Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

2.2 Latar Belakang


Penyakit kronik merupakan kondisi yang mempengaruhi fungsi seharihari
selama lebih dari 3 bulan dalam setahun, yang menyebabkan hospitalisasi dari 1
bulan dalam setahun atau (pada saat didiagnosis) cenderung mengalami perawatan
di rumah sakit secara berulang (Wong, 2003). Anak-anak dapat menderita penyakit
kronik dalam berbagai bentuk penyakit. Penyakit kronik yang diderita antarana:
asthma, diabetes, kelainan jantung bawaan, kanker, epilepsy, HIV/AIDS, sickle cell
anemia, obesitas, penyakit mental dan penyakit yang berhubungan dengan
ketidakmampuan seperti autis, hiperaktif, dan kecacatan (Boyse, 2007).
WHO menyatakan bahwa saat ini obesitas telah menjadi epidemik global,
sehingga sudah merupakan suatu masalah kesehatan yang harus segera ditangani.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dapat dilihat bahwa di
Indonesia prevalensi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) umur 6-12
tahun didapati pada anak laki-laki sebesar 10,7% dan pada anak perempuan sebesar
7,7%.
Sehingga, pada makalah ini penulis tertarik untuk melakukan analisis jurnal
mengenai obesitas.

2.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang didapatkan
adalah bagaimana analisis jurnal terhadap trend dan issue penyakit kronik pada
anak?

2.2 Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat pembuatan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang trend dan issue penyakit kronik pada anak. Di samping itu juga
sebagai syarat dari tugas mata kuliah Keperawatan Anak.

2.2 Metode Penulisan

1
Dalam penulisan makalah ini digunakan metode penulisan yang berdasarkan
literatur atau metode pustaka.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.2 Penyakit Kronik


2.2.1 Definisi Penyakit Kronik
Penyakit kronik merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang
atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan.
Orang yang menderita penyakit kronik cenderung memiliki tingkat kecemasan yang
tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness
karena berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari
penyakit kronik (Sarafino, 2006). Rasa sakit yang diderita akan mengganggu
aktivitasnya sehari-hari, tujuan dalam hidup, dan kualitas tidurnya (Affleck et al.
dalam Sarafino, 2006).
2.2.2 Etiologi Penyakit Kronik
Penyakit kronik dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial
ekonomi, dan budaya. Penyakit kronik cenderung menyebabkan kerusakan yang
bersifat permanen yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya
suatu kemampuan untuk menjalankan berbagai fungsi, terutama muskuloskletal
dan organ-organ pengindraan. Ada banyak faktor yang menyebabkan penyakit
kronik dapat menjadi masalah kesehatan yang banyak ditemukan hampir di seluruh
negara, di antaranya kemajuan dalam bidang kedokteran modern yang telah
mengarah pada menurunnya angka kematian dari penyakit infeksi dan kondisi
serius lainnya, nutrisi yang membaik dan peraturan yang mengatur keselamatan di
tempat kerja yang telah memungkinkan orang hidup lebih lama, dan gaya hidup
yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah meningkatkan insiden
penyakit kronik (Smeltzer & Bare, 2010).
2.2.3 Fase Penyakit Kronik
Menurut Smeltzer & Bare (2010), ada sembilan fase dalam penyakit kronik,
yaitu sebagai berikut.
a. Fase pra-trajectory adalah risiko terhadap penyakit kronik karena faktor-faktor
genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit
kronik.

3
b. Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronik.
Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering dilakukan
pemeriksaan diagnostik.
c. Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit
terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari tertangani dalam keterbatasan
penyakit.
d. Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap
terkontrol atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
e. Fase akut adalah fase yang ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak
dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk
penanganannya.
f. Fase krisis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau mengancam
jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.
g. Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam
batasan yang dibebani oleh penyakit kronik.
h. Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit
berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam
mengatasi gejala-gejala.
i. Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan bertahap
atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.
2.2.4 Kategori Penyakit Kronik
Menurut Christensen et al. (2006) ada beberapa kategori penyakit kronik,
yaitu seperti di bawah ini.
a. Lived with illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan
mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya tidak mengalami
kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah
diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi.
b. Mortal illnesses. Pada kategori ini secara jelas kehidupan individu terancam dan
individu yang menderita penyakit ini hanya bisa merasakan gejala-gejala
penyakit dan ancaman kematian. Penyakit dalam kategori ini adalah kanker dan
penyakit kardiovaskuler.

4
c. At risk illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua kategori
sebelumnya. Pada kategori ini tidak ditekankan pada penyakitnya, tetapi pada
risiko penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah hipertensi
dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas.
2.2.5 Tanda dan Gejala
Karakteristik penyakit kronik adalah penyebabnya yang tidak pasti,
memiliki faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama,
menyebabkan kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat
disembuhkan secara sempurna (Smeltzer & Bare, 2010). Tanda-tanda lain penyakit
kronik adalah batuk dan demam yang berlangsung lama, sakit pada bagian tubuh
yang berbeda, diare berkepanjangan, kesulitan dalam buang air kecil, dan warna
kulit abnormal (Heru, 2007).
2.2.6 Pencegahan
Sekarang ini pencegahan penyakit diartikan secara luas. Dalam pencegahan
penyakit dikenal pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Djauzi, 2009).
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar,
upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum (melalui pendidikan
kesehatan dan kebersihan lingkungan) dan pencegahan khusus (ditujukan kepada
orang-orang yang mempunyai risiko dengan melakukan imunisasi). Pencegahan
sekunder merupakan upaya untuk menghambat progresivitas penyakit,
menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan yang dapat dilakukan
melalui deteksi dini dan pengobatan secara cepat dan tepat. Pencegahan tersier
dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.
Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan
fungsi organ yang mengalami kecacatan (Budiarto & Anggreni, 2007).
2.2.7 Penatalaksanaan
Kondisi kronik mempunyai ciri khas dan masalah penatalaksanaan yang
berbeda. Sebagai contoh, banyak penyakit kronik berhubungan dengan gejala
seperti nyeri dan keletihan. Penyakit kronik yang parah dan lanjut dapat
menyebabkan kecacatan sampai tingkat tertentu, yang selanjutnya membatasi
partisipasi individu dalam beraktivitas. Banyak penyakit kronik yang harus

5
mendapatkan penatalaksanaan teratur untuk menjaganya tetap terkontrol, seperti
penyakit gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2 Obesitas
2.2.1 Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai kandungan lemak berlebih pada jaringan
adiposa. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan
akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009). Obesitas terjadi jika dalam suatu periode
waktu, lebih banyak kilokalori yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan
untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan
sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012).
2.2.2 Etiologi
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori
yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang
kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai
trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012). Menurut Fauci, et al., (2009),
obesitas dapat disebabkan oleh peningkatan masukan energi, penurunan
pengeluaran energi, atau kombinasi keduanya. Obesitas disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain genetik, lingkungan, psikis, kesehatan, obat-obatan,
perkembangan dan aktivitas fisik (Sherwood, 2012).
a. Faktor genetik
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Selain
faktor genetik pada keluarga, gaya hidup dan kebiasaan mengkonsumsi makanan
tertentu dapat mendorong terjadinya obesitas. Penelitian menunjukkan bahwa
rerata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan
seseorang (Farida, 2009).
b. Faktor lingkungan
Lingkungan, termasuk perilaku atau gaya hidup juga memegang peranan yang cukup
berarti terhadap kejadian obesitas (Farida, 2009).

6
c. Faktor psikis
Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu
bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif (Farida, 2009). Ada
dua pola makan abnormal yang dapat menjadi penyebab obesitas, yaitu makan
dalam jumlah sangat banyak dan makan di malam hari (Shils, 2006).
d. Faktor kesehatan
Terdapat beberapa kelainan kongenital dan kelainan neuroendokrin yang dapat
menyebabkan obesitas, diantaranya adalah Down Syndrome, Cushing Syndrome,
kelainan hipotalamus, hipotiroid, dan polycystic ovary syndrome (Shils, 2006).
e. Faktor obat-obatan
Obat-obatan merupakan sumber penyebab signifikan dari terjadinya overweight dan
obesitas. Obat-obat tersebut diantaranya adalah golongan steroid, antidiabetik,
antihistamin, antihipertensi, protease inhibitor (Shils, 2006). Penggunaan obat
antidiabetes (insulin, sulfonylurea, thiazolidinepines), glukokortikoid, agen
psikotropik, mood stabilizers (lithium), antidepresan (tricyclics, monoamine
oxidase inibitors, paroxetine, mirtazapine) dapat menimbulkan penambahan
berat badan. Selain itu, Insulin-secreting tumors juga dapat menimbulkan
keinginan makan berlebihan sehingga menimbulkan obesitas (Fauci, et al.,
2009).
f. Faktor perkembangan
Penambahan ukuran, jumlah sel-sel lemak, atau keduanya, terutama yang terjadi pada
pada penderita di masa kanak-kanaknya dapat memiliki sel lemak sampai lima
kali lebih banyak dibandingkan orang yang berat badannya normal (Farida,
2009).
g. Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari
meningkatnya angka kejadian obesitas pada masyarakat. Orang yang tidak aktif
memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengonsumsi
makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang akan
mengalami obesitas (Farida, 2009).
2.2.3 Patofisiologi

7
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari
tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan
penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh (Rosen, 2008). Penelitian yang
dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan
seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang
dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan
keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu
pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan
regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi
melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan
sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia,
meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal
pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu
makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida
gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator
dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon
leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi
(Sherwood, 2012).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.
Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar
menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu
makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan
energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic
center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian
besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin
tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).

2.2.4 Pengukuran Antropometri sebagai Skrining Obesitas

8
Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara atau metode antara lain
pengukuran IMT (Index Massa Tubuh), serta perbandingan lingkar pinggang dan
panggul (Sonmez et al., 2003).
a. IMT
Indeks massa tubuh (IMT) adalah ukuran yang menyatakan komposisi tubuh,
perimbangan antara berat badan dengan tinggi badan. Metode ini dilakukan
dengan cara menghitung BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam
kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Arora, 2008).

b. Rasio lingkar pinggang – panggul (RLPP)


Pola penyebaran lemak tubuh tersebut dapat ditentukan oleh rasio lingkar
pinggang dan panggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan
panggul diukur pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan
ukuran panggul (Arora, 2008).
Rasio Lingkar Pinggang (LiPi) dan Lingkar Panggul (LiPa) merupakan cara
sederhana untuk membedakan obesitas bagian bawah tubuh (panggul) dan
bagian atas tubuh (pinggang dan perut). Jika rasio antara lingkar pinggang dan
lingkar panggul untuk perempuan diatas 0.85 dan untuk laki-laki diatas 0.95
maka berkaitan dengan obesitas sentral / apple shapedd obesity dan memiliki
faktor resiko stroke, DM, dan penyakit jantung koroner. Sebaliknya jika rasio
lingkar pinggang dan lingkar panggul untuk perempuan dibawah 0,85 dan untuk
laki-laki dibawah 0,95 maka disebut obesitas perifer / pear shapedd obesity
(WHO, 2008).

1) Lingkar Pinggang

9
Lingkar pinggang adalah salah satu indikator untuk menentukan jenis
obesitas yang diperoleh melalui hasil pengukuran panjang lingkar yang
diukur di antara crista illiaca dan costa XII pada lingkar terkecil, diukur
dengan pita meteran non elastis (ketelitian 1 mm). Pada penelitian lain yang
dilakukan Wang et al. (2005), ukuran lingkar pinggang yang besar
berhubungan dengan peningkatan faktor risiko terhadap penyakit
kardiovaskular karena lingkar pinggang dapat menggambarkan akumulasi
dari lemak intraabdominal atau lemak visceral. Berikut adalah teknik
pengukuran lingkar pinggang menurut Riskesdas 2013:
a. Responden diminta dengan cara yang santun untuk membuka pakaian
bagian atas atau menyingkapkan pakaian bagian atas dan raba tulang rusuk
terakhir responden untuk menetapkan titik pengukuran.
c. Tetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah.
d. Tetapkan titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul.
e. Tetapkan titik tengah di antara diantara titik tulang rusuk terakhir titik
ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul dan tandai titik tengah
tersebut dengan alat tulis. Minta responden untuk berdiri tegak dan
bernafas dengan normal (ekspirasi normal).
f. Lakukan pengukuran lingkar perut dimulai/diambil dari titik tengah
kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut kembali
menuju titik tengah diawal pengukuran.
g. Apabila responden mempunyai perut yang gendut kebawah, pengukuran
mengambil bagian yang paling buncit lalu berakhir pada titik tengah
tersebut lagi.
h. Pita pengukur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang mendekati
angka 0,1 cm.
2) Lingkar Panggul
Lingkar panggul juga merupakan salah satu indikator untuk menentukan jenis
obesitas yang diperoleh melalui hasil pengukuran panjang lingkar maksimal
dari pantat dan pada bagian atas simphysis ossis pubis. Lingkar panggul yang
besar (tanpa menilai IMT dan lingkar pinggang) memiliki risiko diabetes
melitus dan penyakit kardiovaskular yang lebih rendah dibandingkan dengan

10
obesitas apple shaped (Oviyanti, 2010). Berikut adalah teknik pengukuran
lingkar pinggang menurut Riskesdas 2013:
a. Responden diminta berdiri tegap dengan kedua kaki dan berat merata pada
setiap kaki.
b. Palpasi dan tetapkan daerah trochanter mayor pada tulang paha.
c. Lingkarkan pita ukur tanpa melakukan penekanan.
d. Posisikan pita ukur pada lingkar maksimum dari bokong, untuk wanita
biasanya di tingkat pangkal paha, sedangkan untuk pria biasanya sekitar 2
- 4 cm bawah pusar.
e. Ukur lingkar pinggul mendekati angka 0,1cm.
2.2.5 Komplikasi
Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama obesitas apple shaped,
sangat erat hubungannya dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik
merupakan satu kelompok kelainan metabolik selain obesitas, meliputi resistensi
insulin, gangguan toleransi glukosa, abnormalitas lipid dan hemostasis, disfungsi
endotel dan hipertensi yang kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit
jantung koroner dan/atau stroke. Mekanisme dasar bagaimana komponen-
komponen sindrom metabolik ini dapat terjadi pada seseorang dengan obesitas
apple shaped dan bagaimana komponen-komponen ini dapat menyebabkan
terjadinya gangguan vaskular, hingga saat ini masih dalam penelitian (Soegondo,
2007).
2.2.6 Penatalaksanaan
f. Merubah gaya hidup
Diawali dengan merubah kebiasaan makan. Mengendalikan kebiasaan ngemil dan
makan bukan karena lapar tetapi karena ingin menikmati makanan dan
meningkatkan aktifitas fisik pada kegiatan sehari-hari. Meluangkan waktu
berolahraga secara teratur sehingga pengeluaran kalori akan meningkat dan
jaringan lemak akan dioksidasi (Sugondo, 2008).

g. Terapi Diet

11
Mengatur asupan makanan agar tidak mengkonsumsi makanan dengan jumlah kalori
yang berlebih, dapat dilakukan dengan diet yang terprogram secara benar. Diet
rendah kalori dapat dilakukan dengan mengurangi nasi dan makanan berlemak,
serta mengkonsumsi makanan yang cukup memberikan rasa kenyang tetapi tidak
menggemukkan karena jumlah kalori sedikit, misalnya dengan menu yang
mengandung serat tinggi seperti sayur dan buah yang tidak terlalu manis
(Sugondo, 2008).
h. Aktifitas Fisik
Peningkatan aktifitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat
badan, walaupun aktifitas fisik tidak menyebabkan penurunan berat badan lebih
banyak dalam jangka waktu enam bulan. Untuk penderita obesitas, terapi harus
dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap.
Penderita obesitas dapat memulai aktifitas fisik dengan berjalan selama 30 menit
dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya
selama 45 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu (Sugondo,
2008).
i. Terapi perilaku
Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya, diperlukan suatu
strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan
aktifitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap
kebiasaan makan dan aktifitas fisik, manajemen stress, stimulus control,
pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan
dukungan sosial (Sugondo, 2008).
j. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program manajemen
berat badan. Sirbutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurun berat
badan yang telah disetujui untuk penggunaan jangka panjang. Sirbutramine
ditambah diet rendah kalori dan aktifitas fisik efektif menurunkan berat badan
dan mempertahankannya. Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30
persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak
karena terjadi malabsorpsi parsial (Sugondo, 2008).

12
k. Pembedahan
Tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk mengatasi obesitas.
Pembedahan dilakukan hanya kepada penderita obesitas dengan IMT ≥40 atau
≥35 kg/m2 dengan kondisi komorbid. Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik/
banding vertical gastric) atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu intervensi
penurunan berat badan dengan resiko operasi yang rendah (Sugondo, 2008).

13
BAB III
ANALISIS JURNAL PICO

A. Jurnal 1
Judul : HUBUNGAN OBESITAS DENGAN PROFIL TEKANAN DARAH
PADA ANAK USIA 10-12 TAHUN DI KOTA MANADO
No. Kriteria Jawab Inti Jurnal
1. P Ya Obesitas saat ini sudah menjadi masalah global.
Prevalensinya meningkat tidak saja dinegara maju tapi juga
di negara-negara berkembang. Obesitas pada anak sampai
saat ini masih merupakan masalah yang kompleks.
Penyebabnya multifaktorial sehingga menyulitkan
penatalaksanaannya. Peningkatan kegemukan dan obesitas
pada anak di seluruh dunia ikut mendongkrak prevalensi
hipertensi pada anak. Melihat unsure keturunan dari
hipertensi, muncul pemahaman bahwa hipertensi pada orang
dewasa berasal dari anak-anak. Oleh karena itu upaya
menurunkan prevalensi kegemukan dan obesitas akan
menurunkan prevalensi hipertensi pada anak secara tidak
langsung.
2. I Ya Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan rancangan potong lintang. Hasil: Terdapat 111 anak
subjek penelitian yang memenuhi kriteria Inklusi yang telah
diukur. Terdiri dari 57 anak perempuan dan 54 anak laki-laki.
Dari 111 anak obesitas tersebut 31 anak dengan tekanan darah
normal, 55 anak dengan tekanan darah normal tinggi dan 25
anak bertekanan darah tinggi.
3. C Ya Tidak ada jurnal pembanding yang lain
4. O Ya
Hasil penelitian bahwa seluruh responden obesitas dengan tekanan
darah normal berjumlah 31 responden (29,7%), responden
obesitas dengan tekanan darah tinggi berjumlah 25 responden

14
(22,5%) dan responden obesitas dengan tekanan darah normal
tinggi berjumlah 55 responden (49,5%). Analisis data yang
digunakan untuk mengetahui hubungan Obesitas dengan
tekanan darah adalah uji Chi-Square dengan menggunakan
tingkat kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan 5% (α=0,05).
Hasil analisis data diperoleh nilai p = 0,007 < 0,05, sehingga
hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha)
diterima, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara Obesitas dengan tekanan
darah.

B. Jurnal 2
Judul : HUBUNGAN KONSUMSI FASTFOOD DENGAN KEJADIAN OBESITAS
PADA ANAK SD DI KOTA MANADO
No. Kriteria Jawab Inti Jurnal
1. P Ya Obesitas pada anak sampai kini masih merupakan masalah,
hal ini disebabkan oleh etiologinya yang kompleks dan multi
faktor. Penanganan obesitas anak haruslah terpadu antara
semua aspek etiologi. Semakin dini penanganan obesitas
pada anak akan memberikan hasil yang lebih baik.
Penanganan obesitas pada anak lebih sulit dari pada obesitas
dewasa. Pengaturan makan untuk penurunan berat badan
anak harus memperhatikan bahwa anak masih dalam proses
tumbuh dan berkembang. Anjuran makanan untuk
mendapatkan berat badan yang stabil atau turun secara
bertahap harus mencukupi kebutuhan semua zat gizi
meskipun seringkali anak mempunyai jenis makanan yang
disukai atau tak disukai sehingga membatasi variasi makanan
yang dapat dikonsumsi. Data yang dikumpulkan Himpunan
Obesitas Indonesia (2008) berdasarkan data dan Departemen
Kesehatan pada tahun 1993 jumlah penderita obesitas
meningkat menjadi 6,3% untuk anak laki-laki dan 8% untuk

15
anak perempuan. Data baru yang dikumpulkan oleh
Himpunan Obesitas Indonesia yakni tahun 2008
menunjukkan bahwa prevalensi obesitas untuk anak-anak
pada sejumlah Sekolah Dasar di Indonesia adalah 12%
menderita obesitas dan 9% kegemukan dari 1.730 anak
(Zulfa, 2011). Peningkatan jumlah Obesitas pada anak saat
ini karena anakanak lebih senang mengkonsumsi fast food
modern yang dapat dikategorikan junk food, karena lebih
banyak mengandung energi dan sedikit serat.
2. I Ya Penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan
menggunakan rancangan case control, untuk menganalisis
asupan energi sebagai faktor risiko terjadinya obesitas.
Dimana peneliti menggunakan pendekatan retrospective,
dimana efek diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor
risiko diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu.
Data umum tentang karakteristik responden dikumpulkan
melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner identitas
responden. Data status gizi untuk kelompok obesitas dan
tidak obesitas dikumpulkan dengan melakukan pengukuran
tinggi badan dan berat badan.
3. C Ya Tidak ada jurnal pembanding yang lain
4. O Ya
Hasil penelitian
Responden yang mengkonsumsi energi fast food > rata-rata
(280,444) dan mengalami obesitas berjumlah 46 responden
(33,8%) dan tidak mengalami obesitas berjumlah 32
responden (23,5%) sedangkan responden yang
mengkonsumsi energi fast food ≤ ratarata dan mengalam
obesitas berjumlah 22 responden (16,5%) dan tidak
mengalami obesitas berjumlah 36 responden (26,5%) Hasil
uji Chi Square (X2) pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan nilai p=0,024. Nilai p ini lebih kecil dari nilai α

16
= 0,05, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
konsumsi fast food dengan terjadinya obesitas.

C. Jurnal 3
Judul : PENGARUH INTERVENSI DIET DAN OLAH RAGA TERHADAP
INDEKS MASSA TUBUH, LEMAK TUBUH, DAN KESEGARAN JASMANI
PADA ANAK OBES
No. Kriteria Jawab Inti Jurnal
1. P Ya Obesitas telah berkembang menjadi epidemi baik di negara
maju maupun negara berkembang. Penelitian di Amerika
pada tahun 1997, 21-24% anak Amerika menderita
overweight dan 15% menderita obesitas. Prevalensi obesitas
pada anak SD di beberapa kota besar di Indonesia berkisar
2,1%–25- %. Penelitian di Semarang 9,1% dan 10,6% anak
usia 6-7 tahun, berturut turut menderita overweight dan
obesitas, dengan proporsi laki-laki lebih besar dibanding
wanita. indeks massa tubuh (IMT) sebagai kriteria, telah
banyak diteliti dan dianggap baik untuk menentukan obesitas
pada anak. Timbunan lemak yang berlebihan berhubungan
erat dengan tingginya IMT anak. Diduga bahwa intervensi
diet dan olah raga dapat menurunkan risiko obesitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diet dan
olahraga terhadap indeks massa tubuh, lemak tubuh dan
kesegaran jasmani anak obesitas, dengan metode intervensi
yang dilakukan di sekolah.
2. I Ya Uji intervensi one group pre and post test design pada anak
SD usia 9–10 tahun di SD Bernardus Semarang pada bulan
Juni-September 2009. Intervensi diet berupa konseling pada
anak dan orangtua. Intervensi olahraga tiga kali 45 menit per
minggu selama 8 minggu. Pengambilan data pada awal dan
akhir penelitian berupa data antropometri (BB, TB, indeks
massa tubuh, lemak tubuh), berat badan dan lemak tubuh

17
diukur dengan timbangan Tanita BC 545 Inner Scan Body
Composition yang telah distandarisasi dan dengan tingkat
ketelitian 100 gram dan tingkat kesegaran jasmani diukur
menggunakan 20 meter shuttle run test, pengukuran dengan
cara anak berlari secara ulang alik sejauh 20 meter, sambil
mendengar serangkaian bunyi sinyal “ding” yang terekam
dalam kaset, kemudian hasil akan dikonversikan dalam VO2
maks dengan menggunakan kalkulator VO2maks. T. Tingkat
aktivitas fisik harian diukur mengunakan GPAQ (global
physical activity questionairre) suatu kuesioner aktivitas fisik
yang telah luas digunakan dengan cara wawancara terhadap
subjek mengenai aktivitas fisik yang dilakukan selama satu
bulan terakhir dengan interval berapa kali perminggu dan
durasi dalam menit, kemudian ditentukan kategori aktif atau
tidak aktif. Kemudian dilakukan analisis data dengan t-test
berpasangan dan analisis multivariat.
3. C Ya Tidak ada jurnal pembanding yang lain
4. O Ya
Dua puluh subjek (17 laki-laki dan 3 perempuan) menyelesaikan
penelitian. Didapatkan penurunan rerata indeks massa tubuh
0,6 kg/m2 (p=0,006) dan peningkatan rerata tingkat kesegaran
jasmani sebesar 1,66 ml/kg/menit (p=0,000), tetapi tidak
didapatkan perbedaan secara bermakna terhadap lemak tubuh.
Asupan diet harian berkurang 421,3 kkal/hari. Berdasarkan
analisis multivariat, asupan makanan merupakan variabel
yang lebih berpengaruh dibandingkan dengan olahraga
(rsquare=0,33, p=0,018).
Kesimpulan: Intervensi diet dan olahraga selama 8 minggu
menurunkan indeks massa tubuh, meningkatkan tingkat
kesegaran jasmani, tetapi tidak didapatkan pengaruh yang
signifikan terhadap lemak tubuh. Asupan diet merupakan
variabel yang paling berpengaruh.

18
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penyakit kronik merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau
bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan. Orang
yang menderita penyakit kronik cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi
dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness karena
berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit
kronik. Salah satu penyakit kronik tersebut adalah obesitas yang diderita oleh
seorang anak. Penanggulangan obesitas pada anak lebih sulit dibandingkan obesitas
dewasa, karena penyebab obesitas yang multifaktorial dan anak yang masih dalam
taraf tumbuh kembang. Penurunan berat badan bukanlah tujuan yang utama dalam
penanganan obesitas anak. Perubahan pola makan dan perilaku hidup sehat lebih
diutamakan untuk mendapatkan hasil yang menetap. Penanggulangan obesitas anak
sebaiknya dilakukan secara terapadu antara dokter anak, dietisien, psikolog dan
petugas kesehatan lain. Peran serta orang tua memegang peranan penting dalam
penangan anak obesitas. Pencegahan sebaiknya dilakukan sebelum anak menjadi
obesitas karena pencegahan lebih mudah daripada pengobatan. Pencegahan harus
dimulai sejak dini dengan menerapkan pola hidup sehat dalam keluarga.

4.2 Saran
Semoga penyusunan asuhan keperawatan ini dapat bermanfaat dan dapat
menambah wawasan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila dalam
penulisan makalah ini masih banyak kesalahan kami mohon maaf dan kami harap
untuk para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

19
Anam, M. S. dkk. 2010. Pengaruh Intervensi Diet dan Olah Raga terhadap Indeks
Massa Tubuh, Lemak Tubuh, dan Kesegaran Jasmani pada Anak Obes.
Jurnal Sari Pediatri, 12(1): 36-41.
Arora, M., Koley, S., Gupta, S.,& Shandu, J.S., 2007. A Study on Lipid Profile And
Body Fat in Patients with Diabetes Melitus. Anthropologist, 9(4): 295- 298.
Damopolii, W., Mayulu, N. & Masi, G. 2013. Hubungan Konsumsi Fastfood
dengan Kejadian Obesitas pada Anak SD di Kota Manado. Jurnal eJournal
Keperawatan (e-Kp), 1(1): 1-7.
Lumoindong, A., Umboh, A. & Masloman, N. 2013. Hubungan Obesitas dengan
Profil Tekanan Darah pada Anak Usia 10-12 Tahun di Kota Manado. Jurnal
e-Biomedik (eBM), 1(1): 147-153.
Rosen, S. Shapouri, S. 2008. Obesity in the midst of unyielding food insecurity in
developing countries. Amberwaves USDA ERS. Dalam Istiqamah, et al.
Hubungan Pola Hidup Sedentarian Dengan Kejadian Obesitas Sentral Pada
Pegawai Pemerintahan Di Kantor Bupati Kabupaten Jeneponto. Hal. 1-3.
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : EGC.
h. 708-710.
Shils, Maurice E. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease, 10th Edition. New
York: Lippicontt Williams & Wilkins.
Smeltzer, Suzanne. (2006). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa
Agung Waluyo. Edisi 2 : Jakarta : EGC
Soegondo, S. 2009. Obesitas. Dalam AW Sudoyo, B Setiyohadi, I Alwi, M
Simadibrata, S Setiati: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jilid 3.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 1924.
Sugondo, S., 2007. Obesitas. Dalam Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FKUI, 1919-1923.

20

Anda mungkin juga menyukai