Anda di halaman 1dari 1

Pada abad pertengahan nenek moyang Fatma Pasha berusaha menaklukkan Eropa dengan pedang.

Di bawah pimpinan panglima perang ternama Dinasti Utsmaniah, Kara Mustafa Pasha, para prajurit
Kesultanan Turki itu jauh meninggalkan tanah airnya menuju jantung Eropa. Namun, upaya Kara
Mustafa Pasha tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan kegagalannya
disebut-sebut diabadikan dalam bentuk roti croissant.
Namun, ratusan tahun kemudian keturunannya tidak jera untuk kembali ke Eropa, salah satunya
adalah Fatma Pasha, seorang wanita keturunan Turki yang mengulurkan persahabatan kepada
Hanum Salsabiela Rais, seorang perempuan Indonesia yang mengikuti suaminya, Rangga
Almahendra, menempuh pendidikan S-3 di Austria.
Fatma Pasha, yang dituturkan Hanum, dikenalnya dalam sebuah kursus Bahasa Jerman gratis di
Wina, datang ke Austria--negara terakhir di Eropa dalam rute ekspansi tentara Kerajaan Islam--
dengan misi yang bertolak belakang dengan nenek moyangnya, yaitu menaklukkan Eropa dengan
senyum dan kebaikan.
"Menjadi agen muslim yang baik," tuturnya saat menjelaskan kepada Hanum alasan dia membayar
makanan sepasang wisatawan yang mencemooh Turki.
Selain mengisahkan persahabatan Fatma dan Hanum, juga mengisahkan bagaimana pasangan itu
berusaha menyesuaikan diri dengan budaya negara tempat mereka tinggal yang tentunya jauh
berbeda dengan Indonesia.
Sejumlah tantangan dikemas dalam dialog-dialog ringan penuh falsafah tentang Ketuhanan antara
Rangga dengan teman-teman kuliahnya antara lain Khan, Stephan dan Maarja, mulai dari kesulitan
mencari makanan halal, jadwal ujian yang bentrok dengan Sholat Jumat, salat wajib bagi pria
muslim, hingga terorisme yang identik dengan Islam.
Banyak fakta sejarah yang membuktikan peradaban Islam telah membuka mata Eropa dari tidur
lelap Dark Age-nya, salah satunya adalah Ibnu Rusdi, Ilmuwan Muslim, melalui interaksi dan
pembangunan peradaban di Cordova (Spanyol). Kita melihat rahasia di balik lukisan dalam Museum
Louvre yang memiliki tulisan kaligrafi dan sejarah di baliknya, termasuk Champ Elysees yang
mengarah ke kiblat.
Konon, ini merupakan bagian dari Napoleon Bonaparte terhadap peradaban Islam. Sejak Napoleon
masih jadi perwira Perancis di Mesir, ia amat terkesan dengan Islam dan seluk-beluknya meski
secara tradisional Perancis adalah musuh bebuyutan seluruh imperium Islam sejak era Perang Salib.
Yang ironis, saat muslimah Eropa berusaha menjalankan Islam secara kaffah menjaga diri berhijab,
tapi karena benturan dan toleransi dengan adat/budaya dan peraturan pemerintahnya, menjadi
begitu sulit dan diperolok. tapi Indonesia, padahal berhijab sangat diperintah dan dianjurkan oleh
agama serta peraturan, muslimah seperti begitu sungkan dan terbebani. Ah, Bahkan lebih khawatir
lagi dengan komunitas muslimah baru-baru ini, hijaber modis semacam itulah, mereka
berkerudung tapi tetap telanjang, masih memperlihatkan bentuk dan lekuk tubuh, entah ini sebuah
prestasi atau mungkin mereka tak tahu akan esensi. Wallahualam

Anda mungkin juga menyukai