Anda di halaman 1dari 9

1.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jali merupakan jenis tanaman serealia yang memiliki potensi serta prospek yang baik.
Meskipun demikian, tanaman ini masih kurang dimanfaatkan sebagai bahan utama
ataupun substitusi dalam proses pengolahan makanan. Di Indonesia, jali sendiri banyak
diolah menjadi bubur jali/hanjeli, tanaman pagar, dan sebagian besar masih
dimanfaatkan dalam produksi kerajinan tangan. Jali memiliki kandungan gizi yang baik
seperti tinggi akan protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin (Zhu, 2017). Selain dapat
diolah menjadi bubur, jali juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kue-kue
maupun roti dengan mengggunakannya sebagai bahan campuran di dalam tepung terigu
(Kutschera dan Krasaekoopt, 2012). Pemanfaatan jali sebagai bahan substitusi ini dapat
menjadi salah satu upaya penganekaragaman pangan lokal dan membantu masyarakat
dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Ketika akan diaplikasikan menjadi suatu produk, kandungan yang terdapat di dalam
suatu bahan dapat mempengaruhi kemampuan bahan tersebut dalam membentuk
karakteristik produk akhir. Perbedaan kadar pati dan molekul-molekul penyusunnya,
dapat menghasilkan beberapa perbedaan seperti kemampuan bahan tersebut dalam
membentuk gel setelah proses pemasakan dan pendinginan, maupun suhu dan waktu
yang diperlukan untuk mencapai viskositas tertentu selama pengolahan (Liu et al.,
2017). Biji jali sebagai salah satu bahan pangan yang memiliki kadar karbohidrat
kompleks yang tinggi memiliki peran yang cukup tinggi dalam mempengaruhi
karakteristik produk akhir. Dari tabel kandungan gizi yang ada, dapat diketahui bahwa
biji jali memiliki kandungan karbohidrat, protein, dan lemak sebesar 76,40%, 14,10%,
dan 7,90%. Beberapa komponen gizi biji jali tersebut memiliki kecenderungan untuk
mempengaruhi kemampuan tepung yang dihasilkan dalam membentuk karakteristik
produk akhir. Seperti pada penelitian Syahputri dan Wardani (2015), diketahui bahwa
cookies dan roti tawar dengan formulasi tepung jali memiliki karakteristik fisik yang
kurang baik seperti keras, berpasir, dan bantat. Substitusi tepung jali pada pembuatan
sponge cake juga kurang aplikatif karena kandungan proteinnya yang tinggi dapat
membentuk ikatan molekul protein-protein atau protein-pati sehingga penetrasi air dapat
terhalangi sehingga menghasilkan sponge cake dengan karakteristik yang keras dan

1
2

kering (Kutschera dan Krasaekoopt, 2012). Oleh karena itu diperlukan suatu perlakuan
yang dapat memperbaiki karakteristik tepung jali sebelum diolah menjadi produk
lainnya. Fermentasi menjadi alternatif perlakuan yang yang dapat dilakukan.

Fermentasi mudah dilakukan dan dapat mendegradasi senyawa-senyawa kompleks pada


substrat menjadi lebih sederhana dan meningkatkan nilai nutrisi pada produk (Abdillah
et al., 2014). Fermentasi pada pati singkong dan tumbuhan taka mengubah karakter
tepung keduanya melalui proses degradasi pada beberapa komponen kimiawi tepung.
Pada pati singkong, terjadi kenaikan kadar amilopektin, total asam, total gula dan
menurunkan nilai pH dan amilosa, serta merubah bentuk granula pati, suhu gelatinisasi,
waktu puncak, viskositas breakdown, viskositas setback, viskositas puncak, dan
viskositas akhir (Kartikasari et al., 2016). Sedangkan pada tumbuhan taka, fermentasi
menurunkan pH dan kadar karbohidrat serta kenaikan kadar protein dan asam laktat.
Selain itu, sifat amilografi tepung taka juga diketahui mengalami perubahan karena
memiliki nilai viskositas setback yang lebih tinggi (Haryo et al., 2016). Hal inilah yang
diharapkan dapat terjadi pada biji jali sebagai substrat fermentasi, sehingga senyawa-
senyawa kompleks yang ada dapat terurai agar membawa perubahan pada karakteristik
produk ketika diaplikasikan. Penggunaan ragi tempe komersil dapat menjadi salah satu
pilihan starter inokulum proses fermentasi. Selain mudah didapatkan, proses fermentasi
tempe mudah untuk dilakukan. Tidak hanya terbatas pada biji kedelai, fermentasi tempe
dapat diaplikasikan pada jenis legume, cereal grain, dan jenis legume-cereal
(Hachmeister dan Fung 1993). Sebagai salah satu jenis serealia, biji jali juga dapat
menjadi substrat bagi ragi tempe untuk menghasilkan biji jali dengan kandungan yang
lebih sederhana dan tekstur yang lebih aplikatif.

Perubahan sifat fisik dari tepung jali yang difermentasi, dapat dianalisa menggunakan
bantuan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). Melalui data yang diperoleh, RVA dapat
digunakan untuk mengetahui profil gelatinisasi produk selama proses pemanasan dan
pendinginan. Hasil uji menggunakan metode RVA dapat diaplikasikan untuk
menentukan kualitas dari proses pengolahan pati dan mengetahui temperatur serta
waktu gelatinisasi yang sesuai agar tidak terjadi pemecahan granula pati yang tidak
diinginkan serta aplikasi tepung hasil fermentasi (Kesarwani et al., 2016).
3

1.2. Tinjauan Pustaka


1.2.1. Jali
Jali (Coix lachryma-jobi L.) merupakan serealia yang berasal dari wilayah Asia.
Berdasarkan varietasnya, jali dikelompokkan menjadi 4 jenis yaitu, C. lacryma-jobi var.
ma-yuen (Rom. Caill.) Stapf., C. lacryma-jobi var. lacryma-jobi, C. lacryma-jobi var.
Puellarum (Balansa) A. Camus, and C. lacryma-jobi var. stenocarpa Oliv. Tanaman ini
termasuk dalam famili rumput-rumputan poaceae. Sebelum adanya tren konsumsi
jagung, jali merupakan salah satu sumber makanan utama di beberapa Negara Asia. Biji
jali sering digunakan pada sup, bubur, minuman, dan dapat diseduh serta difermentasi
untuk berbagai minuman beralkohol maupun teh. Biji jali memiliki kandungan pati dan
protein yang tinggi sehingga dapat diolah menjadi tepung dan dimanfaatkan dalam
pembuatan berbagai produk makanan. Tepung yang dihasilkan dari biji jali bebas dari
gluten sehingga produk yang dihasilkan aman bagi orang-orang yang memiliki alergi
gluten (Zhu, 2017). Selain tinggi akan pati dan protein, biji jali juga mengandung
lemak, serat, mineral kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, dan niacin. Secara lebih jelas,
kandungan gizi yang terdapat pada biji jali dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi pada Biji Jali


Kandungan Gizi Jali
Energi (kkal) 1506,00
Karbohidrat (%) 76,40
Protein (%) 14,10
Lemak (%) 7,90
Serat (%) 0,90
Abu (%) 1,60
Ca (%) 54,00
Fe (%) 0,80
Vitamin B1 (mg) 0,48
Vitamin B2 (mg) 0,10
Niacin (mg) 2,70
Sumber: (Nurmala 2011).

Biji jali diketahui merupakan salah satu jenis serealia yang memiliki kandungan
karbohidrat yang cukup tinggi. Selain dikonsumsi dalam bentuk bubur, serealia ini juga
dapat diproses menjadi tepung dan dimanfaatkan sebagai bahan substitusi tepung terigu
4

maupun bahan baku utama untuk diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk makanan.
Berdasarkan penelitian Syahputri dan Wardani (2015), diketahui bahwa roti yang
dihasilkan dari tepung jali ini memiliki karakteristik yang kurang disukai. Ketika
diaplikasikan pada pembuatan roti tawar, produk akhir roti cenderung tidak mengalami
pengembangan/ bantat.

1.2.2. Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu proses reaksi oksidasi reduksi yang dapat menghasilkan
energi di dalam sistem biologi. Pada umumnya, proses fermentasi bertujuan untuk
meningkatkan umur simpan, tekstur, dan aroma dari produk akhir. Salah satu bentuk
proses fermentasi dapat dilakukan dengan menggunakan inokulum ragi.
Mikroorganisme yang dibutuhkan dalam proses ini umumnya terdapat pada ragi,
sedangkan efektifitasnya ditentukan oleh takaran ragi dengan bahan pangan yang akan
difermentasi (Abdillah et al., 2014).

Di dalam proses fermentasi, mikroba bekerja dengan mengeluarkan enzim untuk


menghidrolisis pati. Hal ini menyebabkan terjadinya pembentukan gula-gula sederhana
seiring dengan berjalannya proses fermentasi (Susanto et al., 2017). Gula reduksi
diartikan sebagai karbohidrat yang mampu mereduksi semua senyawa penerima
elektron karena memiliki gugus hemiasetal dalam strukturnya. Gula reduksi
mengandung komponen monosakarida dan disakarida, kecuali sukrosa. Gula reduksi
dalam bentuk glukosa diperoleh dari hasil hidrolisis pati oleh enzim amilase yang
terdapat pada kapang Rhizopus (Septiani et al., 2004).

Pada fermentasi lebih dari 24 jam, terjadi proses metabolisme yang ditandai dengan
terbentuknya senyawa-senyawa sederhana akibat aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroba. Hasil lain dari proses metabolisme ini adalah H2O, energi dalam bentuk panas
dan bahan lainnya. Panas yang terbentuk selama selama fermentasi menyebabkan suhu
pada substrat meningkat dan air yang dihasilkan akan menguap. Pada fermentasi
aerobik, bentuk penguapan ini dapat terlihat dari adanya titik-titik air pada langit-langit
wadah maupun permukaan miselium yang cenderung lembab (Susanto et al., 2017).
5

1.2.3. Ragi Tempe


Tempe merupakan contoh hasil fermentasi sederhana yang menggunakan ragi sebagai
inokulum dalam menyederhanakan komponen di dalam bahan pangan (Abdillah et al.,
2014). Tempe merupakan salah satu makanan yang cukup popular di kalangan
masyarakat Indonesia. Selain murah dan mudah di dapatkan, tempe memiliki
kandungan gizi yang tinggi serta mudah dicerna di dalam tubuh. Tempe dibuat dari
bahan dasar kacang kedelai yang melalui proses fermentasi menggunakan kapang jenis
Rhizopus sp (Harmoko et al., 2016).

Starter yang digunakan dalam proses fermentasi setiap produsen tempe berbeda-beda.
Salah satu starter yang mudah dijumpai di pasaran adalah ragi tempe merk “Raprima”.
Beberapa tipe kapang yang terdapat di dalam starter tradisional antara lain Rhizopus
oligosporus, Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, Rhizomucor pusillus dan Mucor rouxii
(Nurdini et al., 2015). Aktivitas kapang selama proses fermentasi dapat terlihat dari
terbentuknya miselia seperti kapas pada permukaan biji kedelai. Pertumbuhan optimal
dari kapang Rhizopus sp. terjadi pada 48 jam proses fermentasi dimana miselia mulai
menutupi permukaan biji kedelai dengan tekstur yang kompak. Untuk menjaga
pertumbuhan kapang tetap aktif, suhu fermentasi biji kedelai dijaga antara 30-42oC
(Harmoko et al., 2016). Selama proses fermentasi berlangsung, terjadi penguraian
protein, lemak, karbohidrat, dan senyawa-senyawa lain dari bentuk kompleks menjadi
sederhana. Kapang Rhizopus sp. menghasilkan beberapa enzim seperti enzim amilolitik
dan proteolitik yang dapat menghidrolisis pati menjadi gula-gula sederhana dan protein
menjadi asam amino yang mudah dicerna tubuh (Syahputri dan Wardani 2015).

1.2.4. Profil Gelatinisasi Pati


Pati adalah bentuk cadangan karbohidrat pada tanaman yang berbentuk granula-granula
tak larut yang tersusun atas amilosa dan amilopektin, umumnya pati banyak ditemukan
pada umbi-umbian dan biji. Jumlah pati umumnya mendominasi produk tepung dan
dapat mempengaruhi karakteristik produk akhir. Perbedaan karakteristik kimia seperti
kadar air, rasio amilosa dan amilopektin dapat menyebabkan perbedaan sifat reologi
produk dan perlakuan dalam pengolahan (Kartikasari et al., 2016). Pati dengan derajat
kristalinitas yang tinggi dapat mempertahankan stabilitas struktur, sehingga granula pati
6

lebih resisten mengalami gelatinisasi. Semakin panjang rantai cabang penyusun pati
dapat meningkatkan derajat kristalinitas sehingga membuat suhu gelatinisasi meningkat
(Chaisiricharoenkul et al., 2011).

Amilosa memiliki rantai lurus dan berat molekul yang rendah sehingga lebih mudah
mengalami hidrolisis oleh aktivitas enzim selama proses fermentasi berlangsung
(Kartikasari et al., 2016). Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks
amilosa-lipid yang dapat mempengaruhi kekuatan dari ikatan di dalam granula-granula
pati. Kompleks ikatan keduanya dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume
pengembangan (swelling power) akibat kemampuan lemak dalam menghalangi
penetrasi air ke dalam granula pati. Amilosa memiliki kemampuan dalam menjaga
integritas granula pati menjadi tahan terhadap pemanasan dan pengadukan. Amilosa
juga memiliki molekul linier dan asosiasi yang kuat antar liniernya sehingga mampu
membuat pati menjadi lebih stabil (Liu et al., 2017).

Ketika berada dalam bentuk cair, termasuk makanan, pentosa, heksosa, dan
monosakarida memiliki wujud yang ekuilibrium dinamik dalam bentuk yang terbuka
maupun siklikal. Saat monosakarida terlarut di dalam air, interkonversi (perubahan
gugus fungsi) diantara bentuk tersebut secara instan akan muncul. Perbedaan gugus
fungsi yang terbentuk dapat memberikan efek pada tingkat kemanisan, kemampuan
kristalisasi, dan laju reaksi tertentu yang melibatkan gula sebagai substrat utamanya.
Apabila gugus monosakarida terbuka, gugus karbonil (seperti grup aldehid pada aldosa,
ataupun grup keto pada ketosa) menjadi tersedia secara bebas untuk bereaksi. Gula yang
memiliki gugus karbonil terbuka ini disebut sebagai gula reduksi (glukosa, fruktosa,
galaktosa, laktosa, maltosa). Meskipun begitu terdapat pula gugus karbonil yang tidak
terbuka seperti sukrosa, yang biasa disebut sebagai gula non-reduksi (Clemens et al.,
2016).

Dua sifat utama gula yang dimanfaatkan dalam pembentukan tekstur produk makanan
yaitu: (1) Kemampuannya berbentuk amorf dan kristal (2) Kemampuan untuk
berinteraksi dengan air. Ketika berada dalam bentuk cair dan pada jumlah yang tepat,
gula dapat mengikat molekul air, dan mampu meningkatkan viskositas , menciptakan
7

mouthfeel atau thickness, menaikkan temperatur pemanasan, menurunkan temperatur


pembekuan, menurunkan aktivitas air, dan lainnya. Karbohidrat yang memiliki gugus
hidroksil (-OH) akan secara cepat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Ikatan antar
kedua molekul ini akan meningkatkan temperatur pemanasan karena dibutuhkan lebih
banyak energi untuk memecah ikatan hidrogen antara gula dan air (Clemens et al.,
2016).

Tepung memiliki beberapa profil yang dapat diukur untuk mengetahui karakteristiknya,
seperti suhu pengentalan, waktu puncak, viskositas panas, viskositas puncak, viskositas
breakdown, viskositas, setback, dan viskositas akhir. Suhu pengentalan diartikan
sebagai suhu dimana mulai terdeteksi terjadinya peningkatan viskositas akibat adanya
pembengkakan granula pati (Kartikasari et al., 2016). Sedangkan waktu puncak,
merupakan waktu yang diperlukan pati dalam mencapai viskositas puncak (Rahman et
al., 2017). Kedua profil tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengetahui suhu dan lama
waktu pemasakan yang dibutuhkan untuk mencapai puncak viskositas pati.

Viskositas breakdown adalah nilai viskositas yang diperoleh dari selisih antara
viskositas puncak dan viskositas panas. Viskositas puncak merupakan parameter yang
menunjukkan kondisi disaat granula pati mulai mencapai pengembangan maksimum
hingga selanjutya pecah, sedangkan viskositas panas merupakan viskositas minimum
yang tercatat ketika adonan dipanaskan pada suhu tinggi yang konstan, yaitu 95oC.
Viskositas breakdown dapat dijadikan parameter stabilitas pati selama proses
pemasakan. Semakin tinggi nilai viskositas breakdown, maka semakin rendah stabilitas
pati terhadap pemanasan (Liu et al., 2017) serta menghasilkan sifat kohesif/ gaya tolak-
menolak antar molekul pada pati (Rahman et al., 2017).

Viskositas setback merupakan selisih antara viskositas akhir dan viskositas panas.
Viskositas akhir diartikan sebagai parameter yang mengukur kemampuan pati dalam
membentuk gel setelah melalui proses pemanasan dan pendinginan, serta ketahanan gel
terhadap gaya geser selama proses pengadukan. Viskositas setback dapat digunakan
untuk melihat kecenderungan pati dalam mengalami sineresis dan retrogradasi.
Terjadinya sineresis dan retrogradasi pada pati tidak diharapkan, karena dapat
8

meningkatkan kekerasan gel yang tidak diiginkan, karena itu parameter ini penting
diketahui untuk melihat kecenderungan pati untuk mengeras selama masa penyimpanan
(Lin et al., 2011).

Viskositas puncak Viskositas akhir

Suhu awal gelatinisasi

Viskositas breakdown Viskositas setback

Viskositas panas

Waktu puncak

Gambar 1. Grafik Hasil Uji RVA

Berdasarkan profil gelatinisasinya, pati digolongkan menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe
C, dan tipe D. Pati tipe A adalah tipe pasta pati yang mengalami pembengkakan tinggi
dengan viskositas puncak yang tinggi lalu mengalami pengenceran yang cepat saat
proses pemanasan. Pati tipe B adalah pati yang memiliki karakter pembengkakan
sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan lebih tidak
encer. Pati tipe C adalah pati yang mempunyai pembengkakan terbatas, tidak
memperlihatkan viskositas puncak, namun selama pemanasan cenderung
mempertahankan viskositasnya yang tinggi atau meningkat. Sedangkan pati tipe D
adalah pati yang sulit membengkak dan sulit mengental pada konsentrasi normal
(Collado et al., 2001).
9

1.2.5. Rapid Visco Analyzer


Rapid Visco Analyzer (RVA) merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur
viskositas suatu material. Alat ini membantu mempelajari kemampuan pembentukan
pasta pati (Kesarwani et al., 2016). Prinsip kerja dari alat ini adalah pengukuran
viskositas sampel secara kontinyu menggunakan rotational viscometer pada temperatur
dan shear rate tertentu. Berbagai data yang dapat diperoleh dari RVA antara lain suhu
awal gelatinisasi/ pasting temperature, viskositas puncak/ peak viscosity, viskositas
breakdown, viskositas setback, dan viskositas akhir (Kesarwani et al., 2016).

RVA banyak digunakan sebagai salah satu metode standar dalam pengujian berbagai
jenis serealia, seperti beras dan oat untuk mengetahui pasting properties dari pasta yang
dibentuk selama proses pemanasan berlangsung (Gamel et al., 2012). Hasil uji
menggunakan metode RVA dapat diaplikasikan untuk menentukan kualitas dari proses
pengolahan pati dan mengetahui temperatur serta waktu gelatinisasi yang sesuai agar
tidak terjadi pemecahan granula pati yang tidak diinginkan (Kesarwani et al., 2016).

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ragi tempe selama fermentasi
terhadap sifat reologi tepung jali.

Anda mungkin juga menyukai