Anda di halaman 1dari 17

pengenalan

Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan variasi
bentuknya banyak sekali, hamper setiap daerah perikanan mempunyai model bentuk
sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti: sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang,
segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan lain-
lainnya. Bahan bubu umumnya dari anyaman bambu (bamboos splitting or-screen).
Secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau
ijeb, dan pintu (Partosuwiryo, 2002).
Bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang
lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan
karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen
setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan
yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan
menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikanikan
jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring)
(IMAI, 2001).
Umumnya bubu digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Badan atau tubuh bubu
Badan atau tubuh bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk empat
persegi panjang. Bagian ini dilengkapi pemberat dari batu bata (atau pemberat lain)
yang terletak pada keempat sudut bambu agar bubu dapat tenggelam ke dasar
perairan.
2. Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan
Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah bubu.
Lubang ini posisinya tepat di belakang mulut bubu dan dilengkapi dengan penutup.
3. Mulut Bubu
Mulut bubu berfungsi untuk tempat masuknya ikan yang terletak pada bagian depan
badang bubu. Posisi mulut bubu mejorok ke dalam badan atau tubuh bubu berbentuk
silinder. Semakin ke dalam diameter lubangnya semakin mengecil. Pada mulut bagian
dalam melengkung ke bawah. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit
untuk meloloskan diri ( Sudirman dan Mallawa, 2004).
Gambar 1. Mulut bubu dan arah masuk ikan
(FAO, 2007)


Gambar 2. Bagian bubu secara keseluruhan
(FAO, 2007)



Gambar 3. Jenis-Jenis Bubu
(Partosuwiryo, 2008)




B. Teknik Pengoperasian Bubu
Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara
pengoperasiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan
bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu
dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single
traps; dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama,
disebut main line traps.
1. Bubu Dasar
Bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya penggunaan sesuai dengan
kebutuhan. Bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm, dan tinggi
diantara 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m,
dan tinggi antara 75-100 cm. Bahan yang digunakan pada bubu dasar biasanya berupa
kawat, besi, ataupun bambu. Dalam pengoperasiaannya, penangkapan yang dilakukan
dapat dilakukan tunggal(umumnya bubu ukuran besar), dapat pula berganda (umumnya
bubu kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali yang
memiliki jarak tertentu kemudiaan diikatkan dengan bubu tersebut. Bubu dasar
ditempatkan diantara karang-karang atau bebatuan, dan untuk memudahkan
penempatan bubu tersebut dipasangkan tali yang dipasang dengan pelampung
kemudian diikatkan di bubu tersebut. Tahap pengambilan hasil tangkapan setelah
pemasangan bubu yaitu setelah 2-3 hari atau beberapa hari setelah bubu dipasang.
Menurut statistik perikanan, Ditjenkan (1986) cit. (Partosuwiryo, 2002) jumlah
bubu yang tercatat sejumlah 7.062 unit (jumlah seluruh alat penangkap 452.845 unit)
dengan produksi 16.871 ton.

Kelebihan bubu dasar:
Dapat menangkap ikan yang tergolong ikan dasar perairan maupun permukaan
perairan.
Relatif murah dan mudah cara pengoperasiannya.
Cukup efektif dan efisien untuk tangkapan ikan atau kepiting yang berada di
dasar perairan.

Kelemahan bubu dasar:
Dapat terbawa arus dasar perairan apabila arus terlalu deras dan tidak diikatkan
oleh media yang tetap (batang pohon, bambu, atau kayu)
Apabila tidak ada penanda khusus, bubu mungkin dapat hilang diambil/dicuri
orang.
Apabila ada penanda khusus namun hilang, maka bubu juga sulit untuk proses
hauling.
Apabila bubu yang digunakan dari bahan yang mudah berkarat (korosi) dan tidak
segera diambil maka dapat merusak terumbu karang.

Gambar 4. Bentuk bubu yang banyak dipakai di Indonesia
(Anonim, 1975)








Gambar 5. Bubu segi empat saat dioperasikan (bawah) dan pemasangan bubu sistem
tunggal (atas)
(Partosuwiryo, 2008)


Gambar 6. Bubu silinder (kiri) dan cara pengoperasiannya (kanan)
(FAO, 2001)
2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar karena bubu jenis ini dilengkapi
dengan pelampung dari bambu, rakit, gabus, dan berbagai bahan yang mengapung
lainnya. Penempatan pelampung yaitu dengan ditempatkan diatas atau disamping bubu
sehingga mengapung. Selain itu, bubu juga dapat ditempatkan di bawah rakit-rakit
bambu kemudian rakit tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan
jangkar. Perlu diperhatikan dalam pemasangan tali harus disesuaikan dengan
kedalaman air. Biasanya dalam pemasangan tali jangkar dan rakit bubu yaitu 1,5 kali
dari kedalaman air atau dapat dikatakan tali lebih panjang dari kedalaman air. Jangkar
yang digunakan dapat berupa batu, besi, atau pemberat lainnya agar rakit yang
dipasang bubu dalam kondisi tetap dan tidak berpindah terlalu jauh dari lokasi
pemasangan bubu. Beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan bubu terapung adalah
jenis-jenis ikan pelagik, seperti ikan tembang, japuh, julung-julung, selar, kembung,
torani, malalugis, dan lain-lainnya.

Kelebihan bubu apung:
Dapat menangkap ikan dari berbagai lapisan (dasar, tengah, permukaan)
perairan.
Lebih murah daripada bubu hanyut namun tidak lebih murah dari bubu dasar.
Cukup efektif dan efisien untuk hasil tangkapan ikan lapisan tengah perairan.
Kelemahan bubu apung:
Dapat terbawa arus dasar dan permukaan perairan apabila tali yang diikatkan
pada batang pohon, bambu, atau kayu terlepas/putus.
Apabila tidak ada penanda khusus, bubu mungkin dapat hilang diambil/dicuri
orang.
Apabila pelampung hilang terbawa arus, maka bubu akan tenggelam dan sulit
untuk proses hauling.


Gambar 7. Cara pengoperasian bubu apung
(FAO, 2001)

3. Bubu Hanyut ( Drifting Fish Pots)
Bubu hanyut merupakan sebutan dari salah satu jenis bubu karena dalam
pengoperasiannya adalah dengan dihanyutkan. Beberapa jenis bubu yang dapat
digolongkan dalam bubu hanyut adalah pajaka, luka, atau patorani. Bubu patorani
dipergunakan untuk penangkapan ikan torani, tuing-tuing, atau ikan terbang. Bubu
pajaka tergolong dalam bubu ukuran kecil namun pada waktu penangkapan diatur
dalam kelompok-kelompok yang kemudian dirangkaikan sehingga jumlahnya menajadi
relatif banyak dan lebih efektif serta efisien. Bubu jenis pajaka umumnya disusun antara
20-30 buah tergantung besar kecilnya kapal yang digunakan untuk operasi
penangkapan.
Menurut Partosuwiryo (2002), operasional penangkapan bubu jenis pajaka
dilakukan sebagai berikut:
1. Pada sekeliling mulut pajaka diikatkan rumput laut atau gusung/gosek (bahasa
Sulsel).
2. Pajaka disusun dalam 3 kelompok yang satu dengan lainnya berhubungan melalui
tali penonda (drifting line).
3. Penyusunan kelompok (contoh: misalnya ada kurang lebih 20 buah bubu), 10 buah
bubu diikatkan pada ujung tali penonda terakhir, kelompok berikutnya terdiri dari 8 buah
dan selanjutnya 4 buah lalu disambungkan dengan tali penonda yang langsung
dihubungkan (diikat) dengan perahu penangkap dan diulur antara 60-150 m.

Kelebihan bubu hayut:
Dapat menangkap ikan dari berbagai lapisan tengah dan permukaan perairan.
Cukup efektif dan efisien untuk hasil tangkapan ikan lapisan tengah dan
permukaan perairan.
Hasil yang didapatkan bervariatif tergantung fishing ground kapal.
Kelemahan bubu apung:
Relatif mahal karena memerlukan perahu dalam pengoperasaiannya.
Apabila bubu yang terpasang dengan tali pada kapal putus, maka bubu akan
hanyut atau tenggelam.
Apabila kapal mengalami kerusakan maka proses pencarian ikan dengan bubu
dapat dihentikan secara tiba-tiba.


Gambar 8. Bubu hanyut dan pemasangannya di permukaan air
(Anonim, 1975)

C. Prinsip Penangkapan
Penangkapan ikan dengan bubu tergantung dari tipe bubu yang digunakan,
yaitu bubu tenggelam, bubu terapung, ataupun bubu hanyut. Pada dasarnya prinsip
penangkapan ikan dengan bubu memakan tunggu waktu lebih dari 1 hari atau
beberapa hari. Hal ini dikarenakan bubu merupakan alat tangkap pasif yang hanya
menghadang dan merupakan perangkap (jebakan) bagi ikan. Semua jenis dan tipe
bubu menggunakan media untuk menarik ikan atau biota air lainnya agar tertarik untuk
datang ke dalam bubu, selain itu media umpan disesuaikan pula dengan ikan yang
akan ditangkap. Umpan yang digunakan antara lain adalah daging ayam, daging
hewan, ataupun lainnya yang dapat menarik ikan masuk ke dalam bubu.
Penangkapan ikan menggunakan bubu pada daerah karang memiliki prinsip
penangkapan yang sistematis. Langkah awal yaitu mencari dan menentukan karang
yang subur yang akan dipasang bubu. Bubu yang digunakan berkisar 4 buah, dan
dilabuh sampai dasar perairan. Bubu yang satu dengan yang lainnya dikaitkan dengan
tali, selain itu dipasangkan pula pada masing-masing bubu tali lengkap dengan
pelampungnya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan sesuai waktu
penangkapan. Cara yang digunakan tersebut tergolong tidak efektif karena sering
hilang akibat dicuri oleh orang lain. Oleh karena itu, umtuk mencegahnya tali
pengapung diperpendek sehingga tidak akan terlihat di permukaan perairan dan hanya
diketahui pemiliknya saja.
Langkah terakhir dalam penangkapan menggunakan bubu yaitu di dalam bubu diberi
umpan dengan cara digantung untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi sebelum
bubu dipasang. Bubu dapat diangkat menggunakan tali pengait setelah beberapa hari
bedara di laut. Tali bubu dikait, kemudian ditarik ke atas perahu. Ikan0ikan yang
diperoleh segera dikeluarkan dari bubu dan bubu tersebut diturunkan lagi ke dalam air
bula ternyata hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Tetapi jika hasil yang diperoleh
sedikit, bubu tersebut dipindahkan ke daerah penangkapan lain (Partosuwiryo, 2008).

D. Alat Bantu dan Daerah Penangkapan Bubu
Pengoperasian bubu tradisional umumnya tanpa menggunakan alat bantu,
namun dengan berkembangnya pengetahuan sehingga dapat menggunakan alat bantu
penangkapan. Alat bantu penangkapan dapat dipergunakan untuk membantu leancaran
operasi penangkapan serta meningkatkan jumlah tangkapan ikan. Alat bantu yang
digunakan pada bubu adalah menggunakan GPS (Global Positioning System). GPS
digunakan untuk menentukan dan mencari posisi bubu pada saat setting danhauling.
Manfaat yang didapatkan dengan alat tersebut adalah pada saat pengoperasian bubu
akan memudahkan menghafal daerah atau tempat pengoperasian bubu sampai
pengangkatan bubu sehingga tidak terjadi hilangnya bubu karena faktor human
error (kelupaan).
Alat bantu lainnya selain GPS adalah penggunaan pakan ikan tenggelam ataupun
terapung yang ditebar disekitar bubu. Hal ini digunakan untuk menarik ikan ke sekitar
bubu dan kemudian ikan dapat tertarik masuk ke dalam bubu. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah penebaran pakan tersebut harus secukupnya (tidak terlalu banyak).
Cara yang satu ini menjadi cara yang cukup efektif untuk memperoleh ikan dengan
jumlah yang cukup banyak.
Daerah penangkapan ikan dengan bubu dilakukan dengan pemilihan lokasi yang tepat,
dapat pula disembarang tempat dimana lokasi penangkapan disesuaikan kebiasaan
ikan tinggal. Tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk penangkapan ikan yaitu di
daerah berbatu ataupun disekitar terumbu karang. Apabila diletakkan di karang-karang
sebaiknya peletakkan bubu dan jangkar pada bubu diletakkan dengan benar agar tidak
merusak terumbu karang. Menurut Arthur (1976), persyaratan daerah penangkapan
antara lain adalah (1) adanya ikan yang ditangkap, (2) ikan-ikan tersebut dapat
ditangkap sesuai dengan sasaran penangkapan, (3) penangkapan dapat dilakukan
secara terus-menerus, (4) hasil penangkapan menguntungkan, (5) alat tangkap dapat
dioperasikan dengan aman dan mudah, (6) dekat dengan pusat pendaratan ikan atau
pelabuhan.

E. Aplikasi Bubu
Penggunaan bubu pada dasarnya dipilih berdasarkan kemampuan finansial
pembuatan bubu dan keadaan lokasi penangkan ikan. Salah satu konstruksi dasar
yang banyak dipilih dari pembuatan dan permodelan bubu adalah penggunaan bambu,
jaring, kawat atau besi. Berikut ini adalah hasil dari sebuah aplikasi bubu dari bambu
dan jaring untuk kegiatan penangkapan ikan.
1. Bubu Jaring dan Bubu Bambu Dengan Kapal/Perahu


Gambar 9. Bubu jaring (kiri) dan bubu bambu (kanan) sebelum dioperasikan
(Zulkarnaen, 2007)

Pada gambar kiri adalah bubu jaring dan gambar kanan adalah bubu bambu
sebelum dioperasikan. Penempatan bubu sebelum dioperasikan diletakkan di atas
kapal/perahu, kemudia dibawa ke fishing ground atau daerah penangkapan ikan.
Sebelum membawa ke daerah penangkapan maka bubu dicek terlebih dahulu agar
pada saat setting ikan dapat terperangkap dengan baik atau tidak lolos melalui
kerusakan bubu.


Gambar 10. Kapal penangkap ikan dengan bubu
(FAO, 2001)

Kapal penangkap ikan dengan bubu dibuat sedemikian rupa agar pada saat
proses settingsampai hauling dapat berjalan lancar. Penempatan ikan yang masih
hidup dan ikan beku seperti gambar diatas membutuhkan modal yang cukup besar
sehingga kebanyakan nelayan hanya menggunakan ikan segar yang dimasukkan
dalam ice box.
2. Pengoperasian Bubu Jaring dan Bubu Bambu



Gambar 11. Setting bubu jaring (kiri) dan bubu bambu (kanan)
(Zulkarnaen, 2007)

Pada gambar kiri merupakan setting bubu jaring dan sebelah kanan adalah
bubu bambu. Sebelum setting bubu, terlebih dahulu dikaitkan pada sebuah tali dan
penanda yang mengapung (pelampung). Cara setting bubu adalah dengan dijatuhkan
dari atas kapal dengan jarak tertentu disesuaikan dengan kedalaman perairan. Hal ini
dikarenakan bubu yang dijatuhkan dari atas kapal disesuaikan dengan ikan yang akan
ditangkap, misalnya kakap merah, kerapu, dll.

Gambar 12. jangkar bubu jaring dan bambu
(Zulkarnaen, 2007)

Pada gambar terdapat arit yang terdiri dari jangkar dan pemberat yang
digunakan pada saat proses hauling. Setelah proses setting bubu jaring ataupun
bambu, arit dijatuhkan kemudian kapal bergerak perlahan disekitar lokasi peletakan
bubu. Apabila arit sudah tersangkut di bubu jaring ataupun bambu maka akan terjadi
proses hauling dan kapal dihentikan untuk sementara waktu.


Gambar 13. GPS untuk mengetahui lokasi penurunan bubu jaring dan bambu
(Zulkarnaen, 2007)

Alat bantu GPS (Global Positioning System) digunakan untuk melihat posisi
peletakan bubu. Peletakan lokasi bubu ditandai dengan menggunakan GPS sehingga
dapat terlacak keberadaan bubu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila
pelampung tanda pada bubu hilang. Setelah diketahui posisi bubu dengan GPS, maka
dapat dilakukan proses Hauling.


Gambar 14. Proses hauling bubu jaring dan bambu
(Zulkarnaen, 2007)

Proses Hauling pada bubu dilakukan dengan mengetahui posisi bubu terlebih
dahulu dengan GPS. Langkah selanjutnya adalah menurunkan arit yang dilengkapi tali
yang lebih dari kedalaman perairan. Setelah arit tersangkut pada bubu maka dilakukan
proses penarikan tali hingga bubu naik ke atas kapal. Tali yang ditarik ke atas kapal
dibantu orang lain untuk penggulungan tali agar tidak kusut dan tersangkut.
Proses hauling dilakukan sampai bubu yang dijatuhkan pada saat setting dapat
terangkat ke atas kapal semua. Apabila bubu sudah berada pada kapal, ikan hasil
tangkapan selanjutnya dimasukkan ke dalam es (cool box). Hasil tangkapan ikan tiap
bubu terkadang belum memuaskan, sehingga dilakukan setting ulang hingga
proses hauling sampai ikan hasil tangkapan cukup memuaskan.


Gambar 15. Ikan tangkapan (kiri)
(Zulkarnaen, 2007)


Gambar 16. Penyusunan ice box untuk ikan segar (kanan)
(FAO, 2001)
Setelah bubu naik ke kapal maka dilakukan proses pengeluaran hasil tangkapan
(terlihat pada gambar 15). Setelah ikan dikeluarkan dari bubu, selanjutnya adalah
memasukkan ikan ke dalam ice box. Penyusunan ice box agar tetap dalam kondisi
yang baik dapat dilihat dari gambar 16. Tahap pertama pada perlakuan ikan segar
adalah memasukkan ikan pada satu ice box kemudian setelah penuh makaice
box ditutup. Tahap selanjutnya apabila masih banyak ikan yang tertangkap dimasukkan
ke dalam ice box sampai penuh dan disusun di dalam tempat ikan yang lebih besat
(biasanya terbuat dari sterofon). Setelah disusun sedemikian rupa maka dilakukan
pengangkutan ke darat dengan tepat waktu agar ikan masih dalam kondisi yang baik.
Perkembangan bubu sebagai alat tangkap ramah lingkungan (biasa disebut pots) tidak
hanya digunakan di Indonesia namun digunakan pula pada negara lain. Negara-negara
yang mengunakan bubu diantaranya adalah Jepang, Brazil bagian timur, Amerika
Serikat bagian timur, Australia bagian barat dan timur, Jerman, Prancis bagian barat,
Thailand, dan Kanada (FAO, 2001).
Aplikasi bubu dalam pengoperasiannya di alam memiliki banyak keuntungan bagi
penggunanya maupun organisme lain. Bagi pengguna bubu, keuntungan yang dimiliki
adalah alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap ramah lingkungan sehingga dapat
dilakukan secara terus menerus. Alat tangkap ramah lingkungan mudah digunakan dan
tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan alat yang digunakan
tidak menggunakan bahan-bahan yang berbahaya dan relatif mudah dioperasikan.
Walaupun bubu merupakan alat tangkap pasif karena hanya merupakan jebakan,
namun produktivitas yang dihasilkan cukup tinggi tergantung pada berapa
kali setting sampai hauling. Dalam penangkapan ikan mengunakan bubu juga harus
memperhatikan kelestarian sumberdayanya. Hal ini dikarenakan untuk menjaga
kelestarian sumberdaya ikan, maka hanya ikan yang boleh ditangkap dan sesuai
ukuran konsumsi saja yang ditangkap sedangkan ikan yang masih kecil dikembalikan
ke alam. Apabila usaha penangkapan dengan bubu dapat berjalan secara terus
menerus maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap juga akan dapat berjalan terus
menerus dan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan.

II. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konstruksi alat tangkap bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb,
pintu, tali, penanda, dan umpan.
2. Teknik pengoperasian alat tangkap bubu dimulai dari setting sampai hauling yang
diperlukan beberapa hari untuk mendapatkan hasil tangkapan.
3. Aplikasi bubu terhadap hasil tangkapan ikan yaitu memiliki produktivitas
tangkapan yang cukup tinggi dan merupakan alat tangkap ramah lingkungan yang
digunakan untuk keberlanjutan usaha perikanan.

B. Saran
Perlu dikembangkan dan disosialisasikan kemabali alat tangkap ramah
lingkungan, misalnya bubu. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan alat tangkap
ramah lingkungan maka suatu usaha perikanan dapat berjalan berkelanjutan dan
lestari. Selain itu, dikarenakan sudah terjadi kerusakan lingkungan perairan akibat alat
tangkap yang berbahaya dan merusak lingkungan. Apabila alat tangkap ramah
lingkungan dapat berkembang dan dimodifikasi lebih maju diharapkan menjadi alat
tangkap yang efektif dan efisien dalam kegiatan penangkapan ikan.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1975. Ketentuan Kerja, Pengumpulan, Pengolahan, dan Penyajian Data
Statistik Perikanan (Buku 1). Jakarta: Direktorat Jendral Perikanan, Departemen
Pertanian.
Arthur Bowber, Nedeelec. 1976. Fishermans Manual. England.
FAO. 2001. Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Australia.
IMAI. 2001. Country Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Pedagangan dalam
Perikanan Karang di Indonesia. International Marinelife Alliance Indonesia. Bogor.
Partosuwiryo, S. 2002. Dasar-dasar Penangkapan Ikan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Partosuwiryo, S. 2008. Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan. Citra Aji Parama.
Yogyakarta.
Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia.
Balai penelitian Perikanan laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
Sudirman dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Zulkarnaen, I. 2007. Pemanfaatan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) dengan Bubu di
Perairan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak. Institut Tinggi Bandung. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai