Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

EKOLOGI POLITIK: BODY OF KNOWLEDGE, SEJARAH PEMIKIRAN, DAN PERKEMBANGAN EMPIRIK TERKINI
AHMAD TARMIJI ALKHUDRI
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Email: a.tarmiji@yahoo.co.id

ABSTRACT
This article tries to explain the political ecology in the context of theoretical and empirical happens on the field, especially in Indonesia. In the theoretical context of the discussion will be focused on the body of knowledge of political ecology (basic concepts of political ecology and political differences with the political ecology of the environment), the history of the leaders of thought and approach, and recent developments of political ecology. While the empirical example of this paper will address the case; "Natural Resources of Conflict and Banten Peasants Revolt: The Case Padarincang, Banten Attack". This case presents the issue of conflict between farmers Banten Water company Aqua-Danone (TNC). The case is being contested common resourses to instigate conflict is "water and land" Keyword: Political ecology, Thinking, Empirical, Resource Conflicts

173

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

BODY OF KNOWLEDGE EKOLOGI POLITIK


Istilah ekologi politik secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu ekologi dan politik. Ekologi di sini difokuskan pada konteks sumberdaya alam. Artinya membahas ekologi berarti membahas sumberdaya alam. Sementara itu, istilah politik pada konteks ini berarti kekuasaan. Oleh karena itu secara sederhana ekologi politik mencermati persoalan sumberdaya alam sebagai persoalan sosial-politik (Satria, 2009:2). Senada dengan pengertian sederhana tersebut, Bryant dan Bailey (dalam Adiwibowo, 2011:7) menjelaskan bahwa ekologi politik fokus pada usaha mempelajari sumber, kondisi, dan implikasi politik dari perubahan lingkungan hidup. Menurut Bryant (1997:21) asumsi pokok ekologi politik ialah perubahan lingkungan tidak bersifat netral, tetapi merupakan suatu bentuk politik lingkungan yang banyak melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. Tabel 1. Beberapa Pengertian Ekologi Politik Menurut Para Tokoh
No . 1. Tokoh Hempel Definisi Mempelajari saling-ketergantungan (interdependence) antara unit politik dan saling keter-kaitan (inter-relationship) antar unit politik dengan lingkungan hidupnya, terutama yang berkenaan dengan konsekuensi politik dari perubahan lingkungan. Mempelajari relasi yang kompleks antara masyarakat dan lingkungan hidupnya melalui analisis yang cermat atas akses dan control terhadap sumberdaya alam serta implikasinya bagi kesehatan lingkungan dan keberlanjutan hidup. Merupakan kombinasi kajian ekologi dan ekonomi politik Berpijak pada Blaikie bahwa ekologi politik ialah Pendekatan kritis yang mempelajari relasi ekonomi politik

2.

M. Watts

3. 4.

Blaikie dan Brookfield Diana E. Rocheleau

174

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

lingkungan (sumberdaya alam). Menekankan pentingnya mengkaji hubungan antara isu lingkungan lokal dan proses ekonomi politik global. Termasuk di dalamnya adalah mengkaitkan produksi kapitalis dengan lokalitas-lokalitas yang berbeda, yang dihubungkan dengan eksploitasi sumber daya untuk subsistensi maupun profit. Sumber: Adiwibowo, 2011; Dianne E. Rocheleau, 2007; Nightingale, t.th. 5. Andrea Nightingale

Dari beberapa definisi di atas, menurut Blaikie (1999:131-147) belum ada definisi standar karena beragamnya epistimologi dan metodologi yang digunakan dalam label political ecology. Namun demikian, secara umum dari beberapa definisi di atas, ekologi politik dapat dimaknai sebagai pendekatan yang mempelajari fenomena, proses, dampak relasi politik terhadap keberlangsungan lingkungan. Oleh karena itu, tujuan ekologi politik tidak hanya sebagai penjelas realitas perubahan lingkungan an sich, tetapi juga menjadi instrumentasi penting dalam formulasi kebijakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Tujuan tersebut juga menjadi penjelas dan pembeda antara ekologi politik dan politik lingkungan hidup. Politik lingkungan hidup merupakan kajian yang membahas interaksi antar berbagai elemen sistem (variable) di dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan publik yang menuju terbentuknya public policy terhadap masalah-masalah lingkungan. Menurut Garner (1996:v-vi) secara komprehensif dibahas berbagai isu krisis lingkungan, ideologi politik lingkungan, gerakan lingkungan, sistem politik, partai politik dan lingkungan, dan proses politik dan lingkungan. Singkatnya, politik lingkungan hidup secara sederhana, meminjam istilah Bryant dan Bailey (dalam Satria, 2009:5) dimaknai sebagai bidang kajian dalam ilmu politik terhadap masalah-masalah lingkungan. Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan ekologi politik dan politik lingkungan hidup, lihat tabel 2 berikut. Tabel 2. 175

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

Perbedaan Ekologi Politik dan Politik Lingkungan Hidup1


Aspek Ranah Kajian Ekologi Politik Menekankan pada dimensi historis, politik, sosiologi, ekonomi, dan ekologi Terlalu akademis Geografi Ekonomi perubahan lingkungan politik Politik Lingkungan Hidup Menekankan pada dimensi politik dan lingkungan (ekologi)

Esensi Label Disiplin keilmuan Isu pokok

Lebih Populer Ilmu Politik Teori politik hijau, sistem politik, partai hijau, ideology politik lingkungan, Negara, dan relasi antar Negara Teknosentris Menitikberatkan pada elemen sistem politik dan institusi

Ekosentris Memperhatikan elemen sejarah, konteks hulu, tengah, hilir Body of Komprehensif dan Determinan ilmu Knowledge multi disiplin politik keilmuan Perspektif Kritis, populis Developmentalis Determinan Bias aktor-aktor Bias Kebijakan Politis Logika besar, Negara, dan swasta Driving Force Isu Common Isu Kebijakan resourses lingkungan Luaran politik Perubahan sosial dan Kebijakan formulasi kebijakan lingkungan: salah transformative satunya konservasi Sumber: Adiwibowo, 2011; Kartodiharjo, 2011; Satria, 2009; Rocheleau, 2007; Garner, 1996; Bryant dan Bailey, 2001; dan Cooper, 1997.

Paradigma Tipe tahapan

Pemikiran Ekologi Politik: dari Blaikie sampai Rocheleau

Persamaan antara Ekologi Politik dan Politik Lingkungan Hidup salah satunya ialah bahwa keduanya berada dalam rumah besar Sosiologi Lingkungan.
1

176

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

Perkembangan kajian ekologi politik sebagai sebuah pendekatan, baru muncul sebagai wacana2 sekitar 1990-an. Namun, embrio ekologi politik telah muncul dalam sejumlah studi sejak tahun 1970an, saat itu istilah tersebut belum digunakan. Menurut Schubert (2005) sebelum ekologi politik muncul terlebih dahulu berkembang ekologi budaya yang sumbernya ditarik dari antropologi. Ekologi budaya ini berusaha mengkaji proses adaptasi budaya dan masyarakat terhadap lingkungan. Namun, ekologi budaya dianggap terlalu teknis, ahistoris, dan sederhana. Dari kritik inilah kemudian muncul studi yang menggunakan pendekatan ekologi politik. Tulisan pertama yang sangat fenomenal dan oleh banyak pihak dianggap sebagai karya klasik tentang ekologi politik ialah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries tahun 1985 karya Piers Blaikie. Karya tersebut membahas masalah degradasi tanah di Afrika dan masalah-masalah lebih luas seperti kemiskinan, ketunakismaan (landlessness), keterbelakangan, hubungan neo-kolonial, marjinalisasi politik dan ekonomi.3 Tulisan tersebut dalam banyak hal telah mengubah cara pandang tentang lingkungan melalui ranah studi kritis (critical studies). Melalui tulisan inilah kemudian ekologi politik berkembang, dan Blaikie di sebut-sebut sebagai peletak dasar atau Bapak Ekologi Politik. Mengenai hal ini, Dianne E. Rocheleau (2008:716-727) dalam tulisannya Political ecology in the key of policy: From chains of explanation to webs of relation menjelaskan bahwa setidaknya lima ciri penting yang telah dirintis oleh Blaikie dalam karya klasiknya, antara lain. 1. Multi Metode, objektif, aktor dan audiens:
adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. Antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Faucoult, Elemen Taktis ini sangat terkait dengan kajian strategis dan politis, tapi tentu saja istilah politik disini tidak selalu berarti faktor-faktor pemerintahan, segala sesuatu yang meng-hegemoni baik itu secara kultural maupun secara ideologis sebenarnya memiliki konstruksi politisnya sendiri. Lihat Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction: Volume I. Vintage Books, 1990, hal. 102; Teun Van Djik, Discourse And Society: Vol 4 (2). London, Newbury Park and New Delhi: Sage Publivations, 1993. 3 Menurut Adiwibowo (2011:4), pada periode ini (1970an- pertengahan 19801an) KOMUNITAS Volume 6. No 2. Desember 2012. 173-187 kelemahan kajiannya ialah bahwa peran masyarakat lokal dalam memperjuangkan akses dan mediasi konflik tidak dianalisis atau diabaikan.
2Wacana

177

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

2.

3. 4. 5.

a. Eksplanasi Kritis b. Analisis praktis dan pemecahan masalah c. Pengujian dan penetapan kebijakan Penggabungan dari analisis sosial dan analisis biofisika terhadap relasi kekuasaan dan lingkungan. a. Metode Campuran (mixed method) b. Analisis yang terintegrasi Analisis multi skala Internasional, Regional, Nasional, rumahtangga, kebijakan, praktik, dan dampak. Observasi empiris dan kumpulan data pada level rumah tangga dan lokal. Rantai eksplanasi mengkombinasikan struktur dan agensi.

Tiga dari lima ciri penting yang diletakkan oleh Blaikie di atas, setidaknya merupakan esensi dasar dari kajian ekologi politik hingga hari ini. Pertama, multi metode, objektif, aktor dan audiens (masyarakat). Pendekatan ekologi politik seperti dijelaskan diawal merupakan pendekatan yang multi metode dan multi dimensi yang mencakup sejarah, ekonomi, sosial, politik, dan ekologi. Sementara penekanan pada pendekatan aktor menjadi ciri khas pemikiran ekologi politik yang diletakkan Blaikie. Pendekatan ini berpusat pada pelaku (actor-oriented). Kedua, Analisis multi skala: internasional, nasional, rumahtangga, kebijakan, praktik dan dampak. Pada konteks ini menjadi tipe tahapan bahwa kajian ekologi politik mengedepankan aspek dari hulu, tengah, hingga hilir. Dari level terkecil (rumahtangga), komunitas, sampai Negara dan global, dari analisa mikro, messo, dan makro. Singkatnya, pada titik ini kajian ekologi politik merupakan kajian yang komprehensif. Ketiga, mengedepankan pada kombinasi struktur-agensi atau struktur dan aktor. Struktur dan agensi/aktor adalah elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian ekologi politik. Struktur mencakup kebijakan, regulasi, norma, dan hukum. Sementara itu, agensi atau aktor adalah pelaksananya. Tarik-menarik kedua ranah tersebut menjadi poin penting dalam memahami diskursus atau wacana yang terjadi, sebab di dalamnya kepentingan bermain, dan relasi politik kekuasaan

178

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

terjadi. Meminjam bahasa Foucault, knowledge is power, dalam pengetahuan/wacana selalu ada relasi kekuasaan.

Bryant dan Bailey: lima pendekatan ekologi politik


Banyak literatur telah dicurahkan oleh para ahli dalam mengembangkan kajian ekologi politik. Keragaman tersebut memunculkan beberapa implikasi, salah satunya kian melengkapi keragaman pendekatan kajian ekologi. Dalam satu dekade terakhir, beberapa kritik telah diarahkan pada pustaka ekologi politik. Mengingat sifatnya yang lintas-disiplin dan integratif, sebagian besar penelitian mengkritik bahwa ekologi politik dirumuskan dalam bentuk terlalu banyaknya atau tidak cukupnya komponen konseptual atau disiplin tertentu.4 Hasil penelitian tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan oleh peneliti, begitupun sebaliknya. Terkait konteks pendekatan, Bryant dan Bailey (1997:20-23) memetakan lima pendekatan ekologi politik yang saling kaitmengait. Kelima pendekatan itu antara lain:

4 Selain persoalan konseptual, persoalan yang menjadi kritik para pengamat juga mengetengahkan persoalan; (1) ekologi politik dianggap telah tersesat terlalu jauh ke arah analisis kekuasaan dengan mengorbankan pemahaman ekologi yang jelas dan rinci; (2) Kajian ekologi politik terlalu asyik berpikir tentang pemahaman struktur sosial dan tidak memberikan perhatian seperlunya untuk memahami dan mendokumentasikan perubahan lingkungan, yang tidak selalu merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi dan politik; (3). Masalah relevansi kebijakan politik ekologi, dengan menekankan kebutuhan untuk membuat wawasan yang bermanfaat tidak hanya untuk sesama akademisi, tetapi juga untuk para praktisi dan pembuat kebijakan; (4) Selama ini belum ada pemecahan yang jelas dan konkrit karena terlampau komprehensifnya analisa yang harus dilakukan, sehingga uraian Robbins tentang ekologi politik sebagai (hanya) "sesuatu yang dilakukan orang" tampaknya mencerminkan konsensus umum. Lihat Vayda and Walters, 1999; Zimmerer, 2000; Robbins, 2004; Walker, 2005; dan Neumann, 2008.

179

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

1. Pendekatan yang bertumpu pada masalah lingkungan secara spesifik, berpijak pada traditional geography, pemahaman dampak manusia dengan lingkungan fisik. 2. Pendekatan yang fokus pada link-link penting yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan ekologi politik untuk mengapresiasi sebagian ide-ide dikembangkan dan dipahami oleh para aktor yang berbeda dan bagaimana wacana yang ada perlu dikembangkan untuk promosi atau suatu kepentingan aktor tertentu. 3. Pendekatan yang melihat kaitan politik dengan masalah ekologis dalam konteks wilayah geografis tertentu. Ekologi politik regional ini telah mencerminkan kepedulian untuk memperhitungkan variabilitas lingkungan dan variasi spasial dalam ketahanan dan kepekaan tanah serta teori pertumbuhan dan penurunan regional. 4. Pendekatan yang mengeksplorasi pertanyaanpertanyaan politik dan ekologi terkait dengan karakteristik sosial-ekonomi, seperti kelas, etnis dan gender. 5. Pendekatan yang menekankan pada kebutuhan untuk fokus pada kepentingan, karakteristik, dan tindakan dari berbagai jenis pelaku atau aktor dalam memahami konflik ekologi politik.

PERKEMBANGAN EMPIRIK: CONTOH KASUS EKOLOGI POLITIK


Seperti telah diawal pengantar kasus 1, mengetengahkan isu konflik antara petani Banten dengan Perusahaan Air Minum Aqua-Danone (TNC).

180

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

Catatan Peristiwa Kasus 1 Masyarakat Padarincang (Petani, Ulama, Jawara, dan aktivis lingkungan) yang menyadari masa depan ketersediaan air menyatakan kesefahaman bersama bahwa komersialisasi air akan memunculkan resiko dampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar; setidaknya akan menghilangkan hak dasar warga atas air serta pengurangan kapasitas dan kualitas air di wilayah Padarincang. Pada pertengahan Juni 2010 warga Padarincang menggelar forum terbuka yang melahirkan kesepakatan mengenai bahaya krisis yang paling penting di Padarincang, Forum ini digelar sebagai bentuk respon dari akan dilanjutkannya rencana pembangunan pabrik Danone yang pada tahun 2008 sempat dihentikan oleh karena ada penolakan dari warga. Sejak tahun 2008 warga dengan tegas menolak kehadiran korporasi sektor air, PT. Tirta Investama telah dipandang sebagai salah satu perusahaan yang menyumbang terjadinya bencana kekeringan air, catatan di Sukabumi dan Klaten merupakan referensi empirik bagi warga Padrincang untuk terus menggalang solidaritas dan dukungan dalam upaya mencabut Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007 tertanggal 8 Februari 2007. Pertengahan tahun 2010 warga Padarincang kembali bergejolak setelah mendapatkan kabar bahwa Bupati akan meneruskan rencana pembangunan pabrik Danone di Cirahab. Reaksi kembali muncul dan mempertanyakan komitmen bupati atas pernyataan awal yang siap mencabut surat izin pembangunan yang telah diberikan kepada PT. Tirta Investama. Common Resourses (1) AIR (izin pengeboran 150 m. Keterangan: Sulit untuk mengontrol tingkat kedalaman pipa penyedot, biasanya pihak perusahaan menambah tingkat kedalaman saat ketersediaan air bawah tanah mulai menurun. Air tersebut juga sebagai salah satu harapan masyarakat dalam pengairan sawah; (2) TANAH (Lahan tanah yang akan dibebaskan 12 hektar lahan adalah lahan sawah produktif)

Sumber: Radar Banten, 20 Desember 2010; Tim Katalis, Februari 2011.

Kasus di atas bila diidentifikasi melibatkan masyarakat lokal (Petani) versus TNC (Danone-Aqua)-Pemerintah Kabupaten Serang. Kasus ini berdimensi struktural5 karena dilatari oleh
strukturalis melihat persoalan degradasi lingkungan sebagai akibat dari kekuatan kapitalisme atau kebijakan negara yang opresif dan berdampak kepada masyarakat setempat dan lingkungan (Forsyth, 2003:8).
5Pendekatan

181

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

kebijakan berupa keputusan Bupati Serang, nomor 593/Kep.50Huk/2007 tertanggal 8 Februari 2007 tentang perizinan komersialisasi air dan penguasaan tanah pertanian untuk pembangunan infrastruktur kepada PT. Tirta Investama, AquaDanone. Hal ini memicu munculnya konflik antara petani vs TNC-Pemerintah. Landasan petani melakukan perlawan ialah bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan ekologis dan sumber kehidupan masyarakat, sumber religiusitas dan kearifan lokal yang jika diserahkan kepada TNC-Pemerintah akan memunculkan berbagai dampak ekologis dan marginalisasi petani, karena matinya sektor pertanian. Alur Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN
Komersialisasi Air Aqua-Danone

SDA / Air Rawa Danau & Air Gunung Karang

Potensi konflik

Polemik

Petani

Konflik

Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007

Penguatan Jaringan

Komersialisasi Air dan Penguasaan Tanah Pertanian

Sumber: Analisa Penulis

Meninjau kasus di atas selain dilihat dari dimensi strukturalis, dapat juga dikaji melalui pendekatan aktor seperti yang diperkenalkan Bryant dan Beiley dalam The Third World Political Ecology. Menurutnya, pendekatan aktor bertumpu kepada konsep politicized environment. Konsep ini menjelaskan 182

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Menurut Bryant dan Bailey (1997:28; Satria, 2009:9-10), ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor, yaitu: 1. Biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. 2. Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi. 3. Dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor dengan lainnya. Ada dua aktor yang penting, salah satunya, negara (state). Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor pengguna maupun pelindung sumber daya alam. Oleh sebab itu, negara juga sering mengalami konflik kepentingan, sehingga banyak kritik terhadap eksistensi negara. Negara sering mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, berusaha mengejar pembangunan ekonomi, termasuk berusaha menarik perusahaan multinasional untuk menanamkan modal di wilayahnya, yang terkadang mengabaikan aspek perlindungan lingkungan hidup. Di samping negara, aktor lain yang mempunyai posisi signifikan ialah pemodal nasional dan MNCs yang merupakan perwujudan kekuatan kapitalisme. Di luar dua aktor di atas, ada satu aktor lain yang merupakan pihak terlemah dalam politicized environment, yaitu rakyat jelata. Rakyat hampir selalu mengalami proses marginalisasi dan rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Menurut Forsyth (2003:6) degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan dua kondisi yang sudah menjadi keniscayaan. Oleh karena itu, pada titik ini, meminjam bahasa Mansour Fakih (2002:123-130), sumberdaya alam (lingkungan) menjadi arena perjuangan kekuasaan (struggle for power) melalui kepentingan negara.

MASA DEPAN EKOLOGI POLITIK


183

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

Sebagai sebuah kajian, ekologi politik terus berkembang seiring perubahan yang terjadi. Menurut Rocheleau (2008) setidaknya ada dua tren penting dalam perkembangan kajian ekologi, pertama mengenai peningkatan aktivitas kajian, situasi pengetahuan, dan gerakan sosial. Kedua, kembali ke ekologi, ilmu pengetahuan, dan kompleksifitas yang mencakupnya. Rocheleau merinci kedua hal tersebut melalui penjelasan berikut:. 1. Peningkatan aktivitas kajian dan pergerakan sosial.6 2. Liberalisasi ekologi7 3. Ekologi Politik Post-struktural. Terkait isu politik kebudayaan, identitas, diskursus/wacana, membangun teori Foucaultian dan melalui metode analisis pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, dan konsevasi. 4. Ekologi politik feminis 5. Menurut Rocheleau (2008) ekologi politik feminis berusaha mengatasi kekakuan dan esensialisme dari konsep gender sebelumnya dan membangun analisis pada identitas dan perbedaan. Ekologi politik feminis melihat perubahan lingkungan dari kaca mata gender dan berusaha mengidentifikasikan peluang dan kendala yang mempertajam perilaku penggunaan lahan yang tergenderkan. Gender berperan sebagai variabel kritis yang mempertajam akses dan kontrol sumber data. 6. Partisipatori dan praktik ekologi politik untuk pembangunan alternatif. Contohnya melalui kajian demokrasi dan efektifitas model kolaborasi dengan gerakan sosial, NGOs, dan kelompok masyarakat lokal. Pendekatan yang dapat digunakan salah
Dalam konteks ini fokus yang diharapkan bahwa kajian-kajian ekologi dapat berlangsung dan memunculkan gerakan sosial baru dalam menciptakan perubahan sosial dalam intekasi dan relasi antara manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, kajian yang diharapkan dapat fokus dan menyentuh esensi kebijakan. 7 Liberalisasi ekologi merupakan topik yang bertumpu pada pendekatan struktur yang menghubungkan politik dan gerakan sosial, economic root, dan mengidentifikasi masalah serta solusinya.
6

184

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

satunya adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sementara itu, mengenai masa depan ekologi politik sangat terkait erat dengan hibridisasi dan kompleksitas keilmuan. Kompleksitas keilmuan dan hibridisasi akan sangat penting dalam mempengaruhi perkembangan ekologi politik ke depan. Rocheleau merumuskan beberapa hal penting terkait masa depan ekologi politik, yaitu (1) labeling penamaan ekologi politik dalam konteks akademik; (2) publikasi penelitian ekologi politik yang komprehensif (empirical, quantitave and ecological data was routinely purged as unnecessary or exersive.); (3) pemetaan lanskap ekologi politik dari kritisisme ke aktivisme menuju scientific practice; (4) pengembangan kompleksitas teori, model, dan pendekatan dalam penelitian Ekologi Politik; dan (5) focus pada relasi politik dan mengesampingkan ekologi.

PENUTUP
Ekologi politik seperti dijelaskan di atas, merupakan bidang kajian yang bertumpu analisa persoalan sumberdaya alam sebagai persoalan sosial-politik. Sebagai sebuah pendekatan kajian ekologi politik terus berkembang dan kompleksitas penelitiannya kian beragam yang kemudian mempengaruhi peta kekinian kajian tersebut. Dalam konteks kekinian, pertama, ekologi politik mengarah sebagai bidang penelitian yang didasarkan pada studi interdisplin dari antropologi-budaya, ekologi manusia, ekonomi politik, dan sosiologi lingkungan. Studi-studi ekologi politik berelasi dengan berbagai inisiatif dalam isu perubahan lingkungan (seperti keanekaragaman hayati, kebijakan kehutanan, sumber daya air dll.) yang mempengaruhi komunitas, terutama kaum miskin yang sering termarjinalkan. Kedua, ekologi politik saat ini digunakan untuk menguji bagaimana pemaknaan sejarah dan praktek budaya dalam interaksinya terhadap manusia dan alam, termasuk di dalamnya interaksi bencana dan manusia. Ketiga, ekologi politik, termasuk juga ekologi modernisasi, sosial ekologi sedang menuju KOMUNITAS Volume 6. No 2. Desember 2012. 173-187 satu disiplin ilmu yang bernama sosiologi lingkungan. 185

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Soeryo. 2011. Ekologi Politik: Kuliah 1 dan 2. Bogor: SPD. Blaikie. P. 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries, London: Longman. Blaikie, P., A Review of Political Ecology: issues, epistemology, and analytical narrative in Zeitschrift fur wirtschaftsgeografie, 1999, 43(3/4), p. 131-147. Bryant, Raymond L., and Sinead Bailey. 1997. Third World Political Ecology. New York: Routledge. Djik, Teun Van Djik. 1993. Discourse And Society: Vol 4 (2). London, Newbury Park and New Delhi: Sage Publivations. Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta Insist Press dan Pustaka Pelajar. Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Science. London: Routledge. Foucault, Michel. 1990. The History of Sexuality: An Introduction: Volume I. Vintage Books. Garner, Robert. 1996. Environmental Politics. New York: Prentice Hall, Harvester Wheatsheaf. Kartodiharjo, H. 2011. Bahan Kuliah Ekologi Politik. Bogor: SPD. Neumann, Roderick P. 2008. Making Political Ecology. London: HodderArnold. Nightingale Andrea, Can Social Theory Adequately Address Nature-Society Issues? Do Political Ecology and Science Studies in Geography Incorporate Ecological Change?, Institute of Geography Online Paper Series : GEO-027. Radar Banten, 20 Desember 2010, Warga Padarincang Istighotsah Menolak Aqua. Robbins, Paul. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. Oxford: Blackwell Publishing. Rocheleau, Dianne E., Political ecology in the key of policy: From chains of explanation to webs of relation in Geoforum edition 39 (2008) 716-727. Satria, Arif. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKis. 186

Jurnal Komunitas Volume 6 Nomor 2, Desember 2012 ISSN : 2302-7983

Schubert, John. 2005. dalam Political Ecology in Development Research : An Introductory Overview and Annotated Bibliography. Tim Katalis, Kronologi Perlawanan Warga Padarincang Vs. Aqua-Danone dalamhttp://timkatalis.blogspot.com/2011/03/kronologperlawanan-warga-padarincang.html, Diakses 2 Mei 2011. Vayda, Andrew P. and Bradley B. Walters. 1999. Against Political Ecology. In Human Ecology Edition 21(1): 167-179. Walker PA, Political ecology: where is the ecology Progress, in Human Geography. 2005; 29(1):7382. Zimmerer, K.S. 2000. The re-working of conservation geographies: non-equilibrium landscapes and naturesociety hybrids. Annals of the American Association of Geographers Edition 90 (2), 356-370.

187

Anda mungkin juga menyukai