Anda di halaman 1dari 21

BAB VIII

FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI PENELITIAN


Filsafat ilmu menjelaskan tentang duduk perkara ilmu atau science itu. Apa yang
menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin netralistik etik). Apa hasil-
hasil empirik yang dicapainya, serta batas-batas kemampuannya.
Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu
berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian, yaitu deduktif maupun
induktif. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai, yang disebut pengetahuan atau
knowledge, baik yang bersifat deskriptif (kualitatif dan kuantitatif) maupun yang
bersifat hubungan (proporsi tingkat rendah, proporsi tingkat tinggi, dan hukum-hukum).
8.1 THE QUEST FOR KNOWLEDGE
Adalah upaya manusia untuk mengetahui tentang Tuhan, alam semesta,
lingkungan (baik alamiah maupun social), dan dirinya (baik fisik maupun perilakunya).
Sudah menjadi kodrat manusia ingin mengetahui segala-galanya. Oleh karena itu
manusia selalu bertanya untuk mendapatkan jawabannya.
Mengetahui merupakan kenikmatan atau kebahagiaan. Karena manusia bias
mengetahui (dalam arti kata yang lebih dalam: memahami, mengerti, menghayati),
maka derajat manusia lebih tinggi daripada binatang, bahkan lebih tinggi daripada
malaikat.
Apa yang dipelajari sejauh ini adalah ilmu-ilmu barat, yaitu ilmu yang lahir dan
berkembang di dunia barat, yang akar-akarnya digali dari filsafat Yunani kuno. Tidak
ada salahnya melanjutkan tradisi itu, namun bila hanya itu saja dan begitu saja, maka
belum konsekuen terhadap Pancasila. Begitu mengakui Pancasila sebagai dasar Negara
dan sebagai pandangan hidup bangsa, maka quest for knowledge harus diturunkan
dari Pancasila yang menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya.
Maka dari satu kekhususan dibandingkan dengan ilmu-ilmu barat itu, niscaya
akan membawa pada kebenaran yang lebih benar daripada yang telah diraih oleh ilmu-
ilmu barat itu. Kekhususan itu adalah bahwa the quest for knowledge tak lain
merupakan upaya untuk menemukan dan mengerti ilmu Tuhan, yang sangat luas dan
dalam yang tidak akan habis-habisnya ditulis dengan tinta sebanyak tujuh samudera.
Ilmu itu telah ada, telah diciptakan oleh Tuhan, dan berjalan pada ketetapan-
ketetapan yang abadi (sunnatullah), yang tunduk pada penciptaNya tanpa
membangkang sedikitpun. Bila diperbolehkan meminjam istilah Kant, dikatakan bahwa
ilmu itu a priori. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk
menemukan, mengerti, dan menghayati ilmu, suatu kemampuan yang tidak
diberikanNya kepada ciptaan-ciptaanNya yang lain.
Al Quran mengisahkan ketika diadakan kompetisi di antara para malaikat dan
Adam, hanya Adam yang sanggup menyebutkan nama berbagai hal (menjelaskan sifat
dari hal-hal tersebut), sementara malaikat tidak sanggup. Kemampuan untuk
mengetahui inilah yang menjadikan manusia terunggul dan termulia di antara ciptaan-
ciptaan Tuhan, sehingga manusia mendapat tugas dan kedudukan untuk menegakkan
kekhalifahan di atas bumi.
Dalam upaya quest for knowledge itu manusia menggunakan segala
kemampuannya, yaitu akal budinya. Bila ilmu barat hanya menyandarkan pada akal
atau ratio saja dan kurang menempatkan budi atau rasa, sedangkan ilmu timur
menekankan pada budi atau rasa dan sedikit atau tidak menggunakan rasiom, maka
Pancasila menghendaki untuk menggunakan rasio dan rasa secara seimbang pada
tempat dan takaran yang benar.
Dalam hal ini doktrin netralistik etik (Weber) bukannya harus atau tidak boleh
dijalankan dalam telaah, akan tetapi harus mampu diterapkan pada tempatnya yang
benar, dengan takaran yang tepat. Rasio dan rasa merupakan kemampuan yang
dilimpahkan oleh Tuhan kepada manusi, yang kedua-duanya mempunyai kemampuan
dan keunggulan masing-masing untuk digunakan pada tempat masing-masing dan tidak
boleh dicampur-adukkan.
Kemampuan rasio terletak pada kemampuan membedakan dan atau
menggolongkan, menyatakan secara kuantitatif maupun kualitatif, dan menyatakan
hubungan-hubungan dan mereduksi hubungan-hubungan. Semua kemampuan itu
berdasarkan ketentuan atau patokan yang sangat terperinci. Rasio tidak berdusta, dalam
keadaan murni dia menyatakan secara tegas ya atau tidak.
Kemampuan rasa terletak pada kreativitasm, yang merupakan kegaiban, karena itu
langsung berhubungan dengan Tuhan. Kreatifitas inilah yang merupakan pemula di
segala bidang, nalar, ilmu, etika, dan estetika. Sebagai pemula kemampuan ini disebut
intuisi. Etika (love) dan estetika (beauty) seluruhnya terletak pada rasa sehingga
tiadanya rasa tak mungkin ada etika maupun estetika.
Rasa tidak mempunyai patokan. Rasa adalah media kontak antara manusia dengan
yang ilahi yang juga menjadikan manusia berderajat lebih tinggi dari malaikat,
sedangkan rasa yang tidak terjaga dari godaan setan (setan tidak bias tergoda rasio)
menjadikan manusia jatuh martabatnya. Dari gambaran di atas sampailah kita pada
masalah pokok manusia dengan pengetahuannya.
Manusia, dengan bersenjatakan pengetahuannya, dapat memilih, untuk menjalani
roda kehidupan yang diridhoi Allah dan tetap pada kemuliannya, atau untuk
menyimpang dari jalan itu dan terbenam ke dalam kenistaan yang lebih rendah dari
binatang sekalipun. Dalam hal ini quidance bagi manusia adalah moral (yang
bersemayam di dalam rasa).
Rasio menghasilkan ilmu dan ilmu menemukan atau mengungkapkan
sunnatullah, yang lebih kita kenal dengan istilah hukum-hukum nomologis, bersifat
kekal abadi dan netral yang menghasilkan etika atau moral, dengan hukum-hukumnya
yang disebut hukum-hukum normative dan bersifat imperatif.
Sehubungan dengan tidak adanya patokan, manusia sangat mungkin sesat dalam
menghasilkan hukum-hukum normative yang imperatif itu. Karena itu Tuhan
menurunkan petunjuk-petunjuk bagi manusia, berupa wahyu-wahyu yang disampaikan
kepada para nabi, yang kemudian dicatat dan dikumpulkan dalam kitab suci.
Rasio, dengan patokan-patokannya yang sangat terperinci, mampu menja diri
untuk tidak terkena godaan setan. Rasa yang tidak berpatokan itu dijaga dengan
petunjuk-petunjuk Tuhan, dan dengan kebesaran Tuhan.
Setan diijinkanNya untuk menggoda manusia agar manusia lengah dan
menyimpang dari petunjuk itu sehingga terjerumuslah manusia ke dalam lembah
kenistaan dalam usahanya mencapai kebahagiaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun
di akhirat.
Karena itu, di dalam upaya quest for knowledge setiap hari, pertama-tama harus
kuat memahami ilmu maupun humanitas, dan kedua: dalam mencapai kebenaran,
tidak cukup dengan verifikasi seperti ilmu barat, akan tetapi verifikasi yang dibarengi
dengan validasi. Adapun landasan validasi tak lain adalah firman-firman Allah.
8.2 THE KNOWER, NALAT DAN KNOWLEDGE
Manusia sebagai The Knower, sudah menjadi kehendak Allah bahwa manusia
diberi kemampuan untuk mengetahui (dalam arti kata luas), suatu kemampuan yang
tidak diberikan kepada ciptaan-ciptaan lainnya. Secara analitik, kemampuan untuk
mengetahui itu dapat diuraikan sebagai berikut :
Kemampuan kognitif, ialah kemampuan untuk mengetahui (dalam arti kata yang
lebih dalam seperti mengerti, memahami, menghayati) dan mengingat apa yang
diketahui itu. Landasan kognitif adalah rasio atau akal, yang sifat atau
kemampuannya telah dibahas pada bagian terdahulu. Kognisi an sich bersifat
netral.
Kemampuan afektif, ialah kemampuan untuk merasakan tentang yang
diketahuinya itu, ialah rasa cinta (love) dan rasa indah (beauty). Bila kognisi
bersifat netral, maka afeksi sudah tidak netral lagi. Baik rasa cinta maupun rasa
indah. Kedua-duanya merupakan kontinum dengan ujung-unung yang bersifat
polar (cinta-benci, indah-buruk). Landasan afeksi adalah rasa, atau qalbu, dan
disebut hati nurani. Seperti telah disebut sebelumnya, rasa inilah yang
menghubungkan manusia dengan kegaiban dan rasa inilah yang merupakan
sumber kreativitas manusia. Dengan rasa inilah manusia menjadi manusiawi,
atau dengan perkataan lain, bermoral. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa
rasalah yang menjadi tiang kemanusiaan. Namun rasa tidak mempunyai patokan
seperti halnya ratio. Disinilaah letak bahaya utama manusia, sehingga Tuhan
menurunkan petunjuk-petunjukNya kepada manusia, dengan penegasanNya,
bahwa Celakalah mereka yang tidak mendengar. Oleh karena itu rasa
merupakan keagungan sekaligus juga kelemahan manusia (polarity), dan di
sinilah pula letak sasaran godaan setan. Rasa yang terkena setan mengakibatkan
bermacam-macam kecelakaan. Menjadikan manusia tidak mendengar seruan
Allah, menjadikan rasio tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana
mestinya, menjadi tumpul atau mengarah untuk membenarkan apa yang
sesungguhnya tidak benar.
Kemampuan konatif, ialah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu.
Konasi adalah will, kemauan, keinginan, dan hasrat, yaitu daya dorong untuk
mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan oleh rasa. Rasalah yang
memutuskan apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau
dinyatakan buruk, dan menjadi sifat manusia untuk menginginkan/mendekati
yang dicintai dan yang dinyatakan indah, dan sebaliknya untuk menjauhi yang
dibenci dan yang dinyatakan buruk. Adapun kekuatan manusia untuk bergerak
mendekati/menjauhi disebut kemampuan konatif.
Dari ketiga kemampuan manusia itu, kognitif, afektif dan konatif, kemampuan
afektiflah yang menjadi titik pusat dan pada bidang kemampuan afektif inilah
(terutama) manusia mendapat petunjuk-petunjuk Tuhan di satu pihak, dan atas seijin
Tuhan pula manusia mendapat rongrongan setan yang terus-menerus tiada hentinya di
lain pihak.
Kemana manusia memutuskan untuk mendengar, terserah kepada pilihan
manusia itu sendiri. Inilah yang menentukan nasib manusia, keagungan atau kenistaan.
Adapun kognitif atau rasio, dan kemampuan konatif atau will, hanya mengiringi apa
yang telah diputuskan oleh rasa.
Satu hal lagi yang perlu dibahas dari sifat manusia sebagai the knower ialah
kesadaran manusia yang merupakan dasar yang lebih dalam bagi berfungsinya ketiga
kemampuan tersebut. Kesadaran atau countiousness manusia merupakan bukti dari
keberadaannya. Seperti diucapkan oleh Descartes, cogito cruo sum (saya berfikir maka
saya ada).
Kita dapat menambahkan bahwa karena berfikir itu hanya dapat dilakukan dalam
keadaan sadar, maka kesadaranlah yang merupakan dasar yang lebih dalam. Beberapa
pakar mempunyai pandangan yang berbeda tentang kesadaran manusia ini. Berikut ini
akan dikupas pandangan Freud, James, Al Ghazali, dan Fazlur Rahman.
Freud : oleh Martindalc (1960) digolongkan sebagai irrational analism
mengikuti Schpenhauer dan Hiearzache, yang berpandangan bahwa lebih dasar dari
para rasional. Manusia adalah emosinya dan naluri kehidupannya (atau will-nya).
Psikologi dari individu dalam pandangan itu terbagi menjadi dua bagian yaitu,
kesadaran dan ketidak-sadaran, dimana yang disebut terakhir berisi faktor-faktor
emosional yang lebih dalam, yang bersifat sangat seksual (libidinous), dengan suatu
mekanisme sensor berada di tengah-tengah. Id adalah ketidaksadaran, ego adalah
kesadaran, dan superego adalah mekanisme sensor. Pada dasarnya Freud beranggapan
bahwa dorongan seksual itulah yang merupakan nature yang ada pada manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa kesadaran menurut Freud adalah kesadaran seksual
yang telah disensor.
Marx menyatakan bahwa kelaslah yang member bentuk kesadaran manusia.
Individu akan menampakkan keperilakuan sebagaimana didiktekan oleh kelasnya.
Dalam pandangan Marx hanya ada dua kelas, yang satu memeras dan yang satu
diperas (sebagai teas dan antitesa), maka demikian pulalah kesadaran individu-
individu dalam masing-masing kelasnya. Jelas bahwa pandangan Marx ini merupakan
pandangan materialistic di mana yang material menguasai yang spiritual.
James : menentang pandangan bahwa kesadaran merupakan suatu kesatuan
(entity). Pikiran (thought) timbul atau dibuat dari obyek-obyek material (berupa
material, esensi, atau suatu mind lain) yang benar-benar ada, tapi tidak ada satu original
being yang sama seperti obyek-obyek itu yang menimbulkan pikiran tersebut. Bagi
James, yang ada hanya pengalaman (experience), di mana bagian dari pengalaman itu
dalam suatu konteks tertentu bersifat the knower (subyek) dan dalam konteks lain the
known (obyek). Dikatakan bahwa pengalaman murni adalah aliran (flux) dari
kehidupan yang memberikan bahan bagi refleksi-refleksi kita di kemudian hari.
Al Ghazali : menginterpretasikan, antara lain mean, dan melihat bahwa
kesadaran itu bertingkat-tingkat, dari tingkatan terendah sampai ke tingkatan tertinggi.
Yang terendah adalah kesadaran inderawi yang sering menipu dan bertalian dengan
nafsu ammarah; tingkat kedua berupa kesadaran akal yang mengoreksi kesadaran
indrawi (misal tongkat menjadi bengkak bila dicelupkan ke dalam air) dan bertalian
dengan nafsu lawwamah; kesadaran akali masih bisa menipu, misalnya bila kita
dihadapkan pada masalah moral. Kesadaran tertinggi adalah kesadaran rohani, yang
tidak bisa berbohong, dan bertalian dengan nafsu mutmainnah.
Fazlur Rahman juga mengiterpretasikan Al-Quran. Berbeda dengan Al Ghazali,
ia sampai pada kesimpulan yang lain. Bagi Fazlur Rahman, yang disebut ammarah,
lawwamah dan mutmainnah itu bukan tingkatan-tingkatan yang baku, akan tetapi
hanya kecenderungan-kecenderungan yang bisa terjadi pada setiap manusia dan pada
setiap saat. Jadi pandangan Fazlur Rahman ini lebih dinamis, dan tidak mengada-ada
seperti halnya dengan Al Ghazali.
Suwardi (1988) lebih cenderung untuk mengikuti interprestasi Fazlur Rahman,
dan menolajk interprestasi Al Ghazali beserta derivasi-derivasi yang dibuat oleh
Hidayat Nataatmadja yang didasarkan pada tingkatan-tingkatan kesadaran Al Ghazali.
Interprestasi Fazlur Rahman sesuai dengan konsepsi tentang fitrah manusia (the human
nature), yang tak lain adalah rasa atau kemampuan efektif yang bersifat bersih dari
segala kotoran, gangguan dan godaan, yang merupakan media hubungan yang dicipta
dengan Pencipta, yang merupakan dasar bagi yang dicipta untuk mendengar petunjuk
Yang Mencipta. Oleh karena itu kesadaran bersifat terbuka, bisa ammarah, bisa
lawwamah, dan bisa mutmainnah, di mana ketiga bentuk nafsu itu selalu bisa berganti-
ganti dari saat ke saat. Kepada ketiga bentuk itu sulit kita memberikan ranking
berdasarkan tinggi rendahnya, karena kesemuanya itu dibutuhkan oleh manusia, yang
merupakan makhluk material dan makhluk spiritual sekaligus. Yang penting bagi
manusia adalah kapan atau dalam keadaan apa manusia harus bersandar pada masing-
masing bentuk kesadaran itu, berdasarkan pada petunjuk-petunjuk itulah yang
menjadikan manusia sesat dan jatuh ke dalam jurang kenistaan.
8.3 NALAR ATAU BERPIKIR
Kesadaran adalah landasan untuk nalar atau berpikir. Apa yang dipikirkan oleh
manusia? Ialah tentang segala sesuatu, baik yang dapat diindera maupun yang tidak
dapat diindera. Segala sesuatu yang dapat diindera oleh manusia disebut pengalaman
atau experience, sedangkan segala sesuatu yang tak dapat diindera oleh manusia disebut
dunia metafisika (meta = beyond, metafisika = beyond experience). Berpikir tentang
experience disebut berpikir empirical, dan berpikir tentang dunia metafisika disebut
berpikir transendental.
Sebenarnya manusia hanya bisa berpikir empirikal saja, yaitu berpikir tentang
dunia pengalaman atau experience. Sedangkan berpikir transendental, yaitu berpikir
tentang dunia metafisika, atau tentang kegaiban, biasanya manusia hanya mengada-ada,
yang berakhir dengan kesesatan.
Dunia metafisika atau dunia kegaiban hanya dapat diketahui (dan dipikirkan)
berdasarkan petunjuk-petunjuk Yang Maha Kuasa yang menjadikannya. Ini disebut
divine revelatina atau pemberitahuan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia. Namun
sudah menjadi kenyataan bahwa para filsuf berpikir empirikal dan transendental tanpa
berlandaskan pada petunjuk-petunjuk.
Perkataan philosophy berasal dari kata Yunani yang berarti menyukai kearifan.
Apakah kearifan mereka? Kearifan orang-orang Yunani kuno itulah yang kini
merupakan akar-akar ilmu modern. Ini tiada lain adalah berpikir untuk menegakkan
kebenaran. Landasan yang mereka pegang adalah bahwa kebenaran itu harus dicapai
dengan cara berpikir baik, sehingga membuahkan suatu buah pikiran yang salah atau
benarnya harus berada dalam proses berpikir itu sendiri.
Ini berarti, pertama: tidak diperlukan kekuasaan/kewenangan apapun untuk
menyatakan benar atau salah suatu buah pikiran, baik institusi pemerintahan ataupun
institusi suci (sacred institution), dan kedua: dengan ditemukannya cara berpikir seperti
itu, setiap orang mampu menetapkan (establishing) kebenaran, tidak penting apakah
dia seorang negarawan, seorang pendeta, seorang bangsawan, atau rakyat jelata
sekalipun.
Para filsuf Yunani kuno menemukan cara yang diidamkan tersebut, yang disebut
pembuktian rasional atau rational proof, dalam logika dan dalam matematika. Dalam
logika Aristoteles dengan silogismenya sedangkan dalam matematika Euclid
menemukan cara pembuktian rasional dalam geometri.
Silogisme : terdiri dari premis mayor, premis minor dan sebuah kesimpulan.
Karena kedua premis merupakan self evident propositions, maka kesimpulan
yang dideduksi dari premis pun benar.
Geometri : dimulai dengan aksioma-aksioma tentang titik, garis, bidang, dan
sudut, yang tidak ada referensinya dalam dunia nyata. Oleh karena itu
hubungan-hubungan di antara keempat aksioma itu merupakan hubungan ide,
dimana hubungan yang satu dideduksi dari hubungan yang sudah ada.
Tokoh-tokoh filsafat Yunani kuno yang terkenal sampai sekarang di antaranya
Socrates, Plato, Aristoteles, para Sophis dan para Stoik. Dunia nalar sekarang mengakui
empat cirri cara berpikir filsafat Plato, yakni :
Ada tanda-tanda bahwa dalam studi berbagai ilmu yang ditelaah harus
dihubungkan dan dipandang sebagai satu system;
Ada satu kontras tentang sensible appearance dan intelligible reality. Yang
disebut pertama adalah kejadian-kejadian yang biasa, yang terhadapnya kita
hanya bisa beropini saja, sedangkan yang kedua adalah obyek system
matematika yang terlepas dari waktu dan berbagai form seperti kebaikan
(goodness) dan keadilan (justice). Istilah untuk intelligible reality adalah idea,
yang satu dan tidak berubah-ubah dan menurut Plato hanya idea saja yang bisa
menjadi obyek pengetahuan.
Kepuasan tertinggi pada ilmu hanyalah bila idea tersebut tercapai (the form of
the Good), dengan menunjukkan mengapa benda-benda (things) seyogyanya
harus seperti itu;
Pandangan (insight) intelektual seyogyanya dicapai dengan metode khusus yang
disebutnya dialetic. Dialetic ini tak lain adalah apa yang sekarang kita sebut
logika. Kaum Shopis dan kaum Stoik lebih mementingkan untuk mempelajari
masalah-masalah kemanusiaan (etika) dan masalah-masalah praktis. Oleh karena
itu perguruan mereka, selalu menampung murid-murid untuk dididik dan
diaplikasikan di masyarakat. Kaum Stoik berpandangan bahwa etika pun harus
rasional. Kekaisaran Romawi yang menjadi sangat meluas ke Timur dan ke
Barat mengembangkan pandangan kaum Stoik ini karena mereka sangat
membutuhkan hukum yang rasional untuk mengatasi berbagai macam adat
istiadat yang terbentang dari Timur ke Barat.






8.4 FILSAFAT DALAM MASA PATRISTIK DAN ABAD PERTENGAHAN
8.4.1 FILSAFAT KUNO
Filsafat Yunani kuno sejak abad keenam menyebar ke Timur dan Barat,
sedangkan di Yunani sendiri tidak banyak mengalami perkembangan. Dunia Arab
merupakan salah satu dari dunia Timur yang memperkembangkan filsafat Yunani kuno
ini.
1. Filsafat Arab
Pemikir-pemikir pionirnya adalah kaum Mutazillah (Abad 8) yang membatasi
diri mereka pada hal-hal yang bersifat apologetic Islam, terutama membahas
Keesaan Allah, kehendak bebas (free will), keburukan/kejahatan (evil) dan
penciptaan (creation). Pada Abad 9 filsafat Arab yang lebih definitive dengan
pengaruh-pengaruh mereka menyebar ke Persia, Spanyol, dan ke dunia Barat
pada umumnya. Al Kindi, seorang Arab, mengombinasikan Islam dengan
filsafat Aristoteles dan Neoplatonik, mengupas masalah-masalah ketidakbakuan
(noneternity) dunia, kebebasan/kemandirian jiwa (soul), dan kewahyuan
(prophetic knowledge). Razi, seorang Persia, lebih konstruktif dari Al Kindi,
seorang rasionalis yang kaya akan pengalaman di bidang pengobatan,
berpandangan bahwa filsafat berkedudukan lebih tinggi daripada agama. Ia
mengetengahkan lima prinsip: pencipta, jiwa dari dunia, materi, waktu, dan
ruang. Al Gharabi (Abad 10), seorang Turki, juga menyatakan superioritas
filsafat sebagai archievement manusia dan berpandangan bahwa ketrampilan itu
bisa dikuasai oleh siapa saja dan merupakan instrument terbaik untuk
mewujudkan organisasi Negara yang baik (sound). Ibnu Sina (Avicenna)
seorang Persia dari Abad 11, pemikir yang lebih sistematis (shifa) menyatakan
bahwa agama dan filsafat adalah sama tingginya. Al Ghazali (Abad 11-12)
menghancurkan semua pemikiran filsuf-filsuf dunia Arab ini dengan
menunjukkan kontradiksi-kontrdiksi dalam filsafat dan menegakkan keunggulan
(primary) ayat-ayat suci. Namun ia segera mendapat tantangan dari Ibnu Ruud
(Averoes) seorang Arab Spanyol (Cordoba). Averoes juga menyatakan bahwa
filsafat membawa manusia ke arah kebenaran yang murni dan komplit. Ia
mengritik pemikir-pemikir agama dan yang kekanak-kanakan dengan dogma-
dogma yang menyesatkan. Analisnya yang luas dan mendalam tentang karya-
karya Aristoteles menjadi model bagi filsuf-filsuf sejak pandangan-pandangan
Ibnu Sina. Di dunia Arab sendiri Al Ghazali mendapat kemenangan. Maka
terhentilah pemikiran-pemikiran yang dinamis, juga sampai ke Negara kita.
2. Dunia Barat
Abad 14 merupakan periode criticism, proses asimilasi telah selesai dan filsafat
telah mendapat kehidupannya yang mandiri. Determinisme absolute
probabilisme, empirisme maupun averoisme yang ekstrem diketengahkan,
dipertahankan, dan dihadapi. Pandangan-pandangan yang bersifat idealistic
(know only through our senses; appearance giving probability, never certainity :
things are construction of our mind, etc). Dalam Abad 15 dan 16 trend
pemikiran Abad 13 dan 14 dipertahankan dalam sekolah-sekolah, sehingga
timbul istilah cholastierm. Dalam Abad 16 dan 17 Platonism diinterpretasikan
lebih bersifat panteistik dan naturalistik. Untuk mendapat jawaban terhadap
kelanggengan jiwa (soul). Para filsuf mencarinya dari alam (nature) dan dengan
kejelian terhadap realitas dibarengi dengan skeptimisme diupayakan untuk
memecahkan problem-problem besar filsafat. Perhatian yang sama, ditunjang
oleh pengetahuan matematika dan mekanika, membuat Leonardo da Vinci
(Abad 15-16) menjadi pionir dalam eksperimen-eksperimen ilmu alamiah.







8.4.2 FILSAFAT MODERN
Abad 17 merupakan kelahiran filsafat modern di dunia Barat. Bapak filsafat modern
adalah Rene Descartes (Perancis) dan Francis Bacon (Inggris). Kelahiran filsafat modern ini
hasil pengaruh-pengaruh antara filsafat dan natural science yang waktu itu sudah mulai
berkembang. Ahli natural science adalah Copernicus (Abad 15), Kepler (Abad 17), dan Galileo
(Abad 17).
Galileo mempengaruhi Descartes dalam pemikiran-pemikirannya, sedangkan Newton
(Abad 11) mempengaruhi Immanuel Kant. Selain itu kelahiran filsafat modern itu (yang benih-
benihnya juga sudah terdapat pada Averoes, Abad 13) ditunjang oleh suasanan dinamis di Eropa
dalam bentuk munculnya monarkhi-monarkhi perkasa, nasionalisme, liberalisme, positivisme,
empirisme, materialisme, skeptisisme dengan tokoh-tokoh besarnya dan cara-cara pemikirannya
yang khas yang selanjutnya berkembang lagi menjadikan aliran-aliran Absolut Idealisme,Neo-
Kantianisme, Plencemelinisme, dan Pragmatisme (khususnya di Amerika).
Beberapa tokoh filsafat modern di antaranya :
A. ALIRAN CARTESIAN
Tokohnya adalah Rene Descartes. Cara berpikirnya adalah intuition deductionyang
merupakan kreativitas yang timbul secara gaib sedangkan deduction adalah pekerjaan rasio
dengan patokan-patokannya. Dikatakan bahwa dunia merupakan mesin besar dan yang ada
didalamnya yang kesemuanya tunduk kepada hukum-hukum alam yang dapat dimodelkan
secara sistematis.
Model matematis ini kaku. Saingannya Francis Bacon, bekerja secara produktif dan
lebih luwes sehingga ketika nama Decartes menurun, nama Bacon naik meskipun ia tidak
memberikan filsafat baru pada jamannya dan bagi 300 tahun sesudah itu.
Decartes memulai karirnya dalam logika, namun ia mencela mengonstruksikan suatu
metafisika untuk menghindari skeptisisme yang ditujukan kepadanya. Tumpuannya adalah pada
self dengan membuktikan bahwa self itu ada. Selanjutnya perlu dibuktikan bahwa Tuhan ada,
yang dengan demikian apa yang kita anggap (conceive) ada pasti ada.
Yang terakhir yang perlu dipecahkan, sebagai awal untuk tumbuhnya filsafat alam, adalah
masalah dikotomi antara mind dan matter sebagai subtansi yang terpisah, dengan subtansi
didefinisikan sebagai sesuatu yang ada dengan tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk ada.
B. ALIRAN JOHN LOCKE
Descartes, Spinoza dan Leibnitz sama-sama menginginkan untuk mengonstruksikan suatu
metafisika yang luas, namun Locke dengan New way of ideasnya menganjurkan untuk
memeriksa idea-idea dan mempersoalkan eksistensinya daripada mengonstruksikan suatu
sistem. Yang ditentangnya adalah berpikir secara dogmatis dalam filsafat seperti tentang innate
ideas yang dianggapnya tidak ada.
C. ALIRAN BERKELEY DAN HUME
Pandangan Locke menggugah dan menimbulkan reaksi Berkeley. Berkeley, seorang
uskup Inggris, mengemukakan pandangan idealisme khusus yang disebutnya immaterialisme,
yang membuatnya menjadi seorang idealis dan sekaligus empiricist. Untuk mengungkap
pandangan Berkeley perlu terlebih dulu ditelaah beberapa pengertian tentang idea, yaitu sebagai
berikut:
Idea platomic ialah yang satu yang tidak berubah-ubah, yang hanya dapat dimengerti oleh
intelektual kita, yang berbeda dengan yang banyak (particular things), yang dipresentasikan
secara deseptif kepada pengertian (sense) kita melalui pancaindera.
Iidea Descartes (dalam Abad 16 dan 17) sesuatu yang dibentuk oleh benda-benda di luar
tubuh seperti sebuah cap pada kertas. Idea yang artinya suatu representasi dalam pikiran dari
suatu obyek eksternal yang perceived ke dalam pikiran, dibarengi dengan keaktifan pikiran
seperti kehendak (will) dan asersi (assertions)/.
Dengan demikian obyek-obyek material tak pernah dapat dipersepsi kecuali secara tidak
langsung, yang artinya imajinasi ialah yang secara original diciptakan oleh pikiran (mind)
seperti munculnya the new ways of ideas-nya. Dengan pengertian ini maka pendapat itu dapat
sebutan idealist.
Dengan demikian idealisme adalah suatu pandangan yang menganggap tidak ada dunia
kecuali idea yang ada pada pikiran (mind) yang bersifat immaterial. Berkeley dengan
immaterialismenya bermaksud untuk menentang material dengan jalan menentang adanya
subtansi material, bahwa jagat raya hanya berisi Tuhan sebagai roh (spirit) dengan roh-roh yang
finite (berbentuk manusia), idea yang ada dalam pikiran, dan segala hubungan di antaranya
merupakan satu sehingga dengan demikian materialisme, atheisme, dan skeptisisme dapat
dinyatakan refuierd, sehingga agama akan menjadi lebih teguh dalam masyarakat.
Landasan bagi pembenaran pendapat Berkeley ini adalah pikiran murni kita, yang tidak
dapat disangkal oleh aliran manapun juga. Selanjutnuya, idea yang ada dalam pikiran itu hanya
akan ada bila ada pengalaman, dan hanya bila dialami.
Pendapat Berkeley tentang atheisme, materialisme, dan skeptisisme tidak mencapai hasil
yang diharapkan, karena paradoksal dan terlalu global hingga kurang meyakinkan. Hume,
seorang skeptik, malahan menggunakan pendapat Berkeley untuk memperkkuat empirismenya
yang radikal. Dinyatakannya bahwa arti metafisikal Berkeley mengandung implikasi-implikasi
yang lebih luas, misal bila dikatakan A menyebabkan B ini berarti : (1) A mendahului B
dalam waktu, dan (2) sebagai akibatnya ada kecenderungan yang kuat dalam pikiran untuk
mengharapkan terjadinya B bila A ada.
Karena itu kausalitas lebih merupakan kebiasaan (habit) dengan landasan tidak rasional.
Ini suatu skeptisisme. Dinyatakan bahwa kausalitas di alam berupa moral reasoning, berbeda
dengan kausalitas dalam matematika. Skeptisisme Hume mengguncang segala sendi-sendi
tentang Tuhan, self, sehingga kausalitas itu akhirnya mengguncangkan sendi-sendi ilmu itu
sendiri.
D. ALIRAN KANT
Semua aliran pikiran idealisme, rasionalisme, empirisme, materialisme, skeptisisme
dibenahi oleh Kant dengan pikiran-pikiran transendentalismenya yang dengan demikian Kant
menyelamatkan fondasi ilmu untuk dapat berkembang terus.
Buah karyanya, Critique of Pure Reason terbit dalam tahun 1789 yang mengandung
argumentasi-argumentasi pembenahan itu. Dikatakannya bahwa empirisme cenderung menjadi
skeptisisme. Sensa perception dari empirist disebutnya Manifold of Sense dan pengenalan
sebagai item dalam manifield itu tak mungkin menghasilkan knowledge, kecuali dengan
konsepsi, maka ia mengatakan perception without concept are blind.
Kepada para rasionalist Kant mengatakan bahwa mereka hanya main-main dengan
konsep-konsep atau pikiran-pikiran yang tidak terisi (seperti cause, substance, infinity) yang
hanya dapat mendeduksi dan menghasilkan konsep-konsep lain yang juga tanpa isi, tetapi tidak
mampu mengatakan bahwa dunia ini ada atau tidak.
Maka Kant mengajukan tiga dikotomi yang tajam: (1) a priori dan posteriori; (2)
nomenon dan phenomenon; (3) form dan content.
A priori dan posteriori
Cara mengetahui Pengetahuan yang diperoleh

Analitik (deduksi) Sintetik (empirik)
A Priori (deduktif)
A Posteriori (induktif)

Nomenon dan Phenomenon
Phenomenon adalah dunia sebagaimana dialami, dan nomenon adalah the things in it
self (yang tak akan dapat kita ketahui)
Form dan content (bentuk dan isi). Form adalah wadah untuk segala bentuk knowledge
atau pengetahuan dan bersifat fundamental. Content adalah knowledge yang merupakan
hasil dari apa yang dialami, yang masuk ke dalam mind (pikiran). Pikiran mempunyai
dua aktivitas, ialah perceiving dan Conceiving. Persepsi juga punya form. Persepsi
terjadi pada ruang dan waktu, inilah forms dari persepsi yang fundamental. Mengerti
berarti memadukan segala sesuatu dari yang fundamental. Mengerti berarti memadukan
segala sesuatu dari yang dipersepsi, dan yang terpenting dari padanya adalah kuantitas
dan kualitas. Form adalah a priori sintetik yang hilang (missing) dan dengan demikian,
maka ada kausalitas dalam pengetahuan a posteriori. Ini merupakan hantaman Kant
terhadap Hume yang menyatakan bahwa di alam tak ada kausalitas yang sebenarnya.
Ada tiga macam form, yaitu :
1. Form dari persepsi
2. Form dari pengertian (understanding),
3. Form dari reaseon.
Yang terakhir adalah kelanjutan dan konsumsi dari perpaduan aktivitas persepsi dan
pengertian, yang menghasilkan konsep-konsep dan yang memberikan konklusi-
konklusi absolut yang disebut ideas: idea of soul, idea of the world, dan idea of God.
Maka hancurlah spektisisme Hume.
E. ALIRAN HEGEL
Pikiran- pikirannya disebut idealisme absolut atau idealisme obyektif. Orientasi
filsafatnya adalah keagamaan yang kuat. Terkenal dengan dialetiknya (tesa, antitesa, sintesa). Ia
seorang pensintesa besar. Tantangan Hegel terhadap Kant yang ingin membenahi idealisme
cukup jitu. Menurut Hegel, Kant berbuat kebingungan kategori dalam mempermasalahkan
eksitensi Tuhan sebagai All Perfect Being.
Dalam argumentasinya Hegel mulai dengan menyatakan bahwa finite being secara logis
perlu ada dalam pikiran mendahului infinite being, agar tidak membatasinya. Kant yang
berlandaskan pada prinsip thoughts without content are empty tak menyetujui ontologi bahwa
sifat perfect menjamin eksitensinya, tidak dibantah oleh Hegel secara umum, namun khusus
dalam hal ini Hegel menyatakan kekeliruan Kant sehubungan dengan perbedaan kategori, finite
dan infinite.
Kata Hegel, jangan menyamakan eksitensi Tuhan (infinite) dengan eksistensi yang finite,
seperti misalnya eksistensi dari 100 dollar. Dengan demikian Hegel melanjutkan perkembangan
pikiran dari yang simpel dampai yang kompleks, seperti halnya dengan perkembangan manusia
dari bayi sampai dewasa, maka pemikiran-pemikiran science matematika, fisiologi, biologi,
kimia, dan lain sebagainya menjadi pemikiran filsafat yang kompleks dan terpadu,
mempermasalahkan being dan sebagainya dalam kategori-kategori yang lebih tinggi, yang
bersifat lebih absolut. Filsafat yang terakhir (latest) berisi semua yang mendahuluinya,
merupakan akibat dan hasil dari semua yang mendahuluinya: kita sekarang sudah tak mungkin
platonist lagi.
8.4.3 NEO-KANTIAN DAN PHENOMENALISM
Lange adalah pendiri aliran neo-kantian, seorang pemuka aliran materialisme. Ia
berpandangan bahwa materialisme adalah penjelasan yang paling komprehensif dari dunia fisik,
tetapi juga mengakui tak berdaya terhadap penjelasan segi spiritual dari manusia.
Ia tak dapat membenarkan untuk mereduksi kesadaran pada benda-benda fisik, dan jalan
keluarnya adalah realitas ketiga yang diberikan oleh puisi. Dengan demikian, dalam
pemikiran secara kantian, puisi memberikan rekonsiliasi dari kreativitas roh (spirit) dan dari
determinisme dan skeptisisme yang dihasilkan oleh fakta-fakta fisik. Liebmann mencoba
memecahkan perbedaan antara kesadaran subyektif dan pengetahuan obyektif melalui intuisi
empirikal dan yang diperoleh melalui transendental murni yang menurut dia dapat dicapai
dengan jalan peningkatan dari alam ke etos.
Liebmann melihat bahwa dualisme Kant terletak pada knowledge, sedangkan Richt
melihatnya pada being. Ia mencoba suatu transisi dari realitas di luar thought ke kesadaran.
Cohen memandang thought sebagai self dependent production dan merupakan realitas itu
sendiri. Pada Cassierer, neo-kantian pencarian (search) dari konsep-konsep matematika sebagai
wadah untuk menangkap multisiplitas yang dipertunjukkan oleh pengalaman.
Phenomenalisme merupakan de-religionisasi dari pandangan immaterialisme Berkeley
(oleh Mach, Mill, Hume) sehingga menjadi empirisme murni, sehingga material matter tetap
mendapat tempat. Mach mengatakan bahwa atom merupakan cara ekonomis untuk
menimbulkan pengalaman, sedangkan Mill menjadikan matter sebagai sumber permanen untuk
persepsi (sensation). Para fenomenalis berusaha untuk sampai pada esensi dengan mereduksi
fenomena menjadi nomena, dengan suatu metode yang tak pernah memuaskan.
Neo-megalianisme adalah suatu bentuk neo-idealisme dengan pikiran-pikiran yang
cenderung pre-kantian. Jadi dekat dengan Spinoza, Schoppenhaner dan Nietzche. Tokoh-
tokohnya adalah Bradley, Hayer, Wundt, dan Dihtey. Mereka berupaya untuk merekonstruksi
bentuk-bentuk holistik dari idealisme, pada saat kejatuhan hegelianisme.
Mereka berkeinginan menyediakan tempat bagi personality. Sebagai idealis, anggapan
mereka tentang realitas yang sebenarnya adalah spirit, sedangkan pengalaman hanyalah ilusi
belaka, yang hanya menggarap benda-benda finite saja.
Dipermasalahkan pula tentang being yang merupakan sesuatu their yang dicari oleh ideas,
yang bila telah ditemukan akan diketahui secara lengkap, yang akhirnya menghentikan segala
keraguan tentangnya. Teori tentang being ini menghendaki bahwa setiap fakta tentang alam dan
kehidupan orang merupakan percikan-percikan yang fragmentaris dari kehidupan absolut.
The self bukan benda, tetapi suatu pengertian (meaning) yang tergambar dalam
kehidupan yang sadar. Self yang absolut adalah Tuhan.
8.4.4 PRAGMATISME
Tokoh pragmatisme adalah James dan Deway. Filsafat yang lahir di Amerika merupakan
filsafat businessman para excellence. Isi filsafat ini adalah definisi baru dari kebenaran dekat
dengan headolistik utiliatirannisme. Tinjauan James lebih pragmatism sebagai empirism yang
direduksi dan didegradasi (reductio adbsurdum).
Logika, matematika dan statistika, ketiga-tiganya merupakan media untuk nalar dan
sekaligus untuk mengomunikasikannya. Ketiga-tiganya mempunyai patokan-patokan atau rules
dengan menggunakan tanda-tanda atau simbol yang diberi definisi yang ketat. Deduksi adalah
rules bagi logika dan matematika, dan induksi adalah rules bagi statistika. Deduksi disebut juga
inference.
Baik logika maupun matematika berbentuk form, sebagai wadah bagi berbagai content
atau isi. Patokan berlaku untuk form dan kebenarannya (dari Inferences) adalah kebenaran form.
Adapun kebenaran isi tidak menjadi jaminan. Juga keberadaan content tidak terjamin.
Kebenaran content tergantung dari premis-premisnya. Karena itu baik logika maupun
matematika tidak akan berarti jika itu adalah kosong (form without content is empty).
Berbagai peristilahan dalam logika :
1) Propositional calculus : suatu cabang logika yang paling dasar (elementer). Landasan
bagi yang lain-lain, dimaksudkan untuk memberikan persuasi pada kalimat-kalimat
yang dalam hal ini kata penghubungnya (connectives) adalah dan, atau, bila, dan
sebagainya.
2) Sistem logistik atau kalkulus merupakan bagian yang murni dari bahasa yang
diformalkan, merupakan abstraksi dari setiap pengertian atau interpretasi. Simbol rumus
yang diformulasikan dengan ketat. Patokan inference yang diinferen atau konklusi (dari
suatu premis) menjadi teorema bila ada bukti (proof).
3) Kalkulus fungsional dari orde pertama adalah propositional calculus dengan propotional
function dan quantifier.
4) Categorical proposition: All Sis P: No Sis P: Some Sis P; Some not P; Affirmative
negative, universal, particular.
5) Appastion, immediate inference : contradictory, contrary, subcontrary, sulbaterm.
6) Categorical syllogism (first order functional calculus).
Beberapa hal tentang matematika:
1) Geometri cucledian. Aritmatika (fundamental concept), asersi proposional-proposional
dari konsep dasar.
2) Geometri non facledian : postulat yang diubah memberikan teorema yang lalu
3) Metode aksiomatriks formal
4) Teorema coedel : bila patokan (game) matematika itu benar-benar konsisten, kenyataan
konsistensi itu tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan permainan (game) itu
sendiri.


Beberapa tentang induksi (statistika)
1) Pengertian : a passage from individuals to universals
Summative : complete, conclusive argument
Ampliatise : complete, from the known to the unknown
2) Tempatnya dalam science:
Hipotesis : (1) discovery; (2) to peason inductively. Testing a hypothese adalah dengan
induksi (statistika)
8.5 KNOWLEDGE
Sangat erat hubungannya dengan nalar. Permasalahan dalam knowledge adalah karakter
ilmu itu sendiri dan hubungannya dengan kepercayaan: reliabilitas dan solidaritas dari dunia
eksternal yang kita ketahui melalui sense perception penggunaan kata tentang konsepsi-konsepsi
umum dan kata-kata; pertaliannya dengan ingatan (memory) dan pengenalan obyek-obyek yang
sama seperti yang pernah dilihat sebelumnya.
Pencarian / penemuan knowledge adalah fungsi dari science, sedangkan fungsi filsafat
adalah clasification dari penemuan-penemuan itu (aspek epistemologi).
Masalah-masalah:
1) Tentang the internal world. Mungkinkah kita dapat memperoleh pengetahuan dunia
luar secara langsung?
2) Persepsi dan memori:
Persepsi : sudah dibicarakan
Memori : pertanyaan-pertanyaan tentang ini sebagai berikut:
Bagaimana tentang mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu, dan apakah sekarang
ingatan itu masih ada? Bagaimana sampai kita percaya (tidak sesuai tentang apa yang
telah terjadi, seperti masih jelas terbayang?


3) Analis linguistik:
Seberapa jauh pengetahuan kita tentang external world dapat disebut knowledge yang
sebenarnya.
4) Komunikasi :
Apa yang dikomunikasikan. Knowledge atau pengalaman?
Selain knowledge yang secara aktif dicari oleh manusia, ada berbagai knowledge yang
diperoleh manusia secara pasif, yaitu resume revelation yang diturunkan oleh Tuhan sebagai
petunjuk. Petunjuk ini merupakan basis bagi validasi knowledge (apakah yang kita sebut
knowledge itu benar-benar knowledge).
Dari uraian ini dapat disarikan bahwa sebagai subyek (knower), manusia mencari tahu
(dengan nalar, knowing) sehingga diperolelah pengetahuan (knowledge) itu. Bila diperhatikan
dengan seksama, seputar ini sajalah yang disebut filsafat itu (what philosophy is all about).
Adapun yang ingin diketahui, dipecahkan, dimengerti, dipahami, dan dihayati adalah
substansi alam semesta, sebab akibat (cause), the self (being) dan God (perfect being) dengan
permulaan yang skeptifik dan sayang sekali berakhir dengan skeptik pula. Apakah knowledge
yang diperoleh itu adalah kebenaran?.
Tak ada seorangpun yang dapat memastikannya. Malahan juga, apakah cara nalar
(knowledge) pun benar-benar atau konsisten? Teorema Gaedes menyatakan bahwa konsistensi
aturan main suatu sistem tak mungkin diverifikasi oleh sistem itu sendiri. Barangkali bila toh
ada suatu kepastian maka hanya terhadap knower saja yang pasti tentang keperi-adaannya dan
hanya pikiran (mind) saja yang dapat dikatakan sebagai realitas.
Memang banyak orang menjadi pusing dihadapkan pada filsafat karena filsafat sering
bertentangan dengan common sense yang sulit dibantah. Misalnya tentang kesimpulan yang
ditarik oleh para immaterialist (yang ditunjang oleh para rasionalis maupun oleh para empiricist)
bahwa benda-benda material itu tak ada secara common sense. Dapat kita bertanya, bila nasi
maupun meja sama-sama tidak ada, mengapa kita bisa makan nasi sedangkan tidak bisa makan
meja?
Karena itu ada anggapan bahwa materi atau matter itu ada, karena Tuhan telah
menciptakannya bersama ciptaan-ciptaan lainnya (energi, materi, jasad kasar dan jasad halus)
yang kesemuanya itu telah diberitakanNya kepada manusia. Dengan penjelasan ini maka diskusi
Berkeley telah sesat, disesatkan oleh tujuannya orang-orang menjadi tegak beragama, ia
terpaksa menentang keperi-adaan materi yang sebenarnya juga hasil ciptaan Tuhan.
Marilah direnungkan bersama dengan lebih dalam tentang kejadian-kejadian Berkeley
itu,. Ia mempunyai tujuan tertentu, yang luhur. Tujuan itu timbul dari rasa, yaitu rasa
ketuhanannya, dan berlandaskan pada rasa ini ia memerintahkan pada rasionya untuk mereduksi
sampai dihasilkannya suatu kesimpulan.
Rasio dengan tekun menjalankan perintah itu, dari status permulaan yang berada di luar
kekuasaan rasio itu sendiri, dan dengan konsistensi sampai kepada kesimpulan yang ternyata
sesat. Dikatakan bahwa rasio itu patuh(dalam form) akan tetapi buta (dalam content). Hanya
rasa-lah yang tidak buta dalam content, dan dengan rasa pula manusia harus mengisikan suatu
permulaan dan menimbulkan hasil atau kesimpulan yang telah dihasilkan oleh rasio yang patuh
itu.
Dalam kasus Berkeley, manusia dihadapkan dengan suatu permulaan yang luhur namun
dengan kesimpulan yang sesat. Siapa yang bersalah dalam hal ini, rasa atau rasio? Untuk
jawaban inilah maka kita perlu meninjau dunia rasa.

Anda mungkin juga menyukai