Anda di halaman 1dari 2

Fenomena Kodok Rebus

Dilema Pemekaran : berharap kemakmuran, berebut kekuasaan

Demokrasi kembali tercoreng dengan tragedi pemekaran protap yang


berujung tewasnya Ketua DPRD Sumut ( 3 / 2 ). Semenjak saat itu, masalah
pemekaran daerah menyedot perhatian besar jajaran peerintahan. Dan wacana
kembali dilemparkan kepada publik, “sudah tepatkah pemekaran dilaksanakan?”.
Maraknya pemekaran provinsi dan kabupaten di indonesia cukup “gila-gilaan”. Sejak
1999 hingga oktober 2007 lalu tercatat ada tambahan 7 provinsi, 135 kabupaten, dan
31 kota. Saat ini total daerah otonom di Indonesia meliputi 33 provinsi dan 456
kabupaten / kota. Nyaris dua kali lipat dari jumlah sebelumnya (wikipedia, 18/2).
Namun setelah dievaluasi, yang memrihatinkan ternyata dari 98 daerah otonom baru,
ternyata 76 daerah bermasalah ( kompas, 27/10). Harapan untuk meningkatkan
tingkat kesejahteraan, ternyata jauh panggang dari api.
Ketika beberapa derah seolah berebut “mekar”, patut dipertanyakan bahwa, apakah
pemekaran kini menjadi komoditas politik? Isu miring berkembang, telah muncul
suatu konspirasi intens antara partai politik, birokrat daerah, dan pengusaha yang juga
ingin berebut untuk meraih jabatan baru atau proyek-proyek yang akan muncul.
Beberapa daerah memang dirasa perlu untuk dilakukan pemekaran, tapi tak jarang
pula dilakukan manipulasi data demi tercapainya kepentingan elite-elite politik. Hal
tersebut juga salah satu pemicu gagalnya daerah otonom.

M eninjau kembali pemekaran di sumatera utara, yaitu 16 kabupaten sejak 2003


hingga 2008 ( Wikipedia, 17/2 ), bukankah kita perlu lebih cermat untuk
menyikapi pemekaran ? Apakah daerah otonom yang sudah ada sekarang sudah
cukup berhasil ? Mungkin ada alasan tersendiri mengapa pengesahan protap
sedemikian lama ( sejak 2002 hingga kini ), belum kunjung tercapai. Dari segi
finansial, banyaknya daerah yang dimekarkan hanya menguntungkan elit lokal dan
memberatkan pemerintah pusat. Anggaran pusat akan bertambah, terkait dengan
perlunya membangun infrastruktur di daerah pemekaran. Sedangkan dari segi sosial,
pemekaran wilayah berpotensi menimbulkan konflik, seperti sengketa batas,
perebutan lokasi ibukota dan konflik politik. Meskipun terlanjur menelan “pil pahit”,
tak ada kata terlambat untuk meninjau ulang daerah-daerah yang ingin “mekar”.
Pemerintah hendaknya memberikan parameter yang jelas dan terukur, mana
daerah yang layak mekar dan tidak. Kegagalan yang ada hendaknya dapat dijadikan
pembelajaran dan masalah yang kini muncul hendaknya segera diselesaikan, agar
tidak ada tragedi pemekaran berikutnya. Seperti halnya fenomena “ kodok rebus”,
masalah yang terjadi dalam pemekaran sebaiknya segara diselesaikan, agar tidak
merugikan lebih besar nantinya. Kegagalan pembentukan daerah otonom tidak
seluruhnya kesalahan daerah, tapi juga pemerintah pusat yang memberikan supervisi.
Selain itu, sebagai masyarakat, kita juga perlu memikirkan kembali dampak positif
dan negatifnya.
Apabila disikapi dengan bijak, tak semua daerah pemekaran mengalami
kegagalan. Contohnya provinsi Gorontalo yang semakin maju pesat setelah berpisah
dari provinsi.

Anda mungkin juga menyukai