Anda di halaman 1dari 11

PAPER TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL DIVERSIFIKASI PANGAN LOKAL

Kelompok 2 THP-C Anggota : Armidha Aji Pramudito Sigit Satria Putra Ahmad Rizki Alfian Hayu Yunie Pharmita Eka Frida Hardiyanti Diah Rahma Wilujeng (121710101126) (121710101111) (121710101124) (121710101104) (121710101101) (121710101103)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSIITAS JEMBER 2013

Abstrak

Sebuah fenomena yang tidak asing lagi ditelinga kita yaitu anggapan masyarakat terhadap kalau belum makan nasi, belum makan namanya. Konsumsi pangan Indonesia yang terpaku pada beras membuat Negara melakukan impor beras secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini berdampak pada ketahanan pangan Indonesia. Sehingga pemerintah melakukan kebijakan dengan adanya diversifikasi pangan local. Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian ditingkatkan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah diimple-mentasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan pokok akan mengurangi konsumsi beras, dan pada gilirannya mempermudah pencapaian swasembada beras. Kata kunci: ketahanan pangan, diversifikasi pangan dan pangan local

I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Bahkan Indonesia dijuluki sebagai negara agraris, keadaan tersebut sangat menguntungkan dalam pemberdayaan sumber daya alam khusus disektor pertanian. Berdasarkan kelebihan itulah yang menyebabkan Indonesia memiliki produk pangan lokal yang sangat melimpah. Biasanya, produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, produk-produk ini kerap kali juga menyandang nama daerah, sebagai misal, dodol garut, jenang kudus, gudek jokya, dan lain-lain. Beraneka ragam dan jumlah yang sangat besar dari produk pangan lokal tersebut, tentu sangat potensi dalam mewujudkan

kemandirian pangan nasional. Terwujudnya kemandirian pangan suatu daerah atau negara, dengan sendirinya akan mempercepat tercapainya ketahanan pangan nasional. Namun demikian, hingga saat ini produk pangan lokal belum mampu menggeser beras dan tepung terigu yang mendominasi makanan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal. Dengan adanya Era globalisasi yang mensyaratkan terbukanya kesempatan tiap negara untuk memasarkan produk maupun jasa masingmasing. Makanan berpotensi untuk berperan dalam pasar global, seperti yang terjadi saat ini, kebanyakan sektor perdagangan di kuasai oleh produk luar negeri. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan sangat mengkhawatirkan bangsa kita yang akan lebih memilih produk dari luar negeri. Solusi agar kecukupan pangan nasional bisa terpenuhi, maka upaya yang dilakukan adalah meningkatkan produktivitas budidaya pangan dengan pemanfaatan teknologi dan pengoptimalan hasil pertanian yang ada, seperti dengan pemanfaatan makanan tradisional yang terbuat dari umbiumbian atau diversifikasi pangan lokal. Diversifikasi pangan lokal dapat menekan konsumsi pangan tertentu dalam artian beras untuk disubstitusi dengan pangan lokal yang ada, sehingga kebutuhan nasional beras dapat terpenuhi. Diversifikasi pangan lokal juga dapat membangkitkan kembali kearifan lokal yang pernah dilakukan pendahulu-pendahulu kita terkait dengan pola makan, yaitu tidak menggantungkan pada beras saja melainkan dari pangan local yang ada disetiap daerah masing-masing. Selain itu, manfaat diversifikasi pada sisi konsumsi adalah semakin beragamnya asupan zat gizi, baik makro maupun mikro, untuk menunjang pertumbuhan, daya tahan, dan

produktivitas fisik masyarakat. Hal ini salah satu program yang merupakan bagian pilar kedaulatan pangan.

II. REVIEW LITERATUR

2.1 Pengertian Pangan Bedasarkan UU 18 tahun 2012 tentang pangan pengertian dari Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

2.2 Pengertian Ketahanan Pangan Sebelum mengetahui tentang ketahanan pangan kita perlu mengetahui tentang pengertian kedaulatan pangan dan kemandirian pangan itu sendiri. Menurut UU 18 tahun 2012 tentang pangan, pengertian dari kedaulatan pangan adalah hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangkan kemandirian pangan adalah kemampuan Negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkatkan perseorangan dengan

memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Definisi ketahanan pangan secara umum sangat luas. Menurut UU 18 tahun 2012 tentang pangan, pengertian dari ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menurut Husain (2004), sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga

2.3 Pengertian Diversifikasi Pangan Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar yang saat ini dianggap paling baik untuk memecahkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Melalui penataan pola makan yang tidak hanya bergantung pada satu sumber pangan memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, sehingga dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing yang berujung

pada peningkatan ketahanan pangan secara nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Konsep penganekaragaman pangan yang dianggap benar adalah upaya untuk meningkatkan mutu gizi makanan keluarga sehari-hari dengan cara menggunakan bahan-bahan makanan yang beragam dan terdapat di daerah yang bersangkutan, sehingga ketergantungan kepada salah satu bahan pangan terutama beras dapat dihindari. Manfaat diversifikasi pada sisi konsumsi adalah semakin beragamnya asupan zat gizi, baik makro maupun mikro, untuk menunjang pertumbuhan, daya tahan, dan produktivitas fisik masyarakat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 1991).

2.4 Pola Konsumsi Pola konsumsi pangan dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta prencanaan dan produksi pada setiap daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Apabila pola konsumsi pangan masyarakat beragam, maka gizi yang didapatkan juga akan beragam pula sehingga kecukupan gizi pada masing-masing individu dapat terpenuhi sesuai dengan kecukupan gizi yang telah dianjurkan. Beras masih merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang hingga saat ini masih belum tergantikan posisinya sebagai sumber energi, meskipun sumber lainnya cukup banyak. Salah satu penyebabnya karena beras merupakan bagian dari struktur sosial budaya yang cukup berarti bagi masyarakat. Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok

adalah umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras. Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) menunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Ariani, 2004). Ini berarti telah terjadi pening-katan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan umbiumbian sebagai pangan pokok.

4. AKG (Angka Kecukupan Gizi) AKG adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua masyarakat menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis (PIP Tim Penyusun, 2009). AKG dianjurkan untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan

masyarakat yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan, untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional, dan lain-lain Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka kecukupan gizi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran antropometri penduduk. Setelah sekitar sepuluh tahun ditetapkan angka kecukupan energi (AKE) dan kecukupan protein (AKP) bagi penduduk Indonesia, kini saatnya ditinjau ulang dan disempurnakan. Kajian ini bertujuan merumuskan angka kecukupan energi (AKE), kecukupan protein (AKP), kecukupan lemak (AKL), kecukupan karbohidrat (AKK) dan serat makanan (AKS) penduduk Indonesia (PIP Tim Penyusun, 2009).

2.5 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan Strategi peningkatan ketahanan pangan yaitu Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Dalam PP No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk menguatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, terdapat kesepakatan bersama Gubernur/ketua DKP (Dinas Ketahanan Pangan)

Provinsi yang mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif serta berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Program dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah. Latar belakang lemahnya ketahanan pangan di Indonesia dikarenakan Faktor konsumsi dan produksi yang tidak seimbang akibat pengalihan fungsi lahan, meningkatnya jumlah penduduk, teknologi pengolahan yang kurang optimal, bergesernya pola pikir dan gaya hidup masyarakat serta kurangnya respon masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang mendukung ketahanan pangan. Salah satu upaya pemerintah yaitu dengan adanya kebijakan diversifikasi pangan local sehingga dapat mengurangi pola konsumsi beras pada masyarakat. Tiga aspek penting yang harus digarap untuk memacu diversifikasi pangan secara efektif, yaitu: (1) daya tarik ekonomi dan citra pangan yang ditawarkan; (2) kemampuan ekonomi masyarakat; dan (3) kesadaran masyarakat terhadap pangan bergizi dan kesehatan.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil studi literatur dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan, diversifikasi pangan, pola konsumsi dan pangan local itu saling berhubungan untuk menciptakan Negara Indosesia yang lebih baik dalam bidang pangan. Untuk mencapai ketahanan pangan sebuah Negara misalnya maka perlu dilakukan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan pangan lokal sehingga pola konsumsi masyarakat bisa berubah. Hal ini

akan berdampak besar terhadap kesejahteraan Negara terutama dalam bidang ekonomi dan pangan.

DAFTAR PUSTAKA Ariani, M. 2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1991. Konsep penganekaragaman pangan. Departemen Kesehatan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Padi. Departemen Pertanian.

Husain. 2004. Konsep dasar potensi pengembangan pangan spesifik lokal di Provinsi Papua. hlm. 3342. Dalam. Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua.

PIP Tim Penyusun. 2009. Kumpulan Makalah Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian. Bogor: IPB Press.

Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga Dengan Konsumsi Energi Dibawah

Standar Kebutuhan. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masya-rakat, Depkes dengan PAE. Bogor: Departemen Pertanian Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor: IPB

Anda mungkin juga menyukai