Anda di halaman 1dari 8

Oleh: Ahmad Faiz Siham

alam istilah dunia keuangan, obligasi merupakan suatu pernyataan utang dari
penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali
pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo
pembayaran. Mirip dengan pengertian sebelumnya, menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2011, obligasi merupakan surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan. Dari pernyataan tersebut, muncul pertanyaan di benak kita, kenapa
hal ini dilakukan oleh suatu perusahaan? Tak lain dan tak bukan yaitu untuk mendapatkan dana dari
luar perusahaan untuk digunakan dalam investasi maupun pendanaan jangka panjang bagi
perusahaan. Tapi mengapa juga ada yang mau mendanai perusahaan lain?
Seperti yang telah dijelaskan pada pengertian di atas, hal ini
karena dalam pelunasan obligasi, memberikan pendapatan tetap
(fixed income), dalam hal ini berupa kupon. Hal ini merupakan ciri
utama obligasi, dimana pemegang obligasi akan mendapatkan
pendapatan bunga secara rutin selama waktu berlakunya obligasi.
Selain itu, mendapat keuntungan atas penjualan obligasi (capital
gain). Di samping penghasilan berupa kupon, pemegang obligasi
dapat memperjualbelikan obligasi yang dimilikinya. Jika ia menjual
lebih tinggi dibandingkan dengan harga belinya maka tentu saja
pemegang obligasi tersebut mendapatkan selisih yang disebut
dengan capital gain. Jual beli obligasi tersebut dapat dilakukan di
pasar sekunder melalui para dealer atau pialang obligasi. Jual beli obligasi berbeda dengan jual beli
saham. Jika jual beli saham dinyatakan dengan nilai rupiah, misalnya saham A dijual seharga Rp
4.000,00 per lembar saham, maka jual beli obligasi dinyatakan dalam bentuk persentase atas harga
pokok obligasi. Di samping beberapa hal tersebut, secara tidak langsung telah menciptakan dan
menjamin hubungan-hubungan operasi yang diperlukan di antara perusahaan-perusahaan untuk
meningkatkan penerimaan laba. Jadi kedua pihak, baik penerbit maupun pemegang obligasi, saling
diuntungkan.
Sedangkan pengertian pajak yaitu kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dari pengertian tersebut, dapat dipastikan bahwa membayar pajak itu adalah wajib
hukumnya bagi orang pribadi atau warga negara, baik itu yang kaya maupun yang miskin, yang tua
maupun yang muda, laki-laki maupun perempuan. Maupun badan usaha atau lebih sering dikenal
dengan perusahaan.
Bagi perusahaan, masalah perpajakan termasuk salah satu
bagian penting dalam laporan laba rugi. Pajak perusahaan yang
sudah pasti adalah pajak penghasilan. Sedangkan terdapat
perusahaan-perusahaan tertentu yang dikenakan pajak lain,
misalnya pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang
mewah, pajak kendaraan bermotor, pajak ekspor, dan lain
D
sebagainya. Tapi pajak secara keseluruhan yang dibayarkan dimasukkan dalam kategori beban
karena pajak tersebut mengurangi laba perusahaan. Sehingga dalam pencatatannya, pajak
penghasilan dimasukkan ke dalam akun beban pajak penghasilan.
90.000.000
30.000.000
60.000.000
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan yang Ditangguhkan

Nah, kembali mengungkit masalah obligasi. Sebagai utang jangka panjang, obligasi berperan
sangat penting dalam roda perekonomian suatu perusahaan, karena dengan penerbitan obligasi ini
maka dimungkinkan bagi perusahaan penerbit obligasi (emiten) guna memperoleh pembiayaan
investasi jangka panjangnya dengan sumber dana dari luar perusahaan. Sehingga perusahaannya
tetap exist dan roda perekonomiannya terus berjalan dengan baik. Hal ini juga membantu
perusahaan dalam mencapai tujuan dalam mendapatkan laba.
Lalu, bagaimana peran serta obligasi dalam sistem perpajakan?
Perlu diketahui bahwa obligasi juga dikenakan pajak. Tepatnya obligasi yang diperdagangkan
di pasar modal yang tercatat di bursa efek. Obligasi berjangka, obligasi serial, obligasi terdaftar,
obligasi konvertibel, obligasi ritel dan lain sebagainya, semua itu tidak luput dari pengenaan pajak.
Hal ini berarti semua jenis obligasi dikenai pajak, baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun
swasta, karena obligasi termasuk dalam objek pajak. Walaupun begitu, pajak untuk obligasi ini hanya
dikenakan atas bunga dan/atau diskonto pada obligasi.
Bunga kupon (coupon rate) yaitu tingkat bunga yang akan dibayarkan kepada pemegang
obligasi secara periodik. Tingkat bunga yang diberikan dapat tetap (bunga yang dibayarkan kepada
pemegang obligasi adalah tetap setiap tahun) atau tingkat bunga mengambang (bunga yang
dibayarkan akan disesuaikan secara periodik).
Sedangkan diskonto, juga dikenal istilah disagio, yaitu selisih antara nilai obligasi (yang lebih
tinggi) dibandingkan dengan harga jualnya. Hal ini terjadi apabila tingkat bunga yang berlaku di pasar
lebih tinggi daripada tingkat bunga kupon, maka harga jual obligasi akan lebih rendah daripada nilai
nominalnya. Sebaliknya, apabila tingkat bunga yang berlaku di pasar lebih rendah daripada tingkat
bunga kupon, obligasi dapat dijual dengan harga di atas nilai nominalnya. Selisih harga jual dengan
nilai nominal disebut premium (agio). Untuk menggambarkan masalah diskonto dan premium, suatu
obligasi bernilai nominal Rp100.000,00 per lembar dijual dengan Rp105.000,00, maka premium yang
diperoleh adalah Rp5.000,00. Sebaliknya, bila hanya laku dijual dengan harga Rp97.000,00, maka
diskontonya sebesar Rp3.000,00.
Pajak ini termasuk dalam kategori pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, yaitu penghasilan yang dikenai pajak bersifat final. Artinya pajak untuk
obligasi ini tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian di dalam jurnal perusahaan tidak terdapat akun
khusus untuk pajak penghasilan atas bunga obligasi dikarenakan hal tersebut.
Dalam menghitung jumlah pajak yang dikenakan atas bunga obligasi, terdapat caranya
tersendiri. Tata cara penghitungan pajak atas bunga obligasi telah dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011. Untuk lebih memudahkan dalam memahami isi
peraturan, peraturan disajikan dalam bentuk tabel. Berikut adalah tata caranya.
Pemotong Objek pemotongan Saat pemotongan Tarif
Penerbit obligasi atau
custodian selaku agen
pembayaran yang
ditunjuk
Bunga dan/atau
diskonto yang
diterima pemegang
obligasi dengan kupon
Jatuh tempo bunga
obligasi
Jika penerima obligasi
adalah:
WPDN/BUT = 15%
WPLN (selain BUT)
= 20% atau sesuai
dengan Tax Treaty

Diskonto yang diterima
pemegang obligasi
tanpa bunga
Jatuh tempo obligasi
Perusahaan efek,
dealer, atau bank
selaku pedagang
perantara dan/atau
pembeli
Bunga dan diskonto
yang diterima penjual
obligasi
Saat transaksi
Perusahaan efek,
dealer, bank, dana
pensiun, dan
reksadana, selaku
pembeli obligasi
langsung tanpa melalui
perantara
Bunga dan/atau
diskonto obligasi yang
diterima atau
diperoleh penjual
obligasi.

Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang
diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan
Tarif
2014 s.d. 2020 2020 dst.
5% 10%

Berikut penjelasan yang diperlukan dalam memahami tabel di atas:
Bunga : jumlah bruto bunga sesuai dengan masa
kepemilikan (holding period) obligasi
Diskonto: selisih lebih harga jual atau nilai nominal di
atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga
berjalan
WPDN : Wajib Pajak Dalam Negeri
WPLN : Wajib Pajak Luar Negeri
BUT : Badan Usaha Tetap
Tax Treaty : Perjanjian Pajak secara Internasional
atau biasa juga disebut Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B)
Kustodian : lembaga yang bertanggung jawab untuk mengamankan aset keuangan dari
suatu perusahaan ataupun perorangan
Reksadana : wadah untuk modal bagi para investor untuk berinvestasi dalam instrumen-
instrumen investasi yang tersedia di Pasar dengan cara membeli unit penyertaan reksadana
Tambahan dalam PMK-85/PMK.03/2011 yang berlaku sejak 23 Mei 2011:
Kondisi Transaksi Pemotong
Pihak yang
dipotong
Saat pemotongan
Penjualan obligasi
secara langsung
tanpa perantara
kepada pihak
selain pemotong
Jika ada
pencatatan
mutasi
kepemilikan
obligasi
Kustodian atau
sub-registry
(selaku pihak
yang mencatat
mutasi hak
kepemilikan
obligasi)
Penjual
obligasi
Sebelum mutasi hak
kepemilikan dilakukan
Jika penjualan
obligasi hanya
atas unjuk (tidak
memerlukan
pencatatan
mutasi hak
kepemilikan
obligasi)
Penerbit obligasi
(emiten) atau
kustodian yang
ditunjuk sebagai
agen pembayaran
Pembeli/
pemegang
obligasi
untuk bunga: saat jatuh
tempo bunga, dihitung
berdasarkan masa
kepemilikan penuh
sejak tanggal jatuh
tempo bunga berakhir.
untuk diskonto: saat
jatuh tempo obligasi,
dihitung berdasarkan
masa kepemilikan
penuh sejak tanggal
penerbitan perdana
obligasi.
Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual obligasi atas unjuk adalah pihak yang tidak
diberlakukan pemotongan PPh atau pihak lain yang telah dikenakan pemotongan PPh, pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final atas bunga pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada
saat jatuh tempo obligasi, dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh dikurangi dengan masa
kepemilikan penjual obligasi tersebut.
Bunga obligasi yang tidak dikenai pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), yaitu apabila penerima
penghasilan berupa bunga obligasi adalah:
1. WP dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh
(penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan KMK).
2. WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Untuk lebih memahami bagaimana cara perhitungan pajak atas bunga obligasi, akan disajikan
beberapa contoh berikut ini.
1. Pada tanggal 1 Juli 2013, PT. ABC (emiten) menerbitkan obligasi dengan kupon (interest
bearing bond) sebagai berikut:
a. Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar
b. Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2018)
c. Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal
30 Juni dan 31 Desember
d. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI)
PT. XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar obligasi dengan harga
di bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp9.000.000,00 per lembar.
Penghitungan bunga dan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh final) yang terutang oleh
PT. XYZ pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2013 adalah sebagai berikut:
Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00
PPh final = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00
dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran
(cash settlement).
Keterangan :
Dalam kenyataannya, harga perolehan obligasi dengan kupon (interest bearing bond) pada saat
penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai nominalnya. Pembeli bisa memperoleh
obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at premium).
Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas nilai nominal tersebut merupakan
penyesuaian tingkat bunga obligasi yang diperhitungkan ke dalam harga perolehan.

Apabila dalam contoh di atas investor atau pembeli obligasi adalah Wajib Pajak Reksadana
maka penghitungan PPh final atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal 31
Desember 2013 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00
PPh final = 5% x Rp8.000.000,00 = Rp400.000,00
2. Pada tanggal 31 Maret 2012, PT. XYZ menjual seluruh obligasi yang dimilikinya kepada PT.
PQR melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas di over the counter (OTC), dengan harga
jual Rp10.400.000,00 per lembar termasuk bunga berjalan.

Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. XYZ pada saat
penjualan obligasi tanggal 31 Maret 2012 adalah sebagai berikut:

Bunga berjalan = (3/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp4.000.000,00
Diskonto = [(Rp10.400.000,00 - Rp400.000,00) - Rp9.000.000,00] x 10
= Rp10.000.000,00

Karena dikenakan PPh final dengan tarif yang sama, bunga berjalan dan diskonto dapat
dihitung sekaligus, yaitu:
Bunga berjalan dan diskonto = (Rp10.400.000,00 - Rp9.000.000,00) x 10
= 14.000.000,00
PPh final = 15% x Rp14.000.000,00 = Rp2.100.000,00
dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku perantara
Keterangan:
PT. PQR memiliki obligasi yang dibelinya dari PT. XYZ tersebut hingga tanggal 31 Desember 2014.
Maka pada setiap tanggal jatuh tempo bunga selama masa kepemilikan obligasi tersebut, PT. PQR
terutang PPh final sebesar 15% atas bunga yang diterima atau diperolehnya (lihat contoh 1) yang
dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
3. Pada tanggal 31 Desember 2014, PT. PQR setelah menerima bunga dari emiten menjual
seluruh obligasi yang dimilikinya kepada PT. CDE melalui Bank Pundi Nasional selaku
perantara dengan harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.
Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. PQR pada saat jatuh
tempo bunga atau saat penjualan obligasi tanggal 31 Desember 2014 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00
PPh final atas bunga = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00
dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran
Diskonto = (Rp10.500.000,00 - Rp10.000.000,00) x 10 = Rp5.000.000,00
PPh final atas diskonto = 15% x Rp5.000.000,00 = Rp750.000,00
dipotong oleh Bank Pundi Nasional selaku perantara.

Keterangan :
Pengertian diskonto dalam peraturan ini tidak hanya terbatas pada realisasi selisih harga perolehan
perdana di bawah (at discount) nilai nominal obligasi, melainkan mencakup selisih lebih harga jual di
atas harga perolehan obligasi.

4. Pada tanggal 31 Mei 2016, PT. CDE menjual seluruh obligasi yang dimilikinya kepada Dana
Pensiun Sejahtera Mandiri (telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa
melalui perantara dengan harga jual Rp10.666.667,00 per lembar termasuk bunga.

Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT. CDE pada saat
penjualan obligasi tanggal 31 Mei 2016 adalah sebagai berikut:
Bunga berjalan = (5/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp6.666.670,00
Diskonto = [(Rp10.666.667,00 - Rp666.667,00) - Rp10.500.000,00] x 10
= (Rp5.000.000,00)
diskonto negatif atau rugi.
Perolehan diskonto negatif atau rugi tidak dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga
berjalan. PPh terutang yang bersifat final karena penjualan obligasi, sebagai berikut:
PPh Final = 15% X Rp6.666.670,00
= Rp1.000.001,00

Keterangan :
Meskipun penjualan obligasi tidak dilakukan melalui perantara dan tidak dilaporkan ke bursa, dana
pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku
dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank, dan reksa dana selaku
investor.

5. Pada tanggal 1 Juli 2016 (jatuh tempo obligasi), Dana Pensiun Sejahtera Mandiri menerima
pelunasan seluruh obligasi yang dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai masa kepemilikan
(1 bulan) dari PT. ABC, emiten obligasi tersebut.

Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun Sejahtera
Mandiri pada saat jatuh tempo/ pelunasan obligasi tanggal 1 Juli 2016 adalah sebagai
berikut:
Bunga = (1/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp1.333.330,00
Diskonto = (Rp10.000.000,00 - Rp10.000.000,00) x 10
= nihil.
PPh final tidak terutang oleh dana pensiun yang memenuhi syarat sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011.
Setelah membaca penjelasan di atas mengenai perpajakan atas bunga obligasi, dapat
diketahui bahwa obligasi termasuk dalam objek pajak yang harus dikenai pajak. Tidak hanya obligasi,
untuk surat-surat berharga lainnya juga dikenakan pajak dan cara penghitungannya pun berbeda
dengan pajak atas bunga obligasi. Hal ini dapat kita analisis bahwa penerimaan pajak merupakan hal
yang begitu penting dalam pendapatan suatu negara. Dikarenakan bagi suatu perusahaan, surat
utang saja dapat dijadikan objek pajak, apalagi surat-surat berharga lain milik perusahaan.
Namun, pada akhirnya hasil penerimaan pajak juga berimbas pada peningkatan sarana dan
prasarana publik. Dengan berkembangnya sarana dan prasarana tersebut, perusahaan maupun
masyarakat umum secara tidak langsung menikmati hasil penerimaan pajak tersebut. Sehingga
pelayanan pemerintah kepada publik dapat dilaksanakan secara optimal dan hal tersebut menjadi
salah satu faktor bagi negara maju.
Jadi kesimpulannya, obligasi dikenakan pajak atas bunganya bukan atas nilai nominalnya. Dan
pajak atas bunga obligasi termasuk dalam PPh pasal 4 ayat (2). Omset terkait transaksi yang
dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam
omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final. Dikarenakan bersifat final, maka PPh ini tidak
dapat dikreditkan.
------
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pajak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
___________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Keuntungan dan Risiko Obligasi. From http://www.carajadikaya.com/keuntungan-dan-risiko-
obligasi/, 24 April 2014.
Kieso, D.E., Weygant, J.J. (1995). Intermediate Accounting 7th ed. Terj. Herman Wibowo. Jakarta:
Bimarupa Aksara.
Meteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi.
Obligasi. From http://id.wikipedia.org/wiki/Obligasi, 24 April 2014.
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Rahardjo, Soemarso S. (2003). Akuntansi Suatu Pengantar. Buku 2. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.
Seri PPh-Bunga Obligasi (bersifat final). From http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-bunga-
obligasi-bersifat-final, 26 April 2014.
Suparman, Raden Agus (2011). Catatan Praktek Perpajakan. From
http://pajaktaxes.blogspot.com/2011/06/contoh-pemotongan-pph-obligasi.html, 26 April 2014.

Anda mungkin juga menyukai