Anda di halaman 1dari 11

SINOPSIS 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian


cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan
kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan
hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang
makin memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang
berbeda. 

Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala
isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih
menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion
Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia.
Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di
Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta
misteri tentang Islam. 

Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan
keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya.
Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja
untuk memperburuk hubungan keduanya.

Pertemuanku dengan perempuan muslim di Austria, Fatma Pasha telah


mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya.
Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai
Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang
gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia
mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum
dan dalamnya samudra kerendahan hati.

Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam
dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul
Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke
Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja
sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan
kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam.
Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya.
Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan
agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan
kasih.

Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides


semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi
sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan.
Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika
dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan
teror atau kekerasan

Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya


kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba,
Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan
spiritualku selanjutnya.

Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana


Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari
tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat
oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi
bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan
menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih
sayang dan toleransi antar umat beragama.

Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkanku


pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku
pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.
TUGAS BAHASA INDONESIA

SINOPSIS NOVEL
99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

DISUSUN OLEH :

NAMA : SOFIYAN HANDIKI


KELAS : VIII C
SINOPSIS :
99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

Novel “99 Cahaya Di Langit Eropa (Perjalanan Menapak Jejak Islam


di Eropa)” karya dari Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra memiliki
tema menapak jejak islam di Eropa. Buku ini berisi kisah-kisah perjalanan
kedua penulis selama berada di Eropa. Hanum dan Rangga tinggal selama 3
tahun di eropa saat rangga mendapat beasiswa program doktoral di
Universitas di Austria. Keduanya berkesempatan menjelajahi eropa dan
menemukan keindahan eropa yang tidak sekadar hanya Menara Eiffel,
Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum
Roma atau gondola-gondola di Venezia. Namun, mereka menemukan
keindahan lain dari Eropa, mereka menjelajah sejarah dan menemukan
bahwa Islam pernah berjaya di tanah itu. Eropa dan islam pernah menjadi
pasangan serasi. Namun, ketamakan manusia membuat dinasti itu runtuh.
Melalui buku ini, penulis ingin menceritakan tentang beberapa tempat
dimana islam mempunyai kisah yang cukup menarik didalamnya. Kisah-
kisah dari beberapa tempat didalamnya yang bisa membuat penulis dan
pembaca enggan untuk melakukan kesalahan yang sama. Tempat itu antara
lain Wina (austria), Paris (Perancis), Granada dan Cordoba
(andalusia/Spanyol), dan Istanbul (turki).
Selama kursus itulah hanum berkenalan dengan Fatma, wanita asal
Turki yang berhasil menggugah jiwa kelana hanum untuk menyusuri jejak
islam di eropa. Fatma yang notabene hanya seorang ibu rumah tangga
ternyata memiliki wawasan luas tentang sejarah Islam di eropa. Bukan hanya
itu, kebesaran hati seorang fatma yang menerima cerca dari kalangan non
muslim menyadarkan hanum, bahwa Islam seharusnya dimaknai luar dan
dalam. Bukan sekedar casing yang islam, namun jiwa dan pikiran kaum bar-
bar. Sayangnya fatma tiba-tiba menghilang setelah mereka mengikat janji
akan berkelana bersama menapaki jejak islam yang ada di Spanyol,
Perancis, dan Turki yang pernah berjaya pada masanya. Demi memenuhi
janji itu hanum kemudian mulai menjelajah sendiri bersama suami.
Tempat kedua yang diceritakan penulis adalah Paris, Perancis. Kota
ini dikenal City of lights, yang berarti pusat peradaban Eropa. Di Paris,
Hanum bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja
sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepada
penulis bahwa Eropa adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa
menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Seperti
kufic-kufic pada keramik yang berada di musse louvre. Yang lebih
mencengangkan Hanum, pada lukisan Bunda Maria dan Bayi Yesus, hijab
yang dipakai Bunda Maria bertakhtakan kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah.
Selain benda-benda ‘kecil’ didalam musee louvre, Marion juga memberi tahu
tentang Voie Triomphale atau Jalan kemenangan yang dibuat Napoleon
Bonaparte, tempat dua gerbang kemenangan (arc du triomphe) yang sangat
megah. menurut Marion, bila ditarik garis lurus imajiner maka akan
menghadap arah kiblat. Mungkin akan menjadi konspirasi apabila Eropa
mengakui Napoleon beragama Islam, tapi kedekatan beliau dengan Islam tak
terbantahkan. Selain itu, Jenderal kepercayaan Napoleon, Francois Menou
mengucapkan Syahadat setelah menaklukan mesir dan syariat-syariat islam
juga menginspirasi Napoleonic Code.
Setelah ke Paris, mereka selanjutnya menjelajahi Cordoba dan
Granada. Dua kota di andalusia yang menurut beberapa ahli adalah True
City of Lights. Cordoba merupakan ibukota Andalusia dimana peradaban
Eropa dimulai. Pada kota ini berkembang ilmu pengetahuan dan
menginspirasi kota-kota lain di Eropa. Pada masa keemasan itu, Cordoba
bukan negara islam seluruhnya, namun toleransi antar agama menjadi suatu
landasan kuat hingga menjadi kota yang sangat dikagumi sekaligus
membuat iri kota- kota lain. di Cordoba terdapat Mezquita, yaitu masjid besar
yang menjadi Kathedral setelah jatuh ke tangan Raja Ferdinand dan ratu
Isabela. Sementara itu Granada adalah kota terkahir dimana islam takluk di
daratan Eropa. di Granada terdapat benteng megah yang menjelaskan
betapa megahnya Islam di masa keemasan.
Selanjutnya mereka berkesempatan menjelajahi Istanbul. Istanbul/
kontatinopel adalah saksi sejarah dimana Islam pernah memiliki masa
keemasan. Pada masa itu, luas wilayah Islam lebih luas dari kerajaan
Romawi. Namun, di Turki tidak ditinggalkan istana yang megah, bukan
karena tidak mampu melainkan karena Sultan mereka mencontohkan
kesederhanaan. Sesuatu hal yang mulai dilupakan pemimpin-pemimpin saat
ini. Di Turki juga terdapat Hagia Sophia, bekas gereja besar dan sempat
dijadikan masjid. Namun kini telah dijadikan museum oleh pemerintah Turki.
SINOPSIS 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

Eropa dan Islam. Terlepas dari on and off relationship keduanya selama satu
dekade terakhir ini, mereka sangatlah erat dan serasi di masa lalu. Eropa, sungguh,
lebih dari sekadar Menara Eiffel, Colosseum Roma, atau Tembok Berlin.
“Mengutip kata-kata George Santayana: ‘Those who don’t learn from
history are doomed to repeat it.’ Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan
mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini yang tidak mengenali sejarah
kebesaran Islam pada masa lalu.” (hlm. 4)
99 Cahaya di Langit Eropa adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan
kisah nyata mengenai perjalanan spiritual Hanum Salsabiela Rais dan suaminya,
Rangga Almahendra, dalam mengulik sejarah Islam selama 3 tahun mereka menetap
di bumi Eropa. Dalam buku ini, perjalanan mereka terbagi menjadi empat rute
utama: Wina (Austria), Paris (Prancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), serta
Istanbul (Turki).
Petualangan mereka dimulai dari Rangga yang mendapat beasiswa untuk
studi S3 di WU Vienna dan memboyong serta istrinya, Hanum, yang menyusul 4
bulan kemudian. Selanjutnya, Hanum bekerja untuk proyek video podcast Executive
Academy di kampus suaminya. Di tengah-tengah kesibukannya mengerjakan projek
tersebut, Hanum pun mengikuti kursus bahasa Jerman. Dan di tempat itulah ia
menjalin persahabatan dengan Fatma Pasha, seorang Muslimah asal Turki.
Melalui penuturan Fatma, kita pun paham bahwa menjadi seorang Muslim di
negara yang umat Islamnya menjadi minoritas bukanlah hal mudah. Fatma berkali-
kali ditolak bekerja di berbagai perusahaan karena ia berhijab. Belum lagi kesulitan
menemukan ruang ibadah di tempat umum. Meskipun demikian, Fatma telah
bertekad untuk menjadi agen Muslim yang baik di tempatnya berada. Seperti ketika
sekelompok turis asing mengolok-olok Turki dengan croissant, yang merupakan roti
untuk merayakan kalahnya Turki di Wina, ia justru membayari makan turis tersebut
dan mengajaknya berteman supaya ia dapat belajar bahasa Inggris darinya.
Bersama tiga kawannya: Latife, Ezra, dan Oznur, Fatma menetapkan tiga
poin penting dalam syiar Islamnya di Austria: tebarkan senyum indahmu, kuasai
bahasa Jerman dan Prancis, serta jujur dalam berdagang. Terbukti, salah satu
kawannya jatuh cinta pada Islam karena mengenal keramahan dan senyum Latife,
hingga kemudian ia menjadi mualaf. Subhanallah.
“Fatma membukakan mata bahwa lima pilar inti ajaran agama Islam juga
harus tersuguh dengan akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya
dimaknai sebagai tata cara beribadah. Fatma menghadapi tantangan lebih berat—di
tengah penduduk nonmuslim—yaitu di Eropa yang umatnya semakin bangga
melepas semua atribut agama, mengabaikan keniscayaan terhadap Tuhan alias ateis.
Sama sekali bukan perkara mudah. Akan tetapi, dia percaya keteladanan berbicara
lebih keras dari kata-kata.” (hlm. 63)
Buku ini pun tak lepas dari kunjungan penulis ke tempat-tempat bernafaskan
sejarah Islam di Eropa. Seperti Museum Wina dan kisah tentang Kara Mustafa Pasha,
panglima perang khalifah Ottoman. Kemudian Museum Louvre di Paris, yang
menyimpan berbagai bukti sejarah jayanya Islam di abad pertengahan. Siapa yang
menyangka bahwa penemu lensa kamera serta peta antariksa pertama adalah
ilmuwan Muslim? Atau pinggiran hijab Bunda Maria yang ternyata bertuliskan
kalimat tauhid ‘Laa Ilaaha Illalah’? Belum lagi, fakta bahwa di masa Masjid Agung
Paris pernah menyelamatkan puluhan warga Yahudi dari kejaran tentara Nazi Jerman.
“Aku merasa imam masjid ini, siapa pun dia, juga mempertaruhkan nyawa
untuk menyelamatkan orang-orang yang sama sekali tak ada hubungan dengan
dirinya. Namun, ia yakin akan perintah Allah dalam Alquran tentang kewajiban
menyelamatkan jiwa umat manusia yang lain, apa pun agama mereka, apa pun
kepercayaan mereka. Karena dengan demikian dia sama saja menyelamatkan seluruh
manusia di bumi.” (hlm. 193)
Begitupun halnya dengan Hagia Sophia di Istanbul, bangunan yang dulunya
adalah sebuah Katedral Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi masjid.
Masjid itu memajang kaligrafi Allah, Muhammad, serta ayat-ayat suci Alquran, tetapi
tetap membiarkan lukisan-lukisan Yesus dan Bunda Maria serta elemen kekristenan
lainnya berada di sana. Berkebalikan dengan bangunan Mezquita Cordoba di
Spanyol, yang dulunya adalah masjid, tetapi kini menjadi katedral. Dan masih
banyak cerita lainnya yang menggugah kita untuk memelajari Islam labih dalam lagi.
Sungguh, saya merasa belajar banyak hal seusai membaca buku ini. Tidak
hanya tentang sejarah kejayaan Islam di Eropa pada masa lalu. Namun juga tentang
bagaimana menjadi Muslim yang baik, tentang bagaimana agama dan ilmu adalah
saling menguatkan, tentang hakikat sebuah perjalanan, tentang mensyukuri sebuah
keyakinan, tentang bagaimana pada akhirnya, kita pergi dan kembali hanyalah untuk-
Nya.
Buku ini pun dilengkapi peta penjelajahan penulis ke tempat-tempat
bernafaskan sejarah Islam di Eropa serta halaman lux berwarna di bagian belakang,
lengkap dengan foto tempat-tempat yang disinggahi penulis selama berpetualang di
Eropa.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang begitu lancar mengalir dan mudah
dipahami. Meskipun ditulis dengan gaya novel, tetap tak mengurangi esensinya
sebagai buku yang sarat akan ilmu dan pengetahuan agama. Saya amat menyukai
buku ini dan sejauh ini sudah tiga kali dibaca ulang. Sayangnya, setelah dibaca
beberapa kali, bercak-bercak hitam bermunculan pada pinggiran kertas buku ini.
Padahal buku ini belum pernah mengalami ‘kecelakaan’ apa pun selama saya baca
(jatuh, terkena air, noda makanan, dsb.)
Akhir kata, 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan bacaan yang layak bagi
mereka yang ingin memelajari sejarah Islam dengan mudah. Tidak salah bila buku ini
menjadi salah satu bestseller Penerbit Gramedia dan sudah dicetak ulang sebanyak
delapan kali dalam kurang dari satu tahun.
Tentang Penulis

Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan


menempuh pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga
mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir menjadi jurnalis
dan presenter di TRANS TV.

Hanum memulai petualangannya di Eropa selama tinggal di Austria


bersama suaminya Rangga Almahendra dan beke rja untuk proyek video
podcast Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat
sebagai koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.

Tahun 2010, Hanum menerbitkan buku pertamanya, Menapak Jejak


Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta. Sebuah novel
biografi tentang kepemimpinan, keluarga dan mutiara hidup.

Rangga Almahendra, suami Hanum Salsabiela Rais, teman


perjalanan sekaligus penulis kedua buku ini. Menamatkan pendidikan dasar
hingga menengah di Yogyakarta, berkuliah di Institut Teknologi Bandung,
kemudian S2 di Universitas Gadjah Mada, keduanya lulus cumlaude.

Memenangi beasiswa dari Pemerintah Austria untuk studi S3 di WU


Vienna, Rangga berkesempatan berpetualang bersama sang istri menjelajah
Eropa. Pada 2010 ia menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor di
bidang International Business & Management.

Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Johannes Kepler University dan


Universitas Gadjah Mada. Rangga sebelumnya pernah bekerja di PT Astra
Honda Motor dan ABN AMRO Jakarta.

Untuk mengontak penulis, silakan mengirim email ke


hanumrais@gmail.com atau ralmahen@yahoo.com. Kunjungi juga situs
resmi buku ini di www.hanumrais.com

Anda mungkin juga menyukai