PEMERINTAH (SPIP) TERHADAP EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Oleh: AHMAD SYAHRAL HUDA (I2F013005) KELAS B
MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS MATARAM 2014
PENGARUH PENERAPAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) TERHADAP EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
A. LATAR BELAKANG Dalam upaya melakukan reformasi birokrasi di pemerintahan, Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang keuangan negara dengan ditetapkannya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang- Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Undang-Undang Keuangan Negara yang baru tersebut membawa implikasi ditetapkannya suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan, akuntabel, dan terukur. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu sistem pengendalian intern yang dapat memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan Instansi secara efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara khusus, dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 dijelaskan bahwa untuk meningkatkan keandalan laporan keuangan dan kinerja, setiap entitas pelaporan akuntansi wajib menyelenggarakan sistem pengendalian internal sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang terkait. Pada tanggal 28 Agustus 2008 lahirlah sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa Undang-Undang di bidang keuangan negara membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem ini dikenal sebagai Sistem Pengendalian Intern yang dalam penerapannya harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah tersebut.
B. IDENTIFIKASI MASALAH Kelemahan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pada Instansi Pemerintah di Indonesia terjadi karena masih banyak dijumpai keterbatasan dan hambatan dalam pelaksanaannya yaitu: Pimpinan Instansi Pemerintah masih belum sepenuhnya sadar pentingnya sistem pengendalian intern. Perspektif Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor atau evaluator terhadap pelaksanaan sistem pengendalian intern belum sepenuhnya mendukung terciptanya lingkungan pengendalian yang memadai. Kesalahan-kesalahan yang terjadi dilakukan oleh personil baik secara sengaja maupun tidak disengaja.
C. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah? 2. Bagaimana efektivitas pengelolaan keuangan daerah? 3. Seberapa besar pengaruh sistem pengendalian intern pemerintah terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah?
C. KAJIAN KEPUSTAKAAN Menurut PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak. Berdasarkan pemikiran tersebut, dikembangkan unsur Sistem Pengendalian Intern yang berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan dan tolok ukur pengujian efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern. Pengembangan unsur Sistem Pengendalian Intern perlu mempertimbangkan aspek biaya-manfaat (cost and benefit), sumber daya manusia, kejelasan kriteria pengukuran efektivitas, dan perkembangan teknologi informasi serta dilakukan secara komprehensif. Unsur Sistem Pengendalian Intern dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi: 1. Lingkungan pengendalian PP Nomor 60/2008 mewajibkan Pimpinan Instansi Pemerintah untuk menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya. Hal ini merupakan komponen yang sangat penting dan menjadi unsur dasar di dalam SPIP. Kemampuan pimpinan untuk menciptakan dan memelihara lingkungan kerja yang kondusif akan menjadi motivasi kuat bagi para pegawai untuk memberikan yang terbaik dalam pelaksanaan pekerjaannya. Sebaliknya, pimpinan yang tidak/kurang kompeten dalam menciptakan lingkungan yang positif akan berpotensi mempengaruhi pegawai untuk melakukan hal-hal negatif yang dapat merugikan instansinya. Untuk menciptakan lingkungan pengendalian seperti dimaksud PP tersebut, pimpinan instansi dapat menerapkannya melalui: a. Penegakan integritas dan nilai etika; b. Komitmen terhadap kompetensi; c. Kepemimpinan yang kondusif; d. Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; e. Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; f. Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; g. Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan h. Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. 2. Penilaian risiko Penilaian risiko merupakan suatu proses pengidentifikasian dan penganalisaan risiko-risiko yang relevan dalam rangka pencapaian tujuan entitas dan penentuan reaksi yang tepat terhadap risiko yang timbul akibat perubahan. Ini berarti bahwa penilaian risiko dimulai dari penetapan tujuan dan berakhir dengan penentuan reaksi terhadap risiko. Oleh karena itu, pimpinan instansi pemerintah melakukan penilaian resiko melalui beberapa tahap, yaitu: a. Menetapkan tujuan instansi dengan cara memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu. b. Menetapkan tujuan pada tingkatan kegiatan berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah. c. Melakukan identifikasi risiko untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif. d. Melakukan analisa risiko untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Selanjutnya, pimpinan instansi menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima. Dalam mempertimbangkan risiko, pimpinan Instansi Pemerintah mengambil keputusan setelah dengan cermat menganalisis risiko terkait dan menentukan bagaimana risiko tersebut diminimalkan (Penjelasan Pasal 7). 3. Kegiatan pengendalian Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif Kegiatan pengendalian dilaksanakan dalam bentuk: a. Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; b. Pembinaan sumber daya manusia; c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; d. Pengendalian fisik atas aset; e. Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja; f. Pemisahan fungsi; g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; i. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan k. Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. 4. Informasi dan komunikasi Informasi yang ada di dalam organisasi diidentifikasi, dicatat dan dikomunikasikan dalam bentuk dan waktu yang tepat dengan cara yang efektif. Ini dilaksanakan mulai dari pimpinan hingga ke seluruh pegawai yang ada di instansi pemerintah. Dengan mengkomunikasikan informasi secara efektif, maka akan tercipta pengertian yang sama di seluruh tingkat organisasi. Ini akan menghindarkan terjadinya kesalahpahaman (misunderstanding) maupun distorsi informasi sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi akan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk melakukan komunikasi efektif, maka pimpinan instansi: a. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan b. Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus. 5. Pemantauan pengendalian intern. Untuk memastikan apakah SPIP dijalankan dengan baik oleh suatu instansi pemerintah, maka perlu dilakukan pemantauan. Pemantauan akan menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti. Pemantauan dilakukan melalui tiga cara, yaitu: a. Pemantauan berkelanjutan, diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas b. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern c. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Kelima unsur Sistem Pengendalian Intern tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan didesain untuk mencapai tujuan.
D. HIPOTESIS Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, dengan segala keterbatasan yang melekat pada sistem pengendalian intern, instansi pemerintah wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dalam upaya untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan diterapkannya SPIP, diharapkan dapat memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pimpinan Instansi Pemerintah diharapkan sepenuhnya sadar akan pentingnya sistem pengendalian intern. Berdasarkan Kerangka Pemikiran di atas, maka penulis merumuskan hipotesis penelitian ini, sebagai berikut: Jika sistem pengendalian intern pemerintah dilakukan secara memadai maka akan berpengaruh terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah