Anda di halaman 1dari 7

Mengamalkan Lima

“ M ”
(Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah,
Muhasabah, dan Mu’aqabah)

ْ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو ْلتَ ْنظُرْ نَ ْفسٌ َما قَ َّد َم‬
َ‫ت لِ َغ ٍد َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa
(orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"   . (Q.S. Al
Hasyr : 18)
Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan
perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak
untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga
menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah
antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Dapat memprediksi bahkan
memprsiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari hari
ini. Singkatnya ada perbedaan dan peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat
berarti masa depan dalam kehidupan ini dan berarti pula hari esok yang hakiki yaitu
akhirat. Hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan
kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT,
dengan cara Melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah,
Muhasabah, dan Mu’aqabah.
Pertama : Mu’ahadah
Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT, sebelum manusia lahir ke
dunia, pada alam gaib, yaitu pada alam arwah. Allah telah membuat “kontrak” tauhid
dengan ruh. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belim
berupa materi (badan jasmani), maka logis sekali jika manusia tidak pernah merasa
menulis kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah konkrit yang diikrarkan oleh manusia kepada Allah setelah kelahirannya
ke dunia adalah berupa ikrar janji kepada Allah, yang terefleksi minimal 17 kali dalam
sehari dan semalam dalam bentuk shalat wajib dalam ucapan sebagaimana yang terdapat
dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Sebuah
ikrar janji yang mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah dengan mengatakan bahsa
Allah, tidak ada yang lain lagi, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan,
sehingga tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang
boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT. Demikian komentar Imam as Syaukani dalam
kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut
Tafaasir’. Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan)
bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.”
Kedua: Mujahadah
Mujahadah berarti bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah dan amal
shaleh yang telah diperintahkan Allah SWT dan sekaligus sebagai amanat serta tujuan
diciptakannya manusia.
Dengan beribadah, manusia merasa dirinya sebagai ‘abdun (hamba) yang senantiasa
berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah SWT Sang Khaliq) sebagai konsekuensi
akibat, karena dirinya dirinya sebagai hamba harus berbakti (beribadah). Mujahadah
sebagai sarana untuk menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah sebagai
perwujudan keimanan dan ketaqwaannya kepada-Nya. Karena itu Allah SWT senantiasa
memerintahkan kepada manusia untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.
Hal ini dijelakan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa
yang telah kamu kerjakan.”
Orang-orang yang selalu bermujahadah dalam merealisasikan keimanannya dengan
beribadah dan beramal shaleh dijanjikan Allah bahwa mereka akan mendapatkan petunjuk
langsung dari Allah berupa jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan
rusyda yang dijanjikan Allah tersebut hanya dikaruniakan kepada orang-orang yang terus
bermujahadah dengan istiqamah, selalu dalam situasi dawaamuzzikri kepada Allah SWT,
dan tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batinnya terus musyahadah kepada keagungan Ilahi, sehingga tak ada
kewajiban yang diperintahkan kepadanya yang ia lalaikan dan tidak ada larangan Allah
yang ia langgar. Sekali lagi, jiwanya terus hadir dengan khusyu’, mereka itulah orang-orang
mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan
mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”
Marilah kita simah perkataan Imam Al Qusyairian Naisaburi ketika mengomentari
tentang mujahadah –sebagaimana yang terdapat dalam kitab tasawufnya Risalatul
Qusyairiyah sebagai berikut:
“Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama
larut dalam mengikuti hawa nafsu, kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa
menunggang nafsu, maka anda harus mengendalikannya dengan kendali taqwa. Manakala
jiwa bersikeras ingkar terhadap kehendak Tuhan, maka anda harus mengembalikan nya
agar menolak hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, maka anda harus
mengendalikan keadaan ini. Brtahan dalam lapar (puasa) dan jaga (bangun malam di
perempat malam), adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan
membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit.”
Karena itu, mujahadah adalah suatu keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh siapa
saja yang menginginkan kebersihan jiwa dan kematangan iman dan taqwa.

)16(ِ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإل ْن َسانَ َونَ ْعلَ ُم َما تُ َوس ِْوسُ بِ ِه نَ ْف ُسهُ َونَحْ نُ أَ ْق َربُ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِريد‬
)17(‫إِ ْذ يَتَلَقَّى ْال ُمتَلَقِّيَا ِن ع َِن ْاليَ ِمي ِن َو َع ِن ال ِّش َما ِل قَ ِعي ٌد‬
)18(‫َما يَ ْلفِظُ ِم ْن قَوْ ٍل إالَّ لَ َد ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي ٌد‬
“Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua
orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya
Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf: 16-18)
Ketiga : Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi dan disertai oleh Allah SWT sehingga
dengan adanya kesadaran ini akan mendorong manusia untuk senantiasa rajin
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian dalam kondisi dan
situasi apapun manusia selalu berhasrat dan berkeinginan berbuat yang terbaik serta
menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk selalumengamalkan Muraqabah
dalam setiap amal perbuatan bahwa sesungguhnya Allah SWT senantiasa menyaksikan
segala apa yang diperbuat oleh hambanya.
Syekh Ali Ad Daqqaq berkomentar, bahwa sabda Rasulullah SAW di atas merupakan
petunjuk mengenai keadaan mawas diri kepada Allah SWT (Muraqabah),sebab mawas diri
adalah kesadaran seorang hamba bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya. Marilah kita
simak perkataan para ulama tentang Muraqabah:
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kita
dibangun atas dua bagian, yaitu hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk muraqabah
terhadap Allah SWT dan hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak dalam prilaku
lahiriahmu.”
Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku,
‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan
jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh brkumpulnya mereka di sekelilingmu,
sebab mereka hanya memperhatikan wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT
memperhatikan wujud batinmu.”
Terdapat dalam kitab Al Mustakhlish fi Tazkiyatil Anfus karya Syeikh Sa’id Hawwa
sebuah cerita tentang kematangan Muraqabah seorang murid yang diuji oleh syeikhnya.
Diceritakan bahwa seorang syeikh memiliki seorang murid muda yang dihormati dan
diutamakannya, lalu sebagian kawan murid tersebut berkata kepada syeikh, “Bagaimana
engkau menghormati anak muda ini padahal kami lebih tua?” kemudian syeikh tersebut
meminta sejumlah burung dan memberikan seekor burung kepada setiap orang dari
mereka berikut sebilah pisau, seraya berkata; “Masing-masing kalian hendaklah
menyembelih burungnya di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun.” Kemudian masing-
masing mereka kembali dengan membawa burungnya yang telah disemblih, kecuali murid
muda yang kembali dengan membawa burungnya yang masih hidup di tangannya.
Syeikhnya bertanya; “Mengapa kamu tidak menyembelihnya sebagaimana yang telah
dilakukan oleh kawan-kawanmu?” Murid muda itu menjawab: “aku tidak menemukan
tempat dimana aku tidak dilihat oleh siapapun, karena Allah SWT senantiasa melihatku di
setiap tempat.” Akhirnya mereka mengakui kematangan Muraqabah murid muda tersebut
seraya berkata: “Anda berhak dihormati!”
Dalam setiap situasi dan keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari
ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dari nikmat yang harus disyukurinya,
serta tidak terlepas dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT kepadanya yang harus
dilaksanakannya atau larangan yang harus dihindarinya, dan semua itu adalah Muraqabah.
Muraqabah dapat membentuk mental dan keperibadian seseorang sehingga ia
menjadi manusia yang jujur dan selalu ikhlas lillahita’ala dalam melaksanakan segala
sesuatu. Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang
terdapat dalam kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani Beliau mengatakan:
“Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan dimanapun engkau
berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam
hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah perkataanmu, baik yang zhahir
maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu secara zhahir. Allah SWT
yang mengontrol hal di dalam batin. Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam
setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam
keseharianmu. Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali
engkau berbuat riya’ dan nifaq, karena hak itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian
maka engkau akan disiksa. Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang
engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang
terang-terangan, semuanya sama. Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diriny
kepada-Nya(Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi
seluruh larangan-Nya.”
Allah SWT berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang berada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan Tiada (pembicaraan
antara) lima orang melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan
antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka
dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari
kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu.”
(Q.S. Al Mujaadilah : 7)

)40(‫) َوأَ َّن َس ْعيَهُ َسوْ فَ يُ َرى‬39(‫ان إالَّ َما َس َعى‬ ِ ‫ْس لِإل ْن َس‬َ ‫َوأَ ْن لَي‬
)44(‫)وأَنَّهُ ه َُو أَ َماتَ َوأَحْ يَا‬
َ 43(‫)وأَنَّهُ ه َُو أَضْ َحكَ َوأَ ْب َكى‬
َ 42(‫ك ْال ُم ْنتَهَى‬
َ ِّ‫) َوأَ َّن ِإلَى َرب‬41(‫ثُ َّم يُجْ َزاهُ ْال َجزَ ا َء ْاألَوْ فَى‬
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi
balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya
kepadaTuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya Dialah yang menjadikan
orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan yang
menghidupkan.”
(QS. An-Najm: 39-44)

Keempat: Muhasabah
Muhasabah berarti introspeksi diri; menghitung diri terhadap amal yang telah
dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, tahu kemampuan yang
ada pada dirinya, tahu perhitungan, dan lebih dari itu adalah selalu mempersiapkan diri
untuk kehidupan kelak yang abadi, yaumul akhir. Dengan melakasanakan Muhasabah,
seorang hamba akan senantiasa mempergunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-
baiknya, dengan penuh perhitungan bahwa apa yang kini ia kerjakan di dunia yang fana
inilah yang akan menolongnya di kemudian hari, baik amal dalma bentuk ibadah mahdhah
maupun amal sholeh yang berkaitan dengan kehidupannya di masyarakat (interaksi sosial).

Allah SWT memerintahkan setiap hamba untuk selalu mengintrispeksi dirinya dengan
meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.
melaksanakan shaat shubuh. Ketika salam, ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih
hati lalu diam hingga terbit matahari. Kemudian membalik tangannya seraya berkata:
“Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW dan sekarang aku
tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan
pucat pasi; mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah; mereka
membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat
mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin; mata
mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang
seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta
mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama
yang bernama Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah menulis sebagai
berikut:
“Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru
yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari
kiamat.”
Menurut Malik bin Nabi waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai
manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Sedemikian
besar peranan waktu, sehingga Allah SWT berkali-kali bersumpah dengan berbagai kata
yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang),
dan lain-lain.
Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu
akan terus berlalu. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangankan keuntungan yang akan
diperoleh, modalpun hilang.
Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan
waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. Diantara hadits-hadits Nabi SAW tersebut sebagai
berikut:
ُ ‫ص َّحةُ َو الفَ َرا‬
‫غ‬ ِ َّ‫نِ ْع َمتَا ِن َم ْغبُوْ ٌن فِ ْي ِه َما َكثِ ْي ٌر ِمنَ الن‬
ِّ ‫ ال‬،‫اس‬
“Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu
luang).” (H.R. bukhari melalui Ibnu Abbas r.a)
Kelima: Mu’aqabah
Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan
kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera mnghapusnya dengan
melaksanakan amal yang lebih utama meskipun terasa berat. Misalnya, menginfaqkan
sebagian hartanya karena meninggalkan shalat berjamaah.
Kesalahann maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak
tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan
norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah. Berbuat salah adalah
manusiawi namun berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang
melampaui batas dan wajib ditinggalkan dan wajib dijauhi. Di dalam kontek Islam, orang
baik bukan lah orang yang tidak mempunyai salah dan dosa. orang yang baik justru orang
yang mempunyai salah tetapi mengakui dirinya salah kemudian bertaubat, dalam arti
kembali ke jalan Allah dan berniat tidak akan mengulanginya untuk kedua kalinya.
Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab

Anda mungkin juga menyukai