Anda di halaman 1dari 11

Standar Nasional Indonesia (SNI)

Pengertian
Standar Nasional Indonesia adalah satu-satunya
HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Standar" \o "Standar"
standar
yang berlaku secara nasional di
HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" \o "Indonesia"
Indonesia
. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh
HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional" \o "Badan
Standardisasi Nasional"
Badan Standardisasi Nasional
.

Definisi SNI Menurut BSN
SNI didefinisikan sebagai berikut : adalah dokumen berisi ketentuan teknis (aturan, pedoman atau
karakteristik) dari suatu kegiatan atau hasilnya yang dirumuskan secara konsensus dan ditetapkan
oleh Instansi terkait untuk dipergunakan oleh stakeholder dengan tujuan mencapai keteraturan
yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu.

Lingkup SNI
Meliputi :
Ketentuan tentang kelayakan produk ditinjau dari aspek keselamatan, kesehatan, keamanan,
kelestarian fungsi lingkungan dan kepentingan publik.
Ketentuan tentang mutu, kinerja, kompatibilitas, interoperatibilitas, dan keragaman produk.
Ketentuan tentang sistem manajemen kegiatan ditinjau dari aspek kepastian dan perbaikan mutu,
sanitasi dan kesehatan masyarakat, serta kelestarian fungsi lingkungan.
Persyaratan pelaksanaan penilaian kesesuaian obyek tertentu terhadap ketentuan tersebut di atas.

Manfaat SNI
Melindungi kepentingan masyarakat dan kelestarian fungsi lingkungan.
Menghilangkan segmentasi pasar, menghilangkan hambatan dan meningkatkan efisiensi transaksi
perdagangan, serta membentuk iklim persaingan yang sehat dan transparan.
Meningkatkan kompatibilitas dan daya saing produk di pasar global, serta memperlancar
pembentukan rantai produksi.
Meningkatkan kepastian usaha bagi produsen dan melindungi kepentingan konsumen.

Penerapan SNI
Penerapan standar oleh pihak yang berkepentingan pada dasarnya bersifat sukarela.
Untuk keperluan melindungi keselamatan manusia, keamanan dan kesehatan masyarakat,
kelestarian fungsi lingkungan, serta perkembangan ekonomi dan kepentingan umum lain, standar
dapat diberlakukan secara wajib oleh pemerintah sehingga menjadi persyaratan pasar yang wajib
dipenuhi.
Instansi pemerintah yang berhak memberlakukan standar wajib adalah instansi yang memiliki
lingkup kewenangan meregulasi suatu kegiatan tertentu dan/atau peredaran produk yang
dihasilkan oleh kegiatan itu.
Penerapan standar adalah kegiatan menggunakan standar oleh unsur-unsur yang terkait seperti
pemerintah, profesi, produsen, konsumen, laboratorium dan lembaga sertifikasi.
Pemerintah, Standar merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk melaksanakan
pengaturan, dan pengawasan untuk melindungi kepentingan umum.
Profesi, Penerapan standar bagi unsur profesi sangat penting untuk pengembangan metoda, sistem,
ilmu pengetahuan, teknologi dan cara pemecahan masalah yang terkait dengan kegiatan
standardisasi.
Produsen, Bagi produsen, penerapan standar memingkinkan terjadinya penyederhanaan operasi
proses pada semua tingkat, pengurangan jenis dan ragam persediaan bahan baku, komponen, dan
produk akhir, penggunaan teknik teknik produksi massal, dan peningkatan efisiensi dan
produktivitas.
Konsumen, Dengan produk standar, menunjukkan produk tersebut sesuai dengan standar nasional.
Bagi konsumen yang menggunakannya akan terjamin keamanan dan keselamatannya.
Lembaga sertifikasi dan laboratorium, Melalui penerapan standar, lembaga sertifikasi, dan
laboratorium berperan serta dalam menjamin mutu barang dan/atau jasa serta kebenaran hasil
pengukuran dan pengujian.

Penyusunan Standar
Penyusunan standar di Indonesia, di dasarkan atas 2 sumber, yaitu ; standar internasional yang
telah diakui oleh mayarakat profesi, dan standar yang disusun dari konsep murni dan hasil
perkembangan penelitian. Apabila sumber diambil dari standar internasional, adopsi yang
dilakukan dapat dengan 2 cara, yaitu :
Adopsi identik,
SNI dikatakan identik dengan standar ISO/IEC bila memenuhi ketentuan berikut:
SNI berisikan substansi teknis, struktur dan kata-kata yang sama persis (terjemahan identik), atau
SNI berisikan substansi teknis, struktur dan kata-kata yang sama persis (terjemahan identik),
walaupun berisi sedikit perubahan editorial seperti:
Penggantian koma menjadi titik pada bilangan desimal;
Perbaikan kesalahan ketik (misalnya kesalahan pengejaan) atau perubahan halaman;
Penghilangan teks dalam satu atau beberapa bahasa dari Standar ISO/IEC yang mempergunakan
lebih dari satu bahasa;
Penambahan ralat teknis atau amandemen yang diterbitkan untuk Standar ISO/IEC tersebut;
Perubahan judul agar konsisten dengan seri SNI yang telah ada;
Penggantian kata Standar ISO/IEC ini menjadi SNI ini;
Penambahan materi informatif nasional (misalnya lampiran informatif yang tidak mengubah,
menambah atau menghilangkan ketentuan dalam Standar ISO/IEC), sebagai contoh saran untuk
pengguna, pedoman pelatihan atau formulir yang disarankan, atau laporan.
Penghapusan materi yang bersifat informatif pada halaman judul, daftar isi, kata pengantar, dan
pendahuluan dari standar ISO/IEC;
Perubahan kata (penggantian kata atau ungkapan dalam SNI dengan sinonimnya untuk
memberikan pengertian yang umum digunakan di wilayah Indonesia)
Penambahan, untuk tujuan informatif, nilai penghitungan ulang satuan kuantitas jika terdapat
perbedaan sistem pengukuran yang digunakan di Indonesia.
Adopsi modifikasi,
SNI merupakan modifikasi dari standar ISO/IEC jika mengikuti ketentuan berikut:
Penyimpangan teknis dibolehkan sepanjang dapat diidentifikasi dan diterangkan dengan jelas. SNI
mencerminkan struktur dari Standar ISO/IEC. Perubahan struktur hanya dibolehkan jika substansi
dan struktur dari kedua standar dapat mudah dibandingkan. Untuk transparansi dan ketertelusuran,
sangat dianjurkan agar SNI hanya mengadopsi dari satu standar ISO/IEC (tidak dicampur dengan
cuplikan bagian standar lain). Dalam situasi tertentu, dimungkinkan untuk mengadopsi beberapa
standar bagian (berseri) dari ISO/IEC menjadi satu SNI. Namun demikian, standar ini perlu
dilengkapi dengan daftar identifikasi yang memudahkan pembandingan dan penjelasan
penyimpangan yang terjadi atau perubahan-perubahan substansi yang ada. SNI hasil adopsi
modifikasi dapat juga mencantumkan perubahan yang diperbolehkan dalam kesetaraan identik.
Standar modifikasi dianggap tidak memenuhi prinsip bolak-balik (vice versa). Standar
modifikasi dapat mencakup hal-hal berikut:
SNI berisikan substansi yang lebih sedikit dari standar ISO/IEC yang diadopsi, SNI yang hanya
mengambil sebagian dari pilihan yang tersedia dalam Standar ISO/IEC, mempunyai persyaratan
yang lebih longgar.
SNI berisikan substansi lebih banyak dari ISO/IEC yang diadopsi
SNI yang menambahkan aspek atau jenis, memuat persyaratan yang lebih ketat, termasuk
pengujian tambahan dan lain-lain.
SNI mengubah bagian dari Standar ISO/IEC
Substansi dari bagian yang diubah tersebut identik, tetapi baik SNI maupun Standar ISO/IEC
mengandung beberapa persyaratan yang berbeda.
SNI menyediakan pilihan alternatif
SNI menyediakan pilihan alternatif yang dapat digunakan selain ketentuan yang ada dalam
Standar ISO/IEC. Proses adopsi standar internasional diatur diatur dalam PSN 03.1:2007.

Pengembangan Standar Nasional Indonesia
Pengembangan Standar Nasional Indonesia merupakan upaya yang dilakukan BSN dalam rangka
merencanakan pembuatan standar yang meliputi Perumusan SNI, pelaksanaan perumusan,
penetapan, publikasi dan pemeliharaan SNI. Langkah ini dilakukan melalui program Nasional
Perumusan Standar (PNPS). PNPS dilakukan untuk merumuskan SNI dalam periode tertentu,
yang dipublikasikan agar dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan. Tahapan dalam
pengembangan standar nasional Indonesia terdiri dari :
Tahap 1 Pemrograman SNI
Tahap 2 Perumusan Rancangan SNI (RSNI)
Tahap 3 Jajak Pendapat RSNI3
Tahap 4 Persetujuan RSNI4
Tahap 5 Penetapan SNI
Tahap 6 Pemeliharaan SNI

Pemprograman/Perencanaan
Dalam pelaksanaannya perencanaan PNPS dilakukan dengan oleh BSN melalui menyusun
kebijakan pengembangan SNI jangka panjang dan jangka pendek dengan memperhatikan:
kebijakan nasional di bidang standardisasi;
kebutuhan pasar
perkembangan standardisasi internasional;
kesepakatan regional dan internasional;
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Berdasarkan kebijakan tersebut di atas, setiap pertengahan tahun anggaran, BSN menetapkan
Rencana PNPS untuk periode satu tahun berikutnya dan menyampaikan perencanaan tersebut
kepada seluruh panitia teknis.

Berdasarkan Rencana PNPS, panitia teknis atau subpanitia teknis selanjutnya menyusun dan
menetapkan usulan PNPS sesuai lingkup tugasnya. Usulan PNPS berasal dari panitia teknis,
namun usulan tersebut harus mencakup usulan dari subpanitia teknisnya dan disepakati oleh
seluruh anggota panitia teknis atau anggota subpanitia teknis pengusul.

Dalam menyusun usulan PNPS, panitia teknis/subpanitia teknis memperhatikan dan
menjaring masukan dari berbagai pihak terutama pemangku kepentingan, Masyarakat
Standardisasi Indonesia (MASTAN) dan instansi teknis terkait, serta memperhatikan sumber daya
dan target waktu penyelesaian.
waktu untuk penyelesaian perumusan RSNI (RSNI1, RSNI2, RSNI3, RSNI4);
waktu yang harus disediakan untuk mendapatkan tanggapan terhadap RSNI dari pihak pihak
yang berkepentingan (jajak pendapat/enquiry);
waktu yang diperlukan untuk melaksanakan konsensus nasional terhadap RSNI (pemungutan
suara/voting);
penetapan dan publikasi SNI.
Penyusunan target waktu perlu diusahakan sesingkat mungkin tanpa mengurangi mutu dari
standar yang dirumuskan. Sebagai acuan perencanaan program dapat digunakan perkiraan waktu
sebagai berikut:
Penyelesaian RSNI1 3 bulan
Penyelesaian RSNI2 3 bulan
Penyelesaian RSNI3 3 bulan
Jajak pendapat (enquiry) 3 bulan (2 bulan dan perpanjangan 1 bulan)
Penyelesaian RSNI4 2 bulan
Pemungutan suara (voting) 3 bulan (2 bulan dan perpanjangan 1 bulan)
Penetapan SNI 1 bulan
Publikasi SNI 1 bulan

Perumusan SNI
Berlandaskan hukum pada PP 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. SNI dirumuskan
oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh
HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional" \o "Badan
Standardisasi Nasional"
Badan Standardisasi Nasional
. Agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan
dengan memenuhi WTO
Code of good practice, yaitu:
Openess (keterbukaan): Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat
berpartisipasi dalam pengembangan SNI;
Transparency (transparansi): Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat
mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap
penetapannya . Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan
pengembangan SNI;
Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak): Tidak memihak dan konsensus agar
semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena
memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar
negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan
internasional; dan
Development dimension (berdimensi pembangunan): Berdimensi pembangunan agar
memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing
perekonomian nasional. (Strategi BSN 2006-2009)
/


Penilaian dan Penetapan PNPS
Penilaian dan penetapan PNPS dilakukan oleh BSN, dengan memperhatikan usulan panitia teknis
dengan mempertimbangkan:
kesesuaian usulan dengan lingkup panitia teknis;
duplikasi atau keterkaitan usulan dari panitia teknis yang berbeda;
duplikasi dengan SNI yang telah ada;
duplikasi dengan perumusan RSNI yang sedang dilaksanakan;
duplikasi dengan program perumusan standar internasional yang sedang dilaksanakan;
kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional.

Publikasi
Sesuai dengan ketentuan TBT-WTO, sekurang-kurangnya satu kali setiap 6 (enam) bulan BSN
akan mempublikasikan PNPS dan perubahannya serta status pelaksanaan PNPS periode
sebelumnya melalui website BSN (http://www.bsn.or.id atau http://sisni.bsn.go.id) atau media lain
dan menotifikasikan publikasi tersebut kepada Pusat Informasi ISO/IEC. Pengembangan Standar
Nasional Indonesia
Secara lengkap diatur dalam PSN 01 2007.
















Standar Biodiesel

Biodiesel
Biodiesel merupakan Bahan Bakar Nabati berupa Ester Metil dari asam asam lemak (fatty acid
methyl ester, FAME). Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis
Biodiesel Sebagai Bahan Bakar Lain yang Dipasarkan di Dalam Negeri diatur berdasarkan
Keputusan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJ EBTKE) Nomor 723
K/10/DJE/2013 yang mengacu pada SNI 7182:2012 Biodiesel. Istilah "Bio" pada biodiesel
merujuk kepada bahan bakunya yang terbarukan dan bahan hayati yang berbeda dari minyak solar
yang berbahan baku minyak bumi. Saat ini bahan baku utama produksi biodiesel di Indonesia
adalah minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil). Biodiesel murni (B100) dan campurannya dengan
minyak solar dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Dalam istilah perdagangan
campuran biodiesel dengan minyak solar umumnya dinamakan dengan notasi BXX. Misalnya,
B10 menunjukkan bahwa campuran bahan bakar tersebut mengandung 10%-vol Biodiesel dan
90%-vol minyak solar. Di Indonesia jenis bahan bakar ini dipasarkan oleh PT Pertamina (Persero)
dengan nama Biosolar. Beberapa Badan Usaha Niaga BBM juga memasarkan bahan bakar ini
dengan nama yang disesuaikan dengan penyalurnya. Standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar
nabati (Biofuel) jenis biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dapat dipasarkan di Indonesia,
ditetapkan dan diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi Nomor 723K/10/DJE/ 2013. (Direktorat Bioenergi-DJ EBTKE, 2013)
Biodiesel menurut Department of Energi (DOE), Environmental Protection Agency EPA) dan
American Society of Testing Material (ASTM), biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang
menjanjikan yang dapat diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas
melalui esterifikasi dengan alkohol. Selanjutnya biodiesel didalam ASTM D6751 12, Standard
Specification for Biodiesel Fuel Blend Stock (B100) for Middle Distillate Fuels, dibedakan
menjadi :
Grade 1 - B S15 Biodiesel yang digunakan untuk pencampur dengan tujuan khusus untuk
digunakan dalam aplikasi bahan bakar distilat tengah yang dapat sensitif terhadap adanya reaksi
glycerides sebagian, termasuk pada aplikasi yang memerlukan operabilitas pada suhu rendah yang
baik, dan bahan bakar dengan campuran komponen sulfur maksimum 15 ppm.
Grade 1 - B S500 Biodiesel yang digunakan untuk pencampur dengan tujuan khusus untuk
digunakan dalam aplikasi bahan bakar distilat tengah yang dapat sensitif terhadap adanya reaksi
glycerides sebagian, termasuk pada aplikasi yang memerlukan operabilitas pada suhu rendah yang
baik, dan bahan bakar dengan campuran komponen sulfur maksimum 500 ppm
Kelas No 2 - B S15 biodiesel yang digunakan untuk pencampur dengan tujuan umum untuk
digunakan dalam aplikasi bahan bakar distilat tengah yang memerlukan bahan bakar dengan
campuran komponen sulfur maksimum 15 ppm .
Kelas No 2 - B S500 biodiesel yang digunakan untuk pencampur dengan tujuan umum untuk
digunakan dalam aplikasi bahan bakar distilat tengah yang memerlukan bahan bakar dengan
campuran komponen sulfur maksimum 500 ppm .

Biodiesel menurut EN 14214-2008, Biodiesel adalah Fatty Acid Metil Ester (FAME) yang akan
digunakan sebagai bahan bakar pada kendaraan bermesin diesel pada konsentrasi 100%, atau
sebagai extender untuk bahan bakar kendaraan bermesin diesel sesuai dengan persyaratan EN 590.
Biodiesel dengan konsentrasi 100% dapat diaplikasikan sebagai bahan bakar pada kendaraan
bermesin diesel yang dirancang atau dimodifikasi agar dapat dijalankan pada penggunaan
biodiesel 100%.

Acuan Standar
Dalam penyusunan Revisi SNI Biodiesel diperlukan acuan standar yang berlaku di dunia,
beberapa acuan yang berlaku di Erope dan Amerika digunakan sebagai bahan untuk merevisi
beberapa parameter yang ada. Standar biodiesel untuk Eropa dikeluarkan oleh European
Committee for Standarization dengan nomor EN 14214 tahun 2008. Parameter yang digunakan
untuk melakukan standarisasi untuk Biodiesel yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
kendaraan bermesin diesel akan disampaikan pada tabel 1.

Tabel. 1. Persyaratan Umum dan Metode Pengujian Biodiesel
/
Standar yang digunakan sebagai acuan untuk parameter pengujian biodiesel di Amerika
dikeluarkan oleh ASTM, pada ASTM D6751-12, Standard Specification for Biodiesel Fuel Blend
Stock (B100) for Middle Distillate Fuels dimana biodiesel dibedakan menjadi 4 kelas berdasarkan
penggunaan dan jumlah sulfur dalam campuran biodiesel dengan bahan bakar destilat tengah.
Untuk penggunaan khusus (penggunaan bahan bakar pada suhu rendah) campuran FAME dengan
bahan bakar destilat tengah digolongkan dengan kandungan sulfur maksimal sebesar 15 ppm
dengan kode Grade 1 - B S15 dan 500 ppm dengan kode Grade 1 - B S500. Sedangkan untuk
penggunaan umum campuran FAME dengan bahan bakar destilat tengah juga digolongkan dengan
kandungan sulfur maksimal sebesar 15 ppm dengan kode Grade 2 - B S15 dan 500 ppm dengan
kode Grade 2 - B S500. Persyaratan dan metode pengujian pada ASTM D6751-12 dapat dilihat
pada tabel 2.

Di Indonesia saat ini standar yang digunakan sebagai acuan untuk pengujian biodiesel dikeluarkan
oleh Badan Standarisasi Nasioanal dalam SNI 7182:2012. Pada SNI tersebut disampaikan bahwa
standar ini dirumuskan dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari segi mutu, disamping
juga melindungi produsen dan mendukung perkembangan industri biodiesel, serta dengan
memperhatikan masukan dari konsumen, produsen dan penyalur serta standar sejenis yang sudah
berlaku di negara-negara lain yang pemakaian biodieselnya sudah luas dan mencapai tahap
komersial. Selain itu Standar ini juga dibuat dengan didasarkan pada ketersediaan dan
keberagaman bahan baku biodiesel di tanah air. Persyaratan dan metode pengujian pada SNI
7182:2012 dapat dilihat pada tabel 3.


Tabel. 2. Persyaratan Umum dan Metode Pengujian Biodiesel ASTM D6751-12
/
Tabel. 3. Persyaratan Umum dan Metode Pengujian Biodiesel SNI 7182:2012
//





Parameter Revisi
Revisi standar Biodiesel adalah sesuatu yang harus dilakukan agar biodiesel yang diproduksi atau
digunakan dapat selalu memenuhi tuntutan pengguna biodiesel. Hal hal yang selama ini belum
diketahui akan mulai terlihat ketika penggunaan biodiesel dilakukan secara berkesinambungan.
Seperti halnya ketika ASTM pertamakali mengeluarkan standar untuk Biodiesel ditahun 2002
tidak langsung kualitas biodiesel yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan dapat digunakan
tanpa masalah. Antara tahun 2002 sampai dengan 2013 standar ASTM D6751 sudah mengalamai
17 kali pembaharuan secara terus menerus dan dapat meningkatkan kualitas biodiesel.
Pembaharuan terakhir yaitu dengan tambahkannya kelas biodiesel dengan biodiesel kelas 1, untuk
biodiesel yang dapat beroperasi pada temperatur yang dingin, hal ini dilakukan karena sebelumnya
pada penggunaan biodiesel terjadi masalah ketika digunakan pada cuaca yang dingin. Untuk
mengatasi cuaca dingin parameter adanya monogliserida juga di perhatikan dengan memberikan
batasan adanya kandungan monoglyserida maksimum 0,4 % berat pada biodiesel grade 1-B.
Beberapa parameter yang mengalami pembaharuan seiring dengan permintaan pengguna baik
pada EN dan ASTM akan diperoleh dengan membandingkan prasarat umum dari standar yang ada
untuk kemudian dijadikan pertimbangan untuk memperbaharui nilai parameternya, tentunya
dengan mempertimbangkan kepentingan produsen didalam negeri yang diketahui dari proses
monitoring hasil produksi biodiesel. Berikut disampaikan beberapa parameter yang menjadi acuan
untuk diperbaharui dalam SNI Biodiesel.
Kadar Phosfor
Phosfor ada didalam biodiesel berasal dari phospholipid yang terkandung dalam minyak nabati
dan garam inorganik yang berasal dari minyak goreng bekas yang terdapat dalam bahan baku
pembuatan biodiesel. Phosfor memiliki efek yang buruk terhadap sistem katalis pada sistem
pembuangan emisi gas buang.
Kadar Sulfur
Bahan bakar dengan nilai sulfur tinggi akan mengakibatkan pengaruh buruk untuk kesehatan dan
lingkungan. Bahan bakar dengan kadar sulfur rendah sangat penting untuk dapat mengontrol
sistem emisi buang. Mesin yang dioperasikan dengan bahan bakar yang mengandung sulfur tinggi
akan menghasilkan lebih banyak Sulfur dioksida dan partikulat serta memiliki emisi yang dapat
menyebabkan potensi mutasi gen lebih tinggi. Selain itu bahan bakar dengan kandungan sulfur
yang tinggi akan mengakibatkan kerusakan pada mesin dan menurunkan efisiensi dari katalis pada
sistem pembuangan gas buang. Biodiesel sebagai bahan bakar yang berasal dari minyak nabati
biasanya sudah memiliki kandungan sulfur yang rendah, akan tetapi penggunaan katalis asam
yang berlebihan dan gagalnya proses pencucian biodiesel pada saat proses pembuatan biodiesel
dapat meningkatkan kandungan sulfur dalam biodiesel.
Angka Asam
Angka asam didalam biodiesel seharusnya rendah untuk menjamin tidak adanya sisa asam lemak
sisa proses atau sisa katalis yang akan tertinggal didalam Biodiesel. Adanya kelebihan asam
didalam Biodiesel akan menimbulkan adanya deposit asam dan korosi pada sistem bahan bakar.
Kandungan Mono, di dan trigliserida
Perilaku kendaraan bermesin diesel saat bahan bakarnya berada pada temperatur lingkungan yang
sangat rendah akan dapat mengakibatkan terjadinya pemadatan parsial yang mengakibatkan
penyumbatan pada saluran bahan bakar dan saringannya. Berdasarkan hal tersebut beberapa
masalah seperti kesulitan saat menghidupkan mesin dan kegagalan pelumasan mengakibatkan
gagal beroperasinya mesin kendaraan yang menggunakan bahan bakar biodiesel. Hal ini
disebabkan karena adanya rantai panjang dari bahan baku baku biodiesel berupa gugus mono, di
atau trigliserida yang mengalami reaksi parsial dan membeku pada temperatur dibawah titik
lelehnya.
Jumlah partikel.
Seperti halnya adanya kandungan Mono, di dan trigliserida dalam biodiesel yang terlarut, jumlah
partikel diasosiasikan dengan adanya sejumlah asam lemak atau minyak yang membeku pada
temperatur dibawah titik lelehnya. Atau juga karena adanya endapan berupa sedimen dan air yang
terserap dari udara, jika jumlahnya melebihi jumlah yang diinginkan akan mengakibatkan
terjadinya penyumbatan pada injektor bahan bakar dan mengakibatkan gagalnya mesin kendaraan
yang berbahan bakar biodiesel.
Berikut disampaikan parameter yang akan mengalami revisi dengan didasarkan pada penambahan
parameter pengujian pada standar EN dan ASTM untuk biodiesel maupun permintaan dari
pengguna biodiesel yang disampaikan pada tabel 4.
Tabel. 4 Usulan Perubahan Parameter dan Norma Standar Biodiesel
PARAMETER
SNI 7182:2012
ASTM D 6751-12
EN 14214:2012
REVISI







Phosfor
Maks. 10 mg/kg
0.001 % massa
4.0 mg/kg
4.0 mg/kg4,gi

Belerang
Maks. 100 mg/kg
Maks. 15
Maks. 10
50

Angka Asam
Maks. 0,6 mg KOH/g
Maks. 0,5
Maks. 0,5
0,50

Kandungan Monoglycerida
-
Maks. 0,4 % massa
Maks. 0,8 % massa


Particle Count
-
-
-



Revisi beberapa parameter ini harus disosialisasikan dan disepakati lewat jalan konsensus. Akan
tetapi dalam prakteknya kita harus memperhatikan kesiapan produsen biodiesel di Indonesia untuk
memenuhi parameter kualitas tersebut, selain itu perlu dilakukan pengecekan mengenai kesiapan
laboratorium di Indonesia untuk bisa melakukan pengujian terhadap parameter yang akan di
standarkan. Untuk parameter pengujian kadar phosfor, belerang dan angka asam sudah dapat
dilakukan di laboratorium terstandar dan sudah ada data hasil monitoring kualitas biodiesel.
Sedangkan untuk parameter pengujian kandungan monoglycerida dan partikel count perlu
dilakukan survey laboratorium dan harga pengujiannya. Hal ini dilakukan karena kita belum
memiliki data hasil monitoring kualitas biodiesel untuk 2 parameter ini. Setelah diketahui berapa
jumlah kandungan monoglycerida dan particle countnya baru kemudian kita sepakati besaran nilai
untuk parameter tersebut.






Penentuan Kadar FAME

Standar Minyak Nabati Murni Untuk
Bahan Bakar Diesel Putaran Sedang

RSNI Kompor Biogas




Reff.
Direktorat Bioenergi-DJ EBTKE, 2013. PETUNJUK TEKNIS PENCAMPURAN (BLENDING)
BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) JENIS MINYAK SOLAR DENGAN BAHAN BAKAR
NABATI (BBN) JENIS BIODIESEL, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi, KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
ASTM, Standard Specification for Biodiesel Fuel Blend Stock (B100) for Middle Distillate Fuels,
ASTM D6751 12. ASTM International, 100 Barr Harbor Drive, PO Box C700, West
Conshohocken, PA 19428-2959. United States
EUROPEAN STANDARD, 2008. Automotive fuels - Fatty acid methyl esters (FAME) for diesel
engines - Requirements and test methods, EN 14214. EUROPEAN COMMITTEE FOR
STANDARDIZATION, rue de Stassart, 36 B-1050 Brussels.

Anda mungkin juga menyukai