1. Pemeriksaan Klinis Anamnesis merupakan hal yang penting dalam mendiagnosis hipersensitivitas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesis adalah gejala yang ada (awitan, lama, intensitas, frekuensi, relaps, respons terhadap pengobatan, dll), hubungan dengan penyakit lain (riwayat atopi, atopi keluarga, kondisi lain, dll), adanya pemicu dan situasi, serta kondisi atau lingkungan hidup. 1
2. Tes Diagnostik A. Tes in vivo (uji kulit) Uji kulit lebih diutamakan dibandingkan pemeriksaan in vitro karena uji kulit secara umum lebih sensitif, spesifik, lebih cepat, dan lebih murah dibandingkan dengan radioallergosorbent testing (RAST). Beberapa obat seperti antihistamin dan antidepresan harus dihentikan pemakaiannya sebelum uji dilakukan. Beberapa keadaan yang merupakan indikasi uji kulit adalah sensitivitas inhalan, makanan, reaksi obat, sengatan serangga, dan hipersensitivitas lateks. Uji hipersensivitas berisiko menginduksi reaksi sistemik, karena itu penting untuk melakukan uji perkutan sebelum uji intrakutan. 1
Prinsip uji kulit adalah bahwa adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel mast pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berkaitan dengan alergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif. Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat. 2 Uji terhadap antibiotik baru bisa dilakukan menggunakan penisilin. Sebelum memberikan penisilin atau antibiotik betalaktam lain, harus diketahui riwayat reaksi penisilin sebelumnya. Uji kulit sebaiknya dibatasi pada pasien dengan sejarah alergi penisilin. Pasien dengan penisilin yang diinjeksi sebaiknya diobservasi paling tidak dalam 30 menit pertama. 3
Kontraindikasi tes uji kulit 1
Absolut : penderita dengan pengobatan beta-bloker, kehamilan, penyakit kulit menyeluruh Relatif : riwayat anafilaksis, dermatografisme, pemakaian antihistamin-1 yang menghambat respons kulit untuk masa yang bervariasi : hidroksizin, setirizin, loratadin 3-10 hari, feksofenadin 2 hari, antihistamin lainnya 1-3 hari, antidepresan trisiklik 7 hari
a. Uji kulit perkutan 1
Tes ini dapat dilakukan pada semua usia, namun reaktivitasnya dapat menurun pada usia tua dan bayi. Tes ini tidak dilakukan di tempat dengan inflamasi. Antihistamin harus dihentikan >72 jam dan antidepresan >7 hari sebelum tes dilakukan. Jika dilakukan dengan baik, tes ini memberi bukti yang baik untuk menunjukkan adanya alergi spesifik, dan hasilnya harus dihubungkan dengan gejala klinis penderita. Alergen yang bisa digunakan adalah tungau debu rumah, jamur, kladosporium, hewan rumah, pohon, rumput, dan jamur.
Pada SPT (skin prick test), satu tetes ekstrak alergen yang diletakkan di kulit, ditusuk dengan lanset atau jarum dan tidak boleh berdarah. SPT merupakan cara paling mudah, spesifik untuk menemukan IgE, dan lebih spesifik dibandingkan tes intrakutan. SPT menghasilkan indurasi lokal dan flare (eritema) yang mencapai maksimal dalam kurun waktu 15-20 menit. Hal ini biasanya digunakan dalam mendiagnosis penyakit alergi respiratorik (rhinitis dan asma) dan pada kasus dugaan alergi makanan atau obat dan hipersensitivitas racun himenoptera (lebah, tawon).
Reaksi positif semu dan negatif semu Negatif semu Ekstrak terlalu dilarutkan, terlalu lemah, tidak larut, pembawa (vehicle) yang salah Prosedur tes (kedalaman tusuk, waktu membaca) Lokasi tes (premedikasi, neuropati) Kortikosteroid Imunosupresan Antihistamin Psikotropik Positif semu Opiat Ekstrak (iritatif, melepas histamin direk) Prosedur tes (iritatif, tanpa kontrol) Lokasi yang dites (kulit inflamasi, angry back patch test) Penyakit yang menyertai (urtikaria faktisia) Reaksi artifisial (sindrom Munchhausen) Makanan yang banyak mengandung antihistamin
b. Tes intradermal 1
Uji intrakutan dapat dipertimbangkan hanya setelah hasil negatif perkutan didapatkan, sedangkan alergen diduga berperan kuat. Tes ini biasanya digunakan untuk konfirmasi diagnosis pada himenoptera (racun serangga) atau hipersensitivitas penisilin, karena metode ini meningkatkan sensitivitas untuk deteksi IgE- mediated anaphylaxis. Uji kulit pada diagnosis racun himenoptera atau obat dilakukan dengan titrasi berkelanjutan, dimulai dengan solusi yang diencerkan. Untuk alergi lain dapat disiapkan bahan alergen khusus, seperti makanan tertentu atau lateks. Tes intradermal menggunakan 0.02-0.05 ml larutan alergen atau larutan 1/100 dari ekstrak untuk SPT dengan jarum kecil. Tes intradermal sering positif tanpa adanya gejala alergi. Metode ini sebaiknya tidak dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan alergi makanan untuk menghindari hasil positif palsu atau reaksi sistemik pada individu nonalergik atau individu dengan tingkat sensitivitas tinggi. Sistem skoring tes kulit Rating Tes tusuk (mm ) Tes intradermal (mm ) Eritema Bentol Eritema Bentol - < 3 < 3 <5 + 2-3 3-5 3-5 5-10 ++ 3 6-10 6-10 11-20 +++ 4-6 11-20 11-15 21-40 ++++ > 6 pseudopoda > 20 > 15 pseudopoda >40
c. Tes gores Tes gores atau scratch test dilakukan dengan membuat goresan superfisial melalui bahan alergenik/campuran dalam cairan fisiologis. Goresan dibuat sekitar 5 mm melalui larutan yang diteteskan di kulit dan tidak boleh sampai berdarah.
d. Friction test Dilakukan untuk mengetahui IgE terhadap alergen yang menimbulkan reaksi cepat, misalnya inhalan, makanan dan penisilin.
e. Tes tempel Tes tempel dilakukan untuk mengetahui alergen kontak yang menimbulkan dermatitis kontak dan menentukan bahan lingkungan berbahaya yang dicurigai. Tes diangkat setelah 48 jam. Bila terjadi keluhan yang sangat mengganggu (sangat gatal), tes tempel sebaiknya segera diangkat. Reaksi tes tempel mungkin harus dibaca sampai 7 hari. Perlu diperhatikan hobi, kebiasaan, pekerjaan dan penggunaan kosmetik, losion, pembersih dan salep.
f. Tes tuberkulin Merupakan cara menguji respon sel imunitas selular, melalui tes kulit hipersensitivitas lambat. Tes tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan ekstrak protein kuman tuberkel PPD intradermal (0.1 ml larutan 1:1000 atau larutan lebih tinggi pada individu yang sensitif). Tes serupa menggunakan lepromin pada lepra, bruselin pada brusela serta berbagai antigen seperti PPD, kandida, campak, trikofiton, streptokinase dan streptodornase. Reaksi positif terhadap sedikitnya satu antigen dianggap tanda adanya sstem imun selular yang berfungsi baik.
g. Tes lain : Multi tes, tes dinitroklorobenzen, tes urtikaria fisis, dermografisme dan uji tekanan, tes panas dan dingin, tes keringat
B. Tes in vitro a. Pengukuran kadar IgE dalam serum Pengukuran kadar IgE total dan IgE spesifik hingga saat ini masih mendominasi metode laboratorium untuk menunjang diagnosis alergi. Metode yang umumnya digunakan pada umumnya metode ELISA atau RAST dengan berbagai modifikasi. Tingginya kadar IgE seringkali membantu konfirmasi adanya alergi, walaupun IgE yang rendah tidak berarti menyingkirkan kemungkinan alergi dan IgE tinggi tidak selalu merupakan diagnosis alergi. 2
Di samping itu kadar IgE juga bergantung pada usia. IgE diketahui tidak dapat menembus plasenta karena itu kadar IgE dalam tali pusat biasanya sangat rendah (kurang dari 2 IU/ml). Kadar IgE meningkat secara progresif pada anak normal hingga usia 10-15 tahun, kemudian menurun kembali hingga mencapai kadar IgE pada orang dewasa non atopi, yaitu sekitar 90 IU/ml. Anak-anak yang atopi menunjukkan peningkatan kadar IgE lebih cepat dan lebih tajam sejak tahun-tahun pertama dibanding mereka yang non atopi. Di atas usia 14 tahun, kadar IgE melebihi 333 IU/ml pada umumnya dianggap abnormal tinggi. 2
Pada penderita atopik, kadar IgE pada saat terpapar biasanya lebih tinggi dibanding saat tidak terpapar (kadar basal), dan kadar basalnya lebih tinggi dibanding penderita non-atopik. Kadar basal ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan telah dibuktikan bahwa limfosit T berperan penting dalam pengaturan sintesis IgE. 2
Selain meningkatkan kadar IgE spesifik, alergen juga dapat meningkatkan kadar IgG spesifik terhadap alergen bersangkutan. Indikasi pengukuran kadar IgG spesifik di antaranya adalah untuk mengetahui apakah seseorang pernah terpapar pada antigen tertentu atau untuk memantau respons imun humoral terhadap antigen. 2
Pemeriksaan IgE in vitro diutamakan pada penderita dengan dermatografisme berat, menggunakan anti histamin kerja panjang, keadaan yang berisiko bila obat dihentikan, menolak untuk dilakukan tes kulit dan berisiko tinggi terhadap anafilaksis oleh alergen tertentu. Indikasi pemeriksaaan IgE in vitro yaitu sensitivitas inhalan, sensitivitas makanan, reaksi obat seperti penisilin dan anestesi lokal, serta hipersensitivitas dan sengatan serangga. 1
IgE total dapat meningkat pada beberapa sindrom nonatopik seperti defisiensi imun tertentu termasuk HIV, penyakit parasit. Pemeriksaan ini tidak memiliki makna klinis yang besar.
Pemeriksaan IgE spesifik dapat ditentukan in vitro dengan RAST. Biasanya dilakukan bila ada kontraindikasi untuk melakukan tes kulit atau tes kulit tidak dapat dilakukan misalnya pada dermatitis berat, ketergantungan obat yang dapat memodulasi tes kulit seperti antihistamin dan pada subyek yang menunjukkan reaksi berat seperti sengatan lebah yang menimbulkan anafilaksis. 1
Seleksi tes kulit vs RAST 1
Tes kulit RAST Lebih sensitif Mengukur respons biologis Lebih murah Hasil cepat Tidak dipengaruhi antihistamin Tidak dipengaruhi penyakit kulit Tidak ada risiko anafilaksis Mulai banyak tersedia
b. Pemeriksaan histamin 1
Mediator alergi yang relevan seperti histamin dan triptase yang dilepas sel mast dan basofil, triptase oleh sel mast, dan ECP oleh eosinofil, merupakan petanda intensitas reaksi alergi, sehingga digunakan untuk membedakan alergi dengan infeksi.
C. Tes provokasi 1
Tes provokasi dilakukan dengan memajankan organ yang terlibat dengan alergen.
a. Tes provokasi konjungtiva : alergen diteteskan di konjungtiva dan ditunggu 5-15 menit sebelum dibaca. Mata dengan reaksi yang positif harus segera dicuci dengan larutan garam fisiologik dan kemudian diberi tetesan vasokonstriktor untuk menghentikan reaksi. b. Tes provokasi nasal : larutan antigen disemprotkan ke konka bawah. Dalam sekresi nasal dapat diperiksa eosinofil (dihitung sebelum dan sesudah provokasi). c. Tes provokasi bronkial : dilakukan dalam menegakkan diagnosis asma bronkial dengan memberi inhalasi alergen/metakolin/histamin. Respons positif dinilai dari penurunan faal paru secara bermakna. d. Tes provokasi oral : digunakan dalam diagnosis alergi makanan atau obat dan pada urtikaria/pseudourtikaria terhadap aditif. Reaksi yang positif adalah perubahan tekanan darah, urtikaria, atau tanda lain anafilaksis. e. Tes provokasi sengatan : digunakan pada penderita dengan alergi bisa lebah atau tawon, melalui sengatan tunggal serangga hidup.
Hubungan dengan pemicu Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam penegakkan diagnosis hipersensitivitas. Tes diagnostik yang dapat digunakan adalah uji kulit (tes in vivo), tes in vitro, dan tes provokasi. Untuk mencegah kejadian seperti pada pemicu, sebelum memberikan penisilin atau antibiotik golongan betalaktam lain, perlu diketahui riwayat reaksi penisilin sebelumnya. Jika diketahui riwayat alergi penisilin, maka diusahakan mencari antibiotik golongan lain, atau jika tidak ada, maka penderita harus melakukan uji penisilin untuk melihat reaksi pasien terhadap penisilin dosis rendah.
Daftar Pustaka 1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi dasar. Edisi 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009. hal: 35-55.
2. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2011. hal. 331-6.
3. Saniel MC, Espino E, Tupasi T, Velmonte, Agbayani B, Gonzaga A, et al. Antibiotic skin testing. [serial on the internet]. [cited on 2011 Mar 24]. Available from: http://www.psmid.org.ph/vol21/vol21num1topic5.pdf.