Anda di halaman 1dari 8

.

POTENSI ENERGI ANGIN Secara keseluruhan potensi energi angin di Indonesia rata-rata tidak besar, tetapi berdasarkan survei dan pengukuran data angin yang telah dilakukan sejak 1979, banyak daerah yang prospektif karena memiliki kecepatan angin rata-rata tahunan sebesar 3.4-4.5 m/detik atau mempunyai energi antara 200 kWh/m sampai 1000 kWh/m. Potensi ini sudah dapat dimanfaatkan untuk pembangkit energi listrik skala kecil sampai 10 kW. Peta sebaran energi angin yang ada di Indonesia dapat dilihat dalamhttp://re.djlpe.esdm.go.id/re/.

2. LOKASI PEMANFAATAN ENERGI ANGIN Lokasi yang diinginkan dalam penempatan turbin angin adalah pada daerah yang memiliki kecepatan angin yang relatif konstan, arahnya tak berubahubah dan sedikit kemungkinan kecepatan angin yang sangat besar. Ditinjau dari letaknya pemanfaatan energi angin dibedakan menjadi tiga, onshore, offshore dan nearshore. Instalasi turbin onshore didefinisikan pada jarak 3 km atau lebih dari garis pantai dan umumnya instalasi dilakukan di daerah berbukit untuk mendapatkan percepatan topografis. Akan tetapi penentuan lokasi tepatnya harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menyebabkan perbedaan kecepatan angin yang signifikan. Instalasi turbin nearshore umumnya didefinisikan di wilayah pantai dari 3 km di daratan ke 10 km pada laut dari garis pantai. Pemanfaatan pada lokasi ini mengutamakan keuntungan dari adanya angin darat dan angin laut sehubungan dengan perbedaan suhu laut dan darat. Ketika instalasi dilakukan di laut lebih dari 10 km dari pantai maka disebut sebagai intalasi turbin offshore. Keuntungan dari pemasangan ini disebabkan oleh kecepatan angin yang relatif lebih tinggi sehubungan dengan tahanan geseknya yang lebih rendah dibandingkan di daratan. Selain itu, keberadaan turbin-turbin relatif tidak mengganggu dibandingkan dengan pemasangan di daratan. Akan tetapi, pemasangan di laut tentu akan memiliki kekurangan yakni membutuhkan transmisi yang lebih kompleks sehubungan dengan jarak dan harus melalui lautan. Ketika turbin-turbin ini diinstalasi dalam jumlah yang besar maka instalasi ini sering disebut sebagai ladang angin (wind farm). Pada ladang angin perlu diperhatikan "efek wind park" yakni turbin-turbin ini cenderung menghalangi turbin yang lain. Umumnya digunakan jarak antar turbin 3 - 5 kali

diameter turbin pada instalasinya 3. KONVERSI ENERGI ANGIN Energi angin dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi menggunakan kincir angin. Energi mekanik yang dihasilkan oleh kincir angin dapat dimanfaatkan secara langsung atau dikonversi menjadi energi listrik. Animasi menunjukkan pemanfaatan energi mekanik secara langsung terjadi sebagai berikut: Angin yang bergerak mengenai sayap kincir menyebabkan kincir berputar. Perputaran kincir tersebut menyebabkan terbentuknya energi mekanik, yang kemudian dapat menggerakan pompa sehingga air naik ke atas dan di tampung ke dalam tangki. Sedangkan konversi energi angin menjadi energi listrik (Animasi )adalah sebagai berikut: Angin yang melalui sudu-sudu kincir menyebabkan kincir berputar. Putaran kincir menyebabkan generator ikut berputar. Di dalam generator energi angin diubah menjadi energi listrik. Untuk pembangkit tenaga listrik skala kecil, karena kecepatan angin senantiasa berubah-ubah, maka perlu adanya pengatur tegangan. Disamping itu perlu baterai untuk menyimpan energi, karena seiring terdapat kemungkinan dimana angin tidak bertiup. Bila angin tidak bertiup, generator tidak berfungsi sebagai motor, sehingga perlu sebuah pemutus otomatik untuk mencegah generator bekerja sebagai motor. Perlu menjadi catatan bahwa apabila energi mekanik yang dihasilkan maka pada umumnya turbin angin disebut sebagai kincir angin, akan tetapi bila dikonversi menjadi listrik maka disebut sebagai turbin angin. 4. DISAIN TURBIN ANGIN Kebanyakan turbin angin dimanfaatkan untuk membangkitkan energi listrik sehubungan dengan kemudahan dalam pemanfaatannya. Berdasarkan sumbu putarnya, turbin angin didisain dalam dua tipe besar yakni turbin dengan sumbu putar horizontal dan turbin dengan sumbu putar vertikal. Turbin sumbu horizontal memiliki rotor dan generator listrik di bagian atas menara. Sumbu ini diarahkan pada arah angin. Kebanyakan sudu turbin menghadap ke arah angin yang

datang untuk menghindari turbulensi akibat terhalang oleh menara turbin. Beberapa tipe dari turbin sumbu horizontal mencakup kincir angin dan turbin angin modern. Tipe yang pertama pada umumnya memiliki empat sudu yang terbuat dari kayu. Tipe ini biasa digunakan untuk memompa air. Tipe yang kedua biasanya memilki tiga sudu dan dapat diarahkan dengan sistem kendali. Turbin ini memiliki kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Turbin jenis ini telah dikembangkan secara komersial untuk menghasilkan listrik. Beberapa keuntungan turbin jenis sumbu horizontal adalah stabilitas yang baik karena pusat gravitasinya disamping sudu, kemampuannya untuk mengatur sudu Gaya-gaya angin pada sudu turbin sehingga "angle of attack" yang terbaik dapat diperoleh. horizontal Turbin sumbu vertikal memiliki poros rotor yang berputar secara vertikal. Keuntungannya adalah generator dan gearbox dapat diletakkan di bawah sehingga beban menara lebih ringan. Turbin juga tidak perlu diarahkan sesuai arah angin. Akan tetapi selama perputaran dapat terjadi gaya berbalik dan gaya drag. Selain itu penempatan di atas menara lebih sulit, sehingga harus dipasang di tempat yang agak rendah yang berarti ekstraksi energinya juga lebih rendah. Beberapa jenis dari turbin sumbu vertikal mencakup kincir angin dengan layar berputar, turbin Darrieus dan Savonius. Tipe pertama merupakan penemuan yang relatif baru, terbuat dari layar dan dapat membangkitkan listrik pada kecepatan 2m/s. Turbin Darrieus memiliki efisiensi yang cukup tinggi tetapi menghasilkan ripple torka yang besar. Torka awal dari turbin ini sangat rendah, sehingga umumnya perlu turbin lain untuk menggerakkan turbin sampai pada kecepatan tertentu. Turbin Savonius relatif sederhana dan terdiri dari dua atau lebih mangkuk. Gaya-gaya angin pada turbin sumbu horizontal Pada prinsipnya gaya-gaya angin yang bekerja pada sudu-sudu kincir sumbu horizontal terdiri atas tiga komponen (Gambar ), yaitu: Gaya aksial, yang mempunyai arah sama dengan angin, gaya ini harus ditampung oleh poros dan bantalan Gaya sentrifugal s, yang meninggalkan titik tengah. Bila kipas bentuknya simetris, semua gaya sentrifugal s akan saling meniadakan atau resultannya sama dengan nol Gaya tangensial t, yang menghasilkan momen, bekerja tegak lurus pada radius dan yang merupakan gaya produktif Energi kinetik angin diperoleh berdasarkan energi kinetik sebuah benda dengan massa m, kecepatan v, maka rumus

energi angin dapat dirumuskan sebagai berikut: E = 0.5 m v2 Sedangkan jumlah massa yang melewati suatu tempat per unit waktu adalah: m=Av dimana : A = luas penampang (m2) = kerapatan (kg/m3) Maka energi angin yang dihasilkan persatuan waktu adalah : P = 0.5 A v3 Watt Efisiensi daya dari turbin adalah :

5. APLIKASI TEKNOLOGI ENERGI ANGIN Energi angin pada pertanian umumnya dapat dimanfaatkan sebagai penggerak pompa-pompa air untuk irigasi atau air minum ternak, menggiling padi untuk mendapatkan beras menggergaji kayu atau dikonversi menjadi energi listrik skala kecil. Pembangkit daya bertenaga angin tidak menimbulkan polusi dan dapat dikonstruksi secara fleksibel serta tidak membutuhkan lahan yang luas. Energi surya merupakan salah satu energi yang sedang giat dikembangkan saat ini oleh Pemerintah Indonesia karena sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup besar. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi angin rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2 (dua) macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu: Teknologi energi surya fotovoltaik, energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin di Puskesmas dengan kapasitas total 6 MW. Teknologi energi surya termal, energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil pertanian (perkebunan, perikanan, kehutanan, tanaman pangan) dan memanaskan air. 1. TEKNOLOGI ENERGI SURYA FOTOVOLTAIK

Salah satu cara penyediaan energi listrik alternatif yang siap untuk diterapkan secara masal pada saat ini adalah menggunakan suatu sistem teknologi yang diperkenalkan sebagai Sistem Energi Surya Fotovoltaik (SESF) atau secara umum dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik (PLTS Fotovoltaik). Sebutan SESF merupakan istilah yang telah dibakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk mengidentifikasikan suatu sistem pembangkit energi yang memanfaatkan energi matahari dan menggunakan teknologi

fotovoltaik. Dibandingkan energi listrik konvensional pada umumnya, SESF terkesan rumit, mahal dan sulit dioperasikan. Namun dari pengalaman lebih dari 15 tahun operasional di beberapa kawasan di Indonesia, SESF merupakan suatu sistem yang mudah didalam pengoperasiannya, handal, serta memerlukan biaya pemeliharaan dan operasi yang rendah menjadikan SESF mampu bersaing dengan teknologi konvensional pada sebagian besar kondisi wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau - pulau kecil yang tidak terjangkau oleh jaringan PLN dan tergolong sebagai kawasan terpencil Selain itu SESF merupakan suatu teknologi yang bersih dan tidak mencemari lingkungan. Beberapa kondisi yang sesuai untuk penggunaan SESF antara lain pada pemukiman desa terpencil, lokasi transmigrasi, perkebunan, nelayan dan lain sebagainya, baik untuk penerangan rumah maupun untuk fasilitas umum. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan jaman, pada saat ini di negara-negara maju penerapan SESF telah banyak digunakan untuk suplai energi listrik di gedung-gedung dan perumahan di kota-kota besar. Pada umumnya modul fotovoltaik dipasarkan dengan kapasitas 50 Watt-peak (Wp) dan kelipatannya. Unit satuan Watt-peak adalah satuan daya (Watt) yang dapat dibangkitkan oleh modul fotovoltaik dalam keadaan standar uji (Standard Test Condition - STC). Efisiensi pembangkitan energi listrik yang dihasilkan modul fotovoltaik pada skala komersial saat ini adalah sekitar 14 15 %. Komponen utama suatu SESF adalah: Sel fotovoltaik yang mengubah penyinaran/radiasi matahari menjadi listrik secara langsung (direct conversion). Teknologi sel fotovoltaik yang banyak dikembangkan dewasa ini pada umumnya merupakan jenis teknologi kristal yang dibuat dengan bahan baku berbasis silikon. Produk akhir dari modul fotovoltaik menyerupai bentuk lembaran kaca dengan ketebalan sekitar 6 8 milimeter. Balance of system (BOS) yang meliputi controller, inverter , kerangka modul,peralatan listrik, seperti kabel, stop kontak, dan lain-lain, teknologinya sudah dapat dikuasai; Unit penyimpan energi (baterai) sudah dapat dibuat di dalam negeri; Peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem terpusat, sistem hibrid, dan lain-lain masih diimpor. Kandungan lokal modul fotovoltaik termasuk pengerjaan enkapsulasi dan framing sekitar 25%, sedangkan sel fotovoltaik masih harus diimpor. Balance of System (BOS) masih bervariasi tergantung sistem desainnya. Kandungan lokal dari BOS diperkirakan telah mencapai diatas 75%. Sasaran Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Sasaran pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: Semakin berperannya pemanfaatan energi surya fotovoltaik dalam penyediaan energi di daerah perdesaan, sehingga pada tahun 2020 kapasitas terpasangnya menjadi 25 MW. Semakin berperannya pemanfaatan energi surya di daerah perkotaan. Semakin murahnya harga energi dari solar photovoltaic , sehingga tercapai tahap komersial. Terlaksananya produksi peralatan SESF dan peralatan pendukungnya di dalam negeri yang mempunyai kualitas tinggi dan berdaya saing tinggi. Strategi Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Strategi pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut:

Mendorong pemanfaatan SESF secara terpadu, yaitu untuk keperluan penerangan (konsumtif) dan kegiatan produktif.Mengembangan SESF melalui dua pola, yaitu pola tersebar dan terpusat yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pola tersebar diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk menyebar dengan jarak yang cukup jauh, sedangkan pola terpusat diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk terpusat. Mengembangkan pemanfaatan SESF di perdesaan dan perkotaan. Mendorong komersialisasi SESF dengan memaksimalkan keterlibatan swasta. Mengembangkan industri SESF dalam negeri yang berorientasi ekspor. Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efisien dengan melibatkan dunia perbankan. Program Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Program pengembangan energi surya fotovoltaik adalah sebagai berikut: Mengembangkan SESF untuk program listrik perdesaan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah yang jauh dari jangkauan listrik PLN. Meningkatkan penggunaan teknologi hibrida, khususnya untuk memenuhi kekurangan pasokan tenaga listrik dari isolated PLTD. Mengganti seluruh atau sebagian pasokan listrik bagi pelanggan Sosial Kecil dan Rumah Tangga Kecil PLN dengan SESF. Pola yang diusulkan adalah: Memenuhi semua kebutuhan listrik untuk pelanggan S1 dengan batas daya 220 VA; Memenuhi semua kebutuhan untuk pelanggan S2 dengan batas daya 450 VA; Memenuhi 50 % kebutuhan listrik untuk pelanggan S2 dengan batas daya 900 VA; Memenuhi 50 % kebutuhan untuk pelanggan R1 dengan batas daya 450 VA. Mendorong penggunaan SESF pada bangunan gedung, khususnya Gedung Pemerintah. Mengkaji kemungkinan pendirian pabrik modul surya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kemungkinan ekspor. Mendorong partisipasi swasta dalam pemanfaatan energi surya fotovoltaik. Melaksanakan kerjasama dengan luar negeri untuk pembangunan SESF skala besar. Peluang Pemanfaatan Fotovoltaik Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang kecil dan banyak yang terpencil menyebabkan sulit untuk dijangkau oleh jaringan listrik yang bersifat terpusat. Untuk memenuhi kebutuhan energi di daerah-daerah semacam ini, salah satu jenis energi yang potensial untuk dikembangkan adalah energi surya. Dengan demikian, energi surya dapat dimanfaatkan untuk p enyedian listrik dalam rangka mempercepat rasio elektrifikasi desa. Selain dapat digunakan untuk program listrik perdesaan, peluang pemanfaatan energi surya lainnnya adalah: Lampu penerangan jalan dan lingkungan; Penyediaan listrik untuk rumah peribadatan. SESF sangat ideal untuk dipasang di tempat tempat ini karena kebutuhannya relatif kecil. Dengan SESF 100 /120Wp sudah cukup untuk keperluan penerangan dan pengeras suara; Penyediaan listrik untuk sarana umum. Dengan daya kapasitas 400 Wp sudah cukup untuk memenuhi listrik sarana umum; Penyediaan listrik untuk sarana pelayanan kesehatan, seperti: rumah sakit, Puskesmas, Posyandu, dan Rumah Bersalin; Penyediaan listrik untuk Kantor Pelayanan Umum Pemerintah. Tujuan pemanfaatan SESF pada kantor pelayanan umum adalah untuk membantu usaha konservasi energi dan mambantu PLN mengurangi beban puncak disiang hari;

Untuk pompa air ( solar power supply for waterpump ) yang digunakan untuk pengairan irigasi atau sumber air bersih (air minum). Kendala Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia Kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi surya fotovoltaik adalah: Harga modul surya yang merupakan komponen utama SESF masih mahal mengakibatkan harga SESF menjadi mahal, sehingga kurangnya minat lembaga keuangan untuk memberikan kredit bagi pengembangan SEEF; Sulit untuk mendapatkan suku cadang dan air accu , khususnya di daerah perdesaan, menyebabkan SESF cepat rusak; Pemasangan SESF di daerah perdesaan pada umumnya tidak memenuhi standar teknis yang telah ditentukan, sehingga kinerja sistem tidak optimal dan cepat rusak.; Pada umumnya, penerapan SESF dilaksanakan di daerah perdesaan yang sebagian besar daya belinya masih rendah, sehingga pengembangan SESF sangat tergantung pada program Pemerintah; Belum ada industri pembuatan sel surya di Indonesia, sehingga ketergantungan pada impor sangat tinggi. Akibatnya, dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga modul surya menjadi semakin mahal. 2. TEKNOLOGI ENERGI SURYA TERMAL

Selama ini, pemanfaatan energi surya termal di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Para petani dan nelayan di Indonesia memanfaatkan energi surya untuk mengeringkan hasil pertanian dan perikanan secara langsung. Teknologi dan Kemampuan Nasional Berbagai teknologi pemanfaatan energi surya termal untuk aplikasi skala rendah (temperatur kerja lebih kecil atau hingga 60 o C) dan skala menengah (temperatur kerja antara 60 hingga 120 o C) telah dikuasai dari rancang-bangun, konstruksi hingga manufakturnya secara nasional. Secara umum, teknologi surya termal yang kini dapat dimanfaatkan termasuk dalam teknologi sederhana hingga madya. Beberapa teknologi untuk aplikasi skala rendah dapat dibuat oleh bengkel pertukangan kayu/besi biasa. Untuk aplikasi skala menengah dapat dilakukan oleh industri manufaktur nasional. Beberapa peralatan yang telah dikuasai perancangan dan produksinya seperti sistem atau unit berikut: Pengering pasca panen (berbagai jenis teknologi); Pemanas air domestic; Pemasak/oven; Pompa air (dengan Siklus Rankine dan fluida kerja Isopentane ); Penyuling air ( Solar Distilation/Still ); Pendingin (radiatif, absorpsi, evaporasi, termoelektrik, kompressip, tipe jet); Sterilisator surya; Pembangkit listrik dengan menggunakan konsentrator dan fluida kerja dengan titik didih rendah. Untuk skala kecil dan teknologi yang sederhana, kandungan lokal mencapai 100 %, sedangkan untuk sistem dengan skala industri (menengah) dan menggunakan teknologi tinggi (seperti pemakaian Kolektor Tabung Hampa atau Heat Pipe ), kandungan lokal minimal mencapai 50%.

Sasaran pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Meningkatnya kapasitas terpasang sistem energi surya termal, khususnya untuk pengering hasil pertanian, kegiatan produktif lainnya, dan sterilisasi di Puskesmas. Tercapainya tingkat komersialisasi berbagai teknologi energi surya thermal dengan kandungan lokal yang tinggi. Strategi Pengembangan Energi Surya Termal Strategi pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Mengarahkan pemanfaatan energi surya termal untuk kegiatan produktif, khususnya untuk kegiatan agro industri. Mendorong keterlibatan swasta dalam pengembangan teknologi surya termal. Mendor ong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efektif. Mendorong keterlibatan dunia usaha untuk mengembangkan surya termal. Program pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Melakukan inventarisasi, identifikasi dan pemetaan potensi serta aplikasi teknologi fototermik secara berkelanjutan. Melakukan diseminasi dan alih teknologi dari pihak pengembang kepada pemakai (agroindustri, gedung komersial, dan lain-lain) dan produsen nasional (manufaktur, bengkel mekanik, dan lain-lain) melalui forum komunikasi, pendidikan dan pelatihan dan proyekproyek percontohan. Melaksanakan standarisasi nasional komponen dan sistem teknologi fototermik. Mengkaji skema pembiayaan dalam rangka pengembangan manufaktur nasional. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk berbagai teknologi fototermik. Meningkatkan produksi lokal secara massal dan penjajagan untuk kemungkinan ekspor. Pengembangan teknologi fototermik suhu tinggi, seperti: pembangkitan listrik, mesin stirling , dan lain-lain. Peluang Pemanfaatan Energi Surya Termal Prospek teknologi energi surya termal cukup besar, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas pasca-panen komoditi pertanian, untuk bangunan komersial atau perumahan di perkotaan. Prospek pemanfaatannya dalam sektor-sektor masyarakat, yaitu: Industri, khususnya agro-industri dan industri pedesaan, yaitu untuk penanganan pascapanen hasil-hasil pertanian, seperti: pengeringan (komoditi pangan, perkebunan, perikanan/peternakan, kayu olahan) dan juga pendinginan (ikan, buah dan sayuran); Bangunan komersial atau perkantoran, yaitu: untuk pengkondisian ruangan ( Solar Passive Building , AC) dan pemanas air; Rumah tangga, seperti: untuk pemanas air dan oven/ cooker ; PUSKESMAS terpencil di pedesaan, yaitu: untuk sterilisator, refrigerator vaksin dan pemanas air. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan surya termal adalah: Teknologi energi surya termal untuk memasak dan mengeringkan hasil pertanian masih sangat terbatas. Akan tetapi, sebagai pemanas air, energi surya termal sudah mencapai tahap komersial. Teknologi surya termal masih belum berkembang karena sosialisasi ke masyarakat luas masih sangat rendah; Daya beli masyarakat rendah, walaupun harganya relatif murah; Sumber daya manusia (SDM) di bidang surya termal masih sangat terbatas. Saat ini, SDM hanya tersedia di Pulau Jawa dan terbatas lingkungan perguruan

Anda mungkin juga menyukai