Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala
isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih
menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion
Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia.
Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di
Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta
misteri tentang Islam.
Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan
keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya.
Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja
untuk memperburuk hubungan keduanya.
Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam
dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul
Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke
Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja
sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan
kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam.
Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya.
Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan
agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan
kasih.
SINOPSIS NOVEL
99 CAHAYA DI LANGIT EROPA
DISUSUN OLEH :
Eropa dan Islam. Terlepas dari on and off relationship keduanya selama satu
dekade terakhir ini, mereka sangatlah erat dan serasi di masa lalu. Eropa, sungguh,
lebih dari sekadar Menara Eiffel, Colosseum Roma, atau Tembok Berlin.
“Mengutip kata-kata George Santayana: ‘Those who don’t learn from
history are doomed to repeat it.’ Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan
mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini yang tidak mengenali sejarah
kebesaran Islam pada masa lalu.” (hlm. 4)
99 Cahaya di Langit Eropa adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan
kisah nyata mengenai perjalanan spiritual Hanum Salsabiela Rais dan suaminya,
Rangga Almahendra, dalam mengulik sejarah Islam selama 3 tahun mereka menetap
di bumi Eropa. Dalam buku ini, perjalanan mereka terbagi menjadi empat rute
utama: Wina (Austria), Paris (Prancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), serta
Istanbul (Turki).
Petualangan mereka dimulai dari Rangga yang mendapat beasiswa untuk
studi S3 di WU Vienna dan memboyong serta istrinya, Hanum, yang menyusul 4
bulan kemudian. Selanjutnya, Hanum bekerja untuk proyek video podcast Executive
Academy di kampus suaminya. Di tengah-tengah kesibukannya mengerjakan projek
tersebut, Hanum pun mengikuti kursus bahasa Jerman. Dan di tempat itulah ia
menjalin persahabatan dengan Fatma Pasha, seorang Muslimah asal Turki.
Melalui penuturan Fatma, kita pun paham bahwa menjadi seorang Muslim di
negara yang umat Islamnya menjadi minoritas bukanlah hal mudah. Fatma berkali-
kali ditolak bekerja di berbagai perusahaan karena ia berhijab. Belum lagi kesulitan
menemukan ruang ibadah di tempat umum. Meskipun demikian, Fatma telah
bertekad untuk menjadi agen Muslim yang baik di tempatnya berada. Seperti ketika
sekelompok turis asing mengolok-olok Turki dengan croissant, yang merupakan roti
untuk merayakan kalahnya Turki di Wina, ia justru membayari makan turis tersebut
dan mengajaknya berteman supaya ia dapat belajar bahasa Inggris darinya.
Bersama tiga kawannya: Latife, Ezra, dan Oznur, Fatma menetapkan tiga
poin penting dalam syiar Islamnya di Austria: tebarkan senyum indahmu, kuasai
bahasa Jerman dan Prancis, serta jujur dalam berdagang. Terbukti, salah satu
kawannya jatuh cinta pada Islam karena mengenal keramahan dan senyum Latife,
hingga kemudian ia menjadi mualaf. Subhanallah.
“Fatma membukakan mata bahwa lima pilar inti ajaran agama Islam juga
harus tersuguh dengan akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya
dimaknai sebagai tata cara beribadah. Fatma menghadapi tantangan lebih berat—di
tengah penduduk nonmuslim—yaitu di Eropa yang umatnya semakin bangga
melepas semua atribut agama, mengabaikan keniscayaan terhadap Tuhan alias ateis.
Sama sekali bukan perkara mudah. Akan tetapi, dia percaya keteladanan berbicara
lebih keras dari kata-kata.” (hlm. 63)
Buku ini pun tak lepas dari kunjungan penulis ke tempat-tempat bernafaskan
sejarah Islam di Eropa. Seperti Museum Wina dan kisah tentang Kara Mustafa Pasha,
panglima perang khalifah Ottoman. Kemudian Museum Louvre di Paris, yang
menyimpan berbagai bukti sejarah jayanya Islam di abad pertengahan. Siapa yang
menyangka bahwa penemu lensa kamera serta peta antariksa pertama adalah
ilmuwan Muslim? Atau pinggiran hijab Bunda Maria yang ternyata bertuliskan
kalimat tauhid ‘Laa Ilaaha Illalah’? Belum lagi, fakta bahwa di masa Masjid Agung
Paris pernah menyelamatkan puluhan warga Yahudi dari kejaran tentara Nazi Jerman.
“Aku merasa imam masjid ini, siapa pun dia, juga mempertaruhkan nyawa
untuk menyelamatkan orang-orang yang sama sekali tak ada hubungan dengan
dirinya. Namun, ia yakin akan perintah Allah dalam Alquran tentang kewajiban
menyelamatkan jiwa umat manusia yang lain, apa pun agama mereka, apa pun
kepercayaan mereka. Karena dengan demikian dia sama saja menyelamatkan seluruh
manusia di bumi.” (hlm. 193)
Begitupun halnya dengan Hagia Sophia di Istanbul, bangunan yang dulunya
adalah sebuah Katedral Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi masjid.
Masjid itu memajang kaligrafi Allah, Muhammad, serta ayat-ayat suci Alquran, tetapi
tetap membiarkan lukisan-lukisan Yesus dan Bunda Maria serta elemen kekristenan
lainnya berada di sana. Berkebalikan dengan bangunan Mezquita Cordoba di
Spanyol, yang dulunya adalah masjid, tetapi kini menjadi katedral. Dan masih
banyak cerita lainnya yang menggugah kita untuk memelajari Islam labih dalam lagi.
Sungguh, saya merasa belajar banyak hal seusai membaca buku ini. Tidak
hanya tentang sejarah kejayaan Islam di Eropa pada masa lalu. Namun juga tentang
bagaimana menjadi Muslim yang baik, tentang bagaimana agama dan ilmu adalah
saling menguatkan, tentang hakikat sebuah perjalanan, tentang mensyukuri sebuah
keyakinan, tentang bagaimana pada akhirnya, kita pergi dan kembali hanyalah untuk-
Nya.
Buku ini pun dilengkapi peta penjelajahan penulis ke tempat-tempat
bernafaskan sejarah Islam di Eropa serta halaman lux berwarna di bagian belakang,
lengkap dengan foto tempat-tempat yang disinggahi penulis selama berpetualang di
Eropa.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang begitu lancar mengalir dan mudah
dipahami. Meskipun ditulis dengan gaya novel, tetap tak mengurangi esensinya
sebagai buku yang sarat akan ilmu dan pengetahuan agama. Saya amat menyukai
buku ini dan sejauh ini sudah tiga kali dibaca ulang. Sayangnya, setelah dibaca
beberapa kali, bercak-bercak hitam bermunculan pada pinggiran kertas buku ini.
Padahal buku ini belum pernah mengalami ‘kecelakaan’ apa pun selama saya baca
(jatuh, terkena air, noda makanan, dsb.)
Akhir kata, 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan bacaan yang layak bagi
mereka yang ingin memelajari sejarah Islam dengan mudah. Tidak salah bila buku ini
menjadi salah satu bestseller Penerbit Gramedia dan sudah dicetak ulang sebanyak
delapan kali dalam kurang dari satu tahun.
Tentang Penulis