Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Pancasila diyakini sebagai produk kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem nilai selama berabad-abad lamanya. Pancasila bukanlah sublimasi atau penarikan ke atas (hogere optreking) dari declaration of independence (Amerika Serikat), manifesto komunis atau paham lain yang ada di dunia. Pancasila tidak bersumber dari berbagai paham tersebut, meskipun diakui, bahwa terbentuknya dasar negara Pancasila memang menghadapi pengaruh bermacam-macam ideologi pada saat itu. Pancasila merupakan istilah untuk menamai kumpulan nilai/norma yang didalamnya meliputi sila-sila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila-sila tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dikarenakan antar sila tersebut telah saling menjiwai. Inilah kemudian yang menjadi ciri khas dari semua kegiatan atau aktivitas desah nafas dan jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ironisnya bahwa ternyata sekarang banyak warga Negara Indonesia sendiri lupa dan sudah asing dengan Pancasila itu sendiri. Ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi kita sebagai anak bangsa, mengapa kita belum bisa mengoptimalkan tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut sementara kita lahir, dibesarkan dan telah mengalami pasang surut permasalahan di negeri ini. Terlebih lagi saat ini kita telah memasuki jaman yang disepakati dengan nama Era Reformasi yang terlahir dengan semangat untuk mengembalikan tata negara ini dari penyelewengan-penyelewengan yang telah terjadi. Arah dan tujuan reformasi yang utama sebenarnya adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan dengan cara mengurangi secara bertahap dan terus menerus krisis yang berkepanjangan di segenap bidang kehidupan serta menata kembali ke arah kondisi yang lebih baik atas sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah hancur menuju Indonesia baru. Namun pada masa sekarang, tujuan reformasi menjadi tidak jelas, walaupun secara birokratis, rezim orde baru telah tumbang. Hal ini dikarenakan pada era reformasi terkesan alergi terhadap kata Pancasila itu sendiri. Kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari pejabat negara tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata kata Pancasila. Namun, setelah disimak lebih lanjut, di era reformasi ini elemen masyarakat bangsa sebenarnya tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa, tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga berkeinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila ini dapat bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat, tetapi dapat pula pudar dan ditinggalkan oleh pendukungnya. Hal ini tergantung pada daya tahan ideologi tersebut. Oleh karena itu, pancasila sebagai ideologi memerlukan dimensibilitas agar substansi-substansi pokok yang dikandungnya dapat bertahan dalam perubahan masyarakat. Apalagi pada masa reformasi yang dimulai dari tahun 1998 hingga pada masa sekarang ini, masyarakat sudah mulai menanyakan relevansi dari Pancasila, apakah mampu bertahan dengan tantangan zaman di era globalisasi ini, ataukah justru pudar dan ditinggalkan oleh rakyat Indonesia?

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implementasi Pancasila di era reformasi?

2. 3. 4.

Apakah reformasi dapat dikatakan berhasil? Apa sajakah peranan Pancasila di era reformasi? Bagaimana cara membangkitkan Pancasila pada era reformasi?

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah: 1. Mendeskripsikan implementasi Pancasila pada masa reformasi. 2. Menjelaskan maksud dan tujuan reformasi serta menghubungkannya dengan keadaan masyarakat pada masa sekarang. 3. Menjelaskan berbagai peranan Pancasila pada masa reformasi. 4. Mengidentifikasi cara-cara membangkitkan kembali Pancasila pada era reformasi.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Implementasi Pancasila pada Era Reformasi Memahami implementasi Pancasila dalam kehidupan masyarakat sangat penting dilakukan agar setiap warga negara dalam berpikir dan bertindak berdasarkan etika yang bersumber dari Pancasila. Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan pandangan hidup dan dasar negara. Pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai arti setiap warga negara dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Pancasila sebagai petunjuk hidup dalam rangka mencapai daya saing bangsa, kesejahteraan dan keadilan, baik lahir maupun batin. Pemahaman implementasi Pancasila diharapkan akan adanya tata kehidupan yang serasi dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bagian selanjutnya menjelaskan beberapa pemahaman

implementasi Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara yang dapat dijadikan pedoman dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara. 1. Implementasi Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa Ketuhanan yang Maha esa: sila ini menghendaki setiap warga negara untuk menjunjung tinggi agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Setiap warga negara diharapkan mempunyai keyakinan akan Tuhan yang menciptakan manusia dan dunia serta isinya. Keyakinan akan Tuhan tersebut diwujudkan dengan memeluk agama serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam rangka menjalankan hal tersebut, terdapat beberapa pedoman yang dapat dilakukan oleh warga negara, yaitu: a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Setiap warga negara Indonesia harus percaya dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Pengertian percaya adalah setiap warga negara menerima sesuatu

yang berasal dari Tuhan sebagai kebenaran dan menganutnya. Sedangkan pengertian takwa adalah adanya kepatuhan setiap pemeluk agama dengan adanya kesadaran dan iman untuk melaksanakan segala perintah Tuhan dan menjauhkan semua larangan-Nya. Pemahaman percaya dan bertakwa ini berimplikasi bahwa setiap pemeluk agama dan kepercayaan harus memahami ajaran agama dan melaksanakan dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman agama dapat dilaksanakan dengan memberikan

pendidikan dan kemauan belajar tentang agama, tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang dilarang oleh Tuhan. Oleh sebab itu, segala macam bentuk amal perbuatan atas dasar keyakinan agama, harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan proses pembelajaran. Bentuk-bentuk amalan dan perbuatan dengan dasar keyakinan agama tanpa didasari ilmu dan proses belajar dari setiap individu akan menyebabkan kekurangyakinan akan ketuhanan dan bisa terjadi kesalahan dalam menjalankan perintah Tuhan. b. Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. Pancasila sesuai dengan butir ke-2, sila pertama menghendaki adanya kerjasama antar pemeluk agama dan kepercayaan untuk mencapai kerukunan hidup umat beragama. Bekerja sama diartikan bahwa setiap pemeluk agama melakukan pekerjaan secara bersamasama menurut kesepakatan sehingga terjadi persatuan dalam suatu wilayah. Seperti diketahui, agama dan kepercayaan setiap warga negara adalah berbeda, namun demikian setiap warga negara diharapkan dapat bekerja sama untuk urusan sosial dan

kemasyarakatan sehingga tercipta kerukunan umat beragama. c. Saling menghormati dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Setiap pemeluk agama dan kepercayaan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya dengan perasaan bebas, aman dan nyaman. Setiap warga negara harus bekerja sama, tidak boleh menghalangi, mengganggu, bahkan menghancurkan peribadatan agama lain. Oleh sebab itu, setiap warga negara dapat bermusyawarah dan bekerja sama untuk menentukan tempat-tempat ibadah yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya, tidak berlebihan dan tidak memaksakan antar satu agama dengan agama lain. Seyogyanya ibadah agama dilaksanakan di tempat peribadahan yang sudah ditentukan dan layak dengan prinsip tidak mengganggu ketentraman masyarakat. d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Ketakwaan mengharuskan penerimaan kebenaran Tuhan kepada umat manusia sesuai agama dan kepercayaannya. Dalam masyarakat dengan jumlah agama dan kepercayaan lebih dari satu, tidak boleh ada pemaksaan agama dari satu agama ke agama lain dengan cara apapun. Kegiatan dakwah dan penyebaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang yang sudah beragama dan percaya kepada Tuhan. Oleh sebab itu, toleransi beragama harus dikembangkan sejak dini. 2. Implementasi Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila kedua Pancasila ini mengandung makna warga negara Indonesia mengakui adanya manusia yang bematabat (bermartabat adalah manusia memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi serta harus dipertahankan dengan kehidupan yang layak), memperlakukan sesama manusia secara adil (adil dalam pengertian tidak berat sebelah, jujur, tidak berpihak dan memperlakukan orang secara sama) dan beradab (beradab dalam arti mengetahui tata krama, sopan santun dalam kehidupan dan pergaulan) di mana manusia memiliki daya cipta, rasa, niat dan keinginan sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan. Jadi sila kedua ini menghendaki warga negara untuk menghormati kedudukan setiap manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, setiap manusia berhak mempunyai kehidupan yang layak dan bertindak jujur

serta menggunakan norma sopan santun dalam pergaulan sesama manusia. Butir-butir implementasi sila kedua adalah sebagai berikut: a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia. Butir ini menghendaki bahwa setiap manusia mempunyai martabat, sehingga tidak boleh melecehkan manusia yang lain atau menghalangi manusia lain untuk hidup secara layak, serta menghormati kepunyaan atau milik (harta, sifat, karakter) orang lain serta menjalankan kewajiban atau sesuatu yang harus dilakukan sesama manusia yaitu menghormati hak manusia lain seperti hak hidup, rasa aman dan hidup layak. b. Saling mencintai sesama manusia. Kata cinta menghendaki adanya suatu keinginan yang sangat besar untuk memperoleh sesuatu dan rasa untuk memiliki dan kalau perlu berkorban untuk mempertahankannya. Oleh sebab itu, terhadap sesama manusia yang berbeda, baik agama, suku, pendidikan, ekonomi, politik, sebaran geografi seperti kota dan desa, dan lain-lain harus tetap memiliki keinginan untuk mencintai sesama manusia (yaitu rasa memiliki dan kemauan berkorban untuk sesama manusia) sehingga tercipta hidup rukun damai dan sejahtera. c. Mengembangkan sikap tenggang rasa. Tenggang rasa menghendaki adanya usaha dan kemauan dari setiap manusia Indonesia untuk menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Oleh sebab itu, butir ini menghendaki setiap manusia Indonesia untuk saling menghormati perasaan satu sama lain dengan menjaga keseimbangan hak dan kewajiban. Sebagai contoh selalu memberikan kritik yang membangun dengan cara yang santun dan berfokus pada

permasalahan alih-alih kepada individu. d. Tidak semena-mena terhadap orang lain. Semena-mena berarti sewenang-wenang, berat sebelah dan tidak berimbang. Oleh sebab itu, butir ini menghendaki, perilaku setiap manusia terhadap orang lain tidak boleh sewenang-wenang, harus menjunjung hak dan kewajiban. Manusia karena kemampuan dan usahanya sehingga mempunyai

kelebihan dibandingkan yang lain baik dalam hal kekuasaan, ekonomi atau kekayaan dan status sosial tidak boleh semena-mena, bertindak sesukanya, karena setiap manusia pada dasarnya mempunyai martabat dan berhak hidup yang layak dan terhormat. e. Menjunjung tinggi nilai kemanusian. Setiap warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi dan melaksanakan nilia-nilai kemanusiaan dengan baik seperti: (1) mengakui adanya masyarakan yang bersifat majemuk 9berbeda suka, agama, keyakinan, dan laon-lain) dan saling menghargai adanya perbedaan tersebut, (2) melakukan musyawarah dengan dasar kesadaran dan kedewasan untuk menerima kompromi, (3) melakukansesuatu degan pertimbangan miral dan ketentuan agama, (4) melakukan perbuatan dengan jujur dan kompetisi yang sehat. (5) memerhatiakan kehidupan yagn layakantar sesama dan, (6) melakukan kerjasama dengan itikad baik dan tidak curang. f. Gemar melakukan kegiatan kemanusian diartikan suka sekali melakukan kegiatan kemanusian sehingga setiap manusia dapat hidup layak, bebas dan aman. Kegaitan kemanusian yang dapat dilakukan seperti donor darah, memberikan santunan anak yatim, dan orang tidak mampu, memberikan bantuan untuk bencana alam, atau

memberikan bantuan hukum bagi yang membutuhkan. g. Berani membela keamanan dan keadilan. Butir ini menghendaki setiap manusia Indonesia untuk mempunyai hati yang mantap (tidak ragu-ragu) dan percaya diri dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Kebenaran adalah sesuatu yang bersumber dari ketantuan hukum yang berlaku dan keadilan merujuka pada perlakuan yang sama terhadap warga negara. Oleh sebab itu, sesuatu yang melawan hukum dan tidakan yang diskriminatif harus ditentang oleh stiap warga negara. Contoh perbuatan melawan hukum adalah korupsi, nepotisme, mencuri, menggunakan narkoba dan seterusnya. Contoh tindakan disriminatif adalah mengutamakan suku dan agama tertentu,

emnghambat pelayanan adminstrasi misalnya pengurudan KTP untuk warga tertentu dan lain-lain. h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap saling menghormati. Sika psaling menghormati ni dapat dilakukan dengan menghormati kedaulan suatu bangsa, dan menjalin kerjasama yang saling mengutungkan. 3. Implementasi sila ketiga: Persatuan Indonesia Sila Persatuan Indonesia merujuk pada persatua yang utuh dan tidak terpecah belah atau bersatunya bermacam-macam perbedaan suku, agama, dan lain-lain yang berada di wilayah Indonesia. Persetuan ini terjadi karena didorong keinginan untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat, meajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudakan perdamaian abadi. Butir-butir implementasi silak ketiga adalah sebagai berikut: a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan serta keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Oleh sebab itu, perang antar suku dan agama tidak perlu terjadi, kita harusa saling menghormati dan bersatu demi Indonesia. Pemain politik dan ekonomi tidak boleh mengorbankan kepentingan negara demi kelompoknya seperti penjualan aset negara, melakukan nepotisme dan lain-lain sehingga masyarakat dan negara dirugikan. Oleh sebab itu, setiap warga negara harus melakkuan pengawasan yang bersifat aktif terhadap penyelamatan kepentingan negara. b. Rela berkoran untuk kepentingan bangsa dan negara. Butir ini menghendaki setiap warga negara rela memberikan sesuatu sebagai wujud kesetiaan kepada negara. Pengorbanan kepada negara ini dapat dilakukan dengan menjadi militer sukarela, menjaga keamanan lingkungan, menegakkan disiplin dan bagi sebagian besar warga

negara dilakukan dengan bekerja keras dan taat membayar pajak sebagai kewajiban warga negara. c. Cinta tanah air dan bangsa. Butir ini menghendaki setiap warga negara mencintai atau adanya keinginan setiap warga negara memiliki rasa ke-Indonesiaan. Kecintaan kepada Indonesia dapat dilakukan dengan mengagungkan nama Indonesia dalam berbagai kegiatan, seperti olimpiade olahraga maupun ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan melestarikan kekayaan alam serta budaya Indonesia. d. Bangga sebagai bangsa Indonesia bertanah air Indonesia. Butir ini menghendaki adanya suatu sikap yang terwujud dan tampak dari setiap warga negara Indonesia untuk menghargai tanah air Indonesia, mewarisi budaya bangsa, hasil karya dan hal-hal yang menjadi milik bangsa Indonesia. Sikap bangga ini ditunjukkan dengan berani dan percaya diri menunjukkan identitas sebagai warga negara Indonesia baik lewat budaya, perilaku dan teknologi yang berkembang di Indonesia, mencintai produk Indonesia adalah wujud rasa bangga bertanah air Indonesia. e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhinneka Tunggal Ika. Butir ini menghendaki adanya pergaulan dan hubungan baik ekonomi, politik dan budaya antarsuku, pulau dan agama sehingga terjalin masyarakat yang rukun, damai dan makmur. Kemakmuran terjadi karena pada dasarnya setiap suku, agama dan pulau mempunyai kekhususan yang bernilai tinggi dan hal ini juga bermanfaat bagi yang lain sehingga tukar-menukar ini akan meningkatkan nilai kesejahteraan bagi manusia. 4. Implementasi Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Sila keempat ini mempunyai makna bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat dan dalam melaksanakan kekuasaannya, rakyat menjalakan sistem perwakilan (rakyat memilih wakil-wakilnya melalui pemilihan umum)

10

dan

keputusan-keputusan

yang

diambil

dilakukan

dengan

jalan

musyawarah yang dikendalikan dengan pikiran yang sehat, jernih, logis, serta penuh tanggung jawab baik kepada Tuhan maupun rakyat yang diwakilinya. Butir-butir implementasi sila keempat adalah sebagai berikut: a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Butir ini menghendaki masyarakat harus mengawal wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu, agar setiap keputusan wakil rakyat mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Keputusan penting seperti penjualan aset negara, perjanjian imbal dagang antar negara, impor beras, kenaikan BBM dan listrik dan lain-lain, harus berdasar kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pejabat. Rakyat dalam hal ini berperan aktif dalam memberikan koreksi yang membangun dengan cara yang santun dan memberi sanksi setiap pelanggaran pada pemilu selanjutnya. b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga negara untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, menghormati setiap perbedaan dan dengan akal sehat melakukan kompromi demi kebaikan masyarakat dan negara. c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Butir ini menghendaki adanya musyawarah yaitu pembahasan secara bersama-sama atas suatu penyelesaian masalah. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan mengenai suatu masalah harus melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan dan memecahkan secara bersama. Musyawarah dapat dilakukan dalam pemecahan masalah di dalam keluarga, masyarakat dan negara. d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Butir ini menghendaki agar pengambilan keputusan secara bersama-sama didasarkan semangat kekeluargaan yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di masyarakat. Dengan adanya rasa kekerabatan yang erat, maka musyawarah akan

11

berjalan dengan baik, tidak saling menag-menangan, namun semua akan merasa senang, terakomodasi serta mementingkan kepentingan bersama. e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah untuk diterima dan dilaksanakan dengan baik. Oleh sebab itu, sangat tidak demokratis apabila ada yang menolak, atau merasa kalah dalam musyawarah, kemudian tidak mau melaksanakan keputusan bersama. Penolakan hasil pemilu atau pemilihan pemerintah daerah yang sudah dilakukan dengan baik, juga wujud dari tidak bertanggung jawabnya sebagian masyarakat. f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Butir ini menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan menang dan kalah, serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal sehat, tidak mabuk dan anarki sesuai dengan hati nurani, kejujuran dan akal sehat merupakan cermin sikap takwa kepada Tuhan, sehingga segala keputusan tidak akan bertentangan dengan hukum Tuhan dan kemaslahatan umat manusia. g. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 5. Implementasi Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila ini mempunyai makna bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapatkan perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Butir-butir implementasi sila kelima adalah sebagai berikut: a. Mengembangkan mencerminkan perbuatan-perbuatan sikap dan suasana yang luhur yang dan

kekeluargaan

12

kegotongroyongan. Butir ini menghendaki agar setiap warga negara berbuat baik satu sama lain. Perbuatan luhur dalam pengertian seperti apa yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi yang dilarang. Perbuatan baik dan luhur tersebut dilaksanakan pada setiap manusia dengan cara saling membantu, bergotong royong, dan merasa setiap manusia adalah bagian keluarga yang dekat yang layak dibantu, sehingga kehidupan setiap manusia layak dan terhormat. b. Bersikap adil. Butir ini menghendaki dalam melaksanakan kegiatan antar manusia untuk tidak saling pilih kasih. Pengertian adil juga sesuai dengan kebutuhan manusia untuk hidup layak dan tidak diskriminatif terhadap sesama manusia yang akan ditolong. c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Butir ini menghendaki bahwa manusia Indonesia jangan hanya mendahulukan hak-haknya seperti hak hidup bebas, berserikat, perlakuan yang sama, kepemilikan dan lain-lain, tetapi menjaga kewajiban secara seimbang. Kewajiban yang harus dilakukan adalah berhubungan baik dengan sesama manusia, membantu sesama manusia, membela yang teraniaya, memberikan nasehat yang benar dan menghormati kebebasan beragama. Apabila kewajiban dan hak berjalan seiring, maka hidup damai dan rukun akan tercapai. d. Menghormati hak-hak orang lain. Butir ini menghendaki setiap manusia untuk menghormati hak orang dan memberikan peluang orang lain dalam mencapai hak dan tidak berusaha menghalanghalangi hak orang lain. Perbuatan seperti mencuri harta orang lain, menyiksa, pelit bersedekah, merusak tempat peribadatan agama lain adalah contoh-contoh dari sikap tidak menghormati hak orang lain. e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain. Butir ini sebenarnya mengembangkan siap dan budaya bangsa yang saling tolongmenolong seperti gotong royong dan menjauhkan diri dari sikap egois dan individualistis. Perbuatan seperti membantu orang buta

menyeberang jalan, memberi makan anak yatim dan orang miskin,

13

membuang sampah pada tempatnya, tidak merokok di sembarang tempat adalah contoh dari suka memberikan pertolongan kepada orang lain. f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain. Butir ini

menghendaki, manusia Indonesia bukanlah Homo Homini Lupus (manusia yang memakan manusia lain). Manusia Indonesia tidak boleh memeras manusia lain demi kepentingan sendiri. Contoh perbuatan memeras ini adalah melakukan perampokan, memberikan bunga terlalu tinggi kepada peminjam terutama kalangan orang kecil dan miskin, serta tidak memberikan upah yang layak kepada pekerja terutama buruh dan pembantu rumah tangga. g. Tidak bersikap boros. Butir ini menghendaki manusia Indonesia tidak memakai atau mengeluarkan uang, barang dan sumber daya secara berlebih-lebihan. Pemborosan akan menguras sumber daya,

menimbulkan banyak hutang dan menciptakan beban berat bagi masa depan. h. Tidak bergaya hidup mewah. Butir ini menghendaki manusia Indonesia untuk tidak bergaya hidup mewah, tetapi secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Ukuran mewah memang relatif, namun dapat disejajarkan dengan tingkat kehidupan dan keadilan pada setiap strata kebutuhan manusia. Perbuatan membuang makanan, makan

berlebihan, memakai pakaian, perumahan dan mobil yang berlebihan juga wujud kehidupan mewah. i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum. Butir ini menghendaki warga negara Indonesia menjaga kepentingan umum dan prasarana umum, sehingga sarana tersebut berguna bagi masyarakat luas. Perbuatan merusak telepon umum, rambu lalu lintas, mencuri kabel kereta api atau berkelahi antarwarga, siswa dan mahasiswa adalah contoh perbuatan yang merugikan kepentingan umum.

14

j. Suka bekerja keras. Butir ini menghendaki warga negara Indonesia untuk bekerja keras, berusaha secara maksimal dan tidak hanya pasrah terhadap takdir. Sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan, diwajibkan berusaha dan diiringi dengan doa. Tindakan seperti bolos kuliah, suka mencontek, meminta-minta merupakan contoh tindakan yang tidak suka bekerja keras. k. Menghargai orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga negara Indonesia untuk menghargai hasil karya orang lain, sebagai bagian dari penghargaan hak cipta. Proses penciptaan suatu karya membutuhkan suatu usaha keras dan tekun, oleh sebab itu harus dihargai. Tindakan pembajakan program seperti VCD/DVD,

memfotokopi buku atau membeli buku bajakan adalah contoh tindakan yang tidak menghargai karya orang lain. l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Butir ini menghendaki adanya usaha bersama-sama antar warga negara dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Mengembangkan kerjasama tim, belajar organisasi

merupakan contoh dalam membangun usaha bersama. Keberhasilan tidak dapat dicapai dengan usaha sendiri, namun usaha bersama-sama akan menjamin pencapaian keberhasilan dan meperkecil resiko kegagalan. Implementasi pancasila tersebut merupakan penjabaran dari Pancasila sebagai pandangan dan ideologi bangsa Indonesia. Menjadi kewajiban bangsa Indonesia untuk menerapkan dengan baik dan benar, sehingga kehidupan adil dan makmur dapat tercapai

2.2 Fakta Nyata di Era Reformasi Dalam rangka pelaksanaan penyelenggaraan hidup bernegara Republik Indonesia termasuk jalannya ketatanegaraan, bangsa Indonesia telah mengalami momen sejarah baru, yaitu reformasi. Tepatnya terjadi pada

15

sekitar tahun 1998, setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang sebelumnya telah berlangsung selama lebih kurang 23 tahun silam. Gerakan reformasi terjadi sebagai akibat krisis yang bersifat multidimensi di seluruh negara Indonesia yang menyangkut segenap bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan dan ketertiban. Diikuti pula oleh suatu kondisi yang sangat rawan sebagai akibat perbedaan yang sangat tajam antara golongan yang di atas (pemegang tampuk kekuasaan) dengan rakyat yang mengalami kehidupan yang sangat menderita, tertekan dan tidak berdaya. Berangkat dari keprihatinan moral yang dalam atas berbagai krisis di dalam negeri yang diakibatkan membumbung tingginya harga pokok kehidupan masyarakat, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tingkah laku kepemimpinan yang sangat menyimpang dari tatanan kehidupan, dimulailah gerakan reformasi yang diprakarsai oleh para mahasiswayang selanjutnya melibatkan lembaga sosial masyarakat serta akhirnya menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Lebih tergugah lagi dengan terjadinya peristiwa/tragedi 12 Mei 1998, selain pengorbanan jiwa raga dan harta benda, maka merebaklah semangat reformasi ke seluruh lingkup kehidupan masyarakat untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Arah dan tujuan reformasi yang utama adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan dengan cara mengurangi secara bertahap dan terus menerus krisis berkepanjangan di segenap bidang kehidupan, serta menata kembali ke arah kondisi yang lebih baik atas sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah hancur menuju Indonesia baru. Reformasi berasal dari kata reformation dengan kata dasar Reform yang memiliki arti perbaikan, pembaharuan, memperbaiki dan menjadi lebih baik (Kamus Inggris-Indonesia, An English-Indonesia Dictionary, oleh John M. Echols dan Hassan Shadily 2003). Secara umum reformasi di Indonesia dapat diartikan sebagai melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan cara menata ulang hal-hal yang

16

telah menyimpang dan tidak sesuai lagi dengan kondisi dan struktur kenegaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan reformasi ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan nilainilai baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Menata kembali seluruh struktur kenegaraan, termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita seluruh masyarakat bangsa. 3. Melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. 4. Menghapus dan menghilangkan cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi, seperti KKN, kekuasaan sewenang-wenang/otoriter, penyimpangan dan penyelewengan yang lain. Adapun tuntutan reformasi utama dari mahasiswa berdasarkan maksud dan tujuan dari reformasi tersebut adalah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ini bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar, seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, dan hal-hal lain yang sesuai perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 itu tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. Perubahan yang telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali (sejak tahun 1999-2002) terhadap UUD 1945, tak bisa disangkal telah mewarnai kehidupan ketatanegaraan. Dari hasil amandemen UUD 1945 itu, setidaknya telah membawa implikasi perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem perpolitikan Indonesia. Namun amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan, ternyata dirasakan belum memberikan titik terang pada era reformasi saat ini. Hal ini disebabkan oleh:

17

1. MPR dalam melakukan amandemen UUD 45 tak punya paradigma perubahan dan kerangka kerja (framework) yang jelas, sehingga menjadikan hasil amandemen UUD 1945 parsial, tak komprehensif, memenuhi pesanan kekuasaan, berdasarkan keadaan dan kebutuhan. Pendek kata, amandemen hanya sepotong-sepotong atau tidak lebih tambal sulam. 2. Adanya tarik-menarik dan tawar-menawar (bargaining politic) elit politik. 3. Aspirasi rakyat yang nyaris tak mendapat wadah, karena minimnya keikutsertaan rakyat dalam proses amandemen UUD 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reformasi pada sekarang ini belum berhasil dan memberikan dampak positif bagi kemajuan rakyat Indonesia. Hal ini juga terlihat dari adanya berbagai fakta nyata di era reformasi, diantaranya adalah: 1. Munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. 2. Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua, Maluku. 3. Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. 4. Adanya subversi asing, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. 5. Di dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada masyarakat melemah. 6. Berkembangnya ideologi pragmatisme yang kering dengan empati, menipisnya rasa solidaritas terhadap sesama, elit politik yang mabuk kuasa, aji mumpung, dan lain-lain sikap yang manifestasinya adalah

18

menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingan yang dianggap berguna untuk diri sendiri atau kelompoknya.

2.3 Peranan Pancasila di Era Reformasi 1. Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam

pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila Pancasila. 2. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang sosial politik Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sbb : Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pemgambilan keputusan. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.

19

Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang menghasilkan) dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.

3. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang ekonomi Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata. 4. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang

kebudayaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan. 5. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang hankam Dengan berakhirnya peran sosial politik, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.

2.4 Upaya Membangkitkan Pancasila di Era Reformasi Para pemimpin bangsa dan negara tidak hanya mengucapkan Pancasila dan UUD 45 dalam pidato-pidato, tetapi mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan serta kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kesaktian Pancasila bukan hanya diwujudkan dalam bentuk seremonial, melainkan benar-benar bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten,

20

integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Melalui pendekatan imperatif, yaitu: 1. Pancasila harus dimaknai secara proposional dan kontekstual Proposional dan kontekstual dapat diartikan, Pancasila harus ditempatkan membumi pada realitas masyarakat dalam pendekatan kultural-doktinaldemokratis, dan bukan ditempatkan diatas menara gading yang elitisdoktrinal-otoriter. 2. Pancasila jangan lagi dijadikan sebagai alat kooptasi negara untuk kepentingan politik kekuasaan yang otoriter Pancasila harus tumbuh mekar dalam kehidupan bangsa ini justru karena kesadaran dari semua elemen yang ada baik elit maupun masyarakat, dan bukan karena indoktrinasi yang berlebihan. 3. Pancasila merupakan arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis Maksudnya adalah masyarakat diharapkan untuk tidak lagi memunculkan ketegangan antara kelompok yang membuat Pancasila digunakan untuk memaksakan kehendak, dan instrumen untuk mendelegitimasi kekritisan berpikir dari kelompok tertentu. 4. Masyarakat ekonomi perlu menumbuhkan kesadaran bahwa

Pancasila merupakan landasan etis ekonomi, sehingga dalam melakukan aktifitas ekonomi dan bisnisnya masyarakat ekonomi selalu melihat keadilan sosial sebagai keadilan yang terdistribusi Selain itu, harus ada upaya dari seluruh elemen masyarakat, yaitu: 1. Dikembangkan beberapa sikap : Civic Disposition : pengembangan nilai dan sikap kewargaan dalam interaksi sosial kemasyarakatan, kebangsaan dan pergaulan global. Civic Knowledge : pengembangan pengetahuan kewargaan tentang demokrasi, HAM, masyarakat madani dan tata pemerintahan.

21

Civic Skill : pengembangan keterampilan kewargaan sebagai anggota masyarakat, bangsa dan masyarakat global dalam interaksi sosial maupun dalam interaksinya dengan negara atau dunia internasional. 2. Agar tetap kredibel, Pancasila harus direvitalisasi. Artinya Pancasila diletakkan dalam keutuhannya dengan pembukaan dan dieksplorasikan sebagai paradigma dalam dimensi yang melekat padanya yaitu realitas, idealitas dan fleksibilitasnya. 3. Agar tetap membumi, Pancasila dikembalikan pada jati dirinya yaitu ideologi negara dan mengubah dari wacana ideologi semata menjadi ilmu, serta tetap menjadikan Pancasila sebagai kriteria kritik setiap kebijakan negara. 4. Menjadikan Pancasila sebagai living reality (kenyataaan hidup seharihari) dengan melihat perkembangan masyarakat sebagai peningkatan HAM.

22

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa reformasi di Indonesia selama ini belum menemukan titik terang (belum berhasil). Hal itu dapat dilihat dari berbagai fakta nyata yang ada di Indonesia pada saat ini, diantaranya adalah: 1. Munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. 2. Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua, Maluku. 3. Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. 4. Adanya subversi asing, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. 5. Di dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada masyarakat melemah. 6. Berkembangnya ideologi pragmatisme yang kering dengan empati, menipisnya rasa solidaritas terhadap sesama, elit politik yang mabuk kuasa, aji mumpung, dan lain-lain sikap yang manifestasinya adalah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingan yang dianggap berguna untuk diri sendiri atau kelompoknya.

3.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas ada beberapa saran yang dapat diberikan guna mewujudkan upaya pembinaan masyarakat dalam menghayati dan

23

mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang meliputi paham kebangsaan, rasa kebangsaan dan semangat kebangsaan, antara lain: 1. Untuk meningkatkan Wawasan Kebangsaan bagi segenap komponen bangsa diperlukan perhatian dan penanganan pihak-pihak terkait secara integratif. Untuk itu, perlu diwujudkan adanya suatu wadah atau lembaga yang akan menangani masalah Wawasan Kebangsaan serta perlunya buku pedoman nasional yang dapat digunakan baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. 2. Peran para elit pemerintah, elit politik dan tokoh masyarakat LSM serta media massasangat diperlukan untuk meningkatkan Wawasan

Kebangsaan. Untuk itu para tokoh tersebut harus mempunyai komitmen untuk selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan dengan mengeyampingkan pemikiran sempit yang menguntungkan hanya sekelompok orang. 3. Perlunya pengamalan Pancasila secara nyata dalam kehidupan sehari-hari melalui penataran atau sertifikasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), di seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, agar lebih tertanam rasa cinta tanah air, bangsa dan negara bahkan selalu siap dalam usaha bela negara. 4. Perlunya penyegaran di seluruh elemen masyarakat tentang pembinaan dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang meliputi paham kebangsaan, rasa kebangsaan dan semangat kebangsaan, di setiap Kabupaten atau Kota dengan melibatkan instansi terkait secara bertahap dan berlanjut.

24

DAFTAR PUSTAKA

Rohman, Fathur. 2010. Pancasila di Era Reformasi. (Online) http://slideshare.net diakses pada 16 November 2011. Setijo, Pandji. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Kedua. Jakarta: PT. Grasindo. Srijanti, dkk. 2007. Etika Berwarga Negara Edisi 2 Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat. Winarno. 2009. Melaksanakan Pancasila di Orde Reformasi. (Online). http://fkip.uns.ac.id diakses pada 15 November 2011.

25

Anda mungkin juga menyukai