Anda di halaman 1dari 60

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Listrik merupakan salah satu kebutuhan vital bagi pembangunan nasional di
berbagai sektor, antara lain bagi kehidupan rumah tangga, kegiatan usaha,
pemerintahan, dan sektor-sektor lainnya. Namun demikian Indonesia dihadapkan
pada kenyataan atas permasalahan mendasar terhadap kapasitas pasokan listrik
yang tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi listrik masyarakat dan
dunia usaha.
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini
mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Penggunaan tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir mengalami
peningkatan yang cukup pesat, yaitu sebesar 14.5 % per tahun. Pemerintah pun
telah meningkatkan penyediaan tenaga listrik dalam negeri dengan membangun
pembangkit -pembangkit tenaga listrik baru. Namun, percepatan penyediaan tenaga
listrik tersebut lebih rendah dibanding peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik
(Sitorus, 2005).
Pemakaian batubara domestik di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), pertama
pemakai Batubara yang digunakan sebagai bahan baku seperti, pembuatan briket
batubara, pengolahan logam, pencairan batubara (coal liquefaction), penggasan
batubara (coal gasifaction) dan peningkatan mutu batubara (coal upgrading).
Kedua, pemakai batubara yang digunakan sebagai bahan bakar seperti, sektor
2

pembangkit listrik, sektor industri, sektor usaha kecil, dan rumah tangga.
Kebutuhan batubara Indonesia 83% dialokasikan untuk Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) dan sisanya sebesar 17% non pembangkit.
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU meningkat dari waktu ke
waktu, pada tahun 2005 proporsinya sebesar 63% dan meningkat menjadi 83% pada
tahun 2010. Pemerintah akan terus meningkatkan peran batubara dalam pemenuhan
energi nasional. Pemanfaatan batubara terus meningkat dari waktu ke waktu dari
41 juta ton pada tahun 2005 menjadi 67 ton pada tahun 2010. Proporsi batubara
dalam bauran energi nasional pada tahun 2005 sebesar 19% dan pada tahun 2010
sebesar 23%. Proporsi ini ditargetkan terus meningkat hingga mencapaii 33% pada
tahun 2025 (ESDM, 2011).
Sumber daya batubara Indonesia saat ini mencapai 104,94 milyar ton dan
cadangan sebesar 21,13 milyar ton. Dengan potensi yang sedemikian besar
tantangan kedepan yang adalah mengupayakan perimbangan strategis antara peran
penting batubara sebagai energi primer yang ekonomis bagi kegiatan produksi di
Indonesia.
Sejak krisis moneter tahun 1998, pemerintah belum menambah
pembangunan pembangkit listrik karena memerlukan investasi besar dan waktu
yang panjang, di lain pihak kebutuhan listrik terus meningkat rata-rata 7 persen
pertahun. Pasca krisis dan stabilnya ekonomi Indonesia, pada tahun 2006 Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tentang penugasan kepada
PT PLN (Persero) untuk melakukan pembangunan pembangkit listrik berbahan
bakar batubara yang dikenal dengan Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit
3

Listrik 10.000 Megawatt Tahap 1 (Setkab, 2011).
PLTU Nii Tanasa merupakan salah satu dari proyek PLTU 10.000 MW
tahap I yang pertama di luar Jawa yang direncanakan oleh pemerintah sejak tahun
2006. PLTU ini mulai beroperasi sejak april 2011 dan menghasilkan 2x10 MW
yang berlokasi di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten
Konawe. Operasional PLTU yang terletak di Nii Tanasa secara signifikan dapat
mengurangi penggunaan bahan bakar minyak sehingga dapat menekan biaya pokok
produksi.
Peningkatan konsumsi batubara dengan dibangunnya PLTU - PLTU
berbahan bakar batubara akan mempengaruhi kualitas udara serta dapat
mengakibatkan terjadinya pencemaran udara jika pengelolaannya tidak dilakukan
dengan baik . Pencemaran udara pada dasarnya berbentuk partikel (debu, aerosol,
timah hitam) dan gas (CO, NOX, SOX, H2S, Hidrokarbon). Udara yang tercemar
dengan partikel dan gas ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berbeda
tingkatan dan jenisnya, tergantung dari macam, ukuran, dan komposisi kimiawinya.
Gangguan tersebut terutama terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru-
paru dan pembuluh darah, atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Menurut
Shecter, M. Kim & M. Golan, L, dampak pencemaran udara terhadap kesehatan
dan kesejahteraan manusia karakteristiknya, yaitu defisiensi oksigen dalam darah,
iritasi mata, iritasi dan gangguan sistem pernapasan, kanker, gangguan sistem saraf,
gangguan reproduksi dan genetika (Huboyo & Budiharjo, 2008).
Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar akan berdampak pada
peningkatan kandungan SO2 yang dilepaskan ke atmosfer. Jenis gas SO2 ini dalam
4

lingkungan akan berbahaya bila memiliki konsentrasi di atas ambang batas. Dalam
atmosfer, sebagian SO2 akan berubah menjadi SO3 melalui proses photochemical
dan proses katalis. Pengaruh SO2 terhadap manusia diantaranya dapat mengggangu
kesehatan manusia terutama dalam saluran pernafasan, mempengaruhi proses
pertumbuhan tanaman dan fungsi organ tubuh hewan, memperceoat kerusakan fisik
pada material dan struktur tertentu seperti korosi, juga dapat menimbulkan
pengurangan visibilitas dan hujan asam (Soenarmo, 1999).
Pelepasan SO2 oleh cerobong asap ke udara akan mengakibatkan penurunan
kualitas udara. Menurut Keputusan Menteri lingkungan Hidup No.
Kep-13/MENLH/3/1995 tentang baku mutu sumber emisi tidak bergerak, dimana
ditetapkan untuk emisi SO2 dari PLTU adalah 1500 g/m
3
. Tinggi konsentrasi SO2
di udara akan berdampak terhadap penerima khususnya manusia, hewan,
tumbuhan, dan material di sekitar lingkungan yang tercemar. Sehingga perlu adanya
studi mengenai penyebaran polutan, dan penggunaan model matematika merupakan
bentuk usaha yang dilakukan. Dengan melakukan pemodelan polutan, arah dan
konsentrasi dapat disimulasikan sehingga dapat diperkirakan besarnya konsentrasi
sebagai fungsi ruang dan waktu.
Berdasarkan konsep dari mekanika fluida, semua bahan hanya terdiri dari
dua keadaan saja, yaitu fluida dan zat padat (White, 1994). Dengan menggunakan
definisi dari fluida, terdapat dua macam fluida, yaitu zat cair dan gas. Sehingga
dengan memandang dari konsep mekanika fluida, emisi gas SO2 dari cerobong
merupakan sebuah fluida bergerak. Terdapat sebuah model dinamika yang
melibatkan aliran fluida yaitu Computational Fluent Dynamic (CFD) atau Model
5

Fluent.
Fluent merupakan alat yang sangat berguna dengan kemampuan yang tinggi
untuk menganilisis permasalahan yang berkaitan dengan aliran fluida (Duffin,
Braden and Adam, C., 2006). Selama ini Fluent banyak digunakan untuk
mensimulasikan aliran fluida khususnya dalam dunia teknik karena diakui
kemampuannya (zevenhoven, 2000). Model CFD dapat memberikan hasil dengan
detail dan akurasi yang tinggi dalam memprediksikan kondisi angin dan turbulensi
untuk menghitung transport udara, penyebaran kimia, biliogis dan bahan nuklir
(Camelli, 2004).
Saat ini CFD banyak diterima secara luas dalam dunia engineering dengan
kemampuannya menyelesaikan permasalahan dispersi kimia dengan mengangkat
isu geometri dan teori-teori fsika dalam model (Corrier, 2005). Dengan
memanfaatkan kemampuan Fluent dalam mensimulasikan aliran fluida, dalam
penelitian ini akan dicobakan suatu simulasi penyebaran gas SO2 dengan
menggunakan model Fluent sehingga dengan adanya suatu studi pemodelan
pencemaran udara ini maka kualitas udara pada suatu area dapat diprediksikan dan
dampak yang ditimbulkan oleh sumber emisi dapat ditanggulangi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang maka masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pola penyebaran gas SO2 dengan menggunakan model Fluent
yang diemisikan dari cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas
stabilitas udara.
6

2. Bagaimana konsentrasi SO2 di suatu wilayah tertentu yang diemisikan dari
cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas stabilitas udara.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mensimulasikan pola penyebaran gas SO2 dengan menggunakan model
Fluent yang diemisikan dari cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas
stabilitas udara.
2. Menentukan konsentrasi polutan SO2 di suatu wilayah tertentu yang
diemisikan dari cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas stabilitas
udara.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Memberikan gambaran kepada pihak terkait mengenai pola dispersi polutan
SO2, sehingga dapat diterapkan dalam rangka penyempurnaan upaya
pengelolaan kualitas udara di Kota Kendari
2. Memberikan gambaran tentang konsentrasi SO2 terhadap masyarakat yang
bermukim di sekitar lokasi PLTU.
3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.



7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komposisi Atmosfer
Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap
dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang berasal
dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi atmosfer adalah
untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan
menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer sendiri merupakan suatu
medium yang sangat dinamik, ditandai dengan kemampuan-kemampuan sebagai:
penyebaran (dispersion), pengenceran (dilutions), difusi (antar molekul gas atau
partikel/aerosol) dan transformasi fisikkimia dalam proses dan mekanisme kinetik
atmosferik.
Pergerakan dan dinamika serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor
yang sangat menentukan keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari
sumbernya. Schnitzhofer et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi
udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass
Spectrometer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi
sampai di atas 100 m AGL (above ground level). Pada ground level meningkat
karena kesetimbangan radiasi, kemudian polutan meningkat karena inversi dan
pengenceran.
Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 90 km
berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat
8

perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas
ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap,
selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Gas-gas Tidak Tetap dalam Atmosfer
Gas Persentase Volume
Air (H2O)
Karbon dioksida (CO2)
Ozon (O3)
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen dioksida (NO2)
0 7
0,01 0,1 (rata-rata =0,032)
0 0,1 (pada ketinggian 20 50 km)
0 0,0001
0 0,00002
Sumber: Anon (1971)

Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%),
oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping
keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat
kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan
H2S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Susunan Gas di Atmosfer Pada Suhu dan Tekanan Udara Baku
Jenis Gas Simbol
Volume (%)
A
Kandungan (g/Nm
3
)
B C
Nitrogen N2 78,80 9,75 x 10
8

Oksigen O2 20,94 2,99 x 10
8

Argon Ar 0,93 1,60 x 10
7

Karbon dioksida CO2 0,03 5,90 x 10
5

Neon Ne 1,60 x 10
7

Helium He 920
Kripton Kr 4.100
Hidrogen H 26-90
Ozon O3 10-15
Metana CH4 1.080
Oksida nitrogen NOx 0-6
Sulfur dioksida SO2 2-50
Ammonia NH3 0-15
Karbon monoksida CO 130
Hidrogen Sulfur H2S 3-30
Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer sampai ketinggian 25
km. C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m. Suhu baku adalah 25
o
C, tekanan udara baku adalah
1 atmosfer

9

B. Pencemar Udara
Pencemaran merupakan hasil sampingan dari industrialisasi penghasil barang
yang dapat berupa padat, cair, maupun gas. Zat pencemar yang berbentuk padat
dapat dibuang langsung ke dalam tanah atau ke dalam sungai dan laut, tetapi zat
pencemar berupa gas, partikel halus, dan panas terdispersi ke dalam atmosfer
Menurut Soenarmo (1999) pencemaran udara didefinisikan sebagai berikut :
Pencemaran udara adalah adanya atau masuknya salah satu/lebih zat
pencemar di udara dalam jumlah dan waktu tertentu, yang dapat menimbulkan
gangguan pada manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya.
Berdasarkan definisi di atas, semua partikel pada, cair, gas yang terdapat di
atmosfer dengan tingkat konsentrasi yang dapat menimbulkan efek
kerusakan/gangguan dianggap sebagai polutan.
Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu
akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau bahan
bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar caranya
menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga berdasarkan
jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor, berdasarkan
bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara dihasilkan oleh
alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made pollution). Pencemar
udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama merupakan hasil dari
kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi.
Pencemaran udara dapat diartikan juga sebagai adanya satu atau lebih
pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk
10

sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk
jumlahnya, sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai
menurunnya kualitas udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan
manusia yang menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya
pencemaran udara adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu
tempat, terutama di Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas
penduduk menjadi sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan
pencemar udara menjadi: karbon oksida (CO, CO2), sulfur oksida (SO2, SO3),
nitrogen oksida (N2O, NO, NO2), hidrokarbon (CH4, C4H10, C6H6), fotokimia
oksidan (O3, PAN dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam,
minyak dan garam), senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, H2NO3),
senyawa inorganik lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia
lainnya), zat radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting
adanya pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan,
kenyamanan, keselamatan, estetika dan perekonomian.
Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori; pergesekan
permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab
utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bemacam-macam,
misalnya: penggergajian, dan pengeboran. Kemudian penguapan merupakan
perubahan fase cair menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang mudah
menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Sementara itu pembakaran merupakan
reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau panas.
Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak, semuanya
11

mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan senyawa
karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga.
Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 2012 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang
terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak
berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain yang
terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible) atau tidak
berbalik (irreversible) dampak.
Menurut PP 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
sumber penyebab terjadinya pencemaran udara (oleh kegiatan manusia), dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Sumber bergerak, yaitu yang berasal dari kegiatan transportasi/kendaraan
bermotor,
2. Sumber bergerak spesifik, yaitu yang berasal dari kereta api, pesawat
terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya,
3. Sumber tidak bergerak, yaitu yang berasal dari sumber emisi yang tetap
pada suatu tempat, misalnya cerobong asap dari suatu pabrik, dan
4. Sumber tidak bergerak spesifik, yaitu yang berasal dari kebakaran
hutan/lahan dan pembakaran sampah.
Sumber pencemaran udara dapat digolongkan menjadi sumber area, sumber
titik dan sumber garis.
12

1. Sumber titik, merupakan sumber yang mengemisikan gas buang dari titik
cerobong, misalnya berasal dari cerobong sebuah industri dan PLTU.
2. Sumber garis, merupakan integrasi dari sumber-sumber bergerak yang
mengemisikan gas buang sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis
NOx, partikel, SOx.
3. Sumber area, yang sebenarnya merupakan integrasi dari banyak sumber titik
dan sumber garis, contoh beberapa industri yang sejenis, daerah
penimbunan sampah.
Pencemar udara di lingkungan dapat diklasifkasikan menjadi 2 (dua)
kelompok berdasar asal mulanya dan kelanjutan perkembangannya di udara yaitu:
Sumber pencemar primer dan sumber pencemar sekunder (KLH, 2009).
1. Pencemar primer adalah semua pencemar yang berada di udara yang dalam
bentuk hampir tidak berubah, sama seperti saat ia dibebaskan dari
sumbernya semula sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Pencemar primer
pada umumnya berasal dari sumber-sumber yangdiakibatkan oleh aktivitas
manusia, seperti dari industri maupun emisi kendaraan bermotor seperti CO,
SO2, NOx, H2S, NH3, bertindak sebagai precursor untuk terbentuknya zat
pencemar sekunder.
2. Pencemar sekunder adalah semua pencemar di udara yang sudah berubah
karena hasil reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan/polutan
primer dengan kontaminan/polutan lain yang ada dalam udara. Dalam KLH
(2009) dijelaskan bahwa zat-zat yang menyebabkan terjadinya pencemaran
udara bentuk fisiknya berupa gas maupun partikel.
13

Bentuk gas dapat berupa:
1. Senyawa karbon (hidrokarbon/HC, CO, dan CO2),
2. Senyawa sulfur (SOx), senyawa nitrogen (NOx), dan
3. Senyawa halogen.
Bentuk partikel dapat berupa:
1. Aerosol, yaitu istilah umum yang menyatakan adanya partikel yang
terhambur dan melayang di udara.
2. Fog atau kabut, adalah aerosol yang berupa butiran-butiran air yang
berada di udara.
3. Smoke atau asap, adalah aerosol yang berupa campuran antara butir
padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara.
4. Dust atau debu, adalah aerosol yang berupa butiran padat yang terhambur
dan melayang di udara karena adanya hembusan angin.
5. Mist, mirip kabut tetapi berupa butiran-butiran cairan (bukan air) yang
terhambur dan melayang di udara.
6. Fume, mirip dengan asap tetapi penyebabnya adalah aerosol yang berasal
dari kondensasi uap panas (khususnya uap logam).
7. Plume adalah asap yang keluar dari cerobong asap suatu industri.
8. Haze adalah setiap bentuk aerosol yang mengganggu pandangan di udara.
9. Smog adalah bentuk campuran antara smoke dan fog.
10. Smaze, hanya dipakai di Amerika untuk campuran antara smoke dan haze.
Ada beberapa jenis gas polutan primer yang terdapat di atmosfer, antara lain
adalah karbon, sulfur, dan nitrogen. Emisi dari ketiga jenis gas ini ke atmosfer dan
14

distribusi penyebarannya telah banyak dipelajari oleh para ahli. Sulfur dioksida
(SO2) merupakan gas yang akan disimulasikan dalam penelitian ini.
Kondisi yang menyatakan udara dalam keadaan layak atau tidak bagi
kelangsungan mahluk hidup dan benda lainnya disebut dengan kualitas udara.
Standarisasi penetapan kelayakan kondisi atmosfer disebut dengan standar baku
mutu. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep13/MENLH/3/1995
tentang baku mutu sumber emisi tidak bergerak, dimana dalam hal ini di tinjau baku
mutu emisi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 3. Baku Mutu Emisi Polutan SO2 yang Bersumber dari PLTU Batubara
Parameter Batas Maksimum(g/m
3
)
1 . Total Partikel 300
2 . Sulfur Dioksida 1500
3 . Nitrogen Oksida 1700
4 . Opasitas 40 %

Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar
yang ada di udara. Pada tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan
pengaruhnya terhadap manusia.
Tabel 4 . Beberapa Jenis Pencemar Udara dan Pengaruhnya Terhadap Manusia

Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia
Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa
oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung,
pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian
Sulfur dioksida (SO2) Memperberat penyakit saluran pernafasan,
melemahkan pernafasan dan iritasi mata
Nitrogen oksida (NOx) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan
iritasi paru-paru
Hidrokarbon Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis
dapat menyebabkan kanker
15

Oksigen fotokimia (O3) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan,
iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran
pernafasan
Debu Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan
pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak
enak
Amonia (NH3) Iritasi saluran pernafasan
Hidrogen sulfida (H2S) Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan
racun pada kadar tinggi
Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker,
kerusakan syaraf dan kematian
Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan (2000)

1. Sulfur Dioksida (SO2)
Polusi oleh sulfur dioksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas
yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3)
dimana keduanya disebut SOx. Sulfur dioksida mempunyai karakteristrik bau
yang sangat tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida
merupakan komponen yang tidak reaktif.
Masalah yang ditimbulkan oleh polutan yang dibuat manusia adalah
dalam hasil distribusinya yang tidak merata sehingga terkonsentrasi pada
daerah tertentu, bukan dari jumlah keseluruhannya. Transportasi merupakan
sumber utama polutan sulfur dioksida, tetapi pembakaran bahan bakar pada
sumbernya merupakan sumber utama polutan sulfur dioksida ini.
Adanya polusi oleh sulfur dioksida pada awalnya diketahui dari
perusakan secara ekstensif pada tanaman. Salah satu efek utamanya pada
tumbuhan hijau adalah klorosis (kehilangan klorofil dan plasmolisis
(kerusakan sel daun). Efek tersebut dapat berlangsung dengan cepat padan
konsentrasi sulfur dioksida tinggi dan dapat berlangsung lambat pada
16

konsentrasi rendah. Pada hewan dampak kerusakan/gangguan yang terjadi oleh
sulfur dioksida memiliki pengaruh yang sama seperti pada manusia. Polusi
sulfur dioksida dapat menyebabkan kerusakan gangguan pernapasan. Dan pada
konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada mata hidung
dan tenggorokan. Konsentrasi yang berpengaruh terhadap manusia dapat
dilihat seperti dalam tabel berikut:
Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Sulfur Dioksida Terhadap Kesehatan Manusia
Konsentrasi
(ppm)
Pengaruh
3 - 5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya
8 12 Jumlah terkecil yang bisa mengakibatkan iritasi
tenggorokan
20 Jumlah terkecil yang segera menimbulkan iritasi mata
20 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan batuk
20 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak dalam
waktu lama
50 100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak dalam
waktu singkat (30 menit)
400 - 500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat
Sumber : KLH, 2009
2. Sumber Pencemar Udara
Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari
berbagai sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami
maupun antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai
pengelolaan udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999
mendefinisikan sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber
pencemar atas lima kelompok, yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang
17

bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan
bermotor; (2) sumber bergerak spesifik, serupa dengan sumber bergerak namun
berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
(3) sumber tidak bergerak, sumber emisi yang tetap pada suatu tempat; (4)
sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan sumber tidak bergerak namun
berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah; dan (5) sumber
gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk
penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran, dan kebauan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar
atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di
kotakota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi
pencemar udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah
menyumbangkan 70 % dari pencemar PM10 dan NOx Tahun 1998. Faktor yang
mempengaruhi tingginya pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah
pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan
bakar minyak dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung
Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar
kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya perawatan kendaraan
secara teratur.
Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri,
rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang
pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan
bakar fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu
18

di rumah tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak
bergerak meskipun tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian
asap pekat dari kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari
proses pembakaran, di dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-
partikel yang mengancam kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah
kaca di atmosfer.
Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri
dan penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik
utama kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah
timbal, partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx),
hidrokarbon, sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2). Menurut
Novontny dan Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah:
a. Emisi dari kota dan industri: pembangkit energi, industri dan domestik;
b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari
kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin,
dekomposisi limbah pertanian dan peternakan;
c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari
daerah kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan
gunung berapi, emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan,
percikan air laut, serta evaporasi dari tubuh air.
3. Penyebaran Pencemar Udara
Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer,
sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi
19

angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-
parameter penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran
pencemar udara ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan
angin tahunan, potensi tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu
area, dan kejadian harian. Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada
insolasi solar, topografi, kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang
digunakan dan radiasi panjang gelombang (Mikkelsen, 2003).
Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh
tinggi cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh
jarak sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP)
mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard,
1997). Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di
atas lima puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan
sampai dengan jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan
daya yang besar, tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan
Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga
mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan
turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa
akibat perbedaan konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu
sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh
karakteristik meteorologi dan tofografi setempat (Oke, 1978).
20

Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap penyebaran
polutan adalah angin (meliputi arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer.
Huang et.al. (2005) membuat simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic)
dengan radiasi dan analisis konduksi yang diangkat keluar untuk menganalisis
dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata di atas bangunan sekitar
2 m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan.
Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa
dan Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi
atmosfer yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan
crosswind) sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien
difusi berbeda untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral).
Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur
radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan
evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan
pola penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi
meteorologi serta topografi daerah.
a. Stabilitas Atmosfer
Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang
statis dan ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor
buoyancy (daya apung udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan
wind shears (gesekan yang terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah
angin berbeda), sedangkan stabilitas statis hanya mempertimbangkan
21

faktor buoyancy.
Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah
gradien suhu potensial (d/dZ). Suhu potensial () adalah suhu yang akan
dimiliki suatu paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari
tekanan tertentu (p) menuju permukaan atau tekanan standar po. Umumnya
po digunakan 1000 mb (Wark dan Warner, 1981).
0 =I [
p
c
p

R
d
/ C
p
(1)
dengan Rd adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai
eksponen untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000).
Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan
yaitu stabil, tidak stabil dan netral. Gambar 1 menunjukkan stabilitas
atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta
gradien suhu potensial. Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate
(ELR) adalah laju penurunan suhu lingkungan, sedangkan adalah laju
penurunan suhu paket udara.
Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu
paket udara lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara
lingkungannya, sehingga pada ketinggian yang sama, suhu paket udara
lebih tinggi dibanding lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung
mengembang secara vertikal, pergerakan secara horisontal akan
bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi biasanya pada siang hari dengan
radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu potensial, pada kondisi
stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif.
22


Sumber: Oke (1978)

Gambar 1. Stabilitas Atmosfer Ditinjau dari Laju Penurunan Suhu
Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara
yang sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga
suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull
(2000), pada kondisi ini jika udara tidak jenuh, maka dT/dZ=-d, jika
udara jenuh uap air dT/dZ=-s (laju penurunan suhu udara jenuh). Apabila
diekspresikan dengan suhu potensial, maka kondisi netral ditunjukkan oleh
d/dZ=0, jika udara tidak jenuh, dan d/dZ=d-s biasa terjadi siang
ataupun malam hari, berangin dan atau berawan.
Kondisi stabil terjadi jika laju penurunan suhu paket udara lebih
besar dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya.
Pada ketinggian yang sama suhu paket udara lebih rendah dibanding suhu
lingkungannya, sehingga tidak akan dapat berkembang vertikal. Hal ini
menyebabkan suatu paket udara cenderung stabil ditempatnya.
Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan
suhu terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu
dapat terjadi akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan
radiasi gelombang pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang
23

terjadi secara alami di permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2)
karena evaporasi, sehingga terjadi pendinginan permukaan bumi
(evaporation inversion) terutama pada siang hari saat langit cerah tanpa
awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas permukaan yang lebih
dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk kabut, dan (4)
adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga
cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang
terjadi di sekitar lereng atau lembah pegunungan.
Perbedaan kondisi stabilitas atmosfer dari waktu ke waktu
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam tipe kepulan yang dikeluarkan
suatu cerobong asap. Ada 3 tipe kepulan asap berdasarkan kondisi
stabilitas atmosfer, yaitu tipe kepulan looping pada kondisi atmosfer tidak
stabil, tipe kepulan fanning pada kondisi stabil, dan tipe kepulan coning
pada kondisi netral. Selain itu, terdapat pola peralihan, yakni tipe kepulan
fumigation yang dikaitkan dengan inversi radiatif yang pada umumnya
menghilang menjelang siang, tipe kepulan lofting tidak terjadi
pencampuran ke arah bawah, namun penyebaran ke arah atas dan tipe
kepulan trapping yang terjadi jika inversi paras atau secara fisis menjerat
gas buang dalam lapisan udara permukaan (Wahono, 2003).
24


Gambar 2. Tipe-tipe Kepulan Asap Cerobong
b. Turbulensi
Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan
maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga
terjadi turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar
lapisan udara dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection).
Di atas ketinggian planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan.
Pada Gambar 3 divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan
yang halus. Pada lapisan udara yang paling dekat dengan permukaan,
terdapat lapisan tipis yang disebut laminar boundary layer (Oke, 1978),
yang merupakan lapisan dengan gerakan laminier (gerakan paralel terhadap
permukaan bumi, tidak ada komponen yang saling menyilang) dan tidak
25

ada konveksi, transfer non-radiasi berjalan secara molekular. Sementara
itu difusivitas molekular udara sangat kecil, sehingga kadang kala lapisan
ini menjadi penghalang yang penting antara permukaan dengan atmosfer.
Ketebalannya akan bergantung pada kekasapan permukaan dan kecepatan
angin. Jika kecepatan angin tinggi, lapisannya akan menjadi sangat tipis
bahkan akan menghilang sementara. Di atas lapisan laminier aliran udara
menjadi tidak stabil dan terdiri dari olakan (eddy) yang acak, disebut
lapisan turbulen, dengan ketebalan sekitar 50 meter di atas permukaan.
Pada lapisan ini perpindahan turbulen (konveksi) lebih efektif daripada
difusi molekular.
Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat
digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer.
Parameter stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam
persamaan berikut:
s =
g
t
[
0
z
(2)
dan R

=
g[
0
z

1[
du
dz

(3)
26


Sumber: McIntosh dan Thom (1973)

Gambar 3. Sketsa Aliran Turbulen di Atas Permukaan yang Halus
Tabel 6. Kondisi Stabilitas Berdasar Richardson Number (Ri)
Stabilitas Ri Keterangan
Stabil >0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah, inversi
kuat, turbulensi mekanik diperkecil,
penyebaran kepulan asap dapat diabaikan
Stabil 0 <Ri <0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi
yang stabil
Netral 0 turbulensi mekanik
Tidak stabil -0,03 <Ri <0 turbulensi mekanik dan konveksi
Tidak stabil <-0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak
vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat
secara vertikal dan horisontal
Sumber: Schenelle dan Dey (2000)
c. Sirkulasi Angin Lokal
Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan
di permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness).
Semakin besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi
semakin kasap permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin
27

mempengaruhi penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke,
1978). Ketika angin bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin
dan jika terjadi turbulensi maka penyebaran dapat terjadi searah dan
melintas arah angin (crosswind). Kecepatan angin berimplikasi pada proses
pengenceran, semakin besar kecepatan angin maka konsentrasi semakin
mengecil. Angin dapat membawa materi polutan melintasi batas kota dan
negara sampai ratusan kilometer. Faktor iklim dan cuaca sangat menentukan
dalam penyebaran polutan di suatu wilayah. Faktor meteorologi mempunyai
peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu daerah,
baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami.
Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola
dispersi yang terjadi berbeda. Pada Gambar 4.a tampak terjadi perbedaan
arah dispersi di permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan
Mahrt (2003) ketika lapisan pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan
yang berbeda, maka kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan
terganggu, dan terbentuk lapisan yang disebut Internal Boundary Layer
(IBL). Pada Gambar 4.b menggambarkan pola dispersi pada permukaan
yang lebih homogen yaitu daratan (perkotaan), pola dispersi akan
menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi.
Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga
memerlukan analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan
angin rata-rata di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini
dikenal sebagai windrose (Cooper dan Alley, 1994). Data yang diperlukan
28

untuk analisis ini adalah data kecepatan dan arah angin dari waktu ke
waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan kisaran kecepatan angin
tertentu.

Ket: (a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada
permukaan homogen

Gambar 4. Pola Dispersi pada Permukaan

Profil kecepatan angin vertikal antara urban, pedesaan atau sub-
urban serta permukaan terbuka ditunjukkan pada Gambar 5.a. Pada
ketinggian yang sama untuk ketiga jenis permukaan menunjukkan
kecepatan angin yang berbeda. Wilayah yang lebih kasap, perubahan
kecepatan angin antar ketinggiannya kecil, karena terjadi olakan yang
mengakibatkan kecepatan angin lebih homogen. Pada Gambar 5.b-e
menunjukkan pengaruh stabilitas terhadap profil kecepatan angin. Pada
kondisi stabil perbedaan kecepatan angin antar ketinggian lebih besar
dibandingkan dengan kondisi netral dan tidak stabil.
29


Sumber: Oke (1978)
Gambar 5. Profil Kecepatan Angin di Permukaan Kota, Suburban dan
Daerah Terbuka (a), Serta Pengaruh Stabilitas (b, c, d, e)

Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap
ketinggian, dan dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon
dalam Wark dan Warner (1981) sebagai berikut:
u
2
u
1
=[
z
2
z
1

p
(4)
Dengan: u1, u2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang
berbeda (ms
-1
)
z1, z2 = ketinggian dua lapisan (m); p =fungsi stabilitas atmosfer

Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin
terhadap ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak
beraturan dan minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada
daerah yang penuh bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan
daerah berhutan p =0,28 sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau
dan laut nilai p =0,16.


30

Tabel 7. Nilai p untuk Model Profil Angin Sebagai Pengaruh Kekasapan
Permukaan

Kelas stabilitas p (kota) p (desa)
A 0,15 0,15
B 0,15 0,15
C 0,20 0,20
D 0,25 0,25
E 0,40 0,40
F 0,60 0,60
Sumber: Cooper dan Alley (1994)
Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada
persamaan 5 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas):
p =
n
2-n
(5)
Pada kondisi netral, persamaan 5 menjadi:
u =
u

k
ln [
z
z
0
(6)
dengan u

=
_
:
p
(7)
Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z
k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan
tanah)
zo=panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling
aktif melakukan pertukaran), makin halus permukaan zo
makin kecil diukur dari analisa profil
r = tegangan geser permukaan
p =kerapatan atmosfer
u* =kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan
indikasi turbulensi dan bergantung ketinggian

Tabel 8. Hubungan Antara Parameter N dengan Kondisi Stabilitas Atmosfer
Kondisi stabilitas N
Laju penurunan suhu besar 0,20
Laju penurunan suhu kecil atau nol 0,25
Inversi moderat 0,33
Inversi kuat 0,50
Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981)
31

J ika
u

k
dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 6 menjadi:
u =c log [
z
z
0
(8)
ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan,
sehingga:
du
dz
=cz
-1
(9)
menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 9
ditulis menjadi:
du
dz
=cz
-[
(10)
dengan adalah fungsi struktur suhu (stabilitas), =1 untuk kondisi netral,
<1 untuk kondisi stabil dan >1 untuk kondisi tidak stabil.
d. Kondisi Topografi
Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan
suhu udara di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar
dan berlereng menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti
perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya.
Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968),
perlu mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya
perlu dibedakan antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian
pegunungan yang cukup besar untuk memodifikasi aliran udara ke atas
maupun ke bawah, dan dataran tinggi yang membentuk penghalang utama
untuk gerakan udara dan memiliki iklim sendiri. Puncak yang tinggi
mengalami suhu yang hampir sama dengan udara bebas pada ketinggian
32

yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan didinginkan oleh
proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki atmosfer
tertutup yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam hari,
khususnya di musim dingin dan dinaikkan (suhunya) oleh pemanasan
siang hari.
Wilayah dengan topografi datar, pola anginnya relatif tidak
mengalami gangguan, seperti yang dikemukakan oleh Zhang dan Ghoniem
(1993) bahwa pengaruh topografi datar terhadap dispersi dan lintasan
kepulan sangat kecil. Untuk daerah dengan berpegunungan gerakan udara
(angin) akan mendapatkan hambatan sehingga terjadi gerakan udara ke
atas secara mekanik (forced convective). Topografi juga dapat mengubah
arah dan kecepatan angin dengan cepat karena adanya saluran (chanelling)
melalui lembah, dan city-street canyon, atau pemisahan aliran. Menurut
Bibero dan Young (1974) profil kota yang kasar menjadi tempat
penyerapan energi kinetik dan memperlambat angin.
C. Peranan Atmosfer dalam Pencemaran Udara
Beberapa proses penting yang terjadi di atmosfer dalam permasalahan
pencemaran udara diantarnya adalah proses dispersi, transformasi, transport serta
dilusi. Seluruh proses tersebut dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti cuaca
dan iklim Masing-masing proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:



33

1. Proses Dispersi
Karakteristik polutan sangat menentukan keberadaan dan perilaku
polutan itu sendiri di atmosfer. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari
kondisi fisis dan dinamis atmosfer. Menurut Stull (2000), proses dispersi
polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama, yaitu gerakan global,
fluktuasi turbulensi dan difusi polutan terhadap lingkungan sekitar akibat
perbedaan konsentrasi. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses
dispersi polutan itu sendiri diantaranya adalah faktor atau aspek meteorologis,
sifat fisis dan sifat kimia zat polutan, kondisi geografi serta topografi sumber
polutan.
Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan
campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan,
atau gas yang masuk kemudian terdispersi ke udara dan menyebar ke
lingkungan sekitarnya. Selain itu, kondisi atmosfer sangat berpengaruh
terhadap proses laju difusi atau penyebaran bahan pencemar baik secara
vertikal maupun horizontal (Suharsono 1985).
Pada skala yang lebih mikro, karakteristik permukaan dan kontur
permukaan seperti pepohonan, bukit, pegunungan dan bangunan dapat
menimbulkan turbulensi lebih besar. Sementara dengan angin yang lemah
dan turbulensi lebih kecil dapat memperkecil terjadinya proses percampuran
antara zat pencemar dengan zat-zat lainnya di lingkungan sekitar. Sehingga,
pengenceran akan lebih sulit terjadi dan membuat konsentrasi zat pencemar
tetap tinggi (Oke 1987).
34

Selain faktor angin, suhu juga turut berpengaruh dalam proses dispersi
polutan. Suhu merupakan energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-
molekul, sementara panas adalah salah satu bentuk energi yang dikandung
oleh suatu benda (Handoko 1993). Pada lapisan troposfer, laju suhu udara
akan menurun seiring bertambahnya ketinggian atau lapse rate (dt/dz <0).
Namun hal tersebut tidak selalu berlaku di permukaan, karena pada waktu
tertentu laju suhu akan meningkat terhadap ketinggian atau inversi (dt/dz >
0). Sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap efek stabilitas atmosfer
yang berperan dalam pendistribusian polutan secara vertikal.
Pada saat suhu udara parsel cenderung lebih tinggi dari lingkungan,
maka massa udara polutan akan naik dan menyebar, kondisi inilah yang
dinyatakan sebagai stabilitas atmosfer tidak stabil, sehingga tidak
membahayakan makhluk hidup dalam jangka pendek. Sebaliknya, ketika
suhu udara parsel cenderung lebih rendah dari lingkungan maka kondisi
tersebut dinyatakan sebagai stabilitas atmosfer stabil. Pada kondisi ini
massa udara polutan tidak dapat naik namun tetap berada di atmosfer dan
terakumulasi, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi polutan di udara.
Kelembaban udara juga termasuk salah satu unsur cuaca yang
mempengaruhi proses distribusi pencemar udara. Nilai RH yang rendah
akan menyebabkan konsentrasi polutan di atmosfer meningkat. Hal ini
dikarenakan RH menghalangi pemanasan surya terhadap permukaan. Pada
siang hari, suhu udara relatif tinggi dibandingkan malam hari sehingga
memiliki kandungan uap air jauh lebih rendah dibandingkan pada saat
35

malam hari. Di sisi lain, konsentrasi partikel tersuspensi yang mengalami
peningkatan di udara juga akan berakibat pada berkurangnya jarak pandang
(Oke 1987).
2. Proses Transformasi
Secara fisik dan dinamik, radiasi surya sebagai sumber energi
perpindahan massa udara berpengaruh dalam pendistribusian zat pencemar di
udara. Hal ini terjadi akibat perbedaan pemanasan di permukaan bumi maupun
di perairan yang menimbulkan angin dan turbulensi sehingga secara tidak
langsung berpengaruh terhadap kondisi stabilitas atmosfer dan percampuran
polutan dengan lingkungan sekitar. Selain itu, radiasi juga berpengaruh
terhadap proses kimia di atmosfer dengan interaksi antar molekul yang
bertindak sebagai fotoreseptor.
Selanjutnya selama berada di udara, zat pencemar pasti akan
mengalami perubahan bentuk baik secara fisik maupun kimia yang
dipengaruhi oleh proses difusi molekuler dan turbulensi, kehadiran uap air
serta radiasi matahari. Difusi molekuler adalah proses dimana perjalanan
penyerapan zat ke dalam atmosfer melalui kontak molekul secara lambat.
Sedangkan proses difusi turbulensi adalah proses penyerapan atau peresapan
zat ke dalam atmosfer yang disebabkan oleh adanya proses turbulensi (Oke,
1987).
3. Proses Transport
Proses transport merupakan proses pengangkutan zat pencemar ke
udara secara horizontal sesuai arah angin, dengan jarak jangkau sebagai fungsi
36

dari kecepatan angin. Angin yang bergerak di suatu wilayah tidak selamanya
bergerak secara teratur dan semua gerakan udara dapat dikatakan turbulen
(Forsdyke 1970). Sehingga dalam hal ini, jika arah angin relatif konstan,
wilayah yang dituju oleh arah angin akan terus-menerus terpapar polutan
tingkat tinggi, sebaliknya jika arah angin berubah-ubah secara konstan,
polutan akan bergerak ke wilayah yang lebih luas dan konsentrasi di wilayah
yang terpapar akan lebih rendah (Godish 1991).
Sementara kecepatan angin akan menentukan sejauh mana polutan
akan bergerak ke suatu wilayah.. Sementara itu, bentuk pergerakan angin yang
terjadi terdiri atas pergerakan laminer dan turbulen. Pergerakan angin laminer
adalah pergerakan yang mulus sepanjang lapisan sejajar, sementara
pergerakan angin turbulen merupakan pergerakan acak dan baur (Geiger
1995).
4. Proses Dilusi
Presipitasi seperti hujan ataupun salju, lapisan kabut, turbulensi, serta
karakteristik permukaan merupakan faktor utama dalam pembersihan
atmosfer sehingga zat pencemar dapat terendapkan Proses pembersihan atau
penghilangan zat pencemar ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu rain out
dan wash out. Rain out terjadi pada saat proses kondensasi dengan partikel
pencemar sebagai butir kondensasi. Sedangkan wash out terjadi pada saat air
hujan dalam perjalananya menuju permukaan bereaksi dengan partikel-
partikel pencemar (Liu dan Liptak 2000).

37

D. Model Matematis Dispersi Polutan
Pemodelan atmosfer terbagi atas dua pendekatan utama, yaitu
pendekatan secara fisik dan matematis. Pendekatan secara fisik pada akhirnya
akan menghasilkan model fisik yang dapat digunakan dalam mensimulasikan
proses dinamika atmosfer. Sementara pendekatan secara matematis adalah
pendekatan yang selanjutnya dapat menghasilkan pemodelan matematis terhadap
proses dinamika atmosfer (Seinfeld dan Pandis 2006). Di bawah ini terdapat
beberapa pendekatan yang digunakan untuk memprediksi konsentrasi dan
sebarannya dari beberapa tipe model (Benarie 1980) antara lain:
1. Pendekatan fisik:
a) Terowongan Angin (wind tunnel)
b) Saluran Air (Liquid Flume)
c) Tangki (Towing Tank)
2. Pendekatan Matematis
a) Empirik-Deterministik:
1) Kotak-Eularian
2) Statistik-Rollback
b) Semi-Empirik:
1) Gaussian Plume-Kepulan
2) Lintasan-Moving Cell
c) Numerik-Reaktif:
1) Box Jamak-Lagrangian
2) Grid-Eularian-Finite Difference
38

3) Partikel; partikel dalam sell
d) Polusi global
e) J arak Pandang
f) Dosage-Exposure
Masing-masing pendekatan tersebut nantinya dapat di aplikasikan dalam
semua pemodelan pendisperisian polutan. Model-model yang kerap digunakan dalam
pendugaan dispersi polutan antara lain, fixed box model, dan Gaussian model.
1. Fixed-Box Model
Model sederhana yang sering digunakan dalam menduga kualitas
udara adalah fixed-box model. Parameter input yang digunakan dalam
model ini adalah sumber emisi dekat lapisan permukaan, laju adveksi masuk
dan keluar dari sisi kotak, input polutan dari bagian atas karena ketinggian
campuran yang meningkat dan proses transformasi kimia. Apabila
campuran polutan sempurna dan seragam dalam batasan wilayah kajian,
model ini dapat menduga konsentrasi volume rata-rata sebagai fungsi
waktu. Prinsip matematis dalam model ini dinyatakan sebagai laju
perubahan massa dalam kotak khayal sebanding dengan jumlah laju massa
ditambahkan semua sumber emisi dalam kotak, perubahan adveksi
horizontal dan perubahan pemasukan dari lapisan atas dalam ketinggian
campuran (Arya 1999):
I
dc
dt
=I
u
+u(c
b
c) +I
dh
dt
(c
b
c) (11)


39

J ika kondisi laju emisi konstan dan atmosfer tenang, persamaan di atas
menjadi
c
c
=
L
h

c
u
(12)
dengan:
ce : Konsentrasi polutan (g/m
3
)
L : Panjang wilayah kajian (m)
Q : Laju emisi polutan wilayah kajian (gr/m
2
s)
: Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian H ( m/s)
h : Ketinggian mixing height (m)
Difusi dari sumber-sumber individu tidak disarankan dalam pemakaian
fixed-box model, sehingga cocok dalam mengestimasi dari segala sumber
polutan. Sesuai dengan perlakuan meteorologi sederhana dalam bentuk
transpor efektif angin dan ketinggian campuran dapat digunakan dalam
memprakirakan proses fotokimia (Arya 1999).
2. Model Dispersi Gaussian
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi dispersi polutan adalah
kecenderungan polutan-polutan tersebut untuk berdifusi. Model Gauss
menerangkan konsentrasi polutan searah dengan arah angin dari sumber.
Beberapa penyelidikan empiris dilakukan untuk menguji validasi model
Gauss dari satu titik sumber. Selanjutnya hasil pendugaan model
dibandingkan dengan data pengukuran di lapang. (Liu dan Liptak 2000)
Berbagai studi validasi model ini diterapkan untuk gas CO, SO2, dan
partikulat menunjukkan pendugaan konsentrasi polutan yang hampir
40

mendekati dengan nilai hasil pengukuran. Model dispersi Gauss secara
umum dinyatakan dalam perasamaan:
c(x,y,z) =

2nuc
j
c
z
cxp_

2
2c
j
2

z
2
2c
z
2
_ (13)
dengan:
c(x,y,z) : Konsentrasi polutan pada suatu titik (g/m
3
)
Q : Laju emisi (g/s)
: Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian 10 meter
y : Posisi arah y dalam koordinat kartesius (m)
z : Posisi arah z dalam koordinatkartesius (m)
Ketepatan dari pendugaan model Gauss akan menurun dengan nyata
jika terjadi penyimpangan dari kondisi yang digunakan dalam persamaan,
seperti kecepatan angin yang konstan. Model Gauss tidak menghitung reaksi
yang terjadi antara NOx dan HC, maka model ini tidak dapat digunakan untuk
menduga fotokimia oksidan. Pengembangan lebih lanjut dari model Gauss ini
adalah untuk menduga pengaruh pembuangan polutan (gas) dengan konstan
dari sumber garis (line source), yaitu emisi dari kendaraan bermotor di jalan
raya.
Di sisi lain, model Gauss memiliki beberapa kelemahan, karena pada
model ini diberlakukan beberapa asumsi seperti, kekuatan sumber emisi
konstan atau hanya berlaku dalam kondisi Steady-state, arah dan kecepatan
angin serta karakteristik difusi dari kepulan konstan, kemudian berlaku
hukum konservasi massa, sehingga dianggap tidak ada transformasi kimia
dan polutan yang sampai ke permukaan dipantulkan sempurna, serta
41

kecepatan angin lebih dari 1 m/s.
3. Teori Dasar dan Pendekatan Model Fluent
Pada simulasi penyebaran gas SO2 dengan menggunakan Fluent
digunakan kondisi steady dari persamaan Reynolds Averaging Navier-Stokes
(RANS) yang merupakan perhitungan konservasi massa dan momentum dalam
ruang lingkup pendekatan Eulerian. Dalam simulasi ini juga digunakan model
turbulensi standar k , yang menghitung nilai turbulensi berdasarkan evolusi
dari turbulensi kinetik (k) dan ratio disipasi (). Model turbulensi standar k
digunakan dalam simulasi ini dengan mempertimbangkan skala plume dan
tingginya geser angin permukaan, model ini dianggap mempunyai akurasi yang
cukup tinggi dengan tidak menggunakan resources yang besar (kemampuan
komputer) (corrier, 2005; manual fluent, 1996). Untuk menghitung penyebaran
gas SO2 dari cerobong digunakan model transpor kimia dengan mengacu pada
konservasi massa.
a) Persamaan Reynolds-Averaged Navier-Stokes (RANS)
Persamaan konservasi RANS didapat dari subtitusi waktu rata-rata
dan komponen fluktuasi dari persamaan kekekalan massa dan momentum.
Berikut merupakan persamaan konservasi RANS (corrier, 2005; manual
fluent, 1996):
o
ox
]
(pu

) =0

x
]
(pu

u
]
) =
p
x
i
+

x
]
[
,]
pu

u
]

Dengan
,]
adalah stress tensor. Persamaan dan kalkulasi di atas
42

memperlihatkan aliran stabil dengan variasi tekanan hidrostatik dan variasi
densitas, dan variasi gravitasi diabaikan. Persamaan di atas merupakan
persamaan pada arah i dan dalam diagram inersia. Persamaan stress tensor
dinyatakan dengan persamaan di bawah ini:

,]
=p _
ou

ox
]
+
ou
]
ox


2
3
o
]
ou
I
ox
I
_
adalah viskositas molekul. Pendekatan Reynolds averaged pada turbulensi
memerlukan persamaan Reynolds stress, berikut persamaannya:
pu

u
]
=p

_
ou

ox
]
+
ou
]
ox

_
2
3
o
]
_pk +p
I
ou
I
ox
I
]
Dengan t adalah viskositas turbulen atau turbulen eddy.
b) Pendekatan Turbulensi : Model Standar k
Selain itu, dalam simulasi ini model Fluent juga menghitung
turbulensi dengan menggunakan model turbulensi standar k- , model
turbulensi akan menghitung evolusi dari nilai turbulensi energi kinetik (k)
dan rasio disipasi () dengan persamaan transpor berdasarkan perhitungan
sebagai berikut:
p
k
t
=
o
ox

__p +
p
t
o
k
]
ok
ox

_ +0
ki
+0
h
| pe
dan
p
e
t
=
o
ox

__p +
p
t
o
s
]
oe
ox

_ +C
1s
e
k
(0
k
+C
3s
0
b
) C
2s
p p
e
2
k

Pada persamaan di atas, Gk merupakan energi kinetik turbulen yang
terbentuk dari adanya gradien kecepatan rata-rata. Gb merupakan energi
kinetik turbulen yang terbentuk karena adanya bouyancy.
43

C
1s
=1.44,C
2s
=1.92,C

=0.09;o
k
=1.0,o
s
=1.3,C
3s
=ton[
:
u

v merupakan komponen kecepatan aliran searah dengan vektor
gravitasi dan u adalah komponen kecepatan yang berlawanan dengan vektor
gravitasi.
Ketika terbentuknya gradien temperatur dan juga dipengaruhi oleh
gravitasi, maka fluent akan menghitung nilai pembentukan turbulen dari
energi kinetik (Gk) ketika terjadi bouyancy dan kontribusi penyesuaiannya
terhadap produksi dari rasio disipasi (Gb).
Persamaan untuk menghitung pembentukan energi kinetik turbulen
(Gk) adalah:
0
k
=pu

u
]

ou
]
ox


Persamaan untuk menghitung pembentukan turbulen ketika terjadi
buoyancy (Gb) adalah:
0
b
= g

op
t
pPr
t
op
ox


Dengan Prt yaitu angka energi prandtl (0.85)
Sedangkan nilai dari turbulensi energi kinetik (k) dan rasio disipasi
() berhubungan dengan nilai dari kecepatan gesekan yang merupakan
fungsi dari kecepatan terhadap ketinggian. Sehingga nilai didapat dari
persamaan berikut:
e =
p
t
p
__
ou
oz
_]
2


44

dan nilai k didapat dari hasil perhitungan viskositas turbulen terhadap teori
mixing length sehingga didapat dari persamaan berikut:
k =l_
e
C

_
ou
oz
_
l merupakan jarak campuran terhadap permukaan tanah.
c) Persamaan Transpor Kimia (Chemical Species Transport)
Pada Fluent digunakan persamaan kekekalan massa untuk
memprediksi fraksi massa mi' dari tiap spesies kimianya (gas SO2) (Manual
of Fluent, 1998). Persamaan kekekalannya adalah sebagai berikut:
o
ox

(pu

m
i
) =
o
ox

|
,
+R
i
+S

|
dimana Ri' adalah ratio massa pembentukan dan penghilangan dari reaksi
kimia dan Si' adalah rasio pembentukan dari fase dispersi dan penambahan
dari sumber lainnya (ditentukan oleh user). Sedangkan J i',i merupakan fluks
difusi dari species i (dalam penelitian ini adalah gas SO2), karena dalam
penelitian ini tidak terjadi adanya reaksi, maka Ri' ditiadakan dari
persamaan. Persamaan di atas merupakan persamaan kekekalan massa pada
sumbu-x dan identik untuk persamaan kekekalan massa pada sumbu-y dan
sumbu-z.
Pada aliran turbulen persamaan fluks difusi J i',i adalah:
[

|
,
=_p

|
,m
+
p
t
Sc
t
]
om
i
ox


dimana Di',m adalah koefisien difusi, adalah densitas (SO2), dan Sct adalah
angka turbulen Schmidt yang didapat dari persamaan:
45

Sc
t
=
p
t
p
t

Dt merupakan koefisien difusi massa efektif dan nilai Sct untuk difusi massa
pada aliran turbulen default-nya adalah 0.7. t adalah viskositas turbulen,
dengan persamaan:
p
t
=pC

k
2
e

dimana C adalah konstanta viskositas , C =0.09
E. Model Fluent atau Computational Fluent Dynamic (CFD)
Computational Fluid Dynamics merupakan pemanfaatan program
komputer untuk membuat suatu prediksi apa yang akan terjadi secara kuantitatif
saat fluida mengalir. Penggunaan CFD prediksi aliran fluida di berbagai sistem
dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dan waktu yang singkat
dibandingkan dengan metode eksperimen. Selain itu, CFD adalah ilmu yang
mempelajari tentang cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi
kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan matematika.
Secara istilah CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan
untuk mempelajari dinamika dari bendabenda atau zat-zat yang mengalir (Tuakia
2008).
CFD atau Fluent merupakan program komputer yang digunakan untuk
memodelkan aliran fluida dan transfer panas. Dalam Fluent terdapat berbagai
macam model persamaan fisika, seperti model solver, model transport panas,
model turbulensi, model Radiasi, model transport kimia, dan model-model fisika
lainnya, sehingga CFD atau model Fluent ini dapat juga dikatakan sebagai
46

kumpulan dari model-model fisika yang besar dan kompleks dalam satu model.
Secara garis besar, model-model tersebut dapat dikelompokan menjadi model
generator (untuk menghasilkan mesh perhitungan), preprocessors (untuk
menyediakan data untuk menentukan persamaan dan model fisika), solvers (untuk
menyelesaikan persamaan) dan post-processors (untuk menampilkan hasil dan
informasi numerik dari data-data yang didapat dari simulasi). Fluent juga
merupakan model dengan kemampuan yang tinggi dalam mensimulasikan
permasalahan yang berkaitan dengan fluida (Duffin, Braden and Adam, C., 2006).
Dengan menggunakan Fluent, simulasi aliran fluida dapat ditampilkan dalam 2 dan
3 Dimensi. Fluent ditulis dalam bahasa C dan dimungkinkan untuk dijalankan
terpisah-pisah (menggunakan sistem komputer cluster)
Saat ini penggunaan CFD cukup berkembang pesat, mulai dalam
perancangan gas turbin sampai pada dunia medis (modelling blood flow) serta
termasuk dalam menganalisis permasalahan dispersi polutan pada udara ambien.
Pada Gambar 2 dapat terlihat salah satu contoh output kualitatif dari hasil simulasi
CFD mengenai sebaran polutan. Penelitian mengenai aliran udara terkait dispersi
polutan dengan menggunakan CFD ini sudah cukup banyak dilakukan terutama di
daerah perkotaan, halini dilakukan untuk melihat potensi kualitas udara baik
indoor maupun outdoor.
Secara indoor, biasanya penelitian dilakukan di dalam ruangan seperti
tempat parkir, garasi hingga terowongan bawah tanah. Sementara penelitian
outdoor untuk kasus aliran udara biasanya dilakukan di pusat kota atau di sekitar
gedung-gedung bertingkat. Berdasarkan hasil penelitian Yamada (2005)
47

mengenai penggunaan CFD untuk aliran udara diantara gedung bertingkat
dengan menyebutkan bahwa pemanasan dan pendinginan dinding serta atap oleh
radiasi matahari secara signifikan mempengaruhi aliran udara di sekitar
bangunan di lingkungan perkotaan.
Gambar 6. Simulasi Konsentrasi Polutan Saat Emisi Didefinisikan dalam Domain
Model (Sumber: Huber, 2008).

CFD merupakan pendekatan dari persamaan yang asalnya memiliki jumlah
sel tak hingga menjadi jumlah sel hingga. Perhitungan komputasi aljabar untuk
memecahkan persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode, diantaranya:
1. Metode beda hingga (finite difference method)
2. Metode elemen hingga (finite element method)
3. Metode volume hingga (finite volume method)
4. Metode elemen batas (boundary element method)
5. Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method)
Secara umum, proses perhitungan Computational Fluid Dynamic terdiri
atas tiga bagian utama, yaitu:
1. Pre-processing,
2. Processing,
3. Post-processing.
48

Pre-processing adalah tahap di mana data diinput mulai dari pendefinisian
domain hingga pendefinisian kondisi batas atau boundary condition. Di tahap ini
juga dilakukan pembentukan grid (meshing) pada setiap domain dan pemilihan
fenomena kimia-fisika yang diinginkan serta menentukan kondisi sifat-sifat fluida.
Tahapan selanjutnya adalah processing atau solving, pada tahap ini
dilakukan proses perhitungan antara data yang diinput dengan persamaan yang
terlibat secara iteratif. Artinya perhitungan dilakukan hingga hasil menuju error
terkecil atau hingga mencapai nilai yang konvergen. Perhitungan dilakukan secara
menyeluruh terhadap volume kontrol dengan proses integrasi persamaan diskrit.
Sementara tahap akhir yaitu post-processing adalah tahap dimana hasil
perhitungan diinterpretasikan ke dalam gambar, grafik bahkan animasi dengan
pola-pola warna tertentu.
1. GAMBIT (Geometry And Mesh Building Intelligent Toolkit)
GAMBIT merupakan salah satu perangkat lunak (software) yang
digunakan sebagai preprocessing dalam komputasi dinamika fluida
(Computational Fluid Dynamics/CFD) yang menguasai 60% pangsa pasar
dunia untuk perangkat lunak tersebut. GAMBIT adalah software yang di
design untuk membantu membuat berbagai macam pemodelan dan
melakukan pendiskritisasian (meshing) pada model dalam suatu analisis
CFD.
Pada saat penerimaan input, GAMBIT menggunakan graphical user
interface (GUI) sehingga memudahkan pengguna dalam pembuatan model
dan proses meshing. Berbagai macam aplikasi pemodelan juga dapat
49

diakomodasikan oleh GAMBIT. Selain itu software ini juga dapat mengimpor
dari berbagai format atau menggabungkan berbagai format dari software
pemodelan lain, seperti ACIS, STEP, Parasolid, IGES dan lain-lain.
GAMBIT memiliki beberapa kelebihan seperti membuat berbagai
macam pemodelan dan melakukan proses meshing untuk berbagai macam
bentuk, termasuk bentukbentuk yang rumit dan tidak beraturan. Hal ini
disebabkan GAMBIT dapat melakukan meshing dengan berbagai macam
bentuk mesh, yaitu mesh heksahedral, tetrahedral, piramid dan prisma. Di sisi
lain, GAMBIT juga dapat melakukan pengecekan terhadap kualitas mesh
sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pengguna Proses akhir dari
pemodelan GAMBIT adalah tahap penentuan jenis kondisi batas atau
boundary condition (Tuakia 2008).
2. Fluent
a) Struktur Program
Fluent merupakan tujuan umum dari kajian komputasi dinamika
fluida dalam memecahkan atau mengatur persamaan untuk konservasi
massa, momentum, energi, dan skalar (Huber 2008). Selain itu, Fluent
adalah salah satu jenis program (CFD) yang menggunakan finite volume
method (metode volume hingga) serta mampu menyediakan fleksibilitas
mesh yang lengkap, sehingga dapat memudahkan pengguna dalam
menyelesaikan kasus aliran fluida dengan mesh (grid) yang tidak
berstruktur sekalipun. Fluent juga memungkinkan pengguna dalam
memperhalus atau memperbesar mesh yang sudah ada. Jenis mesh yang
50

didukung oleh Fluent adalah tipe 2D triangular-quadrilateral, 3D
tetrahedral-hexahedralpyramid-wedge, dan mesh campuran (hybrid)
(Tuakia 2008).

Gambar 7. Struktur Dasar Program Model Fluent (Sumber: Manual
Fluent 1996)

b) Kemampuan Program
Software Fluent dapat digunakan bersama dengan arsitektur
klien/server, sehingga dapat dijalankan sebagai proses terpisah secara
simultan dan perangkat lunak ini memiliki struktur data yang efisien dan
lebih fleksibel karena ditulis dalam bahasa C. Fluent merupakan solver
dengan kemampuan pemodelan sebagai berikut:
1) Aliran fluida pada 2 D dan 3 D
2) Aliran compressible dan incompressible
3) Analisis pada kondisi steady-state atau transient
4) Aliran inviscid, laminar dan turbulen
5) Aliran Newtonian atau non-Newtonian
Mesh import
and adaption
Physical
Models
Boundary
Conditions
Material
Properties
Visualisasi
Simulasi
51

6) Transfer panas konvektif, termasuk konveksi alami dan konveksi
paksa
7) Radiasi transfer panas
8) Model dengan frame inersial (tetap) atau non-inersial (rotasi)
9) Campuran dan reaksi kimia, termasuk reaksi pembakaran dan
super deposisi dan kemampuan Fluent lainnya.
Mulai
Pembuatan Geometri
(Part)
Pendefinisian Material
Geometri
Penyusunan Struktur Geometri
(assembly)
Pengecekan Geometri
(satu objek)
Geometri Baik?
Set Kondisi Umum
Set domain, boundary
condition dan goals
Input Fluida
(jenis & sifat)
Proses Numerik
(solver =run)
Meshing &
iterasi error
Selesai
Plot Kontur, Grafik dan
data dari goals
Pengecekan
ya
tidak
ya
tidak

Gambar 8. Diagram Alir Tahapan dalam Penggunaan CFD
52

F. Kerangka Pikir Penelitian
PLTU Nii Tanasa mulai beroperasi sejak april 2011 dan menghasilkan 2x10
MW yang berlokasi di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten
Konawe menggunakan batu bara sebagai sumber bahan baku utama dalam proses
produksi listriknya. Peningkatan konsumsi batubara dengan dibangunnya PLTU
Nii Tanasa berbahan bakar batubara akan berdampak pada peningkatan kandungan
SO2 yang dilepaskan ke atmosfer. Jenis gas SO2 ini dalam lingkungan akan
berbahaya bila memiliki konsentrasi di atas ambang batas.
Polusi oleh sulfur dioksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas
yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) dimana
keduanya disebut SOX. Sulfur dioksida mempunyai karakteristrik bau yang sangat
tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen
yang tidak reaktif. Adanya polusi oleh sulfur dioksida di udara dapat merusakan
secara ekstensif tanaman. Salah satu efek utamanya pada tumbuhan hijau adalah
klorosis (kehilangan klorofil dan plasmolisis (kerusakan sel daun). Efek tersebut
dapat berlangsung dengan cepat padan konsentrasi sulfur dioksida tinggi dan dapat
berlangsung lambat pada konsentrasi rendah. Pada hewan dampak
kerusakan/gangguan yang terjadi oleh sulfur dioksida memiliki pengaruh yang
sama seperti pada manusia. Polusi sulfur dioksida dapat menyebabkan kerusakan
gangguan pernapasan dan pada konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan
iritasi pada mata hidung dan tenggorokan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme penyebaran pencemaran
udara, secara garis besar ditentukan oleh karakteristik sumber emisi dan
53

karakteristik atmosfer lokal. Karakteristik sumber emisi yang dimaksudkan
merupakan karakteristik dari tempat atau lubang pengeluaran zat pencemar yang
didispersikan ke udara. Selain sumber emisi, laju pencemaran atau banyaknya zat
yang didispersikan ke udara juga mempengaruhi proses penyebaran polutan di
udara.
Selain karakteristik sumber emisi, Kondisi stabilitas atmosfer lokal juga
merupakan faktor yang mempengaruhi mekanisme/proses dispersi polutan ke
udara. Perilaku alami seperti arah dan kecepatan angin berpengaruh kemampuan
memindahkan massa udara dalam arah horizontal, baik arah maupun jangkauan dari
polusi tersebut. Profil temperatur terhadap ketinggian digunakan untuk menetapkan
tipe kestabilan dan profil kecepatan angin yang mempengaruhi derajat turbulensi.
Secara alami, atmosfer selalu bergerak dan sulit untuk dimengerti dan
diikuti. Studi pola pergerakan atmosfer pada umumnya dihubungkan dengan
perubahan cuaca dan iklim, dimana karakteristik atmosfer ditentukan oleh
temperatur, temperatur potensial, tekanan, densitas, serta arah dan kecepatan angin
yang dianggap berpengaruh pada setiap tempat dalam atmosfer yang diasumsikan
sebagai fluida kontinyu dengan mengabaikan gerakan diskrit molekul.
Masalah yang ditimbulkan oleh polutan yang bersumber dari aktifitas
manusia adalah dalam hasil distribusinya yang tidak merata sehingga terkonsentrasi
pada daerah tertentu, bukan dari jumlah keseluruhannya. Ada cara atau metode
yang bisa digunakan adalah membuat suatu pemodelan untuk menggambarkan
konsentrasi zat-zat pencemar dengan menggunakan pemodelan matematik yang
memperhitungkan parameter-parameter di atas menggunakan model Fluent. Dari
54

model fluent dapat diketahui model sebaran, arah dan konsentrasi polutan dari jarak
tertentu kemudian model ini di validasi dengan nilai pengukuran langsung udara
ambien serta membandingkannya dengan Nilai Baku Mutu Lingkungan (BML)
menurut aturan yang berlaku.

Sumber Bahan
Bakar Fosil
Proses Produksi
Listrik PLTU
Emisi Cerobong Kualitas Udara
Zat Polutan
Faktor Penyebaran
Polutan
SO
2
Angin
Persebaran
Konsentrasi Polutan
Stabilitas Atmosfer
Model Sebaran
Pencemaran Udara
Pola Sebaran
Klasifikasi Kualitas
Udara Menurut BML
Mempengaruhi
Model Fluent


Gambar 9. Kerangka Pikir Penelitian

55

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah Deskriptif Kuantitatif dengan
mendesain suatu bentuk permodelan sebaran polutan SO2 dengan Model Fluent.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, pada bulai Juli sampai dengan
bulan September termasuk untuk persiapan, perijinan dan penyusunan proposal.
Lokasi penelitian dilakukan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nii
Tanasa yang terletak di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten
Konawe.
C. Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat sampling udara
(Air Impinger), Termometer, Anemometer, Windvane, Spektrofotometer
sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan atau cairan kimia, Software
Gambit versi 2.3 dan software Fluent versi 6.3.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Data Primer, adalah data empirik yang diperoleh di lapangan dengan
melakukan penelitian langsung pada lokasi PLTU Nii Tanasa, yaitu
56

melakukan pengukuran langsung konsentrasi SO2 dari sampel udara
ambien.
2. Data sekunder, adalah data meteorologi berupa berupa arah dan kecepatan
angin, gradien temperatur dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
wilayah Kota Kendari. Data dari Divisi Lingkungan PLTU Nii Tanasa
berupa data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara,
tinggi dan diameter cerobong asap pabrik.
E. Prosedur Penelitian
1. Mengumpulkan data dari Bagian Divisi Lingkungan PLTU Nii Tanasa berupa
data pemakaian batu bara, kadar sulfur batu bara dan data fisik cerobong asap
untuk menentukan debit aliran gas SO2. Mengumpulkan data meteorologi
berupa arah dan kecepatan angin, gradien temperatur di lokasi PLTU dari
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Kendari.
2. Melakukan pengukuran langsung di lokasi dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a) Melakukan pengambilan sampel udara di sekitar wilayah penyebaran gas
buang cerobong asap yang dilakukan pada saat mesin beroperasi dengan
menggunakan alat (Low Volum Samples) Mini Pump, kemudian sampel
udara diukur dengan menggunakan untuk mendeteksi SO2.
b) Mengukur jarak titik pengambilan sampel udara ambien dengan lokasi
sumber cerobong asap.
c) Mengukur kecepatan angin dan suhu udara di lokasi.
3. Langkah Pengerjaan dengan Model Fluent
Pada Fluent langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan atau
57

mensimulasikan suatu case adalah sebagai berikut:
a) Pembuatan geometri atau Grid Model ruang dari model yang akan
digunakan pada penelitian ini menggunakan software Gambit yang
merupakan salah satu software pendukung dari Fluent. Geometri yang
digunakan untuk melakukan pemodelan dispersi SO2 berbentuk balok.
b) Pembuatan mesh geometri yang telah dibuat dalam Gambit selanjutnya
dimasukkan sebagai grid dasar model dan penentuan kondisi operasional
model dispersi SO2
c) Penetapan persamaan yang akan digunakan dalam Fluent ditentukan
berdasarkan pemecahan yang terlibat dalam case tersebut. Dalam
penelitian ini, persamaan utama yang digunakan adalah persamaan
turbulensi, chemical species tranport dan transpor panas.
d) Pada Fluent perlu juga ditentukkan inputan berupa data-data
thermophysical (keterangan unsur atau senyawa) yang dimasukkan ke
dalam model. Dalam penelitian ini senyawa yang dijadikan masukan
adalah senyawa SO2.
e) Setelah semua inputan dan syarat batas dari model telah ditentukan,
selanjutnya dilakukan processing dari model ini. Inisialisasi ini
menentukkan titik awal dari perhitungan model.
f) Melakukan proses iterasi model (running model). Proses iterasi pada
Fluent merupakan proses perhitungan model hingga dicapai suatu nilai
yang sesuai.
g) Pengolahan hasil dari simulasi dengan menggunakkan Fluent. Pada Fluent
58

diberikan banyak pilihan untuk melakukkan postprocessing, dengan
menggunakan contour, vector, path line, grafik, histogram dan beberapa
proses lainnya.
4. Hasil dari keluaran model akan di validasi dengan membandingkan nilai
konsentrasi SO2 dari hasil permodelan terhadap hasil sampling lapangan
dengan hasil pengukuran langsung udara ambien pada lokasi, dan
kesesuaiannya dengan Nilai Ambang Batas (NAB).
F. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telaj dikumpulkan selanjutnya diolah menggunakan software
Gambit dan Fluent untuk menghasilkan model sebaran SO2. Hasil perhitungan
dispersi konsentrasi SO2 tersebut kemudian di plot dalam koordinat x, y dan z
kemudiam dianalisa secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi
antara nilai konsentrasi hasil permodelan dengan hasil pengukuran langsung udara
ambien berdasarkan baku mutu emisi yang ditetapkan oleh pemerintah.









59



Gambar 10. DiagramAlir Pengolahan dan Analisis Data


Arah dan Kecepatan
Angin
Temperatur Lingkungan
- Data Emisi Gas SO
2
-Temperatur Gas SO
2
DataFisik Cerobong
Konsentrasi Hasil
Sampling
Skenario Stabilitas
Geometri Model
(Gambit v2.3)
Model Fluent
Visualisasi
Konsentrasi dalam
3D
Validasi
Analisis dan
Pembahasan
60

G. Metoda Verifikasi Hasil Model
Hasil dari keluaran model akan diverifikasi dengan menggunakan perbandingan
terhadap hasil sampling lapangan. Galat nilai konsentrasi hasil model dengan
sampling dihitung berdasarkan rumusan sebagai berikut:
golot =_
C
Iup
C
mdI
C
Iup
_100%
Dimana C merupakan nilai konsentrasi hasil dari pemodelan dan pengukuran di
lapangan.

Anda mungkin juga menyukai