Anda di halaman 1dari 66

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Leukemia merupakan keganasan yang sering dijumpai tetapi hanya merupakan sebagian
kecil dari kanker secara keseluruhan. Beberapa data epidemologi menunjukan hasil sebagai
berikut. Insedensi leukemia di Negara Barat adalah 13/100.000 penduduk/tahun. Leukemia
merupakan 2,8% dari seluruh kasus kanker. Belum ada angka pasti mengenai inside leukemia
di Indonesia. Frekuensi relatif leukemia di negara barat menurut Gumz adalah sebagai
berikut:
Leukemia akut 60%
LLK (Leukemia Limfositik Kronik) 25%
LMK (Leukemia myelogenous Kronik) 15%
Di Indonesia, frekuensi LLK (Leukemia Limfositik Kronik) sangat rendah. LMK
(Leukemia Myelogenous Kronik) merupakan leukemia kronis yang paling sering dijumpai.
Usia, Insiden leukemia menurut usia didapatkan data sebagai berikut. LLA (Leukemia
Limfositik Akut) terbanyak pada anak-anak dan dewasa. LMA (Leukemia Myelogenous
Akut) pada semua usia, lebih sering pada orang dewasa. LMK pada semua usia tersering usia
40-60 tahun. LLK terbanyak pada orang tua.
Jenis kelamin, Leukemia lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dengan
perbandingan 2 : 1

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa/i memahami serta dapat
mengaplikasikan asuhan keperawatan dengan gangguan leukemia.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi hematologi.
b. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar penyakit leukemia.
c. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan dengan klien gangguan
leukemia.



2


BAB II
PEMBAHASAN
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM HEMATOLOGI
A. Anatomi
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah di produksi, termasuk
sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain
karena berbentuk cairan .
Darah merupakan medium transpor tubuh, volume darah manusia sekitar 7% - 10% berat
badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada tiap orang tidak
sama, bergantung pada usia, pekerjaan, serta keadaan jantung atau pembuluh darah. (Wiwik
handayani. 2008. Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem hematologi)

B. Fisiologi
Dalam keadaan fisiologis, darah selalu berada dalam pembuluh darah, sehingga dapat
menjalankan fungsinya sebagai berikut.
a. Sebagai alat pengangkut yang meliputi hal-hal berikut ini.
1) Mengatur gas karbondioksida (CO
2
) dari jaringan perifer kemudian di keluarkan
melalui paru-paru untuk di distribusikan ke jarinagn yang memerlukan.
2) Mengangkut sisa-sisa / ampas dari hasil metbolisme jaringan berupa urea, kreatinin
dan asam urat.
3) Mengangkut sisa makanan yang di serap melalui usus untuk di sebarkan keseluruh
jaringan tubuh.
4) Mengangkut hasil-hasil metabolisme jaringan.
b. Mengatur keseimbangan cairan tubuh
c. Mengatur panas tubuh
d. Berperan serta dalam mengatur pH cairan tubuh
e. Mempertahankan tubuh dari serangan infeksi
f. Mencegah perdarahan

C. Komponen Darah
Darah terdiri atas dua komponen utama, yaitusebagai berikut.
a. Plasma darah : bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit, dan
protein darah.
3


b. Butir butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas tiga elemen berikut :
1) Eritosit
2) Leukosit
3) Trombosit
D. Hematopoiesis
Hematopoiesis merupakan proses pembentukan darah. Tempat hematopoiesis pada manusia
berpindah-pindah, sesuai dengan usianya.
Yolk sac : usia 0-3 bulan intrauteri
Hati dan lien : usia 3-6 bulan intrauteri
Susum tulang : usia 4 bulan intrauteri sampai dewasa
Pada orang dewasa, dalam keadaan fisiologis, semua hematopoiesis terjadi pada sumsum
tulang. Dalam keadaan patologis, hematopoiesis terjadi diluar sumsum tulang, terutama di
lien yang disebut sebagai hematopoiesis ekstrameduler. Untuk kelangsungan hematopoiesis
diperlukan beberapa hal berikut ini.
a. Sel induk hematopoietik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hematopoietik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk
sel darah merah (eritosit), sel darah putih (leukosit), butir pembeku (trombosit), dan juga
beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitif disebut
sebagai pluripotent stem cell yang mempunyai sifat mampu memperbarui diri sendiri,
sehingga tidak pernah habis terus membelah (self renewal), mampu memperbanyak diri
(proliferatif), dan mampu mematangkan diri menjadi sel-sel dengan fungsi tertentu
(diferensiatif).

b. Lingkungan mikro (miroenvirontment) sumsum tulang
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah subtansi yang memungkinkan sel induk tumbuh
segera konduksif. Komponen mikro ini meliputi hal-hal berikut ini.
1) Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang.
2) Sel-sel stroma (sel endotel, sel lemak, fibroblast, makrofag, dan sel retikulum).
3) Matriks ekstraseluler (fibronektin, hemonektin, laminin, kolagen, dan proteoglikan)
4) Lingkungan mikro sangat penting dalam hematopoiesis, karena berfungsi untuk
melakukan hal-hal berikut ini.
5) Menyediakan nutrisi dan bahan hematopoiesis yang dibawah oleh peredaran darah
mikro dalam sumsum tulang.
4


6) Komunikasi antar sel.
7) Menghasilkan zat yang mengatur hematopiesis (hematopoietic growth factor,
cytokine).

c. Bahan-bahan pembentuk darah
Bahan yang diperlukan untuk pembentuk darah adalah sebagai berikut:
1) Asam folat dan vitamin B12 : bahan pokok pembentuk sel.
2) Besi: diperlukan untuk pembentukan hemoglobin
3) Cobait, magnesium, Cu, dan Zn
4) Vitamin: vitamin C, dan B kompleks.

d. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas pertumbuhan sel dan
pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah tepi, sehingga susum tuang
dapat merespon kebutuhan tubuh dengan cepat. Zat-zat yang berpengaruh dalam mekanisme
regulasi adalah sebagai berikut.
1) Faktor pertumbuhan hematopiesis (hematopoieticgrowth factor)
a) Granulocyte colony stimulating factore (G-CSF)
b) Macrophage colony stimulating factor (M-CSF)
c) Thrombopoietin
d) Burts promoting activity (BPA)
e) Stem cell factor
2) Hormon Sitokinin berfungsi mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar,
mendorong pembelahan sel dan pertumbuh-an secara umum, mendorong
perkecambahan, dan menunda penuaan.: ada dua jenis sitokinin, yaitu sitokinin yang
merangsang pertumbuhan sel induk, dan keduanya harus seimbang.
3) Hormon hemaupoetik spesifik
Eritropoietin: hormon yang dibentuk diginjal khusus merangsang pertumbuhan
prekursor eritrosit.
4) Hormon non-spesifik
a) Androgen: menstimulasi eritropoiesis
b) Estrogen: inhibisis eritropoiesis
c) Glukokortikoed
5


d) Hormon tiroid
e) Growth hormon
E. Hemostasis
Apabila tubuh kita mengalami perdarahan akibat dari rudapaksa, maka secara otomatis tubuh
akan mengatasi perdarahan tersebut. Adapun prinsip dari hemostasis adalah sebagai berikut.
a. Mengurangi Aliran Darah yang Menuju Daerah Trauma
Cara untuk mengurangi darah yang menuju daerah trauma adalah sebagai berikut.
1) Vasokontriksi
Pembuluh darah yang robet/terluka akibat rudapaksa adalah merupakan
ransangan bagi pembuluh darah itu sendiri secara refleks akan mengalami vasokontriksi pada
daerah robekan. Trombosit yang keluar dari pembulah darah karena adanya penumpukan
kasar dari daerah luka, makapecah dan mengeluarkan serotomin yang berperan sebagai
vasokonstriktor. Dengan demikian, maka daerah pembuluh darah yang robek tadi akan
semakin mengecil atau menyempit, sehingga aliran darah pada daerah tersebut menjadi
mengecil sampai terhenti.

2) Penekanan oleh edema
Daerah yang terkena rudapaksa akan mengalami edema. Selanjutnya
daerah yang edema tersebut akan menekan pembuluh darah. Dengan demikian, bisa
menambah sempitnya aliran darah yang menuju daerah trauma.














Vasokontriksi pembuluh
darah
Pembentukan platelet,
adhesi platelet dan agregasi
pembentukan bekuan fibrin akibat aktivasi faktor-
faktor pembekuan intrinsik dan ekstrinsik
Pembentukan bekuan fibrin akibat aktivasi faktor-
faktor pembekuan instrinsik dan ekstrinsik
Retraksi bekuan
Penghancur bekuan
6


b. Mengadakan Sumbatan/Menutup Lubang Perdarahan
Hal tersebut berperan didalam penyumbatan atau penutupan luka adalah trombus, yaitu
bekuan darah didalam pembuluh darah pada orang yang masih hidup. Trombosit yang terkena
permukaan kasar seperti pada pembuluh darah yang terkena akan pecah atau menempel atau
mengalami pengumpalan pada pembuluh darah membentuk bekuan darah yang disebut
dengan trombus. Trombus ini akan menyumbat lubang/luka pada pembuluh darah.
Dengan demikian, darah yang mengalir pada pembuluh darah tersebut akan berkurang atau
berhenti. Menurut jenisnya, trombus dibagi menjadi dua, yaitu: (1) trombus putih yang
tertutup oleh platelet dan fibrin denan kandungan elitrosit yang relatif sedikit; (2) trombus
merah yang tersusun oleh fibrin dan sel-sel darah merah.
(Wiwik handayani. 2008. Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem
hematologi)
F. Pembekuan Darah
Pembekuan darah adalah proses dimana komponen cairan darah ditranformasi menjadi
material semisolit yang dinamakan bekuan darah. Bekuan darah tersusun terutama oleh sel-
sel darah yang terperangkap dalam jaringan-jaringan fibrin. Fibrin adalah suatu protein yang
tidak larut dan berupa benang berbentuk semacam jaringan-jaringan. Fibrin yang terbentuk
berasal dari fibrinogen yang terdapat dalam flasma dalam keadaan larut. Berubahnya fibrin
dari fibrinogen ini karena adanya trombin, yaitu suatu proteolitik enzim yang baru bisa
Faktor Nama
I Fibrinogen
II Protrombin
IV Kalsium
V Labile factor, proaccelerin, dan aceelerator (Ac-) globulin
VII Proconvertin, serum prothrombin convertin accelerator (SPCA), co-
thromboplastin, dan autoprothrombin-I
VIII Antihemophilic factor, antihemovili globulin (AHG)
IX Plasma thromboplastine component (PTC) christmast factor
X Stuart-power factor
XI Plasma tromboplastine antecedent (PTA)
XII Faktor hageman
XII Faktor stabilisasi fibrin
7


bekerja apabila dalam keadaan aktif. Menurut Howell proses pembekuan darah dibagi
menjadi tiga stadium, yaitu sebagai berikut.
Stadium I : pembentukan trombeplastine
Stadium II : perubahan dari protrombin menjadi thrombin
Stadium III : perubahan dari fibrinogen menjadi fibri

a. Langkah-langkah faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam pembekuan darah
Apabila jaringan mengalami cedera, jalur ekstrinsik akan diaktivasi dengan pelepasan
subtansi yang dinamakan tromboplastine.
Sesuai urutan reaksi, protombine mengalami konfersi menjadi trombine, yang pada
gilirannya mengatalisir fibrinogen menjadi fibrin. Kalsium merupakan ko-faktor yang
diperlukan dalam berbagai reaksi ini. Pembekuan darah melalui jalur intrisik diaktifasi saat
lapisan kolagen pembuluh darah terpajan. Faktor pembekuan kemudian secara berurutan akan
diaktifkan, seperti jalur ekstrinsik, sampai pada akhirnya terbentuk fibrin. (Wiwik handayani.
2008. Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem hematologi)

G. Sel Darah Putih (leukosit)
Bahasan mengenai sel darah putih yang akan dibahas mencangkup: struktur leukosit,
fungsi sel darah putih, jenis-jenis sel darah putih, dan jumlah sel darah putih.
a. Struktur Leukosit
Bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak denga perentaraan kaki palsu
(pseudopodia) mempunyai berbagai macam inti sel, sehingga ia dapat dibedakan menurut inti
selnya serta warnanya bening (tidak berwarna).
Sel darah putih disumsum tulang dari sel-sel bakal. Jenis-jenis dari golongan sel ini adalah
golongan yang tidak bergranula, yaitu limfosit TB; monosit dan makrofag, serta golongan
yang bergranula, yaitu: eusinopin, basofil, dan neotrofil.
b. Fungsi Sel Darah Putih
Fungsi dari sel darah putih adalah sebagai berikut.
1) Sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan memakan bibit penyakit/bakteri yang
masuk kedalam tubuh jaringan RES (sistem retikuloendotel).
2) Sebagai pengankut, yaitu mengangkut/membawa zat lemak dari dinding usus melalui
linfa terus kepembuluh darah.

8


c. Jenis-jenis Sel Darah Putih
Sel darah putih terdiri atas beberapa jenis sel darah sebagai berikut.
1) Agranulosit
Memiliki granula kecil didalam protoplasmanya, memiliki diameter sekitar 10-12
mikron. Berdasarkan pewarnaan granula, granulosit terbagi menjadi tiga kelompok berikut
ini.
a) Neutrofil: granula yang tidak bewarna inti sel yang terangkai, kadang seperti terpisah-
pisah, protoplasmanya banyak berbintik-bintik halus/granula, serta banyaknya sekitar
60-70%.
b) Eosinofil: granula bewarna merah dengan pewarnaan asam, ukuran dan bentuk
hamper sama dengan neutrofil, tetapi granula dalam sitoplasma lebih besar,
banyaknya kira-kira 24%.
c) Basofil: granula bewarna biru dengan pewarnaan basa, sel imi lebih kecil dari pada
eosinofil, tetapi mempunyai inti yang bentuknya teratur, didalam protoplasmanya
terdapat granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira o,5% disumsum merah.
Neutrofil, eosinofil, dan basofil berfungsi sebagai fagosit untuk mencerna dan
menghancurkan mikroorganisme dan sisa-sisa sel. Selain itu, basofil bekerja sebagai sel mast
dan mengeluarkan peptide vasoaktif.
2) Granulosit
Granulosit terdiri atas limposit dan monosit.
a) Limfosit
Limfosit memiliki nucleus besar bulat dengan menempati sebagai besar sel limfosit
berkembang dalam jaringan limfe. Besar sel limfosit berkembang dalam jaringan limfe.
Ukuran berfariasi dari 7 sampai dengan 15 mikron. Banyaknya 20-25% dan fungsinya
membunuh dan memakan bakteri yang masuk kedalam jaringan tubuh.

Limfosit ada 2 macam, yaitu lomfosi T dan limfosit B.
Limfosit T. limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan berkembang lama,
kemudian bermigrasi menuju ke timus. Setelah meninggalkan timus, sel-sel ini beredar dalam
darah sampai mereka bertemu dengan antigen-antigen dimana mereka telah diprogramkan
untuk mengenalinya. Setelah dirangsang oleh antigennya, sel-sel ini menghasilkan bahan-
bahan kimia yang menghancurkan mikroorganisme dan memberitahu sel-sel darah putih
lainya bahwa telah terjadi infeksi.
9


Limfisit B. terbentuk disumsum tulang lalu bersirkulasi dalam darah sampai
menjumpai antigen dimana mereka telah deprogram untuk mengenalinya. Pada tahap ini,
limfosit B mengalami pematangan lebih lanjut dan menjadi sel plasma serta menghasilkan
antibodi.

b) Monosit
Ukurannya lebih besar dari lemfosit, protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta
mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan. Inti sel bulat atau panjang. Monosit dibentuk
didalam sumsum tulang, masuk kedalam sirkulasi dalam bentuk imatur dan mengalami proses
pematangan menjadi makrofag setelah masuk kejaringan. Funsinnya sebagai fagosit.
Jumlahnya 34% dari total komponen yang ada di sel darah putih.
J umlah Sel Darah Putih
Pada orang dewasa, jumlah sel darah putih total 4,0-11,0 x 10
9/
1 yang terbagi sebagai
berikut.
Agranulosit:
Neutrofil 2,5-7,5 x 10
9

Eosinofil 0,04-0,44 x 10
9

Basofil 0-0,10 x 10
9

Granulosit

Limfosit 1,5-3,5 x 10
9

Momosit 0,2-0,8 x 10
9

KONSEP DASAR PENYAKIT LEUKEMIA
A. Pengertian
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum
tulang dan limfa nadi
Leukemia merupakan penyakit maligna yang disebabkan abnormal overproduksi dari tipe sel
darah putih tertentu, biasanya sel-sel imatur dalam sumsum tulang. Karakteristik dari
leukemia adalah sel-sel yang abnormal, tidak terkontrolnya proliferasi dari satu tipe sel darah
putih seperti granulosit, limfosit, monosit.
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis
sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam
membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain.
10


Jadi, leukemia merupakan kelebihan produksi sel darah putih yang abnormal, yang tidak
terkontrolnya proliferasi dari satu tipe sel darah putih seperti granulosit, limfosit, dan
monosit. Ditandai sumsum tulang belakang dalam membentuk sel darah normal dan adanya
infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain.

B. Etiologi leukemia
Meskipun pada sebagian besar penderita leukimia faktor-faktor penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi, tetapi ada beberapa faktor yang terbukti dapat menyebabkan leukemia, yaitu
sinar radio aktif dan virus.
1. Faktor Genetik
Insiden leukemia akut pada anak-anak penderita Sindrom Down adalah 20 kali lebih banyak
dari pada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukimia akut. Insiden
leukemia akut juga meningkatkan pada penderita kelainan kongenital dengan aneuloidi,
misalnya agranulositosis kongenital, sindrom Ellis van Greveld, penyakit seliak, sindrom
Bloom, anemia fanconi, sindrom klenefelter, dan sindrom trisomi D.
2. Sinar Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukemia
pada binatang maupaun manusia. Angka kejadian leukemia mieloblastik akut (AML) dan
leukimia granulositik kronis (LGK) jelas sekali meningkat sesudah sinar radioaktif akan
menderita leukemia pada 6% klien, dan baru terjadi sesudah 5 tahun.
3. Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Sampai
sekarang belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus.
Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang mendukung teori virus sebagai penyebab
leukemia, yaitu enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah manusia. Seperti
diketahui enzim ini didalamvirus onkogenik seperti retrovirus tipe C, yaitu jenis virus RNA
yang menyebabkan leukemia pada binatang. Enzim tersebut menyebabkan virus yang
bersangkutan dapat membentuk bahan genetik yang kemudian bergabung dengan genom
yang terinfeksi.
C. Klasifikasi Leukemia
Berdasarkan perbedaan tipe leukemia dibedakan menjadi dia yaitu leukemia akut dan
leukemia kronis
a. Leukemia akut
Leukimia akut mempunyai kejadian yang cepat dengan tipe yang progresif, dimana pasien
11


dapat meninggal beberapa hari atau beberapa bulan jika tidak diobati
1) Leukimia Limfoblastik Akut (LLA)
Adanya kerusakan pada limfoid dengan karakteristik proliferasi sel limfoid imatur pada
sumsum tulang Limpa denopati, hepatosplenomegali dan gangguan susunan saraf pusat dapat
terjadi pada jumlah leukosit sampai dengan 100.000/mm
3

Secara morfologis LLA dibagi menjadi 3 yaitu:
L
1
: Jenis LLA yang paling banyak pada masa anak-anak sel, sel limfoblas kecil-kecil
L
2
: LLA pada orang dewasa, sel lebih besar, inti ireguler, populasi sel heterogen.
L
3
: Sel-sel besar, populasi sel homogeny.
2) Leukimia Myelogenous Akut (LMA)
Pada leukemia jenis ini terjadi kerusakan dalam pertumbuhan dan pematangan sel
megakariosit, monosit, granulosit dan eritrosit. Prognosisnya dalam jangka panjang biasanya
jelek.
Menurut FAB, LMA terdiri atas:
M
1
: Myelostik leukemia akut tanpa diferensiasi
M
2
: Myelositik leukemia akut dengan diferensiasi
M
3
: Promyelositik leukemia akut.
M
4
: Myelomonositik leukemia akut
M
5
: Monositik leukemia akut dengan deferensiasi
M
5
: Monoblastik leukemia akut tanpa diferensiasi
M
6
: Eritroleukemia
b. Leukemia kronis
Leukemia kronis terdiri dari:
1) Leukemia myelogenous kronik (LMK)
Terjadi akibat kerusakan murni di pluripotent stem cell. Pada pemeriksaan darah perifer
ditemukan adanya leukositosis dan trombositosis. Ditemukan juga adanya peningkatan
produksi dari granulosit seperti netrofil, eosinofil dan basofil.
2) Leukemia lympositik kronik (LLK)
Karakteristik leukemia jenis ini adalah adanya proliferasi awal limfosit B. Hasil pemeriksaan
darah perifer ditemukan peningkatan jumlah sel limfosit baik matur maupun imatur.
Peningkatan jumlah limfosit akan memfiltrasi kelenjar limfe, hati, limpa dan sumsum
tulang. Perkembangan penyakit ini mulai stage 0 - IV sampai dengan 5 tahun. (Tartowo.
2008. Keperawatan medikal bedah gangguan sistem hematologi. Hal 68-69)

12



Stage Gambaran
Stage 0
Stage I
Stage II
Stage III

Stage IV
Absolut limfosis dalam drh > 15.000/mm
3

Absolut limfosis dan adanya pembesaran limfe
Absolut limfosis disertai pembesaran limfa dan hati
Absolut limfosis disertai pembesaran limfa dan hati
laki-laki-laki dan Hb <10 gr/dl pada wanita
Absolut limfosis disertai trombositofenia (trombosit
<100.000 m
3
)

D. Patofisiologi
Leukemia mempunyai sifat khas proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih
dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Ada dua masalah
terkait dengan sel leukemia yaitu adanya overproduksi dari sel darah putih, kedua adanya sel
-sel abnormal atau Imatur dari sel darah putih, sehingga fungsi dan strukturnya tidak normal.
Produksi sel darah putih yang sangat meningkat akan menekan elemen sel darah yang lain
seperti penurunan produksi eritrosit mengakibatkan anemia, trombosit menjadi menurun
mengakibatkan trombositopenia dan leukopenia dimana sel darah putih yang normal menjadi
sedikit.
Adanya trombositopenia mengakibatkan mudahnya terjadi perdarahan, keadaan
leukopenia menyebabkan mudahnya terjadi infeksi. Sel-sel kanker darah putih juga dapat
menginvasi pada sumsum tulang dan periosteum yang dapat mengakibatkan tulang menjadi
rapuh dan nyeri tulang. Disamping itu infiltrasi keberbagai organ seperti otak,
ginjal, hati, limpa, kelenjar liinfe menyebabkan pembesaran dan gangguan pada organ terkait.
Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.
Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan
menimbulkan anemia dan trombositipenia.
Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem
pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ,
sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yang
akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan
jaringan.
13


Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati,
limfe,nodus limfe, dan nyeri persendian.
































14


E. PATHWAY

































KARDIOVASKULER
RESPIRASI
INTEGUMEN
GASTROINTESTINAL
PERSARAFAN
MUSKULOSKELETAL
Sesak napas,
kesulitan
bernapas, napas
pendek, bunyi
napas abnormal
Perdarahan, mual dan tidak
nafsu makan, adanya darah
dalam feses, konstipasi,
menurunnya bising usus,
hepatosplenomegali,
tendernes pada abdomen,
menurunya berat badan
Nyeri tulang dan
persendian,
Adanya
hiperurikemia yang
dapat
menyebabkan
nyeri ginjal,
obstruksi saluran
kemih karena
terbentuknya
batu, gagal ginjal
Anemia
Lemah, letih,
lesu, pucat,
takhikardia,
tekanan darah
menurun, pal-
pitasi, murmur
mungkin terjadi
Kulit pucat, dingin,
konjungtiva anemis,
adanya perdarahan pada
kulit seperti pateque,
perdarahan pada gusi,
adanya infeksi pada
rongga mulut
Kerusakan saraf
kranial, nyeri kepala,
papiledema sebagai
akibat infiltrasi pada
selaput otak sistem
saraf pusat, kejang dan
koma mungkin terjadi
DP: Pola napas
tidak efektif
DP: Kekurangan volume
cairan (Kehilangan aktif)
DP: Kerusakan
integritas kulit
DP: Curah
jantung menurun
DP: Perubahan
perfusi jaringan
DP: Nyeri
15


F. Manifestasi klinik
Tanda-tanda penyakit leukemia (kanker darah) dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Anemia. Penderita akan menampakkan cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah
merah dibawah normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya
penderita bernafas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam
tubuh).
2. Perdarahan. Ketika Platelet (sel pembeku darah) tidak terproduksi dengan wajar
karena didominasi oleh sel darah putih, maka penderita akan mengalami perdarahan
dijaringan kulit (banyaknya jentik merah lebar/kecil dijaringan kulit).
3. Terserang Infeksi. Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh,
terutama melawan penyakit infeksi. Pada Penderita Leukemia, sel darah putih yang
diterbentuk adalah tidak normal (abnormal) sehingga tidak berfungsi semestinya.
Akibatnya tubuh si penderita rentan terkena infeksi virus/bakteri, bahkan dengan
sendirinya akan menampakkan keluhan adanya demam, keluar cairan putih dari
hidung (meler) dan batuk.
4. Nyeri Tulang dan Persendian. Hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang
(bone marrow) mendesak padat oleh sel darah putih.
5. Nyeri Perut. Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana
sel leukemia dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan
pembesaran pada organ-organ tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri perut ini dapat
berdampak hilangnya nafsu makan penderita leukemia.
6. Pembengkakan Kelenjar Lympa. Penderita kemungkinan besar mengalami
pembengkakan pada kelenjar lympa, baik itu yang dibawah lengan, leher, dada dan
lainnya. Kelenjar lympa bertugas menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul
disini dan menyebabkan pembengkakan.
7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea). Penderita mungkin menampakkan gejala kesulitan
bernafas dan nyeri dada, apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan
pertolongan medis.
Manifestasi klinis setiap organ
1. Manifestasi pada kardiovaskuler : tanda-tanda anemia : lemah, letih, lesu, pucat,
takhikardia, tekanan darah menurun, pal-pitasi (Sensasi yang tidak menyenangkan),
murmur mungkin terjadi.
2. Manifestasi pada pernapasan : terkait dengan manifestasi klinik dan komplikasi
infeksi pernapasan seperti sesak napas, kesulitan bernapas, napas pendek,
16


bunyi napas abnormal.
3. Manifestasi pada Integumen: kulit pucat, dingin, konjungtiva anemis, adanya
perdarahan pada kulit seperti fateque, perdarahan pada gusi, adanya infeksi pada
rongga mulut.
4. Manifestasi pada gastrointestinal: meningkatnya resiko perdarahan, mual dan tidak
nafsu makan, adanya darah dalam feses, konstipasi, menurunnya bising usus,
hepatosplenomegali, tendernes pada abdomen, menurunya berat badan.
5. Manifestasi pada persarafan: kerusakan saraf kranial, nyeri kepala, papiledema
sebagai akibat infiltrasi pada selaput otak sistem saraf pusat, kejang dan koma
mungkin terjadi.
6. Manifestasi pada muskuloskeletal: adanya nyeri tulang dan persendian, Adanya
hiperurikemia yang dapat menyebabkan nyeri ginjal, obstruksi saluran kemih karena
terbentuknya batu, gagal ginjal.
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi
a) Hemoglobin (Hb)
b) Trombositopenia
c) Leukosit meningkat dapat lebih dari 200.000/mm', normal atau menurun,
dapat kurang dari 1000/mm'.
2. Apusan darah tepi
Adanya sel muda (Mieloblas, Promielosit, Limfoblast, Monoblast, Eritroblast).
3. Sumsum tulang
a) Merupakan test diagnostik yang sangat penting untuk mendiagnostik dan
menentukan tipe sel maligna.
b) Adanya hiperseluler, sel sumsum tulang diganti sel leukosit.
4. Pemeriksaan immunophenotyping
a) Untuk menentukan jenis sel leukemia
5. Lumbal Pungsi
a) Menentukan ada atau tidaknya sel-sel blast dalam sistem saraf pusat, 5 % kasus
leukemia terjadi kelainan
6. Radiografi
a) MRI dan ST Scan kepala dan tubuh untuk mendeteksi adanya lesi, infeksi
ditempat lain.(Tartowo. 2008. Keperawatan medikal bedah gangguan sistem
hematologi. Hal 72-73)
17



Tabel 4-2 : Perbedaan pada pemeriksaan darah tepian sumsum tulang
TEST LMA LLA LMK LLK
Darah Tepi





Sel darah putih-
normal,kurang atau
meningkat bisa disertai
mieloblas
Trombositopenia
Anemia
Sel darah putih
meningkat disertai
limfositosis
Hitung sel darah putih
dapat normal atau
berkurang
Sel darah putih
meningkat terutama
granutosit
Trombositopenia
Anemia
Meningkatan
limfosit dewasa
yang kecil
Trombositopenia
Anemia
Sumsum
tulang
Hiperseluler 50%
mieloblas
Hiperseluler disertai
infiltrasi limfoblas
Hiperseluler 2%
blast megakariosit
30% limfosit
(Tabel 2.3 Sumber : Sylvia Anderson, 1995)
H. Penatalaksanaan Medis& Terapi
Penatalaksanaan leukemia ditentukan berdasarkan klasifikasi, prognosis dan penyakit
penyerta.
1. Radioterapi dan kemoterapi, dilakukan ketika sel leukemia sudah terjadi
metastasis. kemoterapi dilakukan juga pada fase induksi remisi yaitu keadaan dimana
gejala klinis menghilang, disertai blast dalam sumsum tulang menghilang serta pada
fase post remisi yang bertujuan mempertahankan remisi selama mungkin.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
Melalui mulut
Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena).
Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam pembuluh
darah balik besar, seringkali di dada bagian atas Perawat akan menyuntikkan obat ke
dalam kateter, untuk menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan
mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal. jika ahli patologi menemukan sel-
sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang,
dokter bisa memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat
langsung ke dalam cairan cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang
diberikan melalui suntikan IV atau diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak
dan sumsum tulang belakang.


18


Terdapat tiga fase pelaksanaan kemoterapi :
Fase induksi. Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini
diberikan terapi kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi
dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dalam sumsum tulang
ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
Fase Profilaksis Sistem saraf pusatPada fase ini diberikan terapi methotrexate,
cytarabine dan hydrocotison melaui intrathecal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak.
Terapi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf
pusat.
Konsolidasi. Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan
remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala,
mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum
tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan
sementara atau dosis obat dikurangi.
Beberapa jenis obat-obatan kemoterapi
Tipe Leukimia Jenis Obat
Akut
nonlimfositik
Daunorubicin, Mitoxantrone, Cytarabine.
Akut limfositik Vincristine, prednisene, L Asparaaginase, Daunorubicin
Kronik limfositik Chlorambucil, Prednison, Cyclophosphamide, Vincristine
Kronik
myelogenous
Busulfan, Hydroxyure-a. '--ytosine, V ncristine
(Tartowo. 2008. Keperawatan medikal bedah gangguan sistem hematologi. Hal 74-75)

2. Terapi modalitas, untuk mencegah komplikasi, karena adanya pansitopenia, anemia,
perdarahan dan infeksi. Pemberian antibiotik dan mungkin tranfusi dapat diberikan.
3. Pencegahan terpaparnya mikroorganisme dengan isolasi.
4. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan alternatif terbaik dalam penanganan leukemia. Terapi
ini juga biasa dilakukan pada pasien dengan limphoma, anemia aplastik.
Pengobatan :
1. Transfusi darah : jika HB kurang dari 6g%, pada trombositopenia dapat diberi
transfusi trombosit.
19


2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason) setelah dicapai remisi dosis
dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika : vinkristin, adriamicyn metrotrexat, 6-merkaptopurin, umumnya
dikombinasi dengan prednison. Efek samping obat ini dapat berupa alopsia/botak,
stomatitis, leucopeni infeksi skunder, kandiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari
2000/mm pemberiannya harus hati-hati.
4. Infeksi skunder dihindarkan (lebih baik di isolasi).
5. Imunoterapi : merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan
jumlah sel leukimia cukup rendah (10-10) imunoterapi mulai diberikan (mengenai
cara pengobatan yang terbatas masih dalam pengembangan).
Cara Pengobatan
Berbeda-beda pada setiap klinik, tergantung dari pengalaman, tetapi prinsipnya sama, yaitu
dengan pola dasar :
1. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut sampai
sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
2. Konsolidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri.
3. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama. Biasanya dengan
memberikan sistostika setengah dosis biasa.
4. Reinduksi, untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan
pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
5. Pengobatan imunologik.
Ini dimaksutkan untuk menghilangkan sel leukemia dalam tubuh agar pasien dapat
sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan selama 3 tahun remisi terus-
menerus, fungsi sumsum tulang diulang secara rutin setelah induksi pengobatan (
setelah 6 minggu ).
I. Komplikasi
1. Infeksi beberapa sistem (pernafasan, pencernaan)
2. Perdarahan
3. Relaps
4. Efek samping dari kemoterapi/radiasi : kardiomiopati, alopesia.
5. Kematian



20



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN LEUKEMIA
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Riwayat keperawatan
a) Identitas klien.
b) Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada penyakit leukemia ini klien biasanya lemah, lelah, wajah terlihat pucat, sakit kepala,
anoreksia, muntah, sesak, nafas cepat.
2) Riwayat penyakit
Pada riwayat penyakit klien dengan leukemia, kaji adanya tanda-tanda anemia yaitu pucat,
kelemahan, sesak, nafas cepat. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia yaitu demam dan adanya
infeksi.Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia yaitu ptechiae, purpura, perdarahan
membran mukosa.Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola yaitu limfadenopati,
hepatomegali, splenomegali.Kaji adanya pembesaran testis.Kaji adanya hematuria, hipertensi,
gagal ginjal, inflamasi disekitar rectal, nyeri (Lawrence, 2003).
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya gangguan hematologis, adanya faktor herediter misal kembar monozigot.
d) Riwayat kebiasaan sehari-hari
Perbedaan pola aktivitas dirumah dan dirumah sakit.
2. Riwayat psikososial
a) Psikologi
Pada kasus ini biasanya klien dan keluarga takut dan cemas terhadap penyakit yang diderita.
Klien sangat membutukan dukungan dari keluarga dan perawat.
b) Sosial Ekonomi
Klien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga maupun dengan tetangga disekitar
rumahnya dengan adanya keluarga dan tetangga yang membesuk serta klien hidup dalam
keadaan ekonomi yang sederhana.
3. Pemeriksaan fisik
a) Sistem integumen
Pucat
Ekhimosis (Memar, bercak kemerahan pada kulit)
Pateque
21


b) Sistem gastrointestinal
Perdarahan gusi
Pembesaran hati dan limpa
c) Sistem perkemihan
Hematuria
d) Sistem kardiovaskuler
Takhikardia
Hipotensi orthostatic
e) Sistem respirasi
Sesak napas
Perubahan bunyi napas
f) Sistem persyarafan
Kesadaran menurun
Kelainan saraf kranial
Kuku kuduk
Adanya refleks patologis
g) Sistem muskuloskleletal
Nyeri tulang
Nyeri pergerakan pada sendi.

4. Data penunjang
Data laboratorium pada klien dengan leukemia :
a) Anemi normokrom normositer
Leukosit >15.000/mm
3
(5000-10000/ mm
3
)
b) Sitogenik : kelainan pada kromosom 12, 13, 14,
kadang-kadang pada kromosom 6, 11
c) Hb: 7,3 mg / dl ( N : 12.0 16.0 g/dL)
d) Trombosit :100.000 (150.000-400.000/mm
3
)
e) SDP (sel darah putih) : 60.000/cm (50.000)
f) PT/PTT :memanjang
g) Copper serum :meningkat
h) Zink serum :menurun

22


5. Test diagnostik
a) Pemeriksaan darah
b) Biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan imunologi
c) Pemeriksaan radiologi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia,
malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
5. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi,
radioterapi, imobilitas.
C. Intervensi dan Rasional
1. Diagnosa 1
Tujuan : pasien bebas dari infeksi
Kriteria hasil :Normotermia, Hasil kultur negative, Peningkatan penyembuhan
Intervensi :
- Pantau suhu dengan teliti (TTV)
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
- Tempatkan klien dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya klien dari sumber infeksi
- Anjurkan semua pengunjung dan staf rumah sakit untuk menggunakan teknik mencuci
tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
- Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasif
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
- Evaluasi keadaan klien terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat
penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
- Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
- Berikan periode istirahat tanpa gangguan
23


Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
- Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
- Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus
2. Diagnosa 2
Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Kriteria hasil : klien tidak pusing, Klien tidak lemah, HB 12 gr/%, Leukosit normal, Tidak
anemis
Intervensi :
- Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala
aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
- Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan
jaringan
- Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervensi
- Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
- Kolaborasikan pemasangan tranfusi darah
Rasional : transfusi darah dapat meningkatkan kadar hemoglobin di dalam darah klien.

3. Diagnosa 3
Tujuan : pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil : Klien tidak pucat, Klien tidak anemis, Mukosa bibir lembab, Nafsu makan
meningkat, Bb meningkat
Intervensi :
- Dorong klien untuk tetap rileks saat makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung dari mual dan
muntah serta kemoterapi
- Izinkan klien memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan unmtuk
memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan klien meningkat
24


Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
- Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau
suplemen yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
- Izinkan klien untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar klien mau makan
- Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
- Dorong klien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan untuk
menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan penting dalam
mempertahankan masukan kalori dan protein yang adekuat
- Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori, khususnya bila BB
kurang dari normal
4. Diagnosa 4
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, pasien tidak mengalami mual dan muntah
Kriteria hasil : Klien tidak lemah dan anemis, Turgor kulit baik, Mukosa bibir lembab, tidak
sianosis
Intervensi :
- Berikan antiemetik awal sebelum dimulainya kemoterapi
Rasional : untuk mencegah mual dan muntah
- Berikan antiemetik secara teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional : untuk mencegah episode berulang
- Kaji respon klien terhadap anti emetic
Rasional : karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
- Hindari memberikan makanan yang beraroma menyengat
Rasional : bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
- Anjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
- Berikan cairan intravena sesuai ketentuan
Rasional : untuk mempertahankan hidrasi

25


5. Diagnosa 5
Tujuan :klien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima
klien
Kriteria hasil : - skala nyeri 3
Intervensi :
- Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau keefektifan
intervensi
- Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat
akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
- Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat
- Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
- Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri


6. Diagnosa 6
Tujuan :klien mampu mempertahankan integritas kulit
Kriteria hasil : Klien bersih, Klien merasa nyaman
Intervensi :
- Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
- Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
- Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
- Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi dalam area
radiasi pada beberapa agen kemoterapi
- Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
26


Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
- Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negative
- Anjurkan memilih pakaian yang longgar dan lembut diatas area yang teradiasi
Rasional : untuk meminimalkan iritasi tambahan
A. KONSEP ITP
ITP adalah singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Idiopathic berarti
tidak diketahui penyebabnya. Thrombocytopenic berarti darah yang tidak cukup memiliki
keping darah (trombosit). Purpura berarti seseorang memiliki luka memar yang banyak
(berlebihan). Istilah ITP ini juga merupakan singkatan dari Immune Thrombocytopenic
Purpura. (Family Doctor, 2006).
Idiophatic (Autoimmune) Trobocytopenic Purpura (ITP/ATP) merupakan kelainan
autoimun dimana autoanti body Ig G dibentuk untuk mengikat trombosit.
Tidak jelas apakah antigen pada permukaan trombosit dibentuk. Meskipun antibodi
antitrombosit dapat mengikat komplemen, trombosit tidak rusak oleh lisis langsung. Insident
tersering pada usia 20-50 tahum dan lebi serig pada wanita dibanding laki-laki (2:1).
ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura) juga bisa dikatakan merupakan suatu
kelainan pada sel pembekuan darah yakni trombosit yang jumlahnya menurun sehingga
menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi umumnya pada kulit berupa bintik merah
hingga ruam kebiruan.
Dalam tubuh seseorang yang menderita ITP, sel-sel darahnya kecuali keping darah
berada dalam jumlah yang normal. Keping darah (Platelets) adalah sel-sel sangat kecil yang
menutupi area tubuh paska luka atau akibat teriris/terpotong dan kemudian membentuk
bekuan darah. Seseorang dengan keping darah yang terlalu sedikit dalam tubuhnya akan
sangat mudah mengalami luka memar dan bahkan mengalami perdarahan dalam periode
cukup lama setelah mengalami trauma luka. Kadang bintik-bintik kecil merah (disebut
Petechiae) muncul pula pada permukaan kulitnya. Jika jumlah keping darah atau trombosit ini
sangat rendah, penderita ITP bisa juga mengalami mimisan yang sukar berhenti, atau
mengalami perdarahan dalam organ ususnya
Idiopatik trombositopeni purpura disebut sebagai suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
15.000/L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa. Atau dapat diartikan
bahwa idiopatik trombositopeni purpura adalah kondisi perdarahan dimana darah tidak keluar
27


dengan semestinya. Terjadi karena jumlah platelet atau trombosit rendah. Sirkulasi platelet
melalui pembuluh darah dan membantu penghentian perdarahan dengan cara menggumpal.
Idiopatik sendiri berarti bahawa penyebab penyakit tidak diketahui. Trombositopeni adalah
jumlah trombosit dalam darah berada dibawah normal. Purpura adalah memar kebiruan
disebabkan oleh pendarahan dibawah kulit. Memar menunjukkan bahwa telah terjadi
pendarahan di pembuluh darah kecil dibawah kulit.
Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2-4m. Trombosit
dibentuk di sumsum tulang dari megakariosit, sel yang sangat besar dalam susunan
hemopoietik dalam sumsum tulang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum
tulang atau segera setelah memasuki kapiler darah, khususnya ketika mencoba untuk
memasuki kapiler paru. Tiap megakariosit menghasilkan kurang lebih 4000 trombosit
Megakariosit tidak meninggalkan sumsum tulang untuk memasuki darah. Konsentrasi
normal trombosit ialah antara 150.000 sampai 350.000 per mikroliter. Volume rata-ratanya 5-
8fl. Dalam keadaan normal, sepertiga dari jumlah trombosit itu ada di limpa. Jumlah
trombosit dalam keadaan normal di darah tepi selalu kurang lebih konstan. Hal ini disebabkan
mekanisme kontrol oleh bahan humoral yang disebut trombopoietin. Bila jumlah trombosit
menurun, tubuh akan mengeluarkan trombopoietin lebih banyak yang merangsang
trombopoiesis.
Idiopathic thrombocytopenic Purpura mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa.
Anak-anak sering mengalami idiopathic thrombocytopenic Purpura setelah infeksi virus dan
biasanya sembuh sepenuhnya tanpa pengobatan. Pada orang dewasa yang menderita penyakit
ITP sering lebih kronis. ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan
perdarahan didapat yang banyak ditemukan oleh dokter anak, dengan insiden penyakit
simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100000 anak per tahun. Di bagian ilmu kesehatan Anak
RSU Dr. Soetomo terdapat 22 pasien baru pada tahun 2000.
Delapan puluh hingga 90% anak dengan ITP menderita apisode pendarahan akut, yang akan
pilih dalam beberapa hari atau minggu dan sesuai dengan namanya (akut) akan sembuh dalam
6 bulan. Pada ITP akut ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan akan
mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. Hampir selalu ada riwayat infeksi bakteri, virus, atau
pun imunisasi 1-6 minggu sebelum terjadinya penyakit ini. Perdarahan serinh terjadi saat
trombosit dibawah 20.000/mm3. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun, sering terjadi
pada anak perempuan. ITP yang rekuen di definisikan sebagai adanya episode
trombositopenia > 3 bulan dan terjadi 1-4% anak dengan ITP. ITP merupakan kelainan auto
imun yang menyebabkan meningkatrnya penghancuran trombosit dalam retikuloendotelial.
28


Kelainan ini biasanya menyertai infeksi virus atau imunisasi yang disebabkan oleh respons
sistem imun yang tidak tepat.
B. ETIOLOGI
Penyebab dari ITP tidak diketahui secara pasti, mekanisme yang terjadi melalui pembentukan
antibodi yang menyerang sel trombosit, sehingga sel trombosit mati. (Imran, 2008). Penyakit
ini diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang
trombositnya sendiri. Dalam kondisi normal, antibodi adalah respons tubuh yang sehat
terhadap bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk penderita ITP,
antibodinya bahkan menyerang sel-sel keping darah ubuhnya sendiri. (Family Doctor, 2006).
Meskipun pembentukan trombosit sumsum tulang meningkat, persediaan trombosit yang ada
tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Pada sebagian besar kasus, diduga bahwa ITP
disebabkan oleh sistem imun tubuh. Secara normal sistem imun membuat antibodi untuk
melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada ITP, sistem imun melawan platelet
dalam tubuh sendiri. Alasan sistem imun menyerang platelet dalam tubuh masih belum
diketahui. (ana information center, 2008).
ITP kemungkinan juga disebabkan oleh hipersplenisme, infeksi virus, intoksikasi makanan
atau obat atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan factor pematangan
(misalnya malnutrisi), koagulasi intravascular diseminata (KID), autoimun. Berdasarkan
etiologi, ITP dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan awitan
penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya
terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umunnya terjadi pada orang
dewasa). (ana information center, 2008)
Selain itu, ITP juga terjadi pada pengidap HIV. sedangkan obat-obatan seperti heparin,
minuman keras, quinidine, sulfonamides juga boleh menyebabkan trombositopenia. Biasanya
tanda-tanda penyakit dan faktor-faktor yang berkatan dengan penyakit ini adalah seperti yang
berikut : purpura, pendarahan haid darah yang banyak dan tempo lama, pendarahan dalam
lubang hidung, pendarahan rahang gigi, immunisasi virus yang terkini, penyakit virus yang
terkini dan calar atau lebam.

C. EPIDEMOLOGI
Ada dua tipe ITP berdasarkan kalangan penderita. Tipe pertama umumnya menyerang
kalangan anak-anak, sedangkan tipe lainnya menyerang orang dewasa. Anak-anak berusia 2
hingga 4 tahun yang umumnya menderita penyakit ini. Sedangkan ITP untuk orang dewasa,
29


sebagian besar dialami oleh wanita muda, tapi dapat pula terjadi pada siapa saja. ITP
bukanlah penyakit keturunan.
ITP juga dapat dibagi menjadi dua, yakni akut ITP dan kronik ITP. Batasan yang dipakai
adalah waktu jika dibawah 6 bulan disebut akut ITP dan diatas 6 bulan disebut kronik ITP.
Akut ITP sering terjadi pada anak-anak sedangkan kronik ITP sering terjadi pada dewasa.

Tabel Perbedaan ITP akut dengan ITP kronik
(Bakta, 2006; Mehta, et. al, 2006)

ITP akut ITP kronik
Awal penyakit 2-6 tahun 20-40 tahun
Rasio L:P 1:1 1:2-3
Trombosit <20.000/mL 30.000-100.000/mL
Lama penyakit 2-6 minggu Beberapa tahun
Perdarahan Berulang Beberapa hari/minggu

D. PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ITP
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibody terhadap gliko protein yang terdapat
pada membran trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti antibody,
hal tersebut dilakukan oleh magkrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikulo endotelial
lainnya. Megakariosit pada sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. Sedangkan
kadar trombopoitein dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari
trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis.
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemologis antara ITP akut dan kronis,
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombsitopenia
diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancursn trombosit
meningkata karena adanya antibody yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi
bakteri atau virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit.
Mediator lainnya yang meningkat selama terjadinya respon imun terhadap produksi
trombosit. Sedangkan pada ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem
imun seperti pada penyakit autoimun lainnya yang berakibat terbentuknya antibodi spesifik
terhadap antibodi.
30


Saat ini telah didefinisikan (GP) permukaan trombosit pada ITP, diantaranya GP Ib-lia, GP
Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibodi antitrombosit meningkat pada ITP, perbedaan
secara pasti patofisiologi ITP akut dan kronis, serta komponen yang terlibat dalam
regulasinya masih belum diketahui.
Gambaran klinik ITP yaitu: 1) onset pelan dengan perdarahan melalui kulit atau mukosa
berupa : petechie, echymosis, easy bruising, menorrhagia, epistaksis, atau perdarahan gusi. 2)
perdarahan SSP jarang terjadi tetapi dapat berakibat fatal. 3) splenomegali pada <10% kasus.
Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen (dipicu oleh antibodi) pembentukan
neoantigen produksi antibodi cukup trombositopeni perdarahan (purpura,
menorrhagia, perdarahan gusi) splenomegali.

E. PENCEGAHAN
Idiopatik Trombositopeni Purpura (ITP) tidak dapat dicegah, tetapi dapat dicegah
komplikasinya. Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat
mempengaruhi platelet dan meningkatkan risiko pendarahan.
Lindungi dari luka yang dapat menyebabkan memar atau pendarahan. Lakukan terapi yang
benar untuk infeksi yang mungkin dapat berkembang. Konsultasi ke dokter jika ada beberapa
gejala infeksi, seperti demam. Hal ini penting bagi pasien dewasa dan anak-anak dengan ITP
yang sudah tidak memiliki limfa.

F. GEJALA DAN TANDA
Bintik-bintik merah pada kulit (terutama di daerah kaki), seringnya bergerombol dan
menyerupai rash. Bintik tersebut ,dikenal dengan petechiae, disebabkan karena adanya
pendarahan dibawah kulit .
Memar atau daerah kebiruan pada kulit atau membran mukosa (seperti di bawah mulut)
disebabkan pendarahan di bawah kulit. Memar tersebut mungkin terjadi tanpa alasan yang
jelas ( lampiran Gambar 5 ). Memar tipe ini disebut dengan purpura. Pendarahan yang lebih
sering dapat membentuk massa tiga-dimensi yang disebut hematoma.
Hidung mengeluarkan darah atau pendarahan pada gusi. Ada darah pada urin dan feses.
Beberapa macam pendarahan yang sukar dihentikan dapat menjadi tanda ITP. Termasuk
menstruasi yang berkepanjangan pada wanita. Pendarahan pada otak jarang terjadi, dan gejala
pendarahan pada otak dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit. Jumlah platelet yang
31


rendah akan menyebabkan nyeri, fatigue (kelelahan), sulit berkonsentrasi, atau gejala yang
lain.

G. MANIFESTASI KLINIS
Adanya trombositopenia pada ITP ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis
karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara
bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis ITP sangat
bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang, sampai dapat mengakibatkan
kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga asimptomatik. Oleh karena merupakan suatu
penyakit autoimun maka kortikosteroid merupakan pilihan konvensional dalam pengobatan
ITP. Pengobatan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi penyakit yang
mendasari ITP sehingga tidak mengakibatkan keterlambatan penanganan akibat pendarahan
fatal., atau penanganan-penangan pasien yang gagal atau relaps.
Pendarahan di hidung atau gigi merupakan tanda-tanda utama penyakit ITP namun
kebanyakan penyakit hanya ada tanda-tanda lebam dan petekia di anggota badan. Gejala
umum yang sering tampak pada pasien trombositopenia adalah petekiae, ekimosis, gusi dan
hidung berdarah, menometorrhagia, sedangkan gejala yang jarang terjadi adalah hematuria,
perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial. Perdarahan biasanya terjadi bila jumlah
trombosit <50.000/mm3, dan perdarahan spontaan terjadi jika jumlah trombosit
<10.000/mm3 dan umumnya terjadi pada leukimia. Perdarahan kulit bisa merupakan pertanda
awal dari jumlah trombosit yang kurang. Bintik-bintik keunguan seringkali muncul di tungkai
bawah dan cedera ringan bisa menyebabkan memar yang menyebar. Bisa terjadi perdarahan
gusi dan darah juga bisa ditemukan pada tinja atau air kemih. Pada penderita wanita, darah
menstruasinya sangat banyak. Perdarahan mungkin sukar berhenti sehingga pembedahan dan
kecelakaan bisa berakibat fatal. Jika jumlah trombosit semakin menurun, maka perdarahan
akan semakin memburuk. Jumlah trombosit kurang dari 5.000-10.000/mL bisa menyebabkan
hilangnya sejumlah besar darah melalui saluran pencernaan atau terjadi perdarahan otak
(meskipun otaknya sendiri tidak mengalami cedera) yang bisa berakibat fatal.
ITP banyak terjadi pada masa kanak-kanak, tersering diprepitasi oleh infeksi virus dan
biasanya dapat sembuh sendiri. Sebaliknya pada orang dewasa, biasanya menjadi kronik dan
jarang mengikuti suatu infeksi virus. Pasien secara umum tampak baik dan dan tidak demam.
Keluhan yang dapat ditemukan adalah perdarahan mukosa dan kulit. Perdarahan yang paling
umum adalah epistaksis., perdarahan mulut, menoragia, purpura, dan petekie. Pada
32


pemeriksaan fisik terlihat pasien dalam keadaan baik dan tidak terdapat penemuan abnormal
lain, selain yang berhubungan dengan perdarahan.
Pemeriksaan atau diagnosa penyakit ITP bisa melalui beberapa pertanyaan yang diajukan
kepada penderita (atau keluarga) penderita serta melalui pemeriksaan fisik. bisa juga dengan
menganalisa hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah penderita. (Family
Doctor, 2006).Pada pemeriksaan laboratoiym ditemukan trombosit <10.000/ml. Hitung jenis
lain normal., terkecuali kadang-kadang dapat terjadi anemia ringan yang disebabkan oleh
perdarahan atau berhubungan dengan hemolisis. Pemeriksaan morfologi sel darah normal,
kecuali trombosit yang agak membesar (megakariosit). Megakariosit ini merupakan trombosit
yang dihasilkan sebagai respon terhadap destruksi trombosit
Pada pemeriksaan, sumsum tulang terlihat normal, denganjumlah megakariosit normal atau
meningkat. Tes koagulasi terlihat mendekati normal. Meskipun tes tersebut sangat sensitif
(95%) namun sangat tidak spesifik dan 50% dari semua pasien dengan trombositopenia dari
berbagai sebab dapat mempunyai peningkatan Ig G trombosit. (Arief mansoer, dkk)
Diagnosis ITP adalah pada pemeriksaan terdapat perdarahan di kulit bahkan mimisan dan
pada laboratorium jumlah trombosit menurun dan pada pemeriksaan BMP (bone marrow
puncture) terdapat sel megakariosit. Pengobatan ITP umumnya tidak memerlukan pengobatan
yang serius tetapi bila terjadi perdarahan dan jumlah trombosit menurun hingga dibawah
20.000/ul maka dianjurkan untuk transfusi trombosit. Pengobatan lain yang dapat diberikan
adalah dengan pemberian kortikosteroid dan dihentikan obat ini bila sudah meningkat jumlah
trombositnya. Perhatian yang harus diingat pada penderita ITP adalah hindari obatan yang
dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin, hindari benturan yang membuat luka. (Arief
mansoer, dkk)
ITP yang dialami anak-anak berbeda dengan yang dialami oleh orang dewasa. Sebagian besar
anak yang menderita ITP memiliki jumlah sel darah merah yang sangat rendah dalam
tubuhnya, yang menyebabkan terjadinya perdarahan tiba-tiba. Gejala-gejala yang umumnya
muncul di antaranya luka memar dan bintik-bintik kecil berwarna merah di permukaan
kulitnya. Selain itu juga mimisan dan gusi berdarah. (Family doctor, 2006)
Karena sebagian besar anak penderita ITP dapat pulih tanpa penanganan medis, banyak
dokter yang merekomendasikan untuk melakukan observasi ketat dan sangat hati-hati
terhadap penderita serta penanganan terhadap gejala-gejala perdarahannya. Penderita tidak
perlu dirawat di Rumah Sakit jika penanganan dan perawatan intensif dan baik ini tersedia di
rumah. Akan tetapi, beberapa dokter merekomendasikan penanganan medis singkat dengan
pengobatan oral Prednisone_ atau pemasangan infus (masuk ke urat darah halus) berisikan zat
33


gamma globulin untuk meningkatkan jumlah sel darah merah penderita dengan cepat. Kedua
jenis obat ini memiliki beberapa efek camping. Idiopatik trombositopenia purpura (ITP)
terjadi bila trombosit mengalami destruksi secara prematur sebagai hasil dari deposisi
autoantibody atau kompleks imun dalam membran system retikuloendotel limpa dan
umumnya di hati .
Bintik-bintik merah pada kulit (terutama di daerah kaki), seringnya bergerombol dan
menyerupai rash. Bintik tersebut ,dikenal dengan petechiae, disebabkan karena adanya
pendarahan dibawah kulit .Memar atau daerah kebiruan pada kulit atau membran mukosa
(seperti di bawah mulut) disebabkan pendarahan di bawah kulit. Memar tersebut mungkin
terjadi tanpa alasan yang jelas. Memar tipe ini disebut dengan purpura. Pendarahan yang lebih
sering dapat membentuk massa tiga-dimensi yang disebut hematoma.
Hidung mengeluarkan darah atau pendarahan pada gusi Ada darah pada urin dan feses
Beberapa macam pendarahan yang sukar dihentikan dapat menjadi tanda ITP. Termasuk
menstruasi yang berkepanjangan pada wanita. Pendarahan pada otak jarang terjadi, dan gejala
pendarahan pada otak dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit. Jumlah platelet yang
rendah akan menyebabkan nyeri, fatigue (kelelahan), sulit berkonsentrasi, atau gejala yang
lain.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hitung darah lengkap dan jumlah trombosit menunjukkan penurunan hemoglobin,
hematokrit, trombosit (trombosit di bawah 20 ribu / mm
3
).
b. Anemia normositik: bila lama berjenis mikrositik hipokrom.
c. Leukosit biasanya normal: bila terjadi perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis.
Ringan pada keadaan lama: limfositosis relative dan leucopenia ringan.
d. Sum-sum tulang biasanya normal, tetapu megakariosit muda dapat bertambah dengan
maturation arrest pada stadium megakariosit.
e. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan
abnormal, prothrombin consumption memendek, test RL (+).

I. TERAPI
Terapi ITP lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga
mencegah terjadinya pendarahan mayor. Selain itu, terapi ITP didasarkan pada berapa banyak
dan seberapa sering pasien mengalami pendarahan dan jumlah platelet. Terapi untuk anak-
anak dan dewasa hampir sama. Kortikosteroid (ex: prednison) sering digunakan untuk terapi
34


ITP. kortikosteroid meningkatkan jumlah platelet dalam darah dengan cara menurunkan
aktivitas sistem imun. Imunoglobulin dan anti-Rh imunoglobulin D. Pasien yang mengalami
pendarahan parah membutuhkan transfusi platelet dan dirawat dirumah sakit .
Terapi awal ITP (standar) :
Prednison
Terapi awal prednisoon atau prednison dosis 0,5-1,2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. respon
terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam minngu pertama,
bila respon baik dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering.
Imunoglobulin intravena (IgIV)
Imunoglobulin intravena dosis 1g/kg/hr selam 2-3 hari berturut-turut digunakan bila terjadi
pendarahan internal, saat AT(antibodi trombosit) <5000/ml meskipun telah mendapat terapi
kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Pendekatan terapi
konvensional lini kedua, untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak
membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan . Luasnya variasi terapi lini
kedua menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual.
1. Steroid dosis tinggi
Terapi pasien ITP refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral dosis
tinggi. Deksametason 40 mg/hr selama 4minggu, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus.
2. Metiprednisolon
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada ITP anak dan dewasa yang resisten
terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari hasil penelitian menggunakan dosis tinggi
metiprednisolon 3o mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hr samapi 1 mg/kg sekai
sehari.
3. IgIV dosis tinggi
Imunoglobulin iv dosis tinggi 1 mg/kg/hr selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi
dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutama sakit
kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan
anti-D iv
4. Anti-D iv
Dosis anti-D 50-75 mg/ka/hr IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah
rhesus D-positif yang secara khusus diberikan oleh RES terutama di lien, jadi bersaingdengan
autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
5. Alkaloid vinka
Misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu.
35


6. Danazol
Dosis 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Bila
respon terjadi, dosis diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya hr 1 tahun dan
kemudian diturunkan 200mg/hr setiap 4 bulan.
7. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi
Imunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainya. Terapi
dengan azatioprin (2 mg kg max 150 mg/hr) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat
dipertimbangkan dan responya bertanding tertahan sampai 5%.
8. Dapsone
Dosis 75 mg p.o per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien harus diperiksa G6PD, karena
pasien dengan kabar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.

36


ASUHAN KEPERAWATAN
IDIOPATHIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA ( ITP )
1. PENGKAJIAN
a. Asimtomatik sampai jumlah trombosit menurun di bawah 20.000.
b. Tanda-tanda perdarahan.
Petekie terjadi spontan.
Ekimosis terjadi pada daerah trauma minor.
Perdarahan dari mukosa gusi, hidung, saluran pernafasan.
Menoragie.
Hematuria.
Perdarahan gastrointestinal.
c. Perdarahan berlebih setelah prosedur bedah.
d. Aktivitas / istirahat.
Gejala : - keletihan, kelemahan, malaise umum.
- toleransi terhadap latihan rendah.
Tanda : - takikardia / takipnea, dispnea pada beraktivitas / istirahat.
- kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
e. Sirkulasi.
Gejala : - riwayat kehilangan darah kronis, misalnya perdarahan GI kronis,
menstruasi berat.
- palpitasi (takikardia kompensasi).
Tanda : - TD : peningkatan sistolik dengan diastolic stabil.
f. Integritas ego.
Gejala : - keyakinan agama / budaya mempengaruhi pilihan pengobatan:
penolakan transfuse darah.
Tanda : - DEPRESI.
g. Eliminasi.
Gejala : - Hematemesis, feses dengan darah segar, melena, diare, konstipasi.
Tanda : - distensi abdomen.
h. Makanan / cairan.
Gejala : - penurunan masukan diet.
- mual dan muntah.
Tanda : - turgor kulit buruk, tampak kusut, hilang elastisitas.

37


i. Neurosensori.
Gejala : - sakit kepala, pusing.
- kelemahan, penurunan penglihatan.
Tanda : - epistaksis.
- mental: tak mampu berespons (lambat dan dangkal).
j. Nyeri / kenyamanan.
Gejala : - nyeri abdomen, sakit kepala.
Tanda : - takipnea, dispnea.
k. Pernafasan.
Gejala : - nafas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : - takipnea, dispnea.
l. Keamanan
Gejala : penyembuhan luka buruk sering infeksi, transfuse darah sebelumnya.
Tanda : petekie, ekimosis.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan penurunan kapasitas
pembawa oksigen darah.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
e. Kurang pengetahuan pada keluarga tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Tujuan:
Menghilangkan mual dan muntah
Criteria standart:
Menunjukkan berat badan stabil
Intervensi keperawatan
1) Berikan nutrisi yang adekuat secara kualitas maupun kuantitas.
38


Rasional : mencukupi kebutuhan kalori setiap hari.
2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan yang sesuai dengan kalori.
3) Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan setiap hari.
Rasional : anoreksia dan kelemahan dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan
malnutrisi yang serius.
4) Lakukan konsultasi dengan ahli diet.
Rasional : sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien.
5) Libatkan keluarga pasien dalam perencanaan makan sesuai dengan indikasi.
Rasional : meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi pada keluarga untuk
memahami kebutuhan nutrisi pasien.

b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel.
Tujuan:
Tekanan darah normal.
Pangisian kapiler baik.
Kriteria standart:
Menunjukkan perbaikan perfusi yang dibuktikan dengan TTV stabil.
Intervensi keperawatan:
1) Awasi TTV, kaji pengisian kapiler.
Rasional : memberikan informasi tentang derajat/ keadekuatan perfusi jaringan dan
membantu menentukan kebutuhan intervensi.

2) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan
seluler.
3) Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangasang.
Rasional : dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia.
4) Awasi upaya parnafasan, auskultasi bunyi nafas.
Rasional : dispne karena regangan jantung lama / peningkatan kompensasi curah jantung.

39


c. Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan penurunan kapasitas
pembawa oksigen darah.
Tujuan:
Mengurangi distress pernafasan.
Criteria standart:
Mempertahankan pola pernafasan normal / efektif
Intervensi keperawatan:
1) Kaji / awasi frekuensi pernafasan, kedalaman dan irama.
Rasional : perubahan (seperti takipnea, dispnea, penggunaan otot aksesoris) dapat
menindikasikan berlanjutnya keterlibatan / pengaruh pernafasan yang membutuhkan upaya
intervensi.
2) Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman.
Rasional : memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernafasan dan menurunkan
resiko aspirasi.
3) Beri posisi dan Bantu ubah posisi secara periodic.
Rasional : meningkatkan areasi semua segmen paru dan mobilisasikan sekresi.
4) Bantu dengan teknik nafas dalam.
Rasional : membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan nafas kecil.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan:
Meningkatkan partisipasi dalam aktivitas.
Criteria standart:
Menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi keperawatan:
1) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas normal, catat laporan kelemahan,
keletihan.
Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi.
2) Awasi TD, nadi, pernafasan.
Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk emmbawa jumlah
oksigen ke jaringan.
3) Berikan lingkungan tenang.
Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.
4) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
40


Rasional : hipotensi postural / hipoksin serebral menyebabkan pusing, berdenyut dan
peningkatan resiko cedera.

e. Kurang pengetahuan pada keluarga tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
Tujuan:
Pemahaman dan penerimaan terhadap program pengobatan yang diresepkan.
Criteria standart:
Menyatakan pemahaman proses penyakit.
Faham akan prosedur dagnostik dan rencana pengobatan.
Intervensi keperawatan:
1) Berikan informasi tntang ITP. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada
tipe dan beratnya ITP.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan sehingga keluarga / pasien dapat membuat pilihan
yang tepat.
2) Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic.
Rasional : ketidak tahuan meningkatkan stress.
3) Jelaskan bahwa darah yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan
memperburuk ITP.
Rasional : merupakan kekwatiran yang tidak diungkapkan yang dapat memperkuat ansietas
pasien / keluarga.
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan sesuai dengan ITP dengan intervensi yang sudah ditetapkan (sesuai dengan
literature).
5. EVALUASI
Penilaian sesuai dengan criteria standart yang telah ditetapkan dengan perencanaan.







41


KOSEP DASAR IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI
KONSEP DASAR SISTEM IMUN
A. PENGERTIAN
Imunologi:
ilmu yang mempelajari proses-proses yang dipergunakan oleh hospes untuk
mempertahankan kestabilan dalam lingkungan internalnya bila dihadapkan pada benda asing
Sistim imun:
mekanisme yang dipergunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh
sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam
lingkungan hidup
Imunitas:
semua mekanisme fisiologis yang membantu untuk
o mengenal benda asing (self/non-self)
o menetralkan dan mengeliminasi benda asing
o memetabolisme benda asing tanpa menimbulkan kerusakan jaringan sendiri
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh
sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar,
sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel
kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya
melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang
menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh.Sistem kekebalan juga
memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah
dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
B. SEJARAH IMUNOLOGI
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi imunitas. Imunologi berasal dari
ilmu kedokteran dan penelitian awal akibat dari imunitas sampai penyakit. Sebutan imunitas
yang pertama kali diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM. Thucydides
mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya dapat mengobati penyakit
tanpa terkena penyakit sekali lagi. Observasi imunitas nantinya diteliti oleh Louis Pasteur
pada perkembangan vaksinasi dan teori penyakit kuman. Teori Pasteur merupakan
perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori penyakit miasma. Robert Koch
membuktikan teori ini pada tahun 1891, untuk itu ia diberikan hadiah nobel pada tahun 1905.
Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari penyakit infeksi.Virus
42


dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada tahun 1901 dengan penemuan virus demam
kuning oleh Walter Reed.
Imunologi membuat perkembangan hebat pada akhir abad ke-19 melalui
perkembangan cepat pada penelitian imunitas humoral dan imunitas selular. Paul Ehrlich
mengusulkan teori rantai-sisi yang menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi.
Kontribusinya pada pengertian imunitas humoral diakui dengan penghargaan hadiah nobel
pada tahun 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi selular, Elie
Metchnikoff.

SEJARAH IMUNOLOGI
Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons
tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo
Fracastoro mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi
terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu
lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu
itu belum dapat diidentifikasi.
1. Edwar Jenner
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari
infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox).
Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui
bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila
tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran.
Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan
mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru
dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan
dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit.
Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun
1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya
yang merupakan pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif
pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
2. Robert Koch
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis.
Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi
tuberkulin (1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman
43


tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk
mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan
diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh
Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan
kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat menginduksi kekebalan.
3. Alexander Yersin Dan Roux
Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring
dan Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah
pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam
pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari
berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang
diperoleh dari manusia.
4. Clemens von pirquet
Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian
serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick dari
Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal
berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang
dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan
Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan
menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan
sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan).
Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian toksin atau
antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi
imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fever, yaitu
penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan
antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910),
penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan
cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasarnya pada
waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan agar terbentuk
antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit alergi
terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme
44


yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking
antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji
gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914),
seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma anak dengan
telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga
bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick
juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman
difteri, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit
anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap
sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever,
asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi
diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat
bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe
ekstrinsik.Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi
kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu
mekanisme alergi yang tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan,
proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai
macam bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan,
terutama dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis
penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai
fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit
sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita
demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan
darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun
semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat dijabarkan dengan
istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius
dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin
gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis
diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan
IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut mempunyai
45


subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan
tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul imunoglobulin
yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berperan pada penyakit alergi, baru
ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan
kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi
sintesis IgE, dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
5. Metchnikoff
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak
saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya.
Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag
aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper
dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2
populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan
limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan
dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan
limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan
jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.
C. FUNGSI SISTEM IMUN
1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus,
serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh.
2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan jaringan.
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
4. Sasaran utama yaitu bakteri patogen dan virus.Leukosit merupakan sel imun utama
(disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).

D. RESPON IMUN
Tahap:
1. Deteksi dan mengenali benda asing
2. Komunikasi dengan sel lain untuk berespons
3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respons
4. Destruksi atau supresi penginvasi

46


E. JENIS-JENIS SISTEM IMUN
1. Sistem imun non spesifik ,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan)
Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut nonspesifik
karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Terdiri dari:
a. Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan mencegah masuknya
berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan
selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.


b. Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga,
spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara
biokimiawi.asam HCL dalam cairan lambung , lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan
air susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan
menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam
neuraminik yang mempunyai sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dan hal
tersebut diperkuat oleh komplemen.Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat
zan besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas.
c. Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh secara humoral. Bahan-
bahan tersebut adalah:

1) Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit karena:
a. Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri
b. Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat bakteri
c. Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri memudahkan
makrofag untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi).
2) Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang
mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus.Interveron
mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus
47


sehingga menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan
Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan
perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian
membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
3) Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk
oleh badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x
atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut.
CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena dengan bantuan Ca
++
dapat mengikat
berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
d. Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun non spesifik seluller.
1) Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang
berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag)
serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil.
Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.
Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.Kemotaksis
adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap berbagai factor sperti produk
bakteri dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen.Antibody seperti pada
halnya dengan komplemen C
3b
dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang
diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal
tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari immunoglobulin pada
permukaan fagosit.
2) Natural Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri
sel limfoid dari siitem imun spesifik, maka karenan itu disebut sel non B non T (sel NBNT)
atau sel poplasi ketiga.
Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan
interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK.
2. Sistem imun spesifik atau adaptasi
Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing.Benda asing yang pertama kali muncul
dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun tersebut. Bila sel
48


imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang
terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena
sistem tersebut hanya mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka
sistem itu disebut spesifik.
sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit
dan antara sel T makrofag.
Sistem imun spesifik ada 2 yaitu:
a. Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. sel B
tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel
tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat menbentuk zat
anti atau antibody. Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam serum.Funsi utama
antibody ini ialah untuk pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat
menetralkan toksinnya.
b. Sistem imun spesifik selular
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. sel
tersebut juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. factor timus yang disebut timosin
dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan
pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas
beberapa sel subset yang mempunyai fungsi berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah
untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan
keganasan.
Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
1) Alamiah
a) Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah putih yang disensitisasi dari
badan seorang yang imun ke orang lain yang imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum
dari ibu ke anak.
b) Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu mikoorgansme secara alamiah masuk kedalam
tubuh dan menimbulkan pembentukan antibody atau sel yang tersensitisasi.
2) Buatan
a) Pasif
49


Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum, antibody, antitoksin misalnya
pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan difesiensi imun atau pemberian sel yang
sudah disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.
b) Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui pemberian toksoid tetanus,
antigen mikro organism baik yang mati maupun yang hidup.

F. ANTIGEN DAN ANTIBODI
1. Antigen
a. Pengertian
Antigen molekul asing yang dapat menimbulkan respon imun spesifik dari limfosit pada
manusia dan hewan. Antigen meliputi molekul yang dimilki virus, bakteri, fungi, protozoa
dan cacing parasit. Molekul antigenic juga ditemukan pada permukaan zat-zat asing seperti
serbuk sari dan jaringan yang dicangkokkan. Sel B dan sel T terspesialisasi bagi jenis antigen
yang berlainan dan melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi
(Baratawidjaja 1991: 13; Campbell,dkk 2000: 77).
b. Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan
seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri.Sehingga dapat dikatakan antigen
merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi
antibodi.Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul
Iainnya.Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang bersifat
antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker,
dan racun.
c. Karakteristik
Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon imun adalah sebagai
berikut:
1) Asing (berbeda dari self )
Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik, jadi untuk
menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai nonself.
2) Ukuran molekul
Imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran besar. Molekul dengan
berat molekul kurang dari 10.000 kurang bersifat imunogenik dan yang berukuran sangat
kecil seperti asam amino tidak bersifat imunogenik.
50


3) Kompleksitas kimiawi dan struktural
Jumah tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya homopolimer asam amino
kurang bersifat munogenik dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dua atau
tiga asam amino yang berbeda.
4) Determinan antigenic (epitop)
Unit terkecil dari antigen kompleks yang dapat dikat antibody disebut dengan determinan
antigenic atau epitop. Antigen dapat mempunyai satu atau lebih determinan. Suatu
determinan mempunyai ukuran lima asam amino atau gula.
5) Tatanan genetic penjamu
Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara berbeda terhadap antigen
yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun.
6) Dosis, cara dan waktu pemberian antigen
Respon imun tergantung kepada banyaknya natigen yang diberikan, maka respon imun
tersebut dapat dioptmalkan dengan cara menentukan dosis antigen dengan cermat (termasuk
jumlah dosis), cara pemberian dan waktu pemberian (termasuk interval diantara dosis yang
diberikan).

d. Pembagian Antigen
1) Secara fungsional
a. Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa).
b. Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil.
2) Pembagian antigen menurut epitop
a. Unideterminan, univalent yaitu hanya satu jenis determinan atau epitop pada satu
molekul.
b. Unideterminan, multivalent yaitu hanya satu determinan tetapi dua atau lebih determian
tersebut ditemukan pada satu molekul.
c. Multideterminan, univalent yaitu banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu
dari setiap macamnya (kebanyakan protein).
d. Multideterminan, multivalent yaitu banyak macam determinan dan banyak dari setiap
macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara
kimiawi). (Baratawidjaja 1991: 14).
3) Pembagian antigen menurut spesifisitas
a) Heteroantigen, yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari spesies yang berbeda.
b) Xenoantigen yaitu antigen yang hanya dimiliki spesies tertentu.
51


c) Alloantigen (isoantigen) yaitu antigen yang spesifik untuk individu dalam satu spesies.
d) Antigen organ spesifik, yaitu antigen yang dimilki oleh organ yang sama dari spesies
yang berbeda.
e) Autoantigen, yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri (Baratawidjaja 1991: 14-
15: Sell : 910).
4) Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
a) T dependent yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B untuk dapat
menimbulkan respons antibodi. Sebagai contoh adalah antigen protein.
b) T independent yaitu antigen yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel Tuntuk
membentuk antibodi. Antigen tersebut berupa molekul besar polimerik yang dipecah di
dalam badan secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan, dan
flagelin polimerik bakteri.(Baratawidjaja 1991: 15).
5) Pembagian antigen menurut sifat kimiawi
a) Hidrat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya imunogenik. Glikoprotein dapat menimbulkan respon imun
terutama pembentukan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO,
mempunyai sifat antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida pada permukaan
sel darah merah.
b) Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier.
Lipid dianggap sebagai hapten, sebagai contoh adalah sphingolipid.
c) Asam nukleat
Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier.
DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respon imun terhadap DNA
terjadi pada penderita dengan SLE.
d) Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umunya multideterminan univalent.
(Baratawidjaja 1991: 15)

e. Reaksi Antigen dan Antibodi
Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa masuk
ke dalam tubuh.Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada protein
tubuh kita yang dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari barier
52


respon non spesifik (eksternal maupun internal), kemudian substansi tersebut masuk dan
berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B menghasilkan molekul
immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada membran plasma untuk berfungsi sebagai
reseptor antigen.Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam
membrannya molekul immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk
antigen itu. Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama.
Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder yang
segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10 sampai 100 kali
kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya bereaksi dengan antibodi
disebut antigenisitas.Kesanggupan molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut
imunogenitas.
Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
1) Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada
situs identik yang kecil, bernama epitop.
2) Sekunder

Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
a) Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect
yang merugikan.Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat
kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
b) Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok
berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
c) Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak
dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
d) Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor
fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen
tersebut.
53


e) Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen
oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K
mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses
lisis membran plasmanya.

3) Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi
yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.

2. Antibodi
a. Pengertian
Antibodi adalah protein immunoglobulin yang disekresi oleh sel B yang teraktifasi oleh
antigen.Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan
sel-sel asing yang masuk ke tubuh manusia.Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok
prajurit pejuang dalam sistem kekebalan. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh
penyerbu.
b. Fungsi
Untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen.
Membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.
c. Sifat Antibodi
Antibodi mempunyai sifat yang sangat luar biasa, karena untuk membuat antibodi spesifik
untuk masing-masing musuh merupakan proses yang luar biasa, dan pantas dicermati. Proses
ini dapat terwujud hanya jika sel-sel B mengenal struktur musuhnya dengan baik. Dan, di
alam ini terdapat jutaan musuh (antigen).Dia mengetahui polanya berdasarkan perasaan. Sulit
bagi seseorang untuk mengingat pola kunci, walau cuma satu, Akan tetapi, satu sel B yang
sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata, menyimpan jutaan bit informasi dalam
memorinya, dan dengan sadar menggunakannya dalam kombinasi yang tepat.

d. Proses Pembentukan Antibodi
1. Antibodi terbentuk secara alami di dalam tubuh manusia dimana substansi tersebut
diwariskan dari ibu ke janinnya melalui inntraplasenta. Antibody yang dihasilkan pada bayi
54


yang baru lahir titier masih sangat rendah, dan nanti antibody tersebut berkembang seiring
perkembangan seseorang.
2. Pembentukan antibody karena keterpaparan dengan antigen yang menghasilkan reaksi
imunitas, dimana prosesnya adalah:
Misalnya bakteri salmonella. Saat antigen (bakteri salmonella) masuk ke dalam tubuh, maka
tubuh akan meresponnya karena itu dianggab sebagai benda asing. karena bakteri ini sifatnya
interseluler maka dia tidak sanggup untuk di hancurkan dalam makrofag karena bakteri ini
juga memproduksi toksinsebagai pertahanan tubuh. Oleh karena itu makrofag juga
memproduksi APC yang berfungsi mempresentasikan antigen terhadap limfosit.agar respon
imun berlangsung dengan baik.Ada dua limfosit yaitu limfosit B dan limfosit T.

e. Klasifikasi Antibodi
1) IgG (Imuno globulin G)
IgG merupakan antibodi yang paling umum. Dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari, ia
memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. IgG beredar
dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Mereka
mengikuti aliran darah, langsung menuju musuh dan menghambatnya begitu
terdeteksi.Mereka mempunyai efek kuat anti-bakteri dan penghancur antigen.Mereka
melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam
racun.
Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta musuh
mikroorganis yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit.Karena kemampuannya serta ukurannya
yang kecil, mereka dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari
kemungkinan infeksi. Jika antibodi tidak diciptakan dengan karakteristik yang
memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam plasenta, maka janin dalam rahim tidak akan
terlindungi melawan mikroba. Hal ini dapat menyebabkan kematian sebelum lahir. Karena
itu, antibodi sang ibu akan melindungi embrio dari musuh sampai anak itu lahir.
2) IgA (Imuno globulin A)
Antibodi ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan antigen seperti air mata, air
liur, ASI, darah, kantong-kantong udara, lendir, getah lambung, dan sekresi usus.Kepekaan
daerah tersebut berhubungan langsung dengan kecenderungan bakteri dan virus yang lebih
menyukai media lembap seperti itu. Secara struktur, IgA mirip satu sama lain. Mereka
mendiami bagian tubuh yang paling mungkin dimasuki mikroba.Mereka menjaga daerah itu
55


dalam pengawasannya layaknya tentara andal yang ditempatkan untuk melindungi daerah
kritis.
Antibodi ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat dalam kandungan. Setelah
kelahiran, mereka tidak akan meninggalkan sang bayi, melainkan tetap melindunginya. Setiap
bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan ibunya, karena IgA tidak terdapat dalam
organisme bayi yang baru lahir. Selama periode ini, IgA yang terdapat dalam ASI akan
melindungi sistem pencernaan bayi terhadap mikroba. Seperti IgG, jenis antibodi ini juga
akan hilang setelah mereka melaksanakan semua tugasnya, pada saat bayi telah berumur
beberapa minggu.
3) IgM (Imuno globulin M)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Pada saat
organisme tubuh manusia bertemu dengan antigen, IgM merupakan antibodi pertama yang
dihasilkan tubuh untuk melawan musuh.Janin dalam rahim mampu memproduksi IgM pada
umur kehamilan enam bulan. Jika musuh menyerang janin, jika janin terinfeksi kuman
penyakit, produksi IgM janin akan meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah
terinfeksi atau tidak, dapat diketahui dari kadar IgM dalam darah.
4) IgD (Imuno globulin D)
IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Mereka tidak
mampu untuk bertindak sendiri-sendiri. Dengan menempelkan dirinya pada permukaan sel-
sel T, mereka membantu sel T menangkap antigen.
5) IgE (Imuno globulin E)
IgE merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah.Antibodi ini bertanggung jawab
untuk memanggil para prajurit tempur dan sel darah lainnya untuk berperang.Antibodi ini
kadang juga menimbulkan reaksi alergi pada tubuh. Karena itu, kadar IgE tinggi pada tubuh
orang yang sedang mengalami alergi.

G. SISTEM KOMPLEMEN
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang
satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi
darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang
tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi
sistem komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi
biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen
tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan
56


bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila
aktivasi komplemen akibat endapan kompleks antigen-antibodi pada jaringan berlangsung
terus-menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh sel
fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis
oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit mononuklear
terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi. Sebagian dari komponen
protein komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8
dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya.

H. SEL-SEL SISTEM IMUN
1. Sel-Sel Sistem Imun Nonspesifik
Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen pencetus pernah atau
belum pernah dijumpai.Reaksinya pun tidak perlu diaktivasi terlebih dahulu seperti pada
sistem imun spesifik.Lebih jauh lagi respon imun non spesifik merupakan lini pertama
pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam.Sel-sel yang berperan dalamnsistem
imun nonspesifik adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator.

a. Sel Fagosit
Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan fagosit polimorfonuklear.Fagosit
mononuclear terdiri dari sel monosit dan sel makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear
terdiri dari neutrofil dan eusinofil.
1) Sel Monosit dan Sel Makrofag
Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %. Monosit bersirkulasi dalam darah
hanya selama beberapa jam, kemudian bermigrasi ke dalam jaringan, dan berkembang
menjadi makrofaga (macrophage) besar (pemangsa besar). Makrofaga jaringan, yang
merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah fagosit yang sangat efektif dan berumur
panjang.Sel-sel ini menjulurkan kaki semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel
ke polisakarida pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum kemudian
dirusak oleh enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu.
Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara yang lain tetap tinggal secara
permanen dalam jaringan tertentu: dalam paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel
Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak (sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan pada
limpa, nodus limfa, serta jaringan limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba, dan molekul
57


asing yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka terjerat dalam bangun
limpa yang mirip dengan jarring, sementara yang berada dalam cairan jaringan mengalir ke
dalam limfa dan disaring melalui nodus limfa.
Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk menghindari perusakan
oleh sel fagositik.Beberapa bakteri mempunyai kapsul bagian luar yang tidak dapat ditempeli
makrofaga.Contoh bakteri tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, yang bersifat resisten
terhadap perusakan oleh lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam makrofaga.
2) Sel Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal myeloid dalam sumsum
tulang.Jumlahnya sekitar 60-70% dari semua sel darah putih (leukosit).Neutrofil adalah
fagosit pertama yang tiba, diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga
besar dan aktif.Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal
kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki
jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada disana. (Migrasi
menuju sumber zat kimia yang mengundang ini disebut kemotaksis).Di dalam neutrofil
terdapat enzim lisozim dan laktoferin untuk menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya
yang telah difagositosis.Setelah memfagositosis 5-20 bakteri, neutrofil mati dengan
melepaskan zat-zat limfokin yang mengaktifasi makrofag. Biasanya, neutrofil hanya berada
dalam sirkulasi kurang dari 48 jam karena neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika
mereka merusak penyerang asing.
3) Sel Eusinofil
Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari sel bakal myeloid.Ukuran sel ini
sedikit lebih besar daripada neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit.Eosinofil berjumlah
2-5% dari sel darah putih.Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah dikaitkan dengan keadaan-
keadaan alergi dan infeksi parasit internal (contoh, cacing darah atau Schistosoma mansoni).
Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk dapat difagositosis oleh eosinofil atau oleh
sel fagositik lain, namun eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit melalui molekul
permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh banyak parasit.
Selain itu, eosinofil juga memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan
yang memiliki reaksi alergi.Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor kemotaktik yang
dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan
yang meradang. Sel fagosit terutama makrofag dan neutrofil; memiliki peran besar dalam
proses peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel fagosit juga berinteraksi dengan
komplemen dan sistem imun spesifik lainnya.
58


b. Sel Nol
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak mengandung petanda
seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh karena itu disebut sel nol. Sel ini beredar dalam
pembuluh darah sebagai limfosit besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang
memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperi sel tumor dan sel yang
terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen
intraseluler.Sel jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang ini juga
tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10 % 20 % bagian dari limfosit
perifer.Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan limfosit T.
c. Sel Mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast, dan trombosit.Sel tersebut disebut
sebagai mediator dikarenakan melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam sistem
imun.
1) Sel basofil dan sel mast
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan diduga juga dapat berfungsi
sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural dan fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak
pernah beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Awalnya sel
basofil dianggap berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi para
peneliti membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal
dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat.Ada dua macam sel mast yaitu terbanyak sel
mast jaringan dan sel mast mukosa.Yang pertama ditemukan di sekitar pembuluh darah dan
mengandung sejumlah heparin dan histamine.Sel mast yang kedua ditemukan di slauran cerna
dan napas.Proliferasinya dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit.Baik sel
basofil maupun sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat diaktifkan oleh
alergen spesifik yang berkaitan dengan antibodi IgE.Kemudian bila terdapat alergen spesifik
berikutnya yang bereaksi dengan antibodi, maka perlekatan keduanya menyebabkan sel mast
atau basofil rupture dan melepaskan banyak sekali histamin, bradikinin, serotonin, heparin,
substansi anafilaksis yang bereaksi lambat, dan sejumlah enzim lisosomal.Bahan-bahan inilah
yang menyebabkan manifestasi alergi.Selain itu keduanya pun dapat membentuk dan
menyimpan heparin dan histamin.
2) Trombosit
Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit besar di sumsum tulang
belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan daerah yang meradang, dimana apabila
terpajan ke tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera maka fibrinogen, yang telah
59


diaktifkan melalui proses berjenjang yang melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor
pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin inilah yang membentuk bekuan cairan
interstitiumdi ruang-ruang di sekitar bakteri dan sel yang rusak.
2. Sel-sel Sistem Imun Spesifik
a. Sel T
1) Karakteristik Sel T
a. Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel sel ini harus berkontak langsung dengan sasaran
suatu proses yang dikenal sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immunity, imunitas seluler).
b. Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran plasmanya, setiap Sel T
memiliki protein-protein reseptor unik.
c. Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu
sel yang juga membawa penanda identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen
asing maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti
keduanya.
d. Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T efektor. Sebagian kecil tetap
dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat
dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh.
e. Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam kombinasi dengan
antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T
berikutnya.
f. Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu sebelum sel T teraktivasi
besiap untuk melancarkan serangan imun seluler.
2) Subpopulasi sel T
Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel klon sel T komplementer
berproliferisai dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T
teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler.Terdapat tiga subpopulasi
sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen.
a) Sel Tc (cytotocic)
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh
yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.
b) Sel Th (helper)
Berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik
dan sel T penekan (supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.
60


c) Sel Ts (supperssor)
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T sitotoksik dan
penolong.Sebagian besar dati milyaran Sel T diperkirakan tergolong dalam subpopulasi
penolong dan penekan, yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen secara
imunologik.Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi
aktivitas sel B dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
d) Sel Tdh (delayed hypersensitivity)
Merupakan sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ketempat
terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat.Dalam fungsinya, sel Tdh sebenarnya
menyerupai sel Th.
e) Limfokin
Dalam biakan sel limfosit T dapat ditemukan berbagai bahan yang mempunyai efek
biologic.Bahan-bahan tersebut disebut limfokin dan dilepas sel T yang disensitisasi. Beberapa
jenis limfokin yaitu: interleukin, interferon, factor supresor, factor penolong , dan sebagainya.
b. Sel B
Sel B merupakan 5-15 % dari jumlah seluruh limfosit dalam sirkulasi.Fungsi utamanya ialah
memproduksi antibodi.Sel B ditandai dengan adanya immunoglobulin yang dibentuk didalam
sel dan kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang selanjutnya
berfungsi sebagai reseptor antigen.Kebanyakan sel perifer mengandung IgM dan IgD dan
hanya beberapa sel yang mengandung IgG, IgA, dan IgE, pada permukaannya.Sel B dengan
IgA banyak ditemukan dalam usus.Antibody permukaan tersebut dapat ditemukan dengan
teknik imunofluoresen.

I. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung
pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini,
akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I
hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat).Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V
atau stimulatory hipersensitivity.Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs
adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit.Dalam keadaan
61


sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu
mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan
terpajan dengan alergen.Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan
terhadap parasit tertentu terutama cacing.Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von
Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini
allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig
E.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
a. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan sel mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya
yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas
mastosit dengan aktivasi farmakologik.
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil.
IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi
dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam
kulit atau sirkulasi orang normal.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.Reaksi ini dimulai dengan
antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen
atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.Kemudian
kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.Mungkin terjadi
sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid.Contoh reaksi tipe II ini adalah
distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
62


b. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
c. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan
komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik
yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular
yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim
pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis
alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai
dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi
tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen
yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami
transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi
allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll).Protein atau bahan kimia
yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai
carrier.Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di
permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau
virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel
target).Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis).


63






















SEJARAH HEMATOLOGI

Hematologi juga dieja, adalah cabang kedokteran internal, fisiologi, patologi,
pekerjaan laboratorium klinis, dan pediatri yang berkaitan dengan studi darah, darah-
membentuk organ, dan penyakit darah. Hematologi mencakup studi etiologi, diagnosis,
prognosis pengobatan, dan pencegahan penyakit darah. Pekerjaan laboratology yang masuk
ke studi tentang darah sering dilakukan oleh teknolog medis. Darah dokter juga sangat sering
melakukan studi lebih lanjut dalam onkologi - pengobatan medis kanker.
Darah penyakit''''mempengaruhi produksi darah dan komponen-komponennya, seperti sel
darah, hemoglobin, protein darah, mekanisme koagulasi, dll
Dokter khusus dalam hematologi dikenal sebagai Darah. Pekerjaan rutin mereka terutama
mencakup perawatan dan pengobatan pasien dengan penyakit hematologi, meskipun beberapa
juga dapat bekerja di laboratorium hematologi melihat film slide darah dan sumsum tulang di
bawah mikroskop, menafsirkan berbagai hasil tes hematologi.
64


Di beberapa institusi, Darah juga mengelola laboratorium hematologi. Dokter yang bekerja di
laboratorium hematologi, dan paling sering mengatur mereka, yang patolog spesialis dalam
diagnosis penyakit hematologi, disebut sebagai hematopathologists. Darah dan
hematopathologists umumnya bekerja bersama untuk merumuskan diagnosis dan
memberikan terapi yang paling tepat jika diperlukan. Hematologi adalah subspesialisasi
kedokteran internal yang berbeda, terpisah dari tetapi tumpang tindih dengan subspesialisasi
onkologi medis.


Darah dapat mengkhususkan diri lebih lanjut atau memiliki kepentingan khusus, misalnya
dalam:
mengobati gangguan perdarahan seperti hemofilia dan idiopatik purpura
thrombocytopenic
mengobati malignacies hematologi seperti limfoma dan leukemia
mengobati hemoglobinopathies
dalam ilmu transfusi darah dan pekerjaan dari bank darah
dalam sumsum tulang dan transplantasi sel induk
(Hematologi berasal dari kata Yunani (''Haima'') yang berarti "darah" dan
(''logo''), akar yang biasa digunakan untuk menunjukkan suatu bidang studi.)
Fungsi Darah
1. Transportasi (sari makanan, oksigen, karbondioksida, sampah dan air)
2. Termoregulasi (pengatur suhu tubuh)
3. Imunologi (mengandung antibodi tubuh)
4. Homeostasis (mengatur keseimbangan zat, pH regulator)

Eritrosit (Sel Darah Merah)
Merupakan bagian utama dari sel darah. Jumlah pada pria dewasa sekitar 5 juta sel/cc
darah dan pada wanita sekitar 4 juta sel/cc darah. Berbentuk Bikonkaf, warna merah
disebabkan oleh Hemoglobin (Hb) fungsinya adalah untuk mengikat Oksigen. Kadar 1 Hb
inilah yang dijadikan patokan dalain menentukan penyakit Anemia.
Eritrosit berusia sekitar 120 hari. Sel yang telah tua dihancurkan di Limpa 4.
Hemoglobin dirombak kemudian dijadikan pigmen Bilirubin (pigmen empedu).

65





Lekosit (Sel Darah Putih)
Jumlah sel pada orang dewasa berkisar antara 6000 9000 sel/cc darah. Fungsi utama
dari sel tersebut adalah untuk Fagosit (pemakan) bibit penyakit/ benda asing yang masuk ke
dalam tubuh. Maka jumlah sel tersebut bergantung dari bibit penyakit/benda asing yang
masuk tubuh.

Peningkatan jumlah lekosit merupakan petunjuk adanya infeksi misalnya radang paru-paru.
Lekopeni : Berkurangnya jumlah lekosit sampai di bawah 6000 sel/cc darah.
Lekositosis : Bertambahnya jumlah lekosit melebihi normal (di atas 9000 sel/cc darah).
Jenis Lekosit
1. Granulosit : Lekosit yang di dalam sitoplasmanya memiliki butir-butir kasar (granula).
Jenisnya adalah eosinofil, basofil dan netrofil.
2. Agranulosit : Lekosit yang sitoplasmanya tidak memiliki granola. Jenisnya adalah
limfosit dan monosit.
3. Eosinofil : mengandung granola berwama merah (Warna Eosin) disebut juga Asidofil.
Berfungsi pada reaksi alergi (terutama infeksi cacing).
4. Basofil : mengandung granula berwarna biru (Warna Basa). Berfungsi pada reaksi
alergi.
5. Netrofil : (ada dua jenis sel yaitu Netrofil Batang dan Netrofil Segmen). Disebut juga
sebagai sel-sel PMN (Poly Morpho Nuclear). Berfungsi sebagai fagosit.
6. Limfosit : (ada dua jenis sel yaitu sel T dan sel B). Keduanya berfungsi untuk
menyelenggarakan imunitas (kekebalan) tubuh.
7. sel T4 : imunitas seluler sel B4 imunitas humoral
8. Monosit : merupakan lekosit dengan ukuran paling besar

Trombosit (KEPING DARAH)
Disebut pula sel darah pembeku. Jumlah sel pada orang dewasa sekitar 200.000
500.000 sel/cc. Di dalam trombosit terdapat banyak sekali faktor pembeku (Hemostasis)
antara lain adalah Faktor VIII (Anti Haemophilic Factor) Jika seseorang secara genetis
trombositnya tidak mengandung faktor tersebut, maka orang tersebut menderita Hemofili.

66


Plasma Darah
Terdiri dari air dan protein darah Albumin, Globulin dan Fibrinogen. Cairan yang tidak
mengandung unsur fibrinogen disebut Serum Darah.
Protein dalam serum inilah yang bertindak sebagai Antibodi terhadap adanya benda asing
(Antigen).
Zat antibodi adalah senyawa Gama : Globulin.
Tiap antibodi bersifat spesifik terhadap antigen dan reaksinya bermacam-macam:
1. Antibodi yang dapat menggumpalkan antigen Presipitin.
2. Antibodi yang dapat menguraikan antigen Lisin.
3. Antibodi yang dapat menawarkan racun Antitoksin.
Contohnya adalah sifat golongan darah (Blood Groups). Yang umum adalah penentuan cara
ABO (ABO System) oleh Landsteiner.
Donor Universal adalah golongan darah yang dapat memberikan darahnya pada semua jenis
golongan darah yang lain Golongan Darah O.
Resipien Universal adalah golongan darah yang dapat memberikan darah dari semua jcnis
golongan darah yang lain Golongan Darah AB.
Sistem golongan darah yang lain adalah Sistem Rhesus yang dikemukakan oleh Landsteiner.
Nama Rhesus diambil dari sejenis kera Macacca rhesus (di India). Prinsipnya adalah
terdapatnya antibodi terhadap antigen D (anti-D).
Sistem rhesus mengenal dua jenis golongan darah yaitu:
1. Rhesus POSITIF
2. Rhesus NEGATIF (diturunkan secara genetis, Rh+ dominan terhadap Rh-)
Eritroblastosis Foetalis adalah kelainan pada bayi di mana telah terjadi ketidaksesuaian faktor
rhesus (bayi Rh + dan ibu Rh -). Gejala penyakit ini adalah Ikterik : ditemukan oleh Levine.
Pertolongan pada bayi tersebut adalah dengan cara Transfusi Eksanguinasi (Exchange
Transfussion).

Anda mungkin juga menyukai