Anda di halaman 1dari 11

SYOK ANAFILAKTIK : ETIOLOGI, PENATALAKSANAAN, MACAM

REAKSI, DAN MEDIATOR ANAFILATIK


servasius epi | 03.04 | anasthesi|HEMATOLOGI|kesehatan
SYOK ANAFILAKTIK PERIOPERATIF
PENDAHULUAN
Dalam sejarah kasus reaksi anafilaktik sudah dikenal sejak 2641 SM dari catatan
Mesir kuno yang menyebutkan bahwa Raja Menes meninggal dunia mendadak akibat
sengatan serangga. Istilah anafilaktik sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Portier
dan Richet, ilmuwan Perancis, pada tahun 1902 ketika mereka mengawasi reaksi akut
dan fatal dari anjing yang mendapat suntikan ulang toksin anemone laut.
Pengetahuan tentang prosedur penanganan anafilaktik perlu dipahami dan dikuasai
agar kita dapat bertindak dengan cepat dan tepat saat menjumpai kasus tersebut,
dengan demikian dapat terlindung dari tuntutan hukum karena telah menjalankan
prosedur penanganan yang benar.
Insiden reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1 % pada penderita, sedangkan pada
pembedahan angka kejadiannya 0,01 %. Di Australia reaksi anafilaktik terjadi 1 :
5000, dan kejadian penderita yang dianestesi sebanyak 1 : 25.000 dengan angka
kematian 3,4 %. Di Inggris reaksi reaksi anafilaktik menyebabkan kematian sebanyak
4,3 % dan menyebabkan kerusakan otak sebanyak 5,6 %.

SYOK ANAFILAKTIK
Reaksi alergi merupakan interaksi antara antigen atau benda asing dengan sistem
imun. Molekul antigen yang dapat berupa salah satunya adalah obat dengan kurang
dari 1000 dalton jarang menyebabkan reaksi alergi, tetapi biasanya bergabung dengan
protein sehingga molekul obat menjadi besar dan dapat menyebabkan reaksi alergi.
Pada pemberian obat yang pertama, tubuh membentuk antibodi spesifik, pemberian
obat berikutnya menyebabkan reaksi alergi.
Gell dan Coombs membagi reaksi alergi menjadi 4 tipe :
o Reaksi tipe I ( anaphylactic / immediate hypersensitivity )
Reaksi ini terjadi karena ikatan antigen dan antibodi yang telah terikat
dengan sel mast atau basofil. Ikatan ini menyebabkan rusaknya sel
mast, sehingga mengeluarkan mediator untuk menimbulkan reaksi
alergi. Akibat pelepasan mediator menyebabkan urtikaria, edema
laring, dengan atau tanpa kolapsnya kardiovaskuler.
o Reaksi tipe II ( cytotoxic antibody )
Reaksi alergi terjadi karena adanya reaksi antara Ig G atau Ig M
dengan antigen yang terikat dalam sel ( antigen golongan darah,
antigen penisilin yang terikat dalam sel darah merah ). Reaksi antigen
antibody akan mengaktifkan sistem komplemen, sehingga
menyebabkan sel lisis. Reaksi tipe II ini juga dapat terjadi tanpa
menggunakan komplemen. Antibodi akan berikatan dengan antigen
yang terikat pada sel menyebabkan kerusakan sel. Contoh reaksi tipe II
adalah ABO incompatibilitas, drug induced hemolitik anemia,
leukopenia, trombositopenia.
o Reaksi tipe III ( immune complex )
Antigen dan antibodi yang telah terikat beredar dalam tubuh, kemudian
terikat pada jaringan, komplemen, lekosit polimorfonuklear. Hal ini
akan menyebabkan pelepasan enzim dari pagosit sel. Enzim ini
menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi tipe III terjadi dalam 7 14
hari setelah terpapar antigen terus menerus. Contoh reaksi alergi tipe
III ini adalah serum sickness dan drug fever.
o Reaksi tipe IV ( delayed hypersensitivity / cell mediated immunity )
Reaksi ini tidak diperankan oleh antibodi, tapi oleh limposit T. Pada
reaksi ini reseptor sel T akan melepaskan sitokin, yang akan
menyebabkan limfosit dan mononuclear berpoliferasi. Contoh reaksi
ini adalah tes tuberkulin dan kontak dermatitis.
Definisi anafilaktik adalah sindroma klinik (kompleks gejala) yang timbul secara
mendadak sebagai akibat perubahan permeabilitas vaskuler dan hiperaktivitas
bronkial karena kerja dari mediator mediator endogen yang dihasilkan oleh sel sel
mast dan basofil akibat stimuli antigen. Jadi anafilaktik merupakan reaksi antigen
antibodi ( reaksi hipersensitivitas ). Penderita yang mengalami syok anafilaktik
termasuk dalam kegawatan medis dan harus segera ditangani karena dapat segera
jatuh kesituasi yang membahayakan bahkan fatal.

ETIOLOGI ATAU MACAM PENYEBAB SYOK ANAFILATIK
Antibiotik : Penisilin, Streptomisin dll
NSAID : Salisilat, Aminopirin
Narkotik analgesik : Morfin, kodein
Obat-obat lain : Protamin, Yodium
Anestetik lokal : Prokain, Lidokain
Anestetik Umum : Tiopental
Pelumpuh otot : Suksinil kolin, Tubokurarin
Produk darah dan Anti sera : Eritrosit, ABU
Bahan diagnostik : Radiokontras Yodium
Makanan : Telur, Kerang
Bisa : Lebah, Ular
Hormon : Insulin, ACTH
Ensim : Asetilsistein, Pankreas
Ekstrak alergen : Tepung sari, Makanan

PATOFISIOLOGI ATAU PROSES TERJADINYA SYOK ANAFILATIK
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak melalui
kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis
kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui suntikan .
Fase sensitisasi
o Antigen yang masuk kedalam tubuh akan diikat oleh protein yang spesifik.
Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan
segera merangsang membran sel makrofag untuk melepaskan sel prekursor
pembentuk reagen antibodi imunoglobulin E atau reaginic ( Ig E ) antibody
forming precursor cell. Sel sel prekursor ini lalu mengadakan mitosis dan
menghasilkan serta membebaskan antibodi Ig E yang spesifik. Ig E yang
dibebaskan ini segera di ikat oleh reseptor sesuai yang berada pada dinding sel
mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini
berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama.
Fase hipersensitivitas .
o Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang serupa, maka
antigen ini akan segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan di
ikat membentuk ikatan Ig E Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel
mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator
mediaotor endogen seperti histamin, kinin, serotonin, platelet activating faktor
( PAF ). Mediator mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel
sel target yaitu sel otot polos.
o Pelepasan mediator endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut
dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak
dapat diatasi dengan pemberian antihistamin. Pada saat fase akut ini
berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain.
Fosfolipid yang terdapat dimembran sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim
fosfolipase berubah menjadi asam arakhidonat dan kemudian menjadi
prostaglandin, tromboksan dan lekotrin / SRS-A ( slow reacting substance of
anaphylaxis ) yang juga merupakan mediator mediator endogen anafilaktik.
Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka
disebut dengan fase lambat anafilaksis.
o Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk kedalam tubuh dapat
langsung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamin oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan Ig
E dan reaksi ikatan Ig E-antigen. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang
memberikan gejala dan dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi
anafilaktik.


Gambar Proses sensitisasi

Gambar Reaksi hipersensitivitas

MEDIATOR-MEDIATOR REAKSI ANAFILAKTIK
Histamin
o Histamin adalah amin dengan berat molekul rendah, tersimpan dominan dalam
jaringan mast sel dan basofil. Menyebabkan dilatasi kapiler dan vena serta
meningkatkan permeabilitas vaskuler. Histamin bekerja pada reseptor H1 dan
H2 yang responsibel terhadap penurunan tahanan vaskuler dan meningkatkan
permeabilitas venula-venula. Histamin juga menyebabkan vasokontriksi
koroner ( efek H1 ) dan respon vaskuler vasodilatasi daan reaksi lokal kulit
melalui reseptor H1 dan H2. reseptor H2 menyebabkan respon kronotropik.
Histamin secara cepat dikeluarkan melalui jaringan vaskuler oleh sel-sel
endotelial vaskuler. Histamin meningkatkan siklik AMP.
Eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
o ECF-A adalah asam peptida dengan BM 500-600 dalton, disimpan dalam
granula sel mast. Merupakan kemotaktik terhadap eosinofil. Tidak jelas peran
eosinofil terhadap respon alergi. Namun selama fagositosis eosinofil
melepaskan histamin, fosfolipase D dan arysulfatase. Enzim-enzim ini
diaktifkan histamin dan SRS-A.
Platelet activating factor ( PAF )
o PAF adalah asetilgliseril eter fosforikolin. Menyebabkan agregasi platelet dan
bronkokontriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan mengatur fungsi
lekosit.
Slow reacting substance of anaphylaxis ( SRS-A )
o SRS-A disintesa bila ada antigen dan tidak disimpan dalam intra seluler.
Merupakan produk dari metabolisme oksidatif dari asam arakhidonat melalui
lipooksigenase dan terdiri dari 3 bagian : leukotrin C4, D4, E4. menyebabkan
kontriksi otot halus bronkial. SRS-A lebih poten 4000 kali dalam
menyebabkan bronkokontriksi daripada histamin. Efek yang lain yaitu
provokasi peradangan kulit, kemotaksis terhadap lekosit PMN dan
menyebabkan pelepasan enzim lisosomal dari lekosit.
Prostaglandin
o Prostaglandin adalah asam lemak unsaturated, yang disintesa pada saat ada
stimulus inflamasi. Juga merupakan produk dari asam arakidonat melalui
siklus siklooksigenasi. Prostaglandin adalah mediator yang poten dan dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler, bronkospasme, hipertensi pulmonal dan
vasodilatasi perifer.
Kinins
o Kinins adalah peptida dengan BM rendah dimana meningkatkan permeabilitas
kapiler, dilatasi pembuluh darah, kontraksi otot-otot halus dan menyebabkan
leukotaktik. Proses dari Ig E sendiri dapat menghasilkan kinins.

PENGARUH MEDIATOR ENDOGEN TERHADAP SEL TARGET
Pada reaksi anafilaktik, histamin dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan
dapat berupa :
1. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relatif.
2. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia urin, kontraksi uterus menyebabkan diare.
3. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstitiel dan menyebabkan
hipovolemi intra vaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di
kulit, bronkus epiglotis dan laring.
4. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium,
bila hal ini terjadi dengan hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.

GAMBARAN KLINIS SYOK ANAFILATIK
Gejala dan tanda yang timbul akibat reaksi anafilaktik sangat bervariasi dan berbeda
beda pada tiap individu, tergantung cara antigen masuk, jumlah dan kecepatan
absorbsi dan tingkat hipersensitivitas tubuh. Dapat terjadi dalam beberapa menit
setelah terpapar atau 1-2 jam setelah terpapar. Antigen yang masuk melalui parenteral
akan lebih cepat memberikan reaksi dibandingkan melalui cara yang lain dan reaksi
yang terjadi dapat bersifat sementara atau terus berlanjut.
Manifestasi pada tubuh antara lain :
o Pada Kulit
Eritema
Urtikaria
Flushing
Gatal
Angioedema
Pucat
Sianosis
o Pada Gastrointestinal
Mual
Muntah
Diare
Abdominal cramps
o Pada sistem Respirasi
Gejala pada respirasi pada anafilaktik merupakan kegawatan, terjadi
asfiksia akibat edema laring. Diperlukan perawatan secara baik dalam
penanganan komplikasi respirasi. Gejala dan tanda yang timbul :
Suara serak
Sesak
Distress pernafasan
Batuk
Whezing
Rinitis
Spasme bronkus
Edema laring
o Pada sistem Kardiovaskuler
Takikardia
Hipotensi
Disritmia
Miokard infark
o Lain- lain
Rasa cemas
Parestesi
Kejang-kejang
Gangguan pembekuan darah
Kesadaran menurun

DIAGNOSA
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
o Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, sedikit lebih mahal
dan lebih mudah mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan
skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure
dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan
datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 :
1.000.000 dari dosis initial.
o Kadar komplemen dan antibodi
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah
reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi.
Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena,
kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat
mengancam kehidupan.
o Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh
antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat
spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada
beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non
imunologik ) pada pelepasan histamin.
o Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan
RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan
dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita.
Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada
kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E.
ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
Pengobatan harus cepat, kalau penanganan lambat bersifat fatal

PENATALAKSANAAN ANAFILAKTIK
Anafilaktik merupakan kompleks gejala yang timbul secara mendadak sebagai akibat
perubahan permeabilitas vaskuler dan hiperaktivitas bronkial karena kerja dari
mediator mediator endogen yang dihasilkan oleh sel sel mast dan basofil akibat
stimuli antigen. Jadi anafilaktik merupakan reaksi antigen antibodi ( reaksi
hipersensitivitas ). Penderita yang mengalami syok anafilaktik termasuk dalam
kegawatan medis dan harus segera ditangani karena dapat segera jatuh kesituasi yang
membahayakan bahkan fatal.
Berbagai obat yang digunakan dalam terapi anafilaktik umumnya ditujukan untuk:
1. Menghambat sintesis dan lepasnya mediator\
2. Blokade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas
3. Mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator
Skema penghambatan obat-obat terhadap reaksi anafilaktik dapat dilihat pada gambar
1 dan 2. Untuk menjamin keberhasilan penanganan anafilaktik diperlukan suatu
persiapan yang matang dan adanya rencana terapi yang jelas.perlu dipikirkan pula
bahwa dalam melakukan suatu tindakan, kemungkinan yang terburuk (anafilaktik)
dapat saja terjadi. Jadi dengan kesiapan menghadapi hal tersebut, akibat buruk dari
anafilaktik dapat dikurangi.
Persiapan yang dapat dilakukan adalah:
1. Persiapan mental,pengetahuan dan ketrampilan
2. Persiapan fasilitas, alat :
Adanya tempat untuk menidurkan penderita dalam posisi syok pada
alas yang keras.
Penerangan yang cukup agar tindakan dan observasi dapat dilakukan
dengan baik.
Kemungkinan memasang infus dan menggantung botol
Tensimeter yang berfungsi baik
Semprit berbagai ukuran
Kateter intravena untuk infus dengan berbagai ukuran.
Infus set
Tabung oksigen beserta regulator, flow meter, selang dan kanula nasal/
masker bila mungkin
3. Persiapan obat-obatan :
o Adrenalin siap dalam semprit
o Simpatomimetik lain : efedrin, metaraminol, dopamin
o Antihistamin : difenhidramin
o Kortikosteroid : hidrokortison, prednisolon, deksametason
o Cairan kristaloid : RL, Na Cl 0,9 %
o Cairan koloid ( bila memungkinkan ) : dekstran, hemasel, albumin.
Pengobatan harus cepat, kalau penanganan lambat bersifat fatal

Pengobatan reaksi anafilaktik dibagi dalam 2 bagian :
TERAPI AWAL
o Dianjurkan pada penderita yang mengalami syok dilakukan posisi syok yaitu
dengan tidur terlentang dan kaki diangkat 30 40 0. Pasien sebaiknya
dimonitor sampai dengan kondisi stabil dan status haemodinamiknya menjadi
stabil.
o Menghentikan alergen yang dicurigai
o Mempertahankan jalan nafas dan Pemberian oksigen 100%
Kegagalan ventilasi dan perfusi yang berat mungkin akibat dari
bronkospasme, hipertensi pulmonal dan kebocoran kapiler paru.
Perubahan-perubahan ini dapat terjadi beberapa jam selama reaksi
anafilaksis yang akan menjadi hipoksemia. Oleh karena itu jalan nafas
harus dipertahankan dan mendapat suplai oksigen (dianjurkan oksigen
100%) sampai keadaan umum membaik. Intubasi endotrakea
dikerjakan bila belum terpasang dan ada indikasi untuk
pemasangannya.
o Menghentikan semua agen anestesi
Prosedur ini dilakukan jika pasien ada pada perawatan rumah sakit dan
sedang menggunakan obat-obatan anasthesia. Agen anestesi
mempunyai sifat negatif inotropik dan dapat menurunkan tahanan
vaskular sistemik. Agen anestesi harus dihentikan untuk menghindari
hipotensi. Halotan, enfluran, dan atau isofluran bukan merupakan
bronkodilator pada anafilaksis.
o Memperbaiki volume darah
Lebih dari 40% volume intravaskular cepat keluar masuk ruangan
intersisiil pada reaksi anafilaksis akut selama anestesia. Terapi yang
efektif adalah dengan mengganti volume darah. Cepatnya cairan yang
keluar dan berhasilnya penggantian cairan yang hilang pada reaksi
anafilaktik, dapat dievaluasi dengan menggunakan Tranoesophageal
echocardiografi. Tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa
cairan koloid lebih baik dari kristaloid. Pemberian segera 1 2 liter
cairan ringer laktat atau normal salin adalah penting untuk langkah
awal pada reaksi anafilaktik. Memperbaiki volume darah perlu bila
hipotensi menetap.
o Memberikan efinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamin dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah
adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil
sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamin
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer
dan otot polos bronkus.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg subkutan setiap 15 menit sesuai
beratnya gejala. Bila penderita mengalami pre syok atau syok dapat
diberikan dengan dosis 0,3 0,5 mg (dewasa) dan 0,01 mg/kg (anak)
secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit sampai tekanan
darah sistolik mencapai 90 100 mmHg.
TERAPI SEKUNDER
Antihistamin
o Histamin merupakan salah satu mediator utama pada manifestasi akut reaksi
anafilaktik atau anafilaktoid, efek vasodilator histamin pada reseptor H1 dan
H2, kedua reseptor tersebut akan terblok bila semua secara potensial
berpengaruh pada kardiovaskular efek histamin diantagonis. Pada penelitian
terapi pendahuluan pada pasien sebelum histamin dikeluarkan menunjukkan
tidak efektif mencegah atau mengurangi efek respon kardiopulmonari bila
digunakan antagonis reseptor H1 dan H2. Meskipun histamin satu-satunya
mediator yang dikeluarkan pada reaksi anafilaktik dan anafilaktoid, jumlahnya
banyak pada manifestasi awal.
o Tidak ada bukti bahwa pemberian antihistamin efektif pada pengobatan reaksi
anafilaktik bila mediator telah dikeluarkan. Pemberian antihistamin
direkomendasikan hanya sebagai terapi sekunder pada reaksi anafilaktik dan
anafilaktoid akut. (dosis yang dianjurkan : difenhidramin 1 mg/ Kg ; atau
chlorpheniramine 0,1 mg/Kg sebagai H1 bloker ; dan 4 mg/Kg sebagai H2
bloker)
Aminofilin
o Bila masih terjadi bronkospasme ( hemodinamik stabil ), aminofilin diberikan
sebagai bronkodilator. Aminofilin menginhibisi fosfodiesterase yang
merupakan enzim hasil degradasi siklik AMP pada keadaan normal. (initial
loading dose 7 9 mg/Kg yang diberikan lebih dari 20 30 menit).
Katekolamin
o Bila masih terjadi bronkospasme, isoproterenol digunakan sebagai suatu beta-
adrenergik agonis murni dan bronkodilator. Obat ini juga baik digunakan bila
dikombinasi dengan epinefrin pada pasien yang mendapat obat blok reseptor
beta-adrenergik. Efek beta-2-adrenergik isoproterenol menyebabkan
vasodilatasi dan hipotensi, terutama pada pasien yang telah mendapat
vasodilator atau kehilangan darah.
o Takikardi merupakan efek yang tidak diinginkan dari isoproterenol, sebab
isoproterenol mengakibatkan dilatasi arteri pulmonalis, hal ini digunakan
untuk peningkatan resisten vaskular paru pada reaksi anafilaktik berat bila ada
masalah oksigenasi atau terjadinya disfungsi ventrikel kanan. ( dosis awal
untuk bronkospasme persisten adalah 0,5 1 g / menit / 70 KgBB ).
Efinefrin
o Bila masih terjadi hipotensi dan bronkospasme, efinefrin drip dapat digunakan
setelah manipulasi volume darah dan setelah pemberian bolus epinefrin. Dosis
efinefrin dimulai dari 1 2 g / menit / 70 KgBB dan dititrasi sampai efeknya
tercapai.
Norepinefrin (levoped)
o Norefinefrin digunakan untuk mempertahankan tekanan darah pada pasien
yang cendering hipotensi sampai manipulasi volume tercapai. Meskipun
secara teoritis obat alfa-adrenergik merangsang pelepasan mediator, hipotensi
mengakibatkan terganggunya perfusi ke cerebral dan coroner yang harus
diterapi lebih agresif.
Steroid
o Meskipun kortikosteroid merupakan obat yang dianjurkan dan harus diberikan
pada reaksi yang berat seperti shock dengan bronkospasme dan hipotensi yang
refrakter, tidak ada bukti tentang dosis dan preparat yang tepat. Akan tetapi, di
percaya bahwa 2 gr hidrokortison fosfat (atau ekivalen) adalah tepat untuk
disfungsi kardiopulmoner. Dosis besar metilprednison (35 mg/Kg) dapat
menghambat agregasi complemen-induced polymorphonuclear sel dan
pelepasan enzim lisosom in vitro.
o Kortikosteroid dapat menurunkan pelepasan mediator vasoaktive dan
metabolit asam arachidonat pada anafilaksis melalui stabilisasi membran
fosfolipid atau melalui perangsangan macrocortin yang menghambat
pembelahan fosfolipid.
Natrium bikarbonat
o Bila hipotensi yang terjadi resisten terhadap pengobatan, dapat diberikan 0,5
1 mEq / Kg dan monitor keseimbangan asam-basa.
Evaluasi jalan nafas
o Edema laring dapat terjadi pada reaksi anafilaktik dan bengkak dapat menetap.
Bila edema laring telah terjadi, keadaan ini terlihat saat ekstubasi.
Untuk menjamin keberhasilan penanganan anafilaktik diperlukan suatu persiapan yang
matang dan adanya rencana terapi yang jelas. Pengobatan harus cepat, kalau penanganan
lambat bersifat fatal. Jadi dengan kesiapan menghadapi hal tersebut, akibat buruk dari
anafilaktik dapat dikurangi.

Faktor resiko

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan
anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin,
NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah,
latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

Faktor pemicu
Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-
obatan.Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan
gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa
yang lebih tua.Penyebab yang lebih jarang diantaranya adalah faktor fisik, senyawa biologi
(misalnya air mani), lateks, perubahan hormonal, bahan tambahan makanan (misalnya
monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit
(pengobatan topikal).
Worm, M (2010). "Epidemiology of anaphylaxis.". Chemical immunology and allergy 95:
1221
Faktor risiko
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai risiko
tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Mereka ini
tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan.
Lee, JK; Vadas, P (2011 Jul). "Anaphylaxis: mechanisms and management.". Clinical and
experimental allergy : journal of the British Society for Allergy and Clinical Immunology 41
(7): 92338.

Anda mungkin juga menyukai