Anda di halaman 1dari 5

PATOMEKANISME LUKA PADA SKENARIO 2.1.

0 Brill Hematom Hematoma kacamata pada pasien ini disebabkan adanya fraktur basis kranii yang menyebabkan pecahnya arteri oftalmika yang menyebabkan darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibatnya darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka terbentuk gambaran hitam kemerahan pada kelopak seperti seseorang yang memakai kacamata. Karena pada kedua mata terjadi pembengkakan palpebra superior dan inferior mata menjadi berat dan susah untuk dibuka (ptosis). Konjungtiva palpebra merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata. Sistem vascular dari konjungtiva palpebra berasal dari arteri palpebralis yang apabila pada palpebra mengalami trauma pada mata, pembuluh darah dapat pecah kemudian terjadi edema konjungtiva (kemosis konjungtiva). Selain itu arteri palpebralis juga merupakan salah satu cabang arteri oftalmika, yang apabila terjadi fraktur basis kranii dapat pula pecah dan menjadi edema konjungtiva (kemosis konjungtiva). Bila edema ini besar atau banyak menyebabkan mata tidak bisa tertutup (lagoftalmus) dan konjungtiva dapat terpapar dengan udara luar yang bisa menimbulkan infeksi. Fracture Basis Cranii Fractur basis cranii merupakan salah satu pembagian dari trauma kapitis, sedangkan trauma kapitis sendiri adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara, Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar, bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala: Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding Epistaksis Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala: Hematom retroaurikuler, Ottorhoe Perdarahan dari telinga

2.1.1 Sianosis pada Kuku Jari Sianosis adalah deskripsi klinis dan mengacu pada adanya warna biru pada bibir, lidah (sentral), atau jari tangan (perifer). Sianosis sentral hampir selalu disebabkan oleh adanya penurunan hemoglobin tereduksi dalam kapiler. Biasanya lebih dari 3 g/dL sebelum sianosis semia berat bisa timbul tanpa sianosis. Sianosis adalah warna kebirubiruan pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tak berikatan dengan O2). Sianosis dapat tanda insufisien pernapasan, meskipun bukan merupakan tanda yang dapat diandalkan. Ada dua jenis sianosis: sianosis sentral dan sianosis periper. Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga, serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya tak diketahui sebelum jumlah absolut Hb tereduksi mencapai 5 g per 100ml atau lebih pada seseorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi oksigen [SaO2] kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100ml. Pada orang dengan konsentrasi Hb yang normal, sianosis akan pertama kali terdeteksi pada SaO2kira-kira 75% dan PaO250 mm Hg atau kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah) mungkin tak pernah mengalami sianosis walaupun mereka menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5 g per 100ml. Sebaliknya, orang yang menderita polisitemia (konsentrasi Hb yang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g per 100ml walaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali. Faktorfaktor lain yang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmentasi dan kondisi penerangan. Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernapasan (sianosis sentral), akan terjadi sianosis perifer bila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah akibat suhu yang dingin. Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi dapat menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi. Ada banyak hal yang mengakibatkan sianosis (dan sianosis sulit dikenali) sehingga sianosis merupakan petunjuk insufisiensi paru yang tidak dapat diandalkan.

2.1.2 Perdarahan pada Sklera Perdarahan pada Sklera pasien juga kemungkinan disebabkan oleh fraktur basis kranii seperti yang dijelaskan pada Hematoma Kacamata. Fraktur basis kranii ini meyebabkan adanya pembuluh darah yang robek di intrakranial pada fossa anterior yang memberi manifestasi klinik perdarahan pada sklera karena sklera termasuk jaringan ikat longgar. 2.1.3 Petekie Konjunctiva Petekie konjunctiva atau Tardieus spot (Petechial hemorrages) merupakan salah satu tanda Kardinal (tanda klasik) Asfiksia. Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Fase Asfiksia Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 fase, yaitu: Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata, sehingga amplitude dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2. Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.

Tanda Kardinal Asfiksia Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu: 1. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang

menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum. 2. Kongesti dan Oedema Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi npada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). 3. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. 4. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya

pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia. 2.1.4 Subarachnoid Hemorrhage Terdapat berbagai mekanisme terjadinya cedera pada pembuluh darah intrakranial yang disebabkan oleh trauma kepala. Akselerasi angular yang merupakan kombinasi akselerasi translasional dan rotasional adalah bentuk proses cedera akibat gaya kelembaman (inertial force) yang paling sering. Pada akselerasi angular, pusat gravitasi kepala bergerak terhadap poros di pusat angulasi, yaitu vertebra servikal bawah atau tengah. Kekuatan dan lamanya akselerasi angular menetukan parahnya kerusakan otak yang disebabkannya. Akselerasi berkecepatan tinggi dalam durasi singkat menyebabkan kerusakan pembuluh daraha superficial seperti vena-vena jembatan dan pembuluh-pembuluh pial. Sedangkan akselerasi berkecepatan tinggi dengan durasi yang lebih lama depat menyebabkan kerusakan aksonal. SAHt dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah kecil yang melintas dalam ruang subarakhnoid karena teregang saat fase akselerasi atau deselerasi. Selain itu terkumpulnya darah di ruang subarakhnoid dapat berasal dari darah akibat kontusio serebral dan perluasan intraventrikel ke ruang subarakhnoid. 1. dr. Abdul Munin Idries, ilmu kedokteran forensik edisi pertama. 2. Sylvii. 2008. Patofisiologi Tubuh Manusia. Jakarta: EGC 3. Hallidoy, Al. Patophysiology of severe traumatic brain injuries. In: Marion DW, editor. Traumatic Brain Injury. New York: Thieme; 1999. Hal: 29-38. 4. Basyiruddin A. Mekanisme dan Patofisiologi dari Cedera Kepala. Dalam: Amir D, Basyiruddin A, Frida M, Djamil J, editor. Kumpulan Makalah Simposium Cedera Kepala. Padang: Anonymous; 1995. Hal: 1-22.

Anda mungkin juga menyukai