemberian carboxymethyl cellulose dan sorbitol dalam pembuatan edible film yang berasal dari whey? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi penggunaan carboxymethyl cellulose dan sorbitol pada pembuatan edible film dari whey terhadap kadar air, pH, ketebalan dan waktu kelarutan. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam menentukan pemberian carboxymethyl cellulose dan sorbitol yang tepat untuk menghasilkan edible film yang elastis dan tidak mudah patah, sehingga dapat digunakan untuk membungkus sosis dan bahan pangan lainnya. Disamping itu juga kemasan edible film ini merupakan kemasan yang ramah lingkungan karena dapat dimakan bersama produk yang dikemas.

D. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah terdapat interaksi antara carboxymethyl cellulose dan sorbitol terhadap kualitas edible film berbahan dasar whey terhadap kadar air, pH, ketebalan dan waktu kelarutan.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Whey Whey menurut Soeparno (1996) adalah produk yang tinggal setelah pemisahan sebagian besar kasein dan lemak dari susu. Whey adalah hasil ikutan dalam pembuatan keju dan kasein yang jarang dimanfaatkan. LP POM MUI (2009) whey adalah limbah dari pembuatan keju atau limbah dalam pembuatan mentega, whey dikatakan juga sebagai serum susu yang komponen utamanya terdiri dari laktosa 4-7 % dan protein 0.6-1.0 %. Menurut Adnan (1991) zat-zat yang dapat menyebabkan pemisahan whey dari kasein susu adalah basa, alkohol, radiasi dan garam. Ditambahkan oleh Sardjoko (1991) whey dapat juga dipisahkan dengan cara ultrafiltrasi sebelum fermentasi atau penggumpalan dengan asam dan panas. Kisaran kandungan kasein juga berperan pada pembentukan gel karena pada pengasaman golongan protein ini menggumpal pada titik isoelektriknya yaitu pada pH 4.6. Protein whey mengalami denaturasi dan menjadi tidak larut pada pemanasan sebelum pengolahan. Buckle, Edward, Fleet dan Wouton (1987) menyatakan bahwa protein whey dapat mengalami denaturasi oleh panas pada suhu 65 C. Kira-kira 0.5-0.7% dari bahan protein yang larut dalam whey terdiri dari laktalbumin dan laktoglobulin. Laktalbumin berjumlah 10% dari protein susu seluruhnya, di mana laktalbumin mudah dikoagulasikan oleh panas. Sardjoko (1991) whey biasanya digunakan dalam bentuk dikeringkan sebagai pakan ternak, tetapi gizinya kurang sesuai karena banyak mengandung mineral dan laktosa. Protein yang masih terdapat di dalam whey juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pengemasan primer makanan yang ramah lingkungan.

Krochta. dkk (1994) bahwa protein whey terdiri dari 5 tipe yaitu -Lactalbumin, -Lactoglobulin, Bovine Serum Albumin (BSA), Immunoglobulin (Ig), dan Pepton Protease. -Lactoglobulin adalah protein susu yang jumlahnya sedikit di dalam protein whey. Konsentrasi -Lactoglobulin dalam susu kira-kira 3.7 g/L, sedangkan konsentrasi -Lactalbumin kira-kira 25% dari protein whey yang merupakan protein globular dengan berat molekul 14 000. BSA merupakan protein globular dengan berat molekul yang paling berat yaitu 66 000 serta Immunoglobulin dan Pepton Protease adalah sisa dari protein whey. Protein whey dapat digunakan untuk pembuatan film yang transparan, elastis, tanpa rasa, sehingga dimanfaatkan untuk membuat kemasan yang dapat dimakan (edible film). Buckle dkk. (1987) menyebutkan perbandingan unsur susu dalam whey dan tahu susu adalah seperti yang tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Antara Unsur-Unsur Susu dalam Whey dan Tahu Susu UNSUR Air Lemak Proten yang larut (Laktalbumin dan Laktoglobulin) Laktosa Sumber : Buckle dkk. (1987) B. Pengemasan Buckle dkk. (1987) menyatakan bahwa pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi keliling yang tepat bagi bahan pangan. Secara nyata pengemasan berperan penting dalam mempertahankan bahan tersebut dalam keadaan bersih dan dalam keadaan yang higienis. Tidak perlu diragukan lagi bahwa tanpa pengemasan banyak bahan pangan yang akan terbuang atau berkurang gizinya dan kurang higienis DALAM WHEY (%) 94 6 96 94 DALAM TAHU SUSU (%) 6 94 4 6

selama distribusi. Menurut Julianti dan Nurminah (2006) pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengewetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas atau dibungkus. Syarief, Santausa dan Isyana (1989) menyatakan bahwa kemasan mempunyai enam fungsi utama yaitu: a. Menjaga produk bahan pangan agar tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain. b. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran cahaya. c. Mempunyai fungsi yang baik, efisien dan ekonomis khususnya selama proses penempatan makanan ke dalam wadah kemasan. d. Mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan, dan distribusi. e. Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar yang ada, mudah dibuang, dan mudah dibentuk atau dicetak. f. Menampakan identifikasi, informasi dan penampilan yang jelas agar dapat membantu promosi atau penjualan. Winarno (1993) menjelaskan dalam pengemasan ada dua macam wadah, yaitu wadah utama atau wadah yang lansung berhubungan dengan bahan pangan, dan wadah kedua atau wadah yang tidak lansung berhubungan dengan bahan pangan. Adapun

menurut Julianti dan Nurminah (2006) bahwa kemasan yang lansung mewadahi atau membungkus bahan pangan disebut dengan kemasan primer. C. Edible Film Menurut Krochta (1992) dalam Julianti dan Nurminah (2006) edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan untuk meningkatkan penanganan makanan. Ditambahkan oleh Heriadi (2007) edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakan diantara komponen makanan (film). Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfer internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas (Julianti dan Nurminah, 2006). Krochta dkk. (1994) menyatakan bahwa edible film selalu menjadi alternatif pada bahan kemasan komersial yang digunakan untuk membungkus produk makanan. Tujuan dari penggunaan edible film ini untuk mengurangi pencemaran akibat kemasan yang setelah digunakan selalu dibuang sehingga menimbulkan dampak buruk pada lingkungan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa komponen edible film dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan komposit. Hidrokoloid seperti protein, pektin dan pati, dapat digunakan dalam pengendalian migrasi penguapan air yang tidak objektif. Hidrokoloid yang digunakan untuk film berdasarkan komposisinya dapat

dibagi dua, yaitu karbohidrat (alginate, pektin dan strac) dan protein (kasein dan whey protein). Film dengan komposisi hidrokoloid kurang resisten terhadap penguapan air karena bersifat hidrophilik akan tetapi larut dalam air. Lipid digunakan sebagai barrier jika terjadi penguapan air. Lipid berupa lilin, gliserol, dan asam lemak, sedangkan pada komposit antara komponen hidrokoloid dengan komponen lipid. Film yang termasuk kategori komposit ini bilayer dimana satu layar hidrokoloid dan yang lainnya lipid, sedangkan film yang hidrokoloid dapat mengatur migrasi penguapan air dan merupakan barrier yang bagus terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid. Menurut Biquiet dan Labuza (1988) yang dikutip dari Melia (1997) bahwa hidrokoloid termasuk dalam protein dan polisakarida. Polisakarida dalam hal ini selulosa dan turunananya merupakan sumber daya organik, memiliki sifat mekanik yang baik dalam pembuatan film. Selulosa sebagai bahan yang untuk pembuatan film sangat efisien sebagai barrier terhadap uap air oksigen dan hidrokarbon dan sifatnya sebagai barrier terhadap uap air dapat dibuktikan dengan penambahan lipid. D. Proses Pembuatan Edible Film Proses pembuatan edible film menurut Syarief dkk. (2002) meliputi pembuatan suspensi komponen utama baik pati, protein, lipid atau campurannya. Pencampuran larutan pembentuk film yaitu suspensi pati, carboxymethyl cellulose, gliserol, pemanasan campuran pembentukan film, penghilangan gas terlarut, pencetakan, dan perataan film serta pengeringan edible film. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada masingmasing konsentrasi carboxymethyl cellulose dilarutkan dalam whey dan etanol dengan perbandingan 1:1 untuk menghindari atau mengurangi sifat rapuh film maka digunakan plasticizer yaitu gliserol. Larutan film dituang pada pelat kaca dan diratakan untuk menjaga agar ketebalan film tetap sama. Pelat kaca dikeringkan dalam oven pada suhu

50C selama 18-24 jam. Lapisan film yang telah kering dikelupaskan dari kaca dan dikemas dalam aluminium foil. E. Carboxymethyl Cellulose sebagai Stabilizer Winarno (1991) menyatakan bahwa emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Ditambahkan oleh Soeparno (1994) fungsi pengemulsi dalam pengolahan pangan adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi dan memperbaiki tekstur produk. Winarno (1991) menyatakan bahwa turunan selulosa yang dikenal sebagai carboxymethyl cellulose (CMC) sering digunakan dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik, misalnya pada pembuatan es krim. Pemakaian carboxymethyl celulose dalam bahan makanan dapat mencegah terjadinya retrogradasi. Carboxymethyl cellulose yang dipakai pada industri makanan adalah garam Na carboxymethyl cellulose yang disingkat CMC yang dalam bentuk murninya disebut gum selulosa. Pembuatan carboxymethyl cellulose ini adalah dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na kloroasetat. ROH + NaOH ClCH2COONa R-ONa + HOH + NaCl

R-ONa +

R-CH2COONa

Gambar 1. Rangkaian Reaksi Carboxymethyl Cellulose Karena carboxymethyl cellulose mempunyai gugus karboksil maka viskositas larutan carboxymethyl cellulose dipengaruhi oleh pH larutan, pH optimumnya adalah 5, dan bila pH terlalu rendah (pH<3), carboxymethyl cellulose akan mengendap. Menurut Krochta dkk. (1994) carboxymethyl cellulose merupakan hasil perlakuan antara cellulose bersifat alkali dengan monochloro acetic sodium. Carboxymethyl

cellulose dapat larut dalam air panas atau dalam air dingin tetapi tidak dapat pecah dalam larutan organik, dimana carboxymethyl cellulose stabil pada pH 7-9. Pada pH>10 kekentalan akan sedikit berkurang sedangkan pada pH<4 carboxymethyl cellulose kurang larut sehingga kekentalan meningkat. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut . Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas rasa, bau, dan cita rasa akan semakin berkurang. Penambahan zat-zat pengental atau stabilizer seperti carboxymethyl cellulose dapat mengurangi asam sitrat, rasa pahit kasein atau rasa manis sukrosa, sebaliknya akan meningkatkan rasa asin NaCl dan rasa manis sakarin (Winarno, 1991). Syarif dkk. (2002) menyatakan bahwa carboxymethyl cellulose yang biasa digunakan 1.0% dalam pembuatan edible film. F. Sorbitol sebagai Plasticizer Menurut Banker (1966) yang dikutip oleh Ananta (2002) bahwa pemberian plasticizer, secara teoritis dapat menurunkan kekuatan intermolekuler sepanjang rantai polimer, meningkatkan fleksibilitas film dan pada saat yang sama dapat menurunkan sifat barrier film. Plasticizer didefenisikan sebagai zat nonvolatile, bertitik didih tinggi, yang pada saat ditambahkan pada material lain mengubah sifat fisik dari material tersebut. Plasticizer merupakan bahan yang tidak mudah menguap , dapat merubah struktur dimensi objek, menurunkan ikatan rantai antar protein dan mengisi ruang-ruang yang kosong pada produk (Banker, 1966) yang dikutip oleh Yoshida dan Antunes (2003). Ditambahkan oleh Coupland dkk. (2000) yang dikutip oleh Yoshida dan Antunes (2003) bahwa edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida bersifat rapuh, sehingga membutuhkan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas film. Molekul

plasticizer mengurangi daya ikat rantai protein serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas bahan film. Plasticizer yang umum digunakan untuk hal ini adalah gliserol dan sorbitol. Sorbitol mempunyai rumus molekul C6H12O6, menurut fungsi umum dan pengelompokannya (gliserin, gum acacia, gula invert, propilen glikol, mannitol) sering digunakan sebagai agen pengontrol kelembaban sedangkan untuk fungsi spesifiknya sebagai plasticizer. Konsentrasi sorbitol yang dipakai dalam pembuatan edible film dari bungkil kacang tanah adalah 0.25% (Ananta, 2002). Darmawan (2005) mengungkapkan bahwa sorbitol merupakan suatu poliol (alkohol gula) bahan pemanis yang ditemukan dalam berbagai produk makanan, kemanisan sorbitol sekitar 60% dari kemanisan sukrosa (gula tebu) dengan ukuran kalori sekitar sepertiganya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sorbitol bersifat nonkarsinogenik (tidak menyebabkan kanker) dan dapat berguna bagi orang-orang penderita diabetes, secara kimiawi sorbitol sangat reaktif dan stabil. Sorbitol dapat berada pada suhu tinggi dan tidak mengalami reaksi Maillard (pencoklatan). CH2OH HCOH HOCH HCOH HCOH CH2OH Gambar 2. Rumus Bangun Sorbitol (Ananta, 2002)

G. Kadar Air Buckle dkk. (1987) kadar air erat kaitannya dengan sifat fisik dari bahan pangan. Meskipun sering diabaikan, air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan. Air sendiri bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan makanan lain, hanya saja air berperan dalam membentuk tekstur dari edible film. Kadar air berperan dalam menentukan tekstur suatu produk. Ditambahkan oleh Winarno (1991) air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Winarno (1991) mengungkapkan bahwa air dalam bahan makanan atau air terikat (bound water) dibagi menjadi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi merupakan air yang masuk ke dalam bahan pangan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air ini tidak merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Air kristal adalah air terikat dalam semua bahan, baik bahan pangan maupun nonpangan yang berbentuk kristal, seperti gula, garam, CuSO4 dan lain-lain. Menurut Sudarmadji, Haryono dan Suhardi (1997) air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalkan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. H. pH Krochta dkk. (1994) mengemukakan bahwa pH pada edible film erat kaitannya dengan carboxymethyl cellulose yang ditambahkan dalam larutan. Carboxymethyl

cellulose stabil pada pH 7-9, pada pH >10 kekentalan akan sedikit berkurang, sedangkan pada pH < 4 carboxymethyl cellulose kurang larut sehingga kekentalan meningkat. Ditambahkan oleh Winarno (1997) carboxymethyl cellulose mempunyai gugus karboksil, maka viskositas larutan carboxymethyl cellulose dipengaruhi oleh pH

larutan, pH optimumnya adalah 5, dan bila pH terlalu rendah (<3) carboxymethyl cellulose akan mengendap. I. Ketebalan Menurut Mawarwati, Widjanarko dan Susanto (2001) ketebalan edible film tergantung pada total padatan yang terkandung dalam larutan film dan jumlah larutan yang dituangkan pada plat kaca. Edible film yang dibuat dengan bahan dasar germ gandum membentuk suatu lapisan dengan ketebalan berkisar bahwa antara

0.384 mm sampai dengan 0.541 mm. Ananta (2002) menyatakan edible film berkisar

ketebalan

0.15 mm sampai dengan 0.17 mm pada edible film berbahan

dasar bungkil kacang tanah. J. Waktu Kelarutan Waktu kelarutan merupakan waktu yang dibutuhkan air untuk melarutkan lapisan edible film. Waktu kelarutan edible film tergantung pada pH-nya. Kelarutan ini dikarenakan pada pH titik isoelektrik komplek protein polisakarida lebih polar, sehingga mudah larut. Kepolaran ini disebabkan oleh adanya kombinasi antara ion positif dengan ion negatif polisakarida (Yoshida dan Antunes, 2004).

III. MATERI DAN METODA PENELITIAN A. Materi Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah whey sebanyak 1 620 ml yang berasal dari 3 240 ml air susu segar, yang didapat dari UPT Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang. Susu-susu ini berasal dari sapi jenis Fresian Holstein (FH). Bahan-bahan yang digunakan dan jumlah per perlakuan yang diperlukan adalah asam asetat 25% yang digunakan untuk memisahkan antara curd dan whey pada susu, etanol 96% sebanyak 1 620 ml, carboxymethyl cellulose sebanyak 32.4 gr, dan sorbitol sebanyak 4.86 gr. Peralatan yang digunakan adalah : (1) peralatan untuk memisahkan kasein dan whey seperti : panci, kompor, sendok masak, saringan, baskom (2) peralatan yang digunakan untuk pembuatan edible film, termasuk diantaranya gelas piala 1 L, gelas ukur, thermometer, pelat kaca berukuran 20 cm x 20 cm x 2 mm sebanyak 9 buah (3) peralatan untuk kadar air seperti : cawan porselen, oven, desikator, penjepit

cawan, dan neraca analitik (4) peralatan untuk mengukur pH seperti : pH meter, gelas piala, kapas, dan tisu (5) peralatan untuk mengukur daya larut seperti :

kompor, gelas piala, stopwatch (6) peralatan untuk mengukur ketebalan seperti : mikrometer sekrup dengan ketelitian 0.01 mm. B. Metoda Penelitian 1. Rancangan Penelitian Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan pola faktorial 3x3 dengan tiga kelompok sebagai ulangan, dengan perlakuan sebagai berikut :

Faktor A : A1 A2 A3 : Penambahan carboxymethyl cellulose dengan konsentrasi 0.75% : Penambahan carboxymethyl cellulose dengan konsentrasi 1.00% : Penambahan carboxymethyl cellulose dengan konsentrasi 1.25%

Faktor B : B1 B2 B3: : Penambahan sorbitol dengan konsentrasi 0.10% : Penambahan sorbitol dengan konsentrasi 0.15% : Penambahan sorbitol dengan konsentrasi 0.20%

Model matematika yang digunakan dalam rancangan ini menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut : Yij = + i +j +()ij + Kk + ijk Di mana : Yij =Nilai pengamatan pada satuan percobaan yang memperoleh perlakuan faktor A taraf ke-I faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k i j ij Kk ijk = Nilai tengah umum = Pengaruh faktor A taraf ke-i = Pengaruh faktor B taraf ke-j = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-I, faktor B taraf ke-j = Pengaruh kelompok ke-k = Pengaruh galat pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan A taraf ke I, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

Table 2. Bagan Pengamatan Untuk Setiap Perlakuan PERLAKUAN KELOMPOK Faktor A Faktor B 1 2 3 (CMC) (Sorbitol) 0.10% Y Y Y (A1B1)1 (A2B1)2 (A3B1)3 0.75% 0.15% Y Y Y (A1B2)1 (A2B2)2 (A3B2)3 0.20% Y Y Y (A1B3)1 (A2B3)2 (A3B3)3 Rata-rata Y AB Y AB Y AB Total Y A1B Y A1B Y A1B 0.10% Y Y Y (A2B1)1 (A2B1)2 (A2B1)3 1.00% 0.15% Y Y Y (A2B2)1 (A2B2)2 (A2B2)3 0.20% Y Y Y (A2B3)1 (A2B3)2 (A2B3)3 Rata-rata Y AB Y AB Y AB Total Y A2B Y A2B Y A2B 0.10% Y Y Y (A3B1)1 (A3B1)2 (A3B1)3 1.25% 0.15% Y Y Y (A3B2)1 (A3B2)2 (A3B2)3 0.20% Y Y Y (A3B3)1 (A3B3)2 (A3B3)3 Rata-rata Y AB Y AB Y AB Total Y A3B Y A3B Y A3B Rata-rata seluruhnya Y AB Y AB Y AB Total seluruhnya Y AB Y AB Y AB RATARATA Y AB Y AB Y AB TOTAL

Y A1B1 Y A1B2 Y A1B3

Y AB Y AB Y AB

Y A2B1 Y A2B2 Y A2B3

Y AB Y AB Y AB

Y A3B1 Y A3B2 Y A3B1

Table 3. Analisa Sidik Ragam SK DB JK JKK JKA JKB JKAB JKS JKT KT JKK/dbK JKA/dbA JKB/dbB JKAB/dbAB JKS/dbS F HITUNG KTK/KTS KTA/KTS KTB/KTS KTAB/KTS F TABEL 0.05 0.01

Kelompok (r 1) A (a 1) B (b 1) AB (ab 1) Sisa (r-1)(ab-1) Total (abr 1)

Jika perlakuan menunjukan hasil yang berbeda nyata (P < 0.05) maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut Duncans Multiple Range Test (DMRT) (Steel dan Torrie, 1989). 2. Prosedur Kerja a) Persiapan Whey Milk Pembuatan whey milk menurut Modifikasi Hadiwiyoto (1994) dengan langkah kerja sebagai berikut : 1. Untuk setiap kelompok pengerjaan dibutuhkan susu sebanyak 3 240 ml yang dipasteurisasi pada suhu 63C selama 30 menit. 2. Setelah 30 menit, asam asetat 25% dicampurkan ke dalam susu sebanyak 12 ml/l air susu. 3. Dibiarkan sampai kasein menggumpal dengan sempurna sehingga terpisah antara whey dan kasein. 4. Whey yang terbentuk sekitar 1 620 ml (50 60% dari total susu) disaring dan ditampung sebagai filtrat untuk setiap perlakuannya.
Susu segar Dipasteurisasi susu (63C) sambil diaduk-aduk 30 menit

Ditambahkan asam asetat 25% sebanyak 12 ml/l air susu

Terjadi pemisahan antara kasein dan whey


Penyaringan

Whey Gambar 3. Diagram Alir Pemisahan Antara Curd dan Whey pada Susu Sapi Segar (Modifikasi Hadiwiyoto, 1983)

b) Pembuatan Edibel Film Pembuatan edible film menurut Modifikasi Syarief dkk. (2002) dengan langkah kerja sebagai berikut : 1. Untuk setiap kelompok dibutuhkan sebanyak 540 ml whey milk ditambah dengan etanol 96 % (1:1) dan dipanaskan sampai suhu 60C. 2. Ditambah dengan carboxymethyl cellulose sesuai dengan perlakuan (0.75%, 1.00% dan 1.25%) dan diaduk cepat selama 10 menit. 3. Ditambah sorbitol sesuai dengan perlakuan (0.10%, 0.15% dan 0.20%) dan suhu dipertahankan sekitar 60C selama 30 menit sambil diaduk. 4. Larutan film dituang pada cetakan pelat kaca berukuran 20 cmx 20 cmx 2 mm. 5. Dikeringkan dengan oven pada suhu 50C selama 24 jam. 6. Prosedur diatas diulang sebanyak 3 kali. Whey + Etanol
Dipanaskan pada suhu 60C

Ditambah carboxymethyl cellulose sesuai dengan perlakuan ( 0.75%, 1.00% dan 1.25%)
Pengadukan cepat

Ditambahkan sorbitol sesuai dengan perlakuan (0.10%, 0.15% dan 0.20%)


Pemanasan 60C, 30 menit

Dituang pada pelat kaca

Pengeringan di oven ( 50C, 18-24 jam)

Edibel Film Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Edible Film Whey Milk (Modifikasi Syarif dkk., 2002)

3. Variabel yang Diukur a) Kadar Air Kadar air ditentukan berdasarkan pedoman Apriyantono, Fardiaz, Puspitasari, Sedarnawati dan Budiyantono (1989) dengan metode oven. Prosedur kerja sebagai berikut : 1. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (untuk cawan aluminium didinginkan selama 10 menit dan cawan porselen didinginkan selama 20 menit). 2. Kemudian 5 gr sampel yang sudah dihomogenkan di timbang dengan cepat. 3. Tutup cawan diangkat lalu cawan beserta isi dan tutupnya diletakan dalam oven selama 6 jam. Untuk produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). 4. Selanjutnya cawan dipindahkan kedalam desikator, ditutup dengan penutup cawan, lalu dinginkan, setelah dingin cawan ditimbang kembali. 5. Kemudian cawan tadi dikeringkan lagi sampai mendapat berat yang tetap. Perhitungan : Persen kadar air (dry basis) = W3 x W2 Persen kadar air (wet basis) = W3 x W1 Keterangan: W1 = Berat sample (gr) W2 = Berat sampel setelah dikeringkan (gr) W3 = Kehilangan berat (gr) 100% 100%

b) pH Penetapan pH berdasarkan Apriyantono, Fardiaz, Puspitasari, Sedarnawati dan Budiyanto (1989) adalah sebagi berikut: 1. Suhu sampel diukur, kemudian pengatur suhu pH meter diset pada suhu terukur. 2. pH meter dinyalakan, biarkan sampai stabil (15-30 menit). 3. Setelah itu, elektroda dibilas dengan aquades, kemudian dikeringkan dengan kertas tisu. 4. Elektroda dicelupkan dalam larutan sampel, pengukuran pH diset. 5. Selanjutnya elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan stabil, kemudian dicatat pH sampel. c) Ketebalan Pengukuran ketebalan dilakukan dengan jangka sorong dengan ketelitian

0.01 mm, nilai ketebalan yang didapat merupakan rataan dari pengukuran pada lima tempat yang berbeda yaitu pada masing-masing ujung segi empat dan pada bagian tengahnya (Yoshida and Antunes, 2004). d) Waktu kelarutan Pengukuran waktu kelarutan dengan menggunakan metode Galieta, Gioia, Guilbert, dan Cuq (1998) yang dilakukan dengan cara memasukan sampel kedalam air yang bersuhu 100C. Setelah itu dicatat waktu pada saat sampel dimasukan sampai sampel larut dan tidak bersisa lagi didalam air tersebut.

4. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas, mulai dari ..sampai dengan..

DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset, Yogyakarta. Ananta, R. 2002. Karakteristik Edible Film dari Bungkil Kacang Tanah dengan Plasticizer Gliserol dan Sorbitol. Tesis Teknologi Industri Pertanian. Universitas Andalas, Padang. Apryantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Darmawan, A. 2005. Sorbitol, Pemanis untuk Penderita Diabetes. Artikel. Tersedia:http://www.suaramerdeka.com/ harian/0502/28/ragam4.htm. Diakses 7 Januari 2009, 19:13 WIB. Galieta, G., L. Di Gioia, S. Guilbert, and B. Cuq. 1998. Mechanical and Thermomechanical Properties of Film Based on Whey Protein as Affected by Plasticizer and Crosslinking Agent. Fakultad de Agronomia, Universidad de Ia Republikca, Montevideo, Uruguway. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Edisi II. Liberty, Yogyakarta. ____________. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty, Yogyakarta. Heriadi, A. T. J. 2007. Biodegradabel Plastik yang Dapat Dimakan. Artikel. Tersedia:http://newspaper.pikiranrakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=2 4357. Diakses Jumat, 9 Januari 2009, 19:52 WIB. Julianti, E., dan M. Nurminah. 2006. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Krochta, J. M., E. A. Baldwin, and M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Film Food Quality. Technomic Public. Co. Inc., Lancaster, Pennsylvania. LP POM MUI. 2009. Apa Itu Whey. Tersedia : http://www.halalguide.info/2009/03/04/apa-itu-whey/. Diakses Senin, 2 Maret 2009, 20:10 WIB.

Mawarwati, S., S. B. Widjanarko, dan T. Susanto. 2001. Mempelajari Karakteristik Edible Film Berantioksidan dari Germ Gandum (Tetricum aestivum L.) dan Pengaruhnya dalam Pengendalian Pencoklatan pada Irisan Apel. J. Biosain, Vol 1 No. 1.

Melia, S. 1997. Pengaruh Penambahan Beeswax dan Methyl cellulose dengan Plasticizer Gliserol terhadap Karakteristik Edible Film Bungkil Kacang Kedelai. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Sardjoko. 1991. Bioteknologi : Latar Belakang dan Beberapa Penerapannya. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soeparno. 1996. Pengolahan Hasil Ternak. Universitas Terbuka, Jakarta. Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan Bambang Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono., dan Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta Bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Syarief, R., S. Koswara, Y. Haryadi, C. C. N Andajaya, M. Arpah. 2002. Penuntun Praktikum Pengemasan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Syarief, R., S. Santausa, dan St. Isyana. B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Buku dan Monograf. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yoshida, C. M. P., dan A. J. Antunes. 2004. Charakterization of Whey Protein Emulsion Film. Brazilian Journal of Chemical Engineering. Vol 21, No.2.

Anda mungkin juga menyukai