Anda di halaman 1dari 40

Keutamaan Silaturahmi

Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan


membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan
dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk
melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya
alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah
semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi
merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena
dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar
umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil dan tanda
kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.
Silaturahim termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru
oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah
Taala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung
tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang
mulia. Allah Taala memperingatkan orang yang
memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya,


Artinya: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah
dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya
penglihatan mereka. (QS Muhammad 47:22-23).


Artinya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An Nisaa
4:1).
Juga sabda Rasulullah Shallallahualahi Wasallam ,


Artinya: Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya
dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka
hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul
Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim
(10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah
Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathiatiha (16/330).
Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi
Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,


Artinya: Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan
diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.
At Tirmidzi dalam Jaminya, no. 1865, Ibnu Majah dalam
Sunannya no. 3663 dan Ahmad dalam Musnadnya sebanyak 10
riwayat.
MAKNA KOSA KATA HADITS
-

bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam


jejak-jejaknya, dan
-

bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan


pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
FAIDAH HADITS
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang
keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan
dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu
permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan?
Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan
berkurang sebagaimana firmanNya,


Artinya: Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat
(pula) memajukannya. (QS Al Araf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di
antaranya,
Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu
tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan
dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di
akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang
terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si
fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan
tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan
mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui
apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung
silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Taala ,


Artinya: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan
menetapkan (apa yang Dia kehendaki). (QS Ar Rad:39).
Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah
ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan
tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu
makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).
Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat
dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati.
Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini
dhaif (lemah) atau bathil. Wallahu alam. [Shahih Muslim
dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu
Qathiatiha (16/114)]
Demikian pula Syaikhul Islam berkomentar tentang
permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Taala ,

..
Arinya: Dan sekali-kali tidak diperpanjang umur seorang yang
berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya (QS
Fathir:11).
Bermakna umur manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak
pula akan dikurangi. Adapun maksud diperpanjangan dan
pengurangan disini, bermakna dua hal, yaitu :
Pertama. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur
pendek. Maka pengurangan umur di sini merupakan
kekurangannya dibanding yang lainnya, sebagaimana orang
yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain berumur
pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih
pendek dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan
merupakan tambahan dibanding yang lainnya.
Kedua. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur
yang telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan
tambahan adalah tambahan dari umur yang telah ditentukan.
Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahualaihi
Wasallam, beliau bersabda,


Artinya: Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan
diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.
Sebagian orang berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam
umurnya dengan beramal dengan waktu yang singkat sesuatu
yang diamalkan oleh orang lain dalam waktu yang lama. Mereka
beralasan, karena rizki dan ajal telah ditakdirkan dan ditentukan.
Maka dikatakan kepada mereka, bahwa barakah tadi bermakna
tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal hal tersebut juga
telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua hal.
Jawaban yang benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal
hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung
silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis
dalam catatan malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang
menyebabkan umurnya berkurang, maka akan dikurangkan dari
apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini berdasarkan apa
yang ada dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya dari Nabi
Shallallahualaihi Wasallam , beliau bersabda,


Artinya: Sesungguhnya Adam ketika meminta kepada Allah
agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para nabi dari
keturunannya, maka Allah pun memperlihatkannya. Kemudian
dia melihat seorang laki-laki yang memiliki cahaya. Adam
bertanya,Ya Rabbi, siapakah ini? Allah menjawab,Anakmu,
Daud. Lalu beliau bertanya lagi,Berapa umurnya?
Dijawab,Umurnya 40 tahun , beliau bertanya lagi,Berapa
umur saya? Dijawab,Seribu tahun, Adam berkata,Saya
berikan enam puluh tahun umur saya kepadanya. Maka ditulis
atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat. Sehingga
ketika akan meninggal dia berkata,Umur saya masih tersisa
enam puluh tahun. Malaikat menjawab,Kamu telah
memberikannya kepada anakmu Daud. Lalu Adam
mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi
ShallallahuAlaihi Wasallam bersabda, Adam telah lupa, maka
anak keturunannya pun (punya sifat) lupa. Dan Adam telah
mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
mengingkari. [Riwayat Tirmidzi dalam tafsir Surat Al Araf
dan dia berkata,Hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196).
Berkata Al Arnauth dalam Jamiul Ushul (2/141). Diriwayatkan
oleh Al Hakim, dan beliau menshahihkannya serta disepakati
oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani menshahihkannya dalam
Shahihul Jami' No. 5209]
Dan telah diriwayatkan, bahwa umur Adam disempurnakan.
Demikian juga umur Daud telah ditetapkan empat puluh tahun,
kemudian ditambah*) enam puluh tahun. Inilah makna
perkataan Umar,Ya Allah jika Engkau telah menulis, bahwa
saya termasuk orang yang sengsara, maka hapuslah dan tulis
saya sebagai orang yang berbahagia, karena Engkau menghapus
apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan (apa yang Engkau
kehendaki). Allah telah mengetahui apa yang sudah terjadi,
yang sedang terjadi dan yang belum terjadi, dan seandainya
terjadi bagaimana cara terjadinya. Allah mengetahui apa yang
telah ditulis bagi seorang hamba, dan apa yang akan
ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak
mengetahui, kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada
mereka. Allah mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah
terjadinya. Oleh karena itu para ulama mengatakan, bahwa
penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan malaikat.
Adapun ilmu Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang
baru yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada penghapusan
dan penetapan.[Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]
[*) Barangkali yang benar adalah,ditambah baginya sebagai
ganti dari dijadikannya, karena Adam as telah memberikan
kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud
menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini
maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahualaihi Wasallam ,


Artinya: Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan
diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturrahim.
Karena Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal
seseorang, kemudian berfirman (yang artinya),Apabila dia
menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan sekian.
Dan malaikat tidak mengetahui, apakah akan ditambahkan
ataukah tidak. Sedangkan Allah mengetahui apa yang akan
terjadi. Sehingga apabila datang waktunya, maka tidak bisa
dimajukan ataupun dimundurkan.[Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyyah (8/517)]
Ibnu Hajar Rahimahullah menjawab permasalahan ini, Berkata
Ibnu Tin, Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan firman
Allah,


Artinya: Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat
(pula) memajukannya. (QS Al Araf:34).
Untuk mancari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh
melalui dua jalan. Pertama, tambahan (umur) yang dimaksud
yaitu kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat
taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan
waktunya dengan hal yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga
waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti sabda Nabi
ShallallahuAlaihi Wasallam , bahwa umur umat ini lebih
pendek dibandingkan umur umat-umat yang terdahulu. Tetapi
kemudian Allah menganugerahi lailatul qadar (malam qadar).
Kesimpulannya, silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan
taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga dari
kemaksiatan. Sehingga namanya akan tetap dikenang. Seolah-
olah seseorang itu tidak pernah mati. Dan di antara hal yang bisa
mendatangkan taufiq, yaitu ilmu yang bermanfaat bagi orang
setelahnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan yang shalih.
Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Hal itu
berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai
umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat pertama di
atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Taala .
Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100
tahun jika ia menyambung silaturahmi, dan 60 tahun jika ia
memutuskannya.
Dalam ilmu Allah telah diketahui, bahwa fulan tersebut akan
menyambung atau memutuskan silaturahim, maka yang ada
dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur, sedangkan yang
ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah
atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman
Allah,


Artinya: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan
menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah
tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz). (QS Ar Rad:39).
Jadi, yang dimaksud dengan menghapuskan dan menetapkan
dalam ayat itu ialah yang ada dalam ilmu malaikat. Adapun
yang ada di Lauh Mahfuzh itu, merupakan ilmu Allah yang
tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah
yang disebut dengan al qadha al mubram (takdir atau putusan
yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu malaikat) disebut al
qadha al muallaq (takdir atau putusan yang masih
menggantung).
Yang pertama tampak lebih cocok dengan lafadz hadits di atas.
Karena al atsar ialah sesuatu yang mengikuti yang lain. Apabila
diakhirkan, maka menjadi baik untuk membawanya kepada
keharuman nama setelah meninggalnya. Ath Thibbi berkata,
Jalan yang pertama lebih jelas [Fathul Bari, Kitabul Adab,
bab Man Busitha Lahu Fir Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429)]
Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama
Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam menafsirkan
penambahan umur. Pendapat pertama, barakah. Pendapat kedua,
perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga,
keharuman nama setelah meninggalnya.
Akhirnya, inti yang wajib kita jadikan jalan keluar dari
perselisihan makna memanjangkan umur baik bermakna hakikat
ataupun majaz (kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut
dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk
mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang
panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk
sejelek-jelek orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahualaihi
Wasallam dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahuanhu.
Keutamaan inipun dikuatkan dengan hadits Abdullah bin
Masud Radhiyallahuanhu dari Rasulullah Shallallahualaihi
Wasallam, yang berbunyi,


Artinya: Silaturahim bisa menambah umur. [Dikeluarkan oleh
Al Qadhai dalam Musnad Asy Syihab dan dihasankan oleh Al
Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani
menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]
Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah
Shallallahualaihi Wasallam dalam banyak hadits. Diantaranya
ialah :
Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan
kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah
Shallallahualaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairh, beliau
bersabda,


Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaklah bersilaturahmi. (Mutafaqun alaihi).
Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Taala .
Sebagaimana sabda beliau Shallallahualaihi Wasallam ,


Artinya: Allah menciptakan makhlukNya, ketika selesai
menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,Ini tempat
orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.
Allah menjawab, Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang
yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?
Dia menjawab,Ya, wahai Rabb. (Mutafaqun alaihi).
Ibnu Abi Jamrah berkata,Kata Allah menyambung, adalah
ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah
kepadanya.
Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama
dalam uraian beliau,Para ulama berkata, hakikat shilah adalah
kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata Allah
menyambung adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat
Allah. [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]
Ketiga. Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk
syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau
Shallallahualaihi Wasallam,
<="" p="">
Artinya: Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang
berkata,Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang
dapat memasukkan saya ke dalam syurga. Beliau
Shallallahualaihi Wasallammenjawab,Menyembah Allah dan
tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat
dan bersilaturahmi. (Diriwayatkan oleh Jamaah).
Silaturahmi adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan
seorang hamba kepada Allah Taala, serta tanda takutnya
seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Taala
(yang artinya), Dan orang-orang yang menghubungkan apa-
apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka
takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS
Arrad 13:21).
Demikianlah sebagian keutamaan silaturahim. Tentunya tidak
seorangpun dari kita yang ingin melewatkan keutamaan ini.
Apalagi bila melihat akibat buruk dan adzab pedih yang Allah
Taala siapkan bagi orang yang memutus tali silaturahim.
Karenanya, orang-orang shalih dari pendahulu umat ini
membiasakan diri menyambung silaturahim, walaupun sulit
sarana komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada zaman
sekarang ini, dengan tercukupinya sarana transportasi dan
komunikasi, semestinya membuat kita lebih aktif melakukan
silaturahim. Kemudahan yang Allah Taala berikan kepada kita
tersebut, hendaknya dipergunakan untuk silaturahim. Mungkin
salah seorang dari kita melakukan perjalanan ke negeri yang
jauh untuk wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk
mengunjungi salah seorang kerabatnya yang masih satu kota
dengannya -kalau tidak saya katakan satu daerah dengannya-
padahal paling tidak hubungan tersebut dapat dilakukan dengan
hanya mengucapkan salam. Apa beratnya mempergunakan
telepon untuk menghubungi salah satu kerabat kita dan
mengucapkan salam kepadanya?
Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu meriwayatkan, Rasulullah
Shallallahualaihi Wasallam bersabda,


Artinya: Sambunglah keluargamu meskipun dengan salam.
[Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al Baihaqi. Berkata Al
Munawi dalam Faidhul Qadir, Berkata Al-Bukhari,Semua
jalannya dhaif, akan tetapi saling menguatkan (3/207). Al
Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami' no. 2838]
Mungkin ada yang mengatakan, di antara penyebab terputusnya
silaturahmi ialah banyaknya kesibukan manusia pada hari ini
dan keluasan wilayah. Tetapi orang yang memperhatikan
keadaan semisal Abu Bakar dan Umar Al Faruq
Radhiyallahuanhuma . Pada masa pemerintahannya, meskipun
banyak beban yang harus dipikul di pundak mereka dan belum
lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi modern, akan
tetapi mereka tetap memiliki waktu untuk mengunjungi
kerabatnya dan membantu tetangganya. Sedangkan diri kita
sering mengunjugi dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat,
tetapi tidak pernah memasukkan ke dalam agenda kegiatan
untuk berkunjung ke salah satu kerabat, meskipun satu kali
dalam sebulan.
Tampaknya sebab utama yang menghalangi kita bersilaturahim,
karena buruknya pengaturan dan manajemen waktu. Atau karena
kita kurang begitu mengerti besarnya dosa memutus silaturahim.
Kemudian dengan kesibukan yang berlebihan dalam kehidupan
dunia,. hingga kita mendapati seseorang bekerja pada pagi hari.
Setelah itu menyibukkan diri dengan pekerjaan lain pada sisa
harinya. Padahal sudah berkecukupan dalam hal rizki. Lantas,
mengabaikan hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan
kerabatnya.
Maka sepatutnyalah engkau, wahai saudaraku muslim.
Hendaklah bersemangat memanjangkan umurmu dengan
bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang menyambungnya,
niscaya Allah Taala akan berhubungan dengannya. Dan
barangsiapa memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan
hubungan dengannya. [Untuk tambahan, lihat kitab Al Adab Asy
Syariyyah Wal Minah Al Muriyyah, oleh Ibnu Muflih, Juz 1
dan kitab Shilaturrahim Fadluha Ahkamuha Itsmu Qathiiha,
oleh Syaikh Muhammad Thabl dan Ibrahim Muhammad]
Mudah-mudahan risalah ini dapat mendorong kita semua untuk
bersilaturahmi.
Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.




















HIKMAH BERSILATURAHMI







Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-
bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri. (An-Nisa`: 36)

Mukadimah

Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi
dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga
keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang
akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga.
Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang
kaya.

Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa
silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana
diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin Abasah As-
Sulami zberkata:





Aku berkata: Dengan apa Allah mengutusmu? Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam menjawab: Allah mengutusku
dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah
ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun. (HR.
Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam Amr bin Abasah,
no. 1927)

An-Nawawi t menjelaskan hadits ini dengan menyatakan:
Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk
memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan
bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (Amr). Beliau hanya
menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan
silaturahim. (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul
Mu`ayyad)


Makna Silaturahim

Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata

dan

. Kata

adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata -


, yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani
berkata:

yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian


dengan yang lain. (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)



Adapun kata

, Ibnu Manzhur berkata:

adalah
hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya
janin di dalam perut. (Lisanul Arab)



Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan
kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.

Penjelasan Ayat





Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi t menjelaskan:
Allah l memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-
Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam
penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan
larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-
Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta
melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik
kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun
makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri
manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan.
Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah
mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan
dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak
ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.



Setelah Allah k memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya
dan menunaikan hak-Nya, Allah l memerintahkan untuk
menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala
prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka Allah k
mengatakan:





Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan
yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik,
dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan
mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang
yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan
menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat
bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.

Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu
berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini
terlarang.





(Dan kepada) karib kerabat.
Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini
meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik
kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak
memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan.





(Dan kepada) anak-anak yatim.
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam
keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin.
Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk
perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung
biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka,
mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan
agama maupun dunia.





(Dan kepada) orang-orang miskin.
Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka
sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan
orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada
mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu
mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan
mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan
melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.





(Dan kepada) tetangga yang dekat.
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia
mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak
sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada
adat yang berlaku.

Demikian juga dengan:





Tetangga yang jauh.
Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar
pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu
memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah,
shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan
maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.





(Dan kepada) teman sejawat.
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam
perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri.
Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan
mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup
teman di rumah, di perjalanan, serta istri.

Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap
temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya
dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati
janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang
bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk
temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa
yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan
dengannya, semakin besar pula haknya.





(Dan kepada) ibnu sabil.
Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan
materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena
dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia
memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau
tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan
memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.





(Dan kepada) hamba sahayamu.
Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam
atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi
kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang
memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal
yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk
kemaslahatan mereka.

Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah l
dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan
pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan
perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari
Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak
rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang
sombong terhadap hamba Allah k, teperdaya dengan dirinya dan
bangga dengan ucapannya.



Oleh karena itulah Allah k berfirman:





Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong.
Maksudnya, sesungguhnya Allah k tidak mencintai orang yang
teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah k.





dan membangga-banggakan diri.
Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk
membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba
Allah l. (Tafsir As-Sadi, hal. 191-192, cet. Darus Salam)



Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada
seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang
juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:





Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada
segala sesuatu. (HR. Muslim dari Abu Yala Syaddad bin Aus
z)




Targhib (Motivasi)

Allah l melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim
dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji
tersebut adalah:



1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali
silaturahim.
Allah k mengatakan:





Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada
Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Rad: 21)

Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sadi t
menyatakan:





Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan.

Ini umum meliputi semua perkara yang Allah l perintahkan
untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan
kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, mencintai-Nya
dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, taat
beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya.
Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan
berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan,
tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat,
dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan
perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan
hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara
sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama. (Tafsir As-
Sadi, hal. 481, cet. Darus Salam)



Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Rad ini, Allah k
memberitahukan:

(
23)





Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang
baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-
bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-
malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
(sambil mengucapkan): Salamun alaikum bima shabartum.
Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga memberikan
penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu
Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari z:





Seseorang berkata: Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku
amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku
dari neraka. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan:
Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan
sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat,
dan menyambung silaturahim. (HR. Al-Bukhari, 3/208-209,
Muslim no. 13)

2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin Amr z, dari Nabiyullah Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata:





Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan
shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan
penyambung silaturahim. (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu
Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-
Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban
menshahihkannya)

3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan
rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas z, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:





Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan
umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya. (HR.
Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)

Tarhib (Ancaman)

Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk
bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang
memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah l dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi
yang memutus tali silaturahim.



Allah k mengatakan dalam surat Ar-Rad ayat 25:





Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan
dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan
supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka
tempat kediaman yang buruk (Jahannam).

Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin
Muthim z, bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:





Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.

Sufyan Ats-Tsauri t mengatakan dalam riwayatnya:
Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim. (HR.
Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)


2. Dijadikan buta dan tuli.
Allah l berfirman:





Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian?
Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-
Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.
(Muhammad: 22-23)

Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali
silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Masud z,
beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

: .





Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai
dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan:
Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-
Mu dari diputus hubungan. Allah mengatakan: Ya. Tidakkah
engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang
menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu? Ar-
Rahim mengatakan: Ya. Allah menyatakan: Itu bagimu.

Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan:
Bacalah bila kalian mau:





Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian?
Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-
Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.
(Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan
Muslim no. 2554]

3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan
azab di dunia dan akhirat.
Dari Abu Bakrah z, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:





Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya
oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan
(hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada
kezaliman dan pemutusan silaturahim. (HR. Ahmad, 5/36, Abu
Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-
Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau
mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd
bab Al-Baghi, no. 4211)

Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas

Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya
mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya
mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah,
dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya.
Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya
misalnya tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan
menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut
menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang
menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan
hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr c,
dari beliau Shallallahu alaihi wa sallam:





Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas.
Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus
rahimnya, dia menyambungnya. {HR. Al-Bukhari, Kitabul
Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}

Ibnu Hajar t mengatakan: Peniadaan sambungan tidak pasti
menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga
tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang
membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang
menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan
tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah
orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia
dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang
yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan
dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah
yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang
membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu alam.
(Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)



Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun
mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun.
Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah k. justru kerabat yang
tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang
besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu
Masud z: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam:





Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung
mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada
mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar
terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.
Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika
engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau
melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan
Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau
seperti itu. (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab
Silaturahim wa tahrimu qathiatiha, no. 6472)

Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim

Allah k telah berfirman:





Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(Al-Mumtahanah: 8)

Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-
Sadi t menjelaskan: Artinya, Allah k tidak melarang kalian
dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku
adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau
yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan
dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-
rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik
dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada
kekhawatiran dan kerusakan padanya.



Abul Fida` Ismail bin Katsir t menafsirkan ayat ini dengan
membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq c,
dia mengatakan:

....





Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu
perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku
datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan
bertanya: Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat
baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Ya, berbuat baiklah
kepada ibumu. (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab
bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no.
2322)

Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal
yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia
bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak
ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita
harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang
semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati
kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan
meninggalkan kekafirannya.

Wallahul hadi ila sawa`is sabil.

Anda mungkin juga menyukai