Anda di halaman 1dari 4

8 Etos Kerja oleh Mr Ethos, Jansen Sinamo, Guru Etos Indonesia,

1. Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur


2. Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab
3. Kerja adalah Panggilan; Aku Bekerja Tuntas Penuh Integritas
4. Kerja adalah Aktualisasi; Aku Bekerja Keras Penuh Semangat
5. Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan
6. Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas
7. Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan
8. Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahanhati

budaya kerja buruk yang mengkhawatirkan kita semua, seperti:


o Suka mengeluh, banyak menuntut, egoisme tinggi.
o Kerja seenaknya, gemar kambing hitam, senang manipulasi.
o Kerja serba tanggung, suka menunda-nunda, disiplin kerja rendah.
o Malas, kurang inisiatif, daya juang rendah.
o Tidak fokus, sinis dan apatis, minim gairah kerja.
o Terjebak rutinitas, alergi terhadap pembaruan, miskin kreativitas.
o Standard mutu rendah, cepat puas dengan hasil seadanya, ketekunan minim.
o Jiwa melayani rendah, merasa diri sudah hebat, bersikap arogan.

Etos pertama: kerja adalah rahmat.


Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai pejabat, sampai buruh kasar sekalipun,
adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup
oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja,
setiap pada akhir bulan kita menerima gaji untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah
ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri.

Etos kedua: kerja adalah amanah.


Apa pun pekerjaan kita, peniaga, pegawai kerajaan, atau wakli rakyat, semua adalah amanah.
Peniaga mendapatkan amanah dari pemilik perniagaan. Pegawai kerajaan menerima amanah
dari kerajaan. Wakil rakyat menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita boleh
bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya menerima rasuah dalam
berbagai bentuknya.

Etos ketiga: kerja adalah panggilan.


Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah perantara. Seorang perawat
sebagaiperantara untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul perantara untuk
menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang perantara untuk
menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi
disadari sebagai panggilan, kita boleh berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan
begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.

Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.


Apa pun pekerjaan kita, dokter, akuntan, hakim semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski
kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan
potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih
menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.

Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari keperluan psikososial manusia. Dengan bekerja,
misalnya, seseorang boleh berjabat tangan dengan rasa puas ketika berjumpa kawannya.
“Perkenalkan, nama saya Mohd, dari SMK Badin.” ?

Etos kelima: kerja itu ibadah.


Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan
ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita boleh bekerja secara ikhlas, bukan
demi mencari wang atau jabatan semata.

Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:

Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak
tiang yang tinggi. Tersangat tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang
berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat
ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa
menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi
motivasi transendental.

Etos keenam: kerja adalah seni.


Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan
membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi.

Jansen mencontohkan Edward V Appleton:


Seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan
sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang
sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein
pun menyebut rumus-rumus fisika yang jelekit itu dengan kata sifat beautiful.

Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.


Apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika boleh menjaga kehormatan
dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.

Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer.


Sastrawan Indonesia tetap bekerja (menulis), meskipun ia dipencilkan di Pulau Buru yang
serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah
mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.


Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polis, bahkan penjaga , semuanya bisa dimaknai sebagai
pengabdian kepada sesama.

Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena
ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia
alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah
Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak,
lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang
memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan
luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus
menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.

Mengapa orang bermotivasi superior merupakan aset? Setidaknya karena sepuluh citra berikut:

Pertama, orang bermotivasi superior adalah bagian dari penyelesaian masalah, andalan bagi
upaya mengejar prestasi; sedangkan orang bermotivasi rendah adalah bagian dari masalah, tidak bisa
diandalkan untuk proyek-proyek rintisan karena sikap mentalnya didominasi oleh pikiran "apa
untungnya buat aku?"

Kedua, orang bermotivasi superior bekerja dengan semangat I am doing my best — my utmost
— sehingga kualitas kerjanya tinggi. Artinya, nilai tambah dirinya tinggi. Tetapi orang bermotivasi
rendah bekerja seadanya, ala kadarnya, minimalis. Pekerjaannya tidak bermutu. Nilai tambahnya
rendah.

Ketiga, orang bermotivasi superior memiliki disiplin tinggi, sehingga ia bisa menjadi contoh bagi
orang lain. Ia bersemangat, menularkan antusiasme kepada sekitarnya. Tetapi orang bermotivasi
rendah bersikap seenaknya, lesu darah, malas, dan gemar mencari kambing hitam bila pekerjaannya
tidak selesai. Ia juga suka beredar dan menebarkan virus beracun dengan kebiasaan 5-ng (ngeluh,
ngedumel, ngegossip, ngomel, ngeyel).

Keempat, orang bermotivasi superior gigih menghadapi masalah, kreatif memecahkan problem,
dan jeli melihat peluang dalam setiap kesulitan. Tetapi orang bermotivasi rendah gampang menyerah,
tidak kreatif, dan selalu melihat kesulitan dalam setiap peluang.

Kelima, orang bermotivasi superior cepat maju karirnya karena ia rajin belajar, gemar berguru,
dan senang mengasah kemampuan dirinya. Tetapi orang bermotivasi rendah lambat majunya karena
ia malas belajar, ogah berguru dan segan memperbarui keterampilan. Ia tergantung pada orang lain
sehingga malah jadi beban bagi pimpinannya.
Keenam, orang bermotivasi superior masuk kantor lebih awal dan pulang lebih sore sampai
tugasnya tuntas. Produktivitasnya tinggi. Tetapi orang bermotivasi rendah suka datang terlambat,
suka curi-curi waktu, tidak sabar menunggu usai jam kantor, dan sangat senang jika ada hari kejepit.

Ketujuh, orang bermotivasi superior punya sense of belonging yang besar; ia turut memelihara,
merawat dan membesarkan perusahaan dengan sikap menyayangi. Tetapi orang bermotivasi
rendah tidak peduli pada organisasinya, miskin sense of belonging dan memperlakukan perusahaannya
sebagai sapi perahan.

Kedelapan, orang bermotivasi superior tidak memerlukan pengawasan. Ia dapat bekerja mandiri
sehingga energi dan waktu pemimpin dapat digunakan untuk hal lain yang lebih penting. Tetapi orang
motivasi rendah bagaikan "kuda liar" yang senantiasa memerlukan pengawasan, tali-les-dan-kekang.
Waktu atasan banyak habis untuk mengawasi mereka.

Kesembilan, orang bermotivasi superior, hatinya dipenuhi oleh emosi gembira, semangat dan
suka cita. Loyalitasnya tulus. Tetapi orang bermotivasi rendah tidak pernah puas. Ia selalu resah.
Setiap hari rajin membaca iklan lowongan kerja. Loyalitasnya cuma sebatas ada kesempatan baru di
tempat lain. Ia siap meloncat setiap saat jika keadaan sudah dinilainya menguntungkan.

Terakhir, orang bermotivasi superior dapat berkonsentrasi pada pe-kerjaannya sehingga hasil
kerjanya bermutu dan produktif. Tetapi orang bermotivasi rendah gampang kejangkitan isu, takut
pada banyak hal, cepat merasa bosan, dan suka berpikir negatif.

Anda mungkin juga menyukai