KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBIDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKUKTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO
2014 PENGARUH FARMAKOTERAPI PADA KONDISI MENTAL INDIVIDU DENGAN PENYAKIT TERMINAL (PENGOBATAN PALIATIF, ISU ADIKSI)
PENDAHULUAN Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995). Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung, dan kanker. Penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian. (White, 2002). Pasien dengan kondisi penyakit terminal sulit untuk disembuhkan dengan farmakoterapi, umumnya pasien diberikan perawatan paliatif. Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007). Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis, dukungan social, dukungan kultural dan spiritual, dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement). Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan /rawat rumah. (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007). Tugas dari perawatan paliatif adalah : 1. Mengatasi gejala fisik berupa nyeri dan gejala lain serta memenuhi kebutuhan fisik dasar 2. Memberikan konseling dan intervensi lain untuk mengatasi masalah psikologis 3. Bersama sumber-sumber lain memberikan bantuan dalam mengatasi kesulitan sosial 4. Memberikan dukungan spiritual sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut 5. Menyediakan Respite Care untuk memberi kesempatan kepada keluarga beristirahat (Ferrell,2007) Dengan tindakan tersebut di atas, diharapkan pasien dapat aktif walaupun dengan keterbatasan dan mampu melayani dirinya sendiri dan memiliki kualitas hidup yang baik sesuai kondisi yang ada, serta dapat memanfaatkan waktu dengan baik untuk melihat hidupnya sebagai anugerah yang bermakna bagi dirinya sendiri dan orang lain dan dapat mencapai apa yang diinginkannya sebelum waktunya tiba. Bila hal ini dapat tercapai, pada umumnya pasien memiliki harapan hidup yang lebih panjang dari yang diperkirakan, dan beban keluarga dapat diringankan (Ferrell,2007). Kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup yaitu gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri, dan fungsi dalam bekerja (White, 2002). ISI A. Gambaran kondisi fisik individu dengan penyakit terminal Gejala fisik selain nyeri, biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit terminal. Gejala-gejala fisik itu diantaranya: kelelahan, anoreksia, kakeksia, nausea, mual dan muntah, konstipasi, delirium dan dispnea 1. Kelelahan (Fatigue) Kata kelelahan menunjukkan keadaan yang berbedabeda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Sumamur P.K., 1996). Kelelahan (fatigue) adalah rasa capek yang tidak hilang bahkan setelah istirahat. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan, walaupun itu bukan satu-satunya gejala. Secara umum gejala kelelahan yang lebih dekat adalah pada pengertian kelelahan fisik atau physical fatigue dan kelelahan mental atau mental fatigue (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003). Menurut Tarwaka (2004) kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemuliham setelah istirahat. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statispun (static muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan RSI (Repetition Strain Injuries), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive) (Nurmianto, 2003) Patologis kelelahan dapat muncul dari aspek fisik dan psikologis. Penyebabnya yaitu konsekuensi langsung dari proses penyakit, seperti berkurangnya oksigen sebagai akibat dari anemia atau gagal jantung. Kanker hati atau gagal ginjal, dan banyak penyakit kronis (termasuk nyeri kronis) dapat menyebabkan kelelahan. Selain itu, perawatan seperti terapi kanker atau antihipertensi dan terapi jantung dapat menyebabkan gejala ini. Penyebab psikologis kelelahan termasuk kecemasan dan depresi. Menentukan tingkat keparahan pasien kelelahan adalah penting. Dokter harus memperhatikan faktor-faktor yang memperburuk atau meredakan kelelahan, adanya penyebab yang berpotensi dapat diobati (kecemasan atau depresi, obat bersamaan, anemia, sakit, infeksi, kanker, gangguan tidur) dan dampak kelelahan pada kegiatan sehari-hari pasien. (Portenoy, 1999). 2. Anoreksia dan kakeksia Penyakit sistemik seperti kanker, kegagalan organ kronis, infeksi atau kadang- kadang AIDS menyebabkan wasting syndrome. Ciri-ciri dari sindrom tersebut adalah kurangnya nafsu makan (anoreksia) dan penurunan berat badan (cachexia), sering disertai dengan kelelahan (Nelson, 2000). Anoreksia (Anorexia) berasal dari bahasa Yunani an yang artinya tanpa dan orexis yang artinya hasrat untuk, sehingga anoreksia memiliki arti tidak memiliki hasrat untuk (makanan) (Nevid dkk, 2003). Kakeksia adalah sindroma yang kompleks, meliputi keadaan malnutrisi yang ditandai dengan anoreksia, penurunan berat badan, muscle wasting, lipolisis, kehilangan masa otot dan protein viseral, nafsu makan menurun, asthenia, depresi, nausea kronik dan anemia yang menyebabkan distress psikologis, perubahan dalam komposisi tubuh, gangguan dalam metabolism karbohidrat, lemak dan protein, cairan jaringan, keseimbangan asam basa, kadar vitamin dan elektrolit (Tisdale, 2005) Sedikit yang diketahui tentang patogenesis wasting sindrom. Pada kanker, faktor humoral diuraikan oleh tumor tampaknya terlibat karena cachexia dapat ditransfer dari cancer-bearing menuju noncancer-bearing hewan di percobaan parabiotik. Hal ini kemungkinan adanya peningkatan kadar sitokin, terutama interferon dan faktor nekrosis tumor, berperan dalam perubahan metabolik diamati pada pasien dengan wasting sindrom (Argiles, 1999). Tidak ada hubungan antara ukuran tumor dan tingkat cachexia. Meskipun penampilan malnutrisi, wasting sindrom terkait dengan kanker dan hipermetabolik disebabkan oleh proses penyakit dan biasanya tidak reversibel dengan perbaikan gizi. Secara lisan atau parenteral diberikan nutrisi sering menyebabkan peningkatan lemak tubuh, tidak meningkat protein (Torelli, 1999).
3. Mual dan muntah Mual dan muntah dapat menjadi gejala yang dapat melemahkan kondisi pasien secara ekstrem. Identifikasi dari patofisiologi penyebab mual dan muntah pada pasien dapat menjadi dasar pengobatan farmakologi yang efektif. Penyebab dari mual dan muntah pada pasien dengan penyakit terminal serta penanggulangannya dapat dilihat di tabel.
(Ross dan Alexander, 2001).
4. Konstipasi Konstipasi sering menjadi penyebab dari mual dan muntah pada pasien penyakit terminal. Konstipasi dapat diatasi dengan modifikasi salah satu faktor yang penting dalam pergerakan saluran usus seperti air, motilitas, lubrikasi dan kepadatan intestinal (Ross dan Alexander, 2001). 5. Delirium Gangguan kognitif seperti disorientasi, gangguan konsentrasi, atau gangguan memori sering terlihat pada pasien dengan penyakit lanjut. Bahkan, prevalensi delirium, yang merupakan sumber utama dari gangguan pada penyakit terminal diperkirakan mencapai 80% atau lebih selama minggu-minggu terakhir hidup pasien (Breitbart & Cohen, 2000). Perubahan status mental dapat menjadi sangat mengganggu pada keluarga pasien, yang mengamati perilaku agitasi, ketakutan yang terlihat jelas, serta apa yang mereka percaya sebagai nyeri yang tak tertahankan pada pasien. Delirium sering membutuhkan sedasi yang aktif sampai dengan 25% pada pasien ( Ross dan Alexander, 2001). Penyebab umum dari delirium termasuk hipoksia, infeksi, demam, dehidrasi dan opioid atau efek samping benzodiazepin. Semakin mendekati waktu kematian, dengan berkurangnya fungsi hati dan ginjal semakin besar kemungkinan bagi pasien untuk terkena delirium, sementara sebagian lainnya diakibatkan oleh penggunaan obat- obatan ( Ross dan Alexander, 2001). Presentasi klinis delirium sering mencakup perilaku dan gejala afektif (misalnya, gelisah, gangguan tidur, kecemasan, labil atau perubahan ekstrim) dan ditandai oleh fluktuasi dengan cepat dan berubah (baik meningkat atau menurun) aktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun, perubahan persepsi (mispersepsi, ilusi, atau halusinasi), berpikir bingung atau tidak teratur, dan bicara ngawur (Pessin, et al, 2002). 6. Dispnea Dispnea, yang secara umum diartikan sebagai kesulitan dalam bernafas, disebutkan terjadi pada pasien dengan kanker (70%), AIDS (11-62 %) dan penyakit terminal lain. Sebuah studi menyebutkan bahwa dispnea merupakan gejala yang paling menyulitkan pada pasien dengan kondisi penyakit terminal. Pada studi tahun 1980-an menemukan bahwa 75% pasien mengalami dispnea, namun hanya 39% yang memiliki penyakit paru, sementara 24% lainnya tidak memiliki penyebab yang khusus (Reuben, 1986). B. Gambaran kondisi psikologis individu dengan penyakit terminal Penderitaan psikologik merupakan salah satu rintangan yang paling sulit dan paling berpotensi untuk terjadi keberulangan pada pasien dengan kondisi penyakit terminal. Masalah psikiatrik yang biasa terjadi pada pasien dengan kondisi ini adalah depresi, kecemasan, delirium, dan munculnya ide untuk bunuh diri yang semunya dapat muncul selama proses dari penyakit terminal berlangsung sampai meninggal. Adanya masalah psikiatrik bahkan dari level yang terendah sampai sedang sudah dapat memberikan efek yang signifikan pada pasien dengan kondisi penyait terminal. Banyak dari pasien merasa kehilangan makna hidup, menurunnya kemampuan untuk merasakan kesenangan serta kemampuan untuk berkomunikasi dan mengekspresikan emosi (Pessin et all, 2002). 1. Depresi Literatur depresi menunjukkan bahwa kejadian besar depresi pada pasien yang sakit parah berkisar dari 25 % menjadi 77 %. Pengumpulan data depresi pada pasien penyakit terminal dimulai dengan pertimbangan faktor risiko yang sudah ada sebelumnya: riwayat depresi, percobaan bunuh diri sebelumnya, tekanan sosial, penggunaan obat sebelumnya, atau riwayat keluarga depresi. Gejala psikologis dan kognitif yang berhubungan dengan depresi meliputi kesedihan, kecemasan, iritabilitas, rasa tidak berharga, putus asa, ketidakberdayaan, rasa bersalah dan putus asa, anhedonia, dan kehilangan harga diri. Sementara depresi juga menyebabkan gejala somatik, akan sulit untuk mengetahui apakah gejala yang terlihat pada individu pasien terkait dengan depresi atau penyakit yang mendasarinya. Tanda lain dari depresi pada pasien penyakit terminal adalah rasa sakit yang tidak menanggapi pengobatan seperti yang diharapkan. Orang-orang tidak bisa berurusan dengan semua masalah psikologis dan spiritual ketika mereka sedang sakit. Contoh dari depresi yaitu mungkin berupa penurunan berat badan berlebihan, penampilan berubah dan lesu. (Pessin et all, 2002) 2. Kecemasan Kecemasan memiliki aspek fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan aspek praktis. Hal ini dapat hadir sebagai agitasi, insomnia, gelisah, berkeringat, takikardia, hiperventilasi, gangguan panik, khawatir, atau ketegangan. Seperti depresi, memisahkan beberapa fisik gejala kecemasan ekstrim dari gejala yang mendasari. Kecemasan harus dibedakan dari delirium, depresi, gangguan bipolar, efek samping obat, dan insomnia. Contoh dari kecemasan yaitu perasaan gelisah memikirkan perjalanan penyakit, merasa tidak bertenaga dan kehilangan kontrol, tidak mengetahui apa yang akan terjadi, merasa terjadi perubahan kepribadian, kehilangan ingatan, bingung, depresi, ketakutan dan kecemasan, dan merasa berdosa (Pessin et all, 2002). 3. Bunuh diri Dokter harus menilai resiko bunuh diri pada semua pasien yang mengalami depresi. Hal ini terutama penting pada pasien dengan penyakit terminal karena pasien pada penyakit terminal adalah golongan pasien yang paling mungkin untuk melakukan bunuh diri, masalah lainnya adalah pembunuhan, terlihat di beberapa praktik geriatri biasanya pria membunuh istri mereka dan kemudian membunuh diri sendiri setelah satu atau kedua dari mereka mengalami sakit parah, pada keadaan seperti ini adanya kurangnya dukungan sosial (Pessin et all, 2002). Perubahan psikologi menurut Kubler Ross (1969) yaitu : a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien saya di sini istirahat. Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan.
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996). c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit. e. Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
C. Pengaruh farmakoterapi pada kondisi individu dengan penyakit terminal Pada tahun 1986, Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model konseptual 3-langkah untuk memandu penatalaksanaan nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang telah teruji dan sederhana untuk seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik. Saat ini, terdapat konsensus yang menyeluruh mengenai penggunaan terapi medis dengan model ini untuk seluruh nyeri (Doyle, 2003). Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan (sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri sedang (4-6/10), dimulai pada langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10), dimulai pada langkah ke-3. Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin (Doyle, 2003). Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai farmakologi, akibat yang mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan bagaimana efek ini berbeda dari satu pasien ke pasien lain (Doyle, 2003).
(Doyle, 2003) Psychostimulants, selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan antidepresan trisiklik adalah pengobatan lini pertama untuk depresi pada pasien dengan penyakit terminal. Obat antidepresan sangat bermanfaat bagi pasien yang sakit parah dan mungkin tidak dapat terlibat dalam psikoterapi. Karakteristik dari agen ini dijelaskan dalam tabel 3. Meskipun berbagai antidepresan baru telah diperkenalkan dalam beberapa tahun terakhir, mereka belum belum dievaluasi untuk digunakan pada pasien yang sakit parah.
(Katon W, 1990) Psychostimulants (dextroamphetamine, methylphenidate, dan pemoline) dapat digunakan mengatasi depresi pada pasien dengan penyakit terminal karena obat antidepresan cepat menimbulkan efek. Pada pasien dengan harapan untuk hidup tipis, agen ini dapat mengurangi penderitaan pasien dan keluarga serta menciptakan peluang bagi mereka untuk mengatasi tantangan proses sekarat dengan lebih efektif. Bahkan pasien yang sangat lemah dan lelah mungkin akan mengalami sebuah perbaikan dalam suasana hati dan energi dalam waktu 24 jam mulai pengobatan (Maguire, 1985). Namun, obat psychostimulants tidak disarankan untuk pasien dengan penyakit terminal yang diperkirakan memiliki rentang waktu hidup yang relatif lebih lama; obat psychostimulants sebaiknya digunakan pada pasien penyakit terminal yang memiliki rentang waktu dalam minggu atau beberapa bulan untuk hidup. Untuk pasien dengan depresi berat yang memerlukan perawatan segera dengan tujuan untuk dapat bertahan selama beberapa bulan atau lebih, sangat disarankan dilakukan perawatan psychostimulant, dengan menambahkan SSRI setelah pasien memiliki respon terapi. Secara bertahap mengurangi dosis psychostimulant dan meningkatkan dosis SSRI untuk tingkat terapeutik selama 1-2 minggu. Inhibitor reuptake serotonin selektif (fluoxetine, paroxetine, dan sertraline) adalah yang sering digunakan sebagai firstline agen untuk pengobatan depresi pada pasien yang sakit parah. Secara umum, paroxetine dan sertraline dapat ditoleransi oleh pasien yang sakit parah karena mereka memiliki lebih sedikit metabolit aktif, yang dapat menumpuk dan menyebabkan toksisitas (Lewis, 1995). Sangatlah tidak mudah bagi seorang dokter untuk mengatakan hal sesungguhnya kepada pasien yang memasuki stadium terminal. Pada umumnya dokter akan terus berusaha untuk memperpanjang usia pasien dengan melakukan tindakan-tindakan kausatif atau tindakan suportif lain. Dokter merahasiakan kepada pasien tentang prognosis dengan maksud agar pasien terus bersemangat melanjutkan pengobatan yang direncanakan. Sebagian dokter berpendapat bila pasien tahu kondisi sebenarnya, semangat hidupnya akan menurun, tidak mau makan, dan sebagainya, sehingga pasien bisa meninggal lebih cepat. Karena itu, segala upaya dilakukan di rumah sakit agar pasien bertahan hidup. Menurut penelitian, hal ini justru menambah panjang penderitaan pasien dan keluarganya (Woodruff, 2004). KESIMPULAN Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995). Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke arah kematian. Penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian. (White, 2002). Pasien dengan kondisi penyakit terminal sulit untuk disembuhkan dengan farmakoterapi, umumnya pasien diberikan perawatan paliatif. Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007). Gambaran kondisi fisik individu dengan penyakit terminal diantaranya: kelelahan, anoreksia, kakeksia, nausea, mual dan muntah, konstipasi, delirium dan dispnea. Gambaran kondisi psikologis dapat berupa depresi, kecemasan, dan bunuh diri. Pengaruh farmakoterapi pada pasien dengan harapan untuk hidup tipis, dapat mengurangi penderitaan pasien dan keluarga serta menciptakan peluang bagi mereka untuk mengatasi tantangan proses sekarat dengan lebih efektif. Bahkan pasien yang sangat lemah dan lelah mungkin akan mengalami sebuah perbaikan dalam suasana hati dan energi dalam waktu 24 jam mulai pengobatan (Maguire, 1985).
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Sugeng Budiono, dkk. 2003. Bunga Rampai Hiperkes + KK. Semarang: Badan Penerbit UNDIP Argiles JM, Lopez-Soriano FJ. The role of cytokines in cancer cachexia. Med Res Rev 1999;19:223-48 Breitbart, W., & Cohen, K. (2000). Delirium in the terminally ill. In H. M. Chochinov & W. Breitbart (Eds.), Handbookof Psychiatry In Palliative Medicine (pp. 75-90). New York: Oxford University Press. Doyle, Hanks and Macdonald, 2003. Oxford Textbook of Palliative Medicine. Oxford Medical Publications (OUP) 3 rd edn 2003 Ferrell, B.R. & Coyle, N. (Eds.) (2007). Textbook of palliative nursing, 2nd ed. New York, NY: Oxford University Press Hudak & Gallo. (1996). Keprawatan kritis vol II. Jakarta : EGC. Jeffrey ,S.Nevid .,Spencer,A.Rathus &Greene.2003. Psikologi Abnormal Jilid 2 . Edisi Kelima. Alih Bahasa : Tim Fakultas Universitas Indonesia. Jakarta : Erlangga Katon W, Sullivan MD. Depression and chronic medical illness. J Clin Psychiatry. 1990;51(Suppl):3-11. KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan Palliative, Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kubler-Ross, E. 1969. On Death and Dying. Routledge. Lewis-Fernandez R, Kleinman A. Cultural psychiatry. Theoretical, clinical, and research issues. Psychiatr Clin North Am. 1995;18:433-48. Maguire P, Hopwood P, Tarrier N, Howell T. Treatment of depression in cancer patients. Acta Psychiatr Scand Suppl. 1985;320:81-4. Nelson KA. The cancer-anorexia-cachexia syndrome. Semin Oncol 2000;27:64-8 Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya Pessin, Hayley, Barry Rosenfeld, William Breitbart, 2002, Assessing Psychological Distress Near the End of Life, American Behavioral Scientist, Vol. 46 No. 3, November 2002 357-372, DOI: 10.1177/000276402237769 Portenoy RK, Itri LM. Cancer-related fatigue: guidelines for evaluation and management. Oncologist 1999;4:1-10. Reuben DB, Mor V. Dyspnea In Terminally Ill Cancer Patients. Chest 1986;89:234-6. Ross , Douglas D. dan Carla S. Alexander., 2001, Management of Common Symptoms in Terminally Ill Patients: Part I. Fatigue, Anorexia, Cachexia, Nausea and Vomiting, American Family Physician, www.aafp.org/afp, 1 September, 2001/Volume 64, Number 5. Ross , Douglas D. dan Carla S. Alexander., 2001, Management of Common Symptoms in Terminally Ill Patients: Part II. Constipation, Delirium and Dyspnea, American Family Physician, www.aafp.org/afp, 15 September, 2001 / Volume 64, Number 6. Sumamur P.K. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT. Toko Gunung Agung. Cetakan ketiga belas. Jakarta. Hal. 82-93 Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. UNISBA PRESS. Cetakan Pertama. Surakarta. Tisdale MJ. Molecular Pathways Leading to Cancer Cachexia. Physiol. 2005;20:340-8 Torelli GF, Campos AC, Meguid MM. Use of TPN in terminally ill cancer patients. Nutrition 1999; 15:665-7 White,PG, 2002, Word Hospice Palliative Care The Loss of Child Day, Nwe York : Pediatric Heart Woodruff Asperula Melbourne 4th edn 2004. Standards for Providing Quality Palliative Care for all Australians. Palliative Care Australia. Palliative Medicine.