Anda di halaman 1dari 3

Kasus Audit Umum PT Kereta Api Indonesia (KAI)

10 Feb
Penerapan proses GCG dalam suatu perusahaanmerupakan proses yang tidak mudah. Diperlukan
konsistensi, komitmen dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan
dalam perusahaan. Dalam perusahaan publik maupun di BUMN penerapan proses GCG belum
diterapkan dan dipahami seutuhnya. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus kasus yang terjadi.
Seperti kasus audit umum yang dialami oleh PT KAI. Kasus ini menunjukkan bagaimana proses
tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ
pengawas di dalam menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu
menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. PT KAI memiliki business
environment yang berbeda dengan perusahaan lainnya.
Permasalahan yang dihadapi PT KAI
Kasus ini bermuara dari perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris, khususnya
ketua komite audit. Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang
telah diaudit oleh Auditor Eksternal.
Perbedaan pandangan tersebut bersumber pada perbedaan pendapat mengenai:
1. Masalah piutang PPN
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 M, menurut Komite Audit harus
dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak
dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa
pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN
atas jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.
2. Masalah Beban Ditangguhkan yang Berasal dari Penurunan Nilai Persediaan
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp 6 M yang merupakan
penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum di amortisasi, menurut Komite Audit harus
dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.
3. Masalah Persediaan Dalam Perjalanan
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang RP 1,4 M yang dialihkan dari satu unit
kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31
Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.
4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya ( BPYBDS ) Dan
Penyertaan Modal Negara ( PMN )
BPYBDS sebesar Rp 674,5 M dan PMN sebesar Rp 70 M yang dalam laporan audit digolongkan
sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus
direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.
5. Masalah Uang Muka Gaji
Biaya dibayar di muka sebesar Rp 28 Milyar yang merupakan gaji bulan Januari 2006 dan
seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005
diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada
tahun 2005.
Beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta
Api, adalah :
1. Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor
eksternal.
2. Komite audit tidak ikut dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat dalam
proses audit.
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan pada komite audit, dan komite
audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga
ketika komite audit mempertanyakannya, manajemen merasa tidak yakin.
KESIMPULAN
1. Perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan
cara yang lebih elegan.
2. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan
Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris
sehinnga Dewan Komisaris memiliki satu suara.
3. Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.
4. Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik
merupakan salah satu fakttor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini.
5. Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu
ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan
prinsip akuntansi yang berlaku.
6. Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang
khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastrukture Maintenance
and Operation), TAC (Track Access Charges), dan BPYBS serta komputerisasi akuntansi dan
penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.
SARAN
1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini
sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.
2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang
salah tidak boleh dipertahankan.
3. Komite Audit tidak bicara pada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ
Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada
Dewan Komisaris.
4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun
budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.
5. Komite Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing,
mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi
kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.
6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat, dan full disclosure.
7. Komite Audit menjebatani agar semua pihak di perusahaan trlibat aktif dalam pengawasan.

Anda mungkin juga menyukai