Anda di halaman 1dari 27

HEPATITIS

I. Definisi
Istilah hepatitis digunakan untuk semua jenis peradangan pada hati (liver). Penyebabnya
dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan, termasuk obat tradisional.
Virus hepatitis termasuk virus hepatotropik yang dapat mengakibatkan hepatitis A (HAV),
hepatitis B (HBV), delta hepatitis (HDV), hepatitis C (HCV), dan hepatitis E (HEV). Selain itu
juga akhir-akhir ini ditemukan juga virus-virus hepatitis F dan G. Hepatitis A, B, dan C paling
banyak ditemukan. Hepatitis F baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Hepatitis G menyebabkan
hepatitis dengan gejala serupa hepatitis C, dan seringkali terjadi bersamaan dengan hepatitis B
dan atau C.
Hepatitis yang disebabkan oleh virus memiliki beberapa tahapan (akut, fulminant, dan kronis)
tergantung dari durasi atau keparahan infeksi. Yang dimaksud dengan hepatitis akut infeksi virus
sistemik yang berlangsung selama kurang dari 6 bulan, dan yang dimaksud dengan hepatitis
kronis adalah gangguan-gangguan yang berlangsung lebih dari 6 bulan dan merupakan
kelanjutan dari hepatitis akut. Hepatitis fulminant adalah perkembangan mulai dari timbulnya
hepatitis hingga kegagalan hati dalam waktu kurang dari 4 minggu, oleh karena itu hanya terjadi
pada bentuk akut (Yulinah dkk, 2008).

II. Patofisiologi
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada
hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis
sel perenchyn hati (Gillespie et all, 2009). Respon peradangan menyebabkan
pembekakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel
hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan
kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah
sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler
jaundice (Gillespie et all, 2009).
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan timbunya sakit dengan gejala
ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih
gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepatitis dengan sub akut dan
kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan
kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit
kronik hati atau kanker hati (Gillespie et all, 2009).

1. Hepatitis A
Virus Hepatitis A biasanya menyebabkan suatu penyakit pembatasan diri sendiri dengan tingkat
kefatalan kasus yang rendah. Penyakit itu adalah suatu infeksi virus sistemik sampai (tetapi tidak
melebihi) 6 bulan di dalam jangka waktu, menghasilkan nekrosis inflammatory dari hati. Secara
alami proses infeksi pada hepatitis A dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan penanda serologi hati
yaitu tahap inkubasi, hepatitis akut dan convalescence (pemulihan). Tahap inkubasi dimulai tidak
lama setelah virus masuk ke dalam tubuh baik secara parenteral maupun secara oral. Setelah
virus mencapai sistem sirkulasi, virion yang infektif berakumulasi dalam sinusoid hepatic dan
bersatu dengan hepatosit. Replikasi HAV terjadi secara eksklusif pada hepatosit dan sel epitel
gastrointestinal. Antigen viral ditemukan pada sitoplasma hepatosit selama inkubasi. Sesudah itu
mereka dilepaskan kedalam empedu dan feses. Virus mengalami kemunduran-kemunduran
ketika gejala-gejala klinis muncul. Selama tahap inkubasi, tuan rumah tidak menampakkan
gejala.
Hepatitis akut dimulai dengan fase preikterik yang mana setara dengan inisiasi respon imun host
dan terjadi sebelum sel liver mengalami kerusakan yang signifikan. Fase preikterik ini secara
teratur berasosiasi seperti gejala influenza non spesifik yang terdiri atas anoreksia, mual, pening
dan meriang-meriang. Kebanyakan pasien dengan hepatitis viral akut menunjukkan hanya
sedikit gejala ringan dan kerusakan hepatosit yang minimal. Penyakit ringan ini dikenal dengan
hepatitis akut anikterik.
Hepatitis ikterik secara umum disertai dengan demam, rasa sakit pada abdominal kuadran kanan
atas, mual, muntah, urin berwarna gelap, tinja berwarna gelap, dan memburuknya gejala
sistemik. Gejala klinik disertai dengan meningkatnya serum bilirubin, -globulin dan
transaminase hepatic dari 4-10 kali diatas normal. Kebanyakan pasien dengan anikterik akut atau
hepatitis akut juga akan mengalami fase penyembuhan untuk menyelesaikan proses recovery
tanpa menimbulkan komplikasi atau menjadi kronik.
Kerusakan hati dimediasi oleh sitolitik T-sel yang memiliki peran utama dalam destruksi sel.
Kematian hepatosit merupakan manifestasi dari eliminasi virus dan pemecahan akhir dari
pengobatan. Viremia dimulai segera setelah infeksi dan terus berlanjut hingga jumlah enzim hati
meningkat. Respon antibody host awal munculnya HAV sebagai partikel virus dimulai dengan
menghilangkan keberadaannya dalam feses. Seperti kebanyakan respon antibody, antibody dari
kelas IgM muncul pertama kali dan menunjukkan adanya infeksi. IgM anti HAV biasanya
dideteksi 5-10 hari sebelum gejala terlihat. Setelah 2-6 bulan, IgM antibody ditempati oleh
antibody IgG yang mana biasanya berlangsung seumur hidup dan memberikan imunitas terhadap
HAV. Pasien yang menerima immunoglobulin akan memiliki titer anti HAV yang rendah untuk
beberapa minggu setelah inokulasi. Pasien yang menerima vaksin hepatitis A akan memiliki anti
HAV juga. Sebagian besar pasien yang terkena hepatitis A akan sembuh.

2. Hepatitis B
HBV tidak patogenik terhadap sel, tetapi respons imun terhadap virus ini yang bersifat
hepatotoksik. Kerusakan hepatosit menyebabkan peningkatan kadar ALT yang terjadi akibat lisis
hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi HBV bergantung pada
integritas sistem imunologis seseorang. Infeksi kronik terjadi jika terdapat gangguan respon
imunologis terhadap infeksi virus. Virus hepatitis B dapat menimbulkan hepatitis akut maupun
kronis (berlangsung secara mendadak dan cepat memburuk). Selain itu Virus hepatitis B dan
hepatitis C mempunyai resiko penderita terkena kanker hati.
Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah, partikel Dane
masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan
memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan
HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. HBV merangsang respon imun tubuh, yang
pertama kali dirangsang adalah respon imun non spesifik (innate immune response) karena dapat
terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi
nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi HBV lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan
mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak
reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida HBV-MHC kelas I yang ada pada permukaan
dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presentating Cell (APC) dan dibantu
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida
HBV-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida HBV yang ditampilkan pada permukaan dinding
sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau
HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang
terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang terinfeksi
melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkanoleh
sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara
lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel HBV bebas
dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah
penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik HBV bukan disebabkan gangguan produksi anti-
HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang
tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam
kompleks dengan HbsAg.



Immunopatogenesis Hepatitis B Kronik
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi HBV dapat diakhiri (akut),
sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi HBV yang menetap (kronik).
Proses eliminasi HBV oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus
ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk
HBV, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya
mutan HBV yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom HBV dalam genom sel hati.
Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap
antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, faktor kelamin atau
hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk HBV dalam persistensi HBv adalah
mekanisme persistensi infeksi HBV pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HbsAg dan HbeAg
positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang
masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi HBV, sedangkan persistensi pada usia dewasa
diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi
infeksi HBV dapat disebabkan karena mutasi pada daerah pre-core dari DNA yang menyebabkan
tidak dapat diproduksinya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi.
Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik
Ada 4 fase pada perjalanan penyakit hepatitis B kronik, yaitu fase imunotolerans, fase
imunklirens (imunoaktif), inactive carrier state, dan fase reaktivasi.
Fase Imunutolerans
Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap HBV
sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi
peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu HBV ada dalam fase replikatif dengan titer
HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA HBV tinggi dan
konsentrasi ALT (alanin aminotransferase) yang relatif normal. Pada fase imunotolerans praktis
tidak ada respon imun terhadap partikel virus hepatitis B sehingga tidak ada sitolisis sel-sel hati
yang terinfeksi dan tidak ada gejala
.
Fase imunoklirens
Pada fase imunoklirens didapatkan kadar transaminase yang meningkat dan pada fase ini tubuh
memulai memberikn respon imun terhadap hepatitis B dan hal ini akan mengubah HBeAg yang
positif menjadi negatif dan anti HBe menjadi positif. Pada fase ini terjadi gejala klinik dan
kenaikan transaminase dengan berbagai tingkat mulai dari yang asimptomatik sampai dengan
gejala klinik yang parah yang dapat terjadi berulang kali. Pada fase ini dapat terjadi eksaserbasi
akut yang disebut dengan flare. Bila flare ini terjadi berulang kali maka sirosis hati akan cepat
terjadi.
Fase inactive carrier state
Setelah fase imunklirens ini berlangsung, penderita masuk ke dalam fase inactive carrier state di
mana praktis tidak ada gejala klinik, trasaminase biasanya normal, HBeAg negatif dan anti HBe
positif. Tetapi pada sebagian pasien, walaupun HBeAg negatif dan anti HBe positif, tetapi
replikasi virus hepatitis B belum berhenti. Pasien-pasien ini mengidap infeksi hepatitis B dengan
mutant pre core, virus yang telah mengalami mutasi ini tidak mampu membuat HBeAg tetapi anti
HBe tetap dibentuk oleh host karena pada tingkat sel T respon imunologik terhadap HBcAg dan
HBeAg sama. Pada pasien dengan VHB tipe liar, serokonversi HBeAg menjadi anti HBe
merupakan pertanda baik dan kemungkinan untuk terjadi sirosis dan hepatoma kecil. Pada
pasien-pasien dengan infeksi VHB mutant pre core karena masih adanya aktivitas penyakit dan
jumlah partikel virus masih tinggi, maka lebih sering terjadi sirosis dan hepatoma. Berikut adalah
skema perjalanan hepatitis B kronik menurut Schalm.


Fase Reaktivasi
Sekitar 20-30 % pasien hepatitis B kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan

3. Hepatitis C
Hepatitis C merupakan penyakit infeksi melalui darah yang terdiri dari virus RNA yang
tergolong ke dalam famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Secara teori, mekanisme
terjadinya infeksi ini adalah adanya peptida struktural dan nonstruktural yang bertanggungjawab
dalam replikasi virus RNA khususnya peptida NS5. Terdapat enam genotipe (nomor 1 sampai 6)
dan lebih dari 90 subtipe (genotipe 1a, 1b, 2a, 3b, dll) terkait dengan hepatitis C. Antibodi HCV
(anti-HCV) di dalam darah mengindikasikan adanya infeksi dengan HCV. Jika infeksi terjadi
selama lebih dari 6 bulan dan replikasi virus terkonfirmasi oleh level RNA HCV, maka orang
tersebut terdiagnosis hepatitis C kronis. Penyakit kronis timbul akibat system imun tubuh tidak
efektif terhadap HCV. Limfosit T sitotoksik tidak efektif dalam membasmi HCV, sehingga bisa
merusak sel hati. Oleh karena itu, sistem imun seseorang sangat berpengaruh dalam
mengeliminasi HCV.
Pengguna narkoba suntikan (IDU) yang memakai jarum suntik dan alat suntik lain secara
bergantian berisiko paling tinggi terkena infeksi HCV. Antara 50 dan 90 persen IDU dengan HIV
juga terinfeksi HCV. Hal ini karena kedua virus menular dengan mudah melalui hubungan darah-
ke-darah. HCV dapat menyebar dari darah orang yang terinfeksi yang masuk ke darah orang lain
melalui cara yang berikut:
Memakai alat suntik (jarum suntik, semprit, dapur, kapas, air) secara bergantian;
Kecelakaan ketusuk jarum;
Luka terbuka atau selaput mukosa (misalnya di dalam mulut, vagina, atau dubur); dan
Produk darah atau transfusi darah yang tidak diskrining.
Berbeda dengan HIV, umumnya dianggap bahwa HCV tidak dapat menular melalui air mani atau
cairan vagina kecuali mengandung darah. Ini berarti risiko terinfeksi HCV melalui hubungan
seks adalah rendah. Namun masih dapat terjadi, terutama bila berada infeksi menular seksual
seperti herpes atau hubungan seks dilakukan dengan cara yang meningkatkan risiko luka pada
selaput mukosa atau hubungan darah-ke-darah, misalnya akibat kekerasan. Diusulkan orang
dengan HCV melakukan seks lebih aman dengan penggunaan kondom untuk melindungi
pasangannya. Perempuan dengan HCV mempunyai risiko di bawah 6 persen menularkan
virusnya pada bayinya waktu hamil atau saat melahirkan, walaupun risiko ini meningkat bila
viral load HCV-nya tinggi. Kemungkinan HCV tidak dapat menular melalui menyusui. Bila kita
belum dites HCV, atau tidak mengetahui apakah kita pernah dites, kita sebaiknya
membicarakannya dengan dokter. Tes HCV sangat disarankan untuk siapa pun yang HIV-positif.

4. Hepatitis D
HDV masuk kedalam tubuh dengan cara yang sama dengan HBV. Cara tersebut yatu melalui
darah dan produk darah, termasuk pemakaian bersama barang-barang pribadi seperti sikat gigi
atau pisau cukur, menyentuh darah terinfeksi, dll. Penularannya jarang lewat hubungan seksual
dan juga melalui ibu kepada bayinya selama proses melahirkan. Penularan VHD juga melalui
jarum suntik dan transfusi darah. Orang dengan hepatitis D kronik dapat menularkan virus pada
orang lain
Hepatitis D bertindak sangat mirip seperti hepatitis B. Virus ini masuk ketubuh dengan cara yang
sama dan dapat menyebabkan penyakit jangka pendek (akut) ataupun penyakit jangka panjang
(kronik). Walaupun dmeikian, karena virus ini hidup bersamaan dengan HBV, penyakit kronik
dan akut yang disebabkan HDV cenderung lebih parah pada orang yang hanya terjangkit HBV.
Infeksi ini menyebabkan pembengkakan dan peradangan pada hati.

5. Hepatitis E
Infeksi HEV tidak dapat dibedakan dari infeksi HAV. Infeksi dengan HEV tidak berbahaya,
kecuali wanita hamil. Wanita yang terinfeksi HEV selama trimester ketiga amat beresiko untuk
berkembangnya janin, sehingga dapat menyebabkan hepatitis atau gagal hati.
Pada saat terjadi kerusakan hati, yang bertanggung jawab adalah sistem imun. Kejadian ini
melibatkan respons CD8 dan CD4 sel T serta produksi sitokin di hati dan sistemik. Selain itu,
efek sitopatik langsung dari virus juga berperan dalam patofisiologi hepatitis. Efek sitopatik ini
berpengaruh pada pasien imunosupresi dengan replikasi tinggi, akan tetapi tidak ada bukti
langsung. Kelainan histopatologik pada hepatitis virus ini mendadak menunjukkan bahwa
kerusakan terutama mengenai sel hati yang disebabkan oleh sejenis virus yang mengakibatkan
terganggunya fungsi vital dan kontinuitas sel parenkim. Kemungkinan kerusakan sel hati terjadi
secara enzimatik.

6. Hepatitis G
Hepatitis virus G (HVG) disebabkan oleh VHG yang mirip dengan virus hepatitis C. Penyakit
HVG sebagian besar bersama dengan infeksi VHB dan VHC. Kira-kira 10% pasien dengan
hepatitis non-A-E kronik, positif untuk HGV RNA.
Pasien dengan hemofilia dan kondisi perdarahan lainnya yang membutuhkan banyak darah atau
produk darah mempunyai risiko hepatitis G. Risiko yang sama juga dialami pasien dengan
penyakit ginjal. Waktu hemodialisis, kebutuhan transfusi dan transplantasi ginjal adalah faktor
risiko infeksi VHG pada pasien dalam perawatan hemodialisis dan injeksi obat intra vena.
Penularan VHG adalah melalui darah atau produk darah, hubungan seks, alat suntik (pada
penderita yang sering menggunakan obat-obat adiktif melalui suntikan), transfusi darah jarum
suntik, dan secara vertikal dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya pada proses kelahiran.
Tabel 1. Gambaran Klinis yang Penting pada Hepatitis Virus (Sukandar et. al., 2008).
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis D Hepatitis E Hepatitis G
Virus HAV HBV HCV HDV HEV HGB/HGV
Family Picornavirus Hepadnavirus Flavivirus Satelite Calcivirus Flavivirus
Ukuran (nm) 27 42 30-60 40 32 ?
Genome ssRNA DsDNA ssRNA ssRNA ssRNA ssRNA
Inkubasi
(hari)
14-45 40-180 35-84 40-180 14-60 ?
Transmisi Fekal-oral
Parenteral
Seksual perinatal
Membran mukosa
Parenteral
Seksual
perinatal
Membran
mukosa
Parenteral
Seksual ?
Perinatal
Fekal-oral Parenteral
Tanda-tanda Serologik
Antigens HAVAgb
HBsAg
HBcAg
HCVAg HDVAg - -
HBeAg
Antibodi Anti-HAV
Anti-HBs
Anti-HBc
Anti-HBe
Anti-HCV Anti-HDV - -
Tanda-tanda
viral
HAV RNA
HBV DNA
DNA polymerase
HCV RNA HDV RNA
-
HGBV-C RNA

Manifestasi
klinis anak-
anak

Dewasa

Anikterik

Ikterik

Anikterik 70%
Ikterik 30%

Anikterik 75%
Sebagian besar
ikterik



Ikterik 25%

Sebagian besar
anikterik
-

Tidak jelas
Mortalitas
akut
0.3 0.2-1 0.2 2-20
10 (wanita
hamil)
?
Kronik (%)
Tidak ada 2-7
Neonater 90
70-80 2-70 Tidak ada
Karsinoma
hepatoseluler
Tidak ada Ada Ada Ada Tidak ada

III. Gejala dan Manifestasi
1. Hepatitis A
Seringkali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala, sedangkan
pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah, demam, diare, mual, nyeri
perut, mata kuning dan hilangnya nafsu makan. Gejala hilang sama sekali setelah 6-12
minggu. Orang yang terinfeksi hepatitis A akan kebal terhadap penyakit tersebut.
Berbeda dengan hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak berlanjut ke hepatitis kronik.
Masa inkubasi 30 hari.Penularan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi
tinja pasien, misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak dimasak atau makan kerang
yang setengah matang. Minum dengan es batu yang prosesnya terkontaminasi. Saat ini
sudah ada vaksin hepatitis A, memberikan kekebalan selama 4 minggu setelah suntikan
pertama, untuk kekebalan yang panjang diperlukan suntikan vaksin beberapa kali.
Pecandu narkotika dan hubungan seks anal, termasuk homoseks merupakan risiko tinggi
tertular hepatitis A.
Manifestasi klinis :
o bisa ikterik atau tanpa gejala ikterik ( anikterik subklinis)
o bila gejala muncul bentuknya berupa infeksi saluran nafas atas yang ringan seperti
flu dengan panas yang tidak begitu tinggi
o anoreksia merupakan gejala dini dan biasanya berat
o belakangan dapat timbul ikterik dan warna urin yang gelap
o gejala dispepsia dapat terjadi dalam berbagai derajat. Ditandai oleh rasa nyeri
epigastrium, mual, nyeri ulu hati, dan flatulensi
o gejala-gejala di atas menghilang pada puncak ikterik ( 10 hari sesudah kemunculan
awal )
o splenomegali dan hepatomegali sering terjadi
o cenderung bersifat simptomatis
2. Hepatitis B
Gejala mirip hepatitis A, tidak jauh berbeda dengan flu, yaitu hilangnya nafsu makan,
mual, muntah, rasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam. Penularan dapat melalui
jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, transfusi darah dan gigitan manusia.
Pengobatan dengan interferon alfa-2b dan lamivudine, serta imunoglobulin yang
mengandung antibodi terhadap hepatitis-B yang diberikan 14 hari setelah paparan.
Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif sudah tersedia sejak beberapa tahun yang lalu.
Yang merupakan risiko tertular hepatitis B adalah pecandu narkotika, orang yang
mempunyai banyak pasangan seksual. Hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan anti
HBs positif berarti Anda pernah terinfeksi virus Hepatitis B, namun virus tersebut sudah
tidak ada lagi dalam darah Anda (HbsAg negatif). Itu bahkan menunjukkan bahwa Anda
sekarang sudah mempunyai kekebalan terhadap Hepatitis B (anti HBs positif). Karena itu
selama kadar antibodi anti HBs Anda tinggi, maka Anda tak perlu lagi divaksinasi.
Imunisasi Hepatitis B dapat dimulai sejak bayi.
Manifestasi klinis :
o secara klinis sangat menyerupai hepatitis A nam,un masa inkubasi jauh lebih lama
o gejala dapat samar dan bervariasi
o mengalami penurunan selera makan
o dispepsia, nyeri abdomen
o pegal-pegal yang menyeluruh, tidak enak badan dan lemah
o Panas dan gejala pernafasan jarang dijumpai
o Gejala ikterik bisa terlihat atau tidak.
o Bila ikterik disertai tinja berwarna cerah dan urin berwarna gelap
o Nyeri tekan pada hati dan splenomegali
3. Hepatitis C
Gejala Hepatitis C biasanya lebih ringan dibandingkan dengan Hepatitis A atau B.
Kebanyakan pasien sama seperti tipe lain tidak mengalami gejala hepatitis. Hepatitis C
kronis dapat terinfeksi selama 10 30 tahun, dan sirosis atau gagal hati kadang-kadang
dapat berkembang sebelum pasien mengalami gejala yang jelas. Tanda-tanda kerusakan
hati pertama mungkin terdeteksi ketika tes darah untuk fungsi hati dilakukan.
Jika gejala awal yang terjadi, mereka cenderung sangat ringan dan menyerupai flu
dengan tanda-tanda :
Kelelahan
Mual
Kehilangan nafsu makan
Demam
Sakit kepala, dan sakit perut.
Setelah terserang Hepatitis A pada umumnya penderita sembuh secara sempurna,
tidak ada yang menjadi kronik. Hepatitis B juga sebagian besar akan sembuh dengan
baik dan hanya sekitar 5-10 persen yang akan menjadi kronik. Bila hepatitis B menjadi
kronik maka sebagian penderita hepatitis B kronik ini akan menjadi sirosis hati dan
kanker hati. Pada Hepatitis C penderita yang menjadi kronik jauh lebih banyak. Sebagian
penderita Hepatitis C kronik akan menjadi sirosis hati dan kanker hati. Hanya sebagian
kecil saja penderita Hepatitis B yang berkembang menjadi kanker hati. Begitu pula pada
penderita Hepatitis C hanya sebagian yang menjadi kanker hati. Biasanya diperlukan
waktu 17 sampai dengan 20 tahun seorang yang menderita Hepatitis C untuk
berkembang menjadi sirosis hati atau kanker hati.
Anti HCV negatif artinya Anda belum pernah terinfeksi Hepatitis C. Sampai sekarang
ini belum ada vaksin untuk Hepatitis C sehingga Anda dianjurkan agar berhati-hati
sehingga tidak tertular Hepatitis C. Jadi hindari kontak dengan cairan tubuh orang lain.
Sekarang memang ada obat baru untuk Hepatitis B yang disebut lamivudin. Obat ini
berupa tablet yang dimakan sekali sehari. Sedangkan jika diperlukan pengobatan untuk
Hepatitis C tersedia obat Interferon (suntikan) dan Ribavirin (kapsul). Namun
penggunaan obat-obat tersebut harus dilakukan dibawah pengawasan dokter.
Manifestasi klinis : serupa dengan hepatitis B tapi tidak begitu berat dan anikterik
4. Hepatitis D
Hepatitis D Virus ( HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik, yang tidak lengkap
dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus hepatitis B. Penularan melalui
hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi darah. Gejala penyakit hepatitis D
bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau amat progresif.
Hepatitis D sering dijumpai pada penderita hepatitis B, karena virus hepatitis D atau
VHD ukurannya sangat kecil dan sangat tergantung pada virus hepatitis B atau VHB.
VHD membutuhkan selubung VHB untuk dapat menginfeksi sel-sel hati (liver). Tak
menherankan jika cara penularan VHD sama dengan penularan VHB.
Seseorang dapat terjangkit hepatitis B dan D akut secara bersamaan. Sebagian besar
dapat sembuh dengan sendirinya tergantung ketahanan tubuhnya. Penderita hepatitis B
kronik dapat terkena hepatitis D akut, dan biasanya hepatitis D nya berubah menjadi
kronis. Kasus tersebut dapat juga berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu lebih
singkat.
Manifestasi klinis : serupa gejala hepatitis B, tapi lebih beresiko untuk menderita
heaptitis fulminan dan berlanjut menjadi hepatitis aktif yang kronis serta sirosis hati.
5. Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam pegel linu, lelah, hilang nafsu makan dan sakit perut.
Penyakit yang akan sembuh sendiri ( self-limited ), keculai bila terjadi pada kehamilan,
khususnya trimester ketiga, dapat mematikan. Penularan melalui air yang terkontaminasi
feces.
Hepatitis E bersifat menyerupai hepatitis A begitu pula dengan cara penularannya.
Namun tingkat keparahannya penyakitnya lebih ringan dibanding hepatitis A. Seperti
hepatitis A, hepatitis E sering bersifat akut dengan masa sakit singkat namun jika
penderita dalam kondisi ketahanan fisisk lemah, hepatitis E dapat parah hingga
menimbulkan kegagalan fungsi hati (liver). Virus hepatitis E atau VHE menyebar
melalui makanan dan minuman yang tercemar feses yang mengandung VHE.
6. Hepatitis F
Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakat hepatitis F
merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.
7. Hepatitis G
Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B dan/atau C.
Tidak menyebabkan hepatitis fulminan ataupun hepatitis kronik. Penularan melalui
transfusi darah jarum suntik. Semoga pengetahuan ini bisa berguna bagi Anda dan dapat
Anda teruskan kepada saudara ataupun teman Anda.




IV. Algoritma
Algoritma Pengobatan (NDDIC, 2006)


Membuat diagnosis berdasarkan peningkatan aminotransferase, anti HCV dan RNA
HCV dalam serum
Memperkirakan terapi yang cocok dan kontraindikasinya. Mendiskusikan efek samping
dan kemungkinan keuntungan dari hasil pengobatan
Tes untuk genotif HCV :
Mempertimbangkan melakukan biopsi hati untuk memperkirakan keparahan dari
hepatitis dan membutuhkan terapi yang terbaru.
Genotif 1 : tes untuk kadar RNA HCV langsung disebelum dimulainya terapi (baseline
level)
Genotif 1: memulai terapi dengan peginterferon alfa-2a dalam dosis 180 mcg perminggu
atau peginterferon alfa-2b dalam dosis 1,5 mcg/kg perminggu dalam kombinasi dengan
ribavirin oral dalam dua dosis terbagi yaitu 1000 mg perhari jika berat badan pasien <75
kg (165 lbs) atau 1200 mg perhari jika berat badan pasien >75 kg
Genotif 2 atau 3 : memulai terapi dengan peginterferon alfa-2a dengan dosis 180 mcg
perminggu atau dengan alfa-2bd engan dosis 1,5 mcg/kg perminggu dan ribavirin oral
800 mg perhari dalam 2 dosis terbagi.
Semua pasien : pada minggu ke 1, 2 dan 4 dan setiap 4 sampai 8 minggu selanjutnya,
menilai efek samping, gejala, blood count, dan kadar aminotransferase
Genotif 1: pada minggu ke 1, melakukan tes level RNA HCV kembali. Jika RNA HCV
negatif atau menurun paling tidak 2 log
10
unit (contohnya dari 2 juta IU menjadi 20.000
IU atau dari 500.000 IU menjai 5.000 IU atau lebih kecil lagi), lanjutkan terapi sampai
48 minggu penuh, monitoring gejala, blood count, dan ALT dengan interval 4-8 minggu
sekali. Jika RNA HCV tidak menurun paling tidak 2 log
10
unit, hentikan terapi
Genotif 2 dan 3: pada minggu ke 24, menghitung level aminotransferase dan RNA HCV
dan menghentikan terapi
Semua pasien : setelah terapi, hitung level aminotransferase pada interval 2-6 bulan
sekali. Ulangi tes RNA HCV 6 bulan setelah terapi dihentikan.
V. Terapi Non Farmakologi
Hati yang normal halus dan kenyal bila disentuh. Ketika hati terinfeksi suatu
penyakit, hati menjadi bengkak. Sel hati mulai mengeluarkan enzim alanin
aminotransferase (ALT) ke dalam darah. Dengan keadaan ini memberitahukan pasien
apakah hati sudah rusak atau belum. Bila konsentrasi enzim tersebut lebih tinggi
daripada normal, menandakan hati mulai rusak. Sewaktu penyakit hati berkembang,
perubahan dan kerusakan hati meningkat. Pengendalian atau penanggulangan
penyakit hati yang terbaik adalah dengan terapi pencegahan agar tidak terjadi
penularan maupun infeksi (DepKes, 2007).
Penyakit hati dapat disebabkan oleh virus tetapi juga oleh bahan kimia hepatotoksik,
termasuk alkohol, peroksid, toksin dalam makanan, obat, dan polusi. Ada obat yang
khusus ditujukan pada penekanan virus hepatitis, dan juga ada pengobatan yang tidak
spesifik (non farmakologik): mengobati gejala untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan pada sel hati; dan mencegah fibrosis dan lanjutan ke sirosis dan/atau kanker.
Pengobatan non-spesifik ini dapat berasal dari produk jamu/alamiah. Banyak pasien
hepatitis akut mengalami gejala yang dramatis (mual, sakit kuning, demam, kelelahan),
dan mereka cenderung mendesak dokter untuk mengobatinya. Oleh karena itu, dokter
meresepkan hepatoprotektor untuk menyamankan pasien. Satu ciri khas hepatitis virus
ada flare pada ALT (tiba-tiba naik tajam pada satu tes, tetapi sudah kembali normal
pada tes berikut). Hal ini terjadi walau tidak diberikan obat atau melakukan tindakan
lain. Jadi penurunan pada ALT yang tinggi sering dianggap sebagai bukti keberhasilan
hepatoprotektor (Yayasan Spiritia, 2007).
Terapi tanpa obat lainnya bagi penderita penyakit hati adalah dengan diet
seimbang, jumlah kalori yang dibutuhkan sesuai dengan tinggi badan, berat badan,
dan aktivitas. Pada keadaan tertentu, diperlukan diet rendah protein, banyak makan sayur
dan buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk mencegah sembelit,
menjalankan pola hidup yang teratur dan berkonsultasi dengan petugas kesehatan
(DepKes, 2007).
Tujuan terapi diet pada pasien penderita penyakit hati adalah menghindari kerusakan
hati yang permanen; meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan dengan
keluarnya protein yang memadai; memperhatikan simpanan nutrisi dalam tubuh;
mengurangi gejala ketidaknyamanan yang diakibatkan penyakit ini; dan pada
penderita sirosis hati, mencegah komplikasi asites, varises esofagus dan ensefalopati
hepatik yang berlanjut ke komplikasi hepatik hebat. Diet yang seimbang sangatlah
penting. Kalori berlebih dalam bentuk karbohidrat dapat menambah disfungsi hati
dan menyebabkan terjadinya penimbunan lemak pada hati (DepKes, 2007).
Jumlah kalori dari lemak seharusnya tidak lebih dari 30% jumlah kalori secara
keseluruhan karena dapat membahayakan sistem kardiovaskular. Selain diet yang
seimbang, terapi tanpa obat ini harus disertai dengan terapi non farmakologi
lainnya seperti segera beristirahat bila merasa lelah dan menghindari minuman
beralkohol (DepKes, 2007).
Transplantasi hati dewasa ini merupakan terapi yang diterima untuk kegagalan
hati yang tak dapat pulih dan untuk komplikasi-komplikasi penyakit hati kronis tahap
akhir. Penentuan saat transplantasi hati sangat kompleks. Para pasien dengan
kegagalan hati fulminan dipertimbangkan untuk transplantasi bila terdapat tanda-
tanda ensefalopati lanjut, koagulapati mencolok (waktu prothrombin 20 menit) atau
hipoglikemia. Pada pasien dengan penyakit hati kronis dipertimbangkan untuk
transplantasi bila terdapat komplikasi-komplikasi yang meliputi asites refrakter,
peritonitis bakterial spontan, ensefalopati, perdarahan varises atau gangguan parah
pada fungsi sintesis dengan koagulopati atau hipoalbuminemia (DepKes, 2007).
Lebih dari 2000 transplantasi hati telah dilakukan sejak tahun 1963. Ada dua tipe
utama transplantasi (DepKes, 2007):
a) Homotransplantasi auksilaris dimana sebuah hati ditransplantasikan di tempat
lain dari hati yang sudah ada dibiarkan tetap ditempatnya.
b) Transplantasi ortotopik dimana sebuah hati baru diletakkan pada tempat hati
yang lama. Yang terakhir ini lebih populer. Transplantasi hati yang berhasil merupakan
usaha gabungan medis dan bedah.
Dengan transplantasi hati, masa bertahan hidup 1 tahun adalah 60-70% bagi orang
dewasa dan 80% pada anak-anak. Transplantasi untuk keganasan memiliki kemungkinan
keberhasilan yang lebih buruk daripada untuk penyakit jinak, karena kekambuhan
penyakitnya. Transplantasi untuk gagal hati akut pada mereka yang diperkirakan tidak
memiliki kemungkinan untuk dapat bertahan hidup misalnya pada gagal hati fulminan akibat
hepatitis non A, non B, hepatitis halotan atau keracunan Paracetamol yang disertai dengan
koagulopati berat atau bilirubin >100 mol/L, jika dilakukan sebelum terjadinya edema
serebral, memiliki prognosis yang baik (DepKes, 2007).

VI. Terapi Farmakologi
Obat yang digunakan untuk pengobatan hepatitis :
Hepatitis A :
Tidak ada treatment khusus untuk Hepatitis A
Tujuan terapi: pemulihan kondisi pasien.
Terapi umumnya bersifat suportif.
Penggunaan steroid tidak disarankan.
Jika terjadi kerusakan/kegagalan hati,dilakukan transplantasi (Dipiro,2008)
Hepatitis B :
1. Lamivudine
a. Indikasi : Hepatitis B kronik.
b. Dosis : Dewasa, anak > 12 tahun : 100 mg 1 x sehari. Anak usia 2 11 tahun : 3
mg/kg 1 x sehari (maksimum 100 mg/hari).
c. Efek samping : diare, nyeri perut, ruam, malaise, lelah, demam, anemia, neutropenia,
trombositopenia, neuropati, jarang pankreatitis.
d. Interaksi obat : Trimetroprim menyebabkan peningkatan kadar lamivudine dalam
plasma.
e. Perhatian : pankreatitis, kerusakan ginjal berat, penderita sirosis berat, hamil dan
laktasi.
f. Penatalaksanaan :
- Tes untuk HBeAg dan anti HBe di akhir pengobatan selama 1 tahun dan kemudian
setiap 3 -6 bulan.
- Durasi pengobatan optimal untuk hepatitis B belum diketahui, tetapi pengobatan
dapat dihentikan setelah 1 tahun jika ditemukan serokonversi HBeAg.
- Pengobatan lebih lanjut 3 6 bulan setelah ada serokonversi HBeAg untuk
mengurangi kemungkinan kambuh.
- Monitoring fungsi hati selama paling sedikit 4 bulan setelah penghentian terapi
dengan Lamivudine.
2. Interferon
a. Indikasi : Hepatitis B kronik, Hepatitis C Kronik
b. Dosis :
Hepatitis B kronik :
- Interferon -2a : SC atau IM 4,5 x 10
6
unit 3 x seminggu. Jika terjadi toleransi dan
tidak menimbulkan respon setelah 1 bulan, secara bertahap naikkan dosis sampai dosis
maksimum 18 x 10
6
unit 3 x seminggu. Pertahankan dosis minimum terapi selama 4 - 6
bulan kecuali dalam keadaan intoleran.
- Interferon -2b : SC 3 x 10
6
unit 3 x seminggu. Tingkatkan 5-10 x 10
6
unit 3 x
seminggu setelah 1 bulan jika terjadi toleransi pada dosis lebih rendah dan tidak berefek.
Pertahankan dosis minimum terapi selama 4 - 6 bulan kecuali dalam keadaan intoleran.
c. Penatalaksanaan
- Peginterferon -2a dengan Ribavirin untuk infeksi genotif 1.
- Peginterferon dengan Ribavirin, interferon dengan Ribavirin untuk infeksi genotif
2 dan 3.
- Peginterferon tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap ribavirin.
- Peginterferon tunggal : tes Hepatitis C RNA selama 12 minggu, jika ada respon
lanjutkan pengobatan selama 48 minggu, jika tidak ada respon (positif HCV RNA)
hentkan pengobatan.
- Tes Hepatitis C RNA 6 bulan setelah penghentian pengobatan untuk melihat respon.
Hepatitis C:
1. Ribavirin dengan Interferon
a. Indikasi : Hepatitis C kronik pada pasien penyakit hati > 18 tahun yang mengalami
kegagalan dengan monoterapi menggunakan interferon -2a atau -2b.
b. Ribavirin dengan peginterferon -2a atau -2b untuk Hepatitis C kronik pada pasien >
18 tahun yang mengalami relaps setelah mendapat terapi dengan interferon .
c. Dosis :
- Ribavirin dengan Interferon -2b
Interferon -2b : 3 x 10
6
unit 3 x seminggu dan Ribavirin per hari berdasarkan berat
badan : < 75 kg, Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg sore hari, > 75 kg, Ribavirin 600 mg
pagi dan sore hari.
- Ribavirin dengan Peginterferon -2b
Peginterferon -2b : 1,5 g/Kg SC 1 x seminggu dan Ribavirin berdasarkan berat badan :
<65 Kg SC peginterferon -2b 100 g 1 x seminggu oral Ribavirin 400 mg pagi dan
malam hari. 65 80 Kg SC Peginterferon -2b 120g 1 x seminggu oral Ribavirin 400
mg pagi dan 600 mg malam hari. 80 85 SC Peginterferon -2b 150g 1 x semingguoral
Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg malam hari. > 85 kg SC Peginterferon -2b 150g 1
x seminggu oral Ribavirin 600 mg pagi dan malam hari.
d. Kontraindikasi: Wanita hamil dan suaminya, pasangan yang berencana memiliki anak
kandung, mempunyai reaksi alergi terhadap Ribavirin, kit jantung berat 6 bulan yang
lalu, haemoglobinopathy, hepatitis autoimun, sirosis hati yang tidak terkompensasi,
penyakit tiroid, adanya penyakit atau riwayat kondisi psikiatrik berat, terutama depresi,
keinginan atau ada upaya bunuh diri.
e. Efek samping: Hemolisis, anemia, neutropenia, mulut kering, hiperhidrosis, asthenia,
lemah, demam, sakit kepala, gejala menyerupai flu, kekakuan, berat badan menurun,
gangguan GI, artralgia, mialgia, insomnia, somnolen, batuk, dispnea, faringitis, alopesia,
depresi.
f. Perhatian : Wanita subur dan pria harus menggunakan kontrasepsi aktif selama terapi
dan 6 bulan sesudahnya, tes kehamilan harus dilakukan setiap 6 bulan selama terapi.
Lakukan tes darah lengkap sejak awal terapi riwayat penyakit paru atau diabetes mellitus
yang cenderung ketoasidosis, gangguan pembuluh darah atau mielosupresi berat. Tes
daya visual dianjurkan pada pasien DM atau hipertensi. Monitor fungsi jantung pada
pasien dengan riwayat gagal jantung kongestif, infark miokard dan aritmia. Dapat
menimbulkan kekambuhan penyakit psoriasis (Depkes RI, 2007).
2. Interferon
a. Indikasi : Hepatitis B kronik, Hepatitis C Kronik
b. Dosis :
Hepatitis C kronik :
Gunakan bersama Ribavirin (kecuali kontraindikasi). Kombinasi Interferon dengan
Ribavirin lebih efektif.
- Interferon -2a dan -2b
SC 3 x 10
6
unit 3 x seminggu selama 12 minggu. Lakukan tes Hepatitis C RNA dan jika
pasien memberikan respon lanjutkan selama 6 - 12 bulan.
- Peginterferon -2a
SC 180 g 1 x seminggu.
- Peginterferon -2b
SC 0,5 g/Kg (1 g/Kg digunakan untuk infeksi genotif 1) 1 x seminggu.
c. Penatalaksanaan
- Peginterferon -2a dengan Ribavirin untuk infeksi genotif 1.
- Peginterferon dengan Ribavirin, interferon dengan Ribavirin untuk infeksi genotif
2 dan 3.
- Peginterferon tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap ribavirin.
- Peginterferon tunggal : tes Hepatitis C RNA selama 12 minggu, jika ada respon
lanjutkan pengobatan selama 48 minggu, jika tidak ada respon (positif HCV RNA)
hentkan pengobatan.
- Tes Hepatitis C RNA 6 bulan setelah penghentian pengobatan untuk melihat respon.
Hepatitis D :
Orang yang mengidap hepatitis D dalam jangka waktu yang lama, dapat diberikan
oalpha interferon hingga 12 bulan.
Hepatitis E :
Penyakit ini akan sembuh sendiri (self-limited), kecuali bila terjadi pada kehamilan,
khususnya trimester ketiga, dapat mematikan.
Hepatitis Fulminant (Hepatitis F) :
Tidak ada pengobatan spesifik untuk ke gagalan fulminant hati. Pengendalian
hepatitis fulminant difokuskan pada deteksi, pencegahan komplikasi, dan pengobatan
komplikasi yang agresif.
Tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien meliputi
terapi pendukung yang intensif ditambah pemilihan dini untuk transpalantasi hati.
Tindakan-tindakan spesifik meliputi :
Terapi H
2
bloker untuk mencegah pendarahan gastrointestinal
Terapi antibiotik digunakan untuk infeksi
Pengendalian udem otak meliputi pemantauan tekanan intrakranial dan pemberian
manitol (0,3-1 g/kg BB sebagai pemberian larutan 20% lebih dari 20 menit)(ISFI, 2009).
Hepatitis G:
Tidak ada perawatan spesifik untuk penyakit hepatitis akut ini. Penderita harus banyak
istirahat, menghindari alkohol dan makan makanan bergizi (Perrillo, 2010).

VII. Evaluasi dan KIE
Evaluasi Hasil Terapi Hepatitis dengan IFN
1. Pada pasien dengan HBV kronis yang sedang menjalani pengobatan, HBeAg, HbsAg
dan HBVDNA harus diukur pada awal terapi, akhir terapi dan 6 bulan setelahnya, ALT
harus dipantau setiap bulannya.
2. Pasien yang menerima IFN harus dimonitor hitungan darah, lengkap dengan platelet,
perminggunya selama 2 minggu, lalu per bulan. Test tiroid harus diperiksa saat awal dan
setiap 3-6 bulan selama perawatan.
3. Pasien harus ditanya mengenai tingkat keaktifan, perubahan mood dan gejala.
Evaluasi Hasil Terapi Hepatitis B
Respon Terapi Keterangan
Biokimiawi Penurunan kadar ALT menjadi normal
Virologi Kadar HBV DNA menurun / tidak
terdeteksi
(<10
5
copies/ml)
HbeAg + menjadi HbeAg -
Histologi Pada pemeriksaan biopsi hati, indeks
aktifitas
histologi menurun paling tidak 2 angka
dibandingkan sebelum terapi
Respon Komplit Terpenuhinya kriteria : biokimiawi,
virologi dan menghilangnya HbsAg

Konsultasi Informasi Edukasi (KIE)
1. Mengedukasi pasien untuk melakukan imunisasi pasif denga n immunoglobulin (Igs)
dan untuk hepatits B imunisasi aktif pada keluarga terdekatnya.
2. Pasien diedukasi untuk memiliki personal higienis yang baik melalui cuci tangan yang
baik.
3. Pasien diarahkan untuk dapat melakukan diet, istirahat, menjaga keseimbangan cairan
dan menghindari obat-obat hepatotoksik dan alcohol.
Pasien harus menghindari kelelahan, istirahat/tidur yang cukup mungkin diperlukan
selama penyakit akut.

VIII. Kasus
1. Kasus I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 24 tahun
Status : Belum menikah
Pekerjaan : TNI - AD
Agama : Islam
Masuk RS : 22 Januari 2012

II. DATA DASAR
Autoanomnesis, tanggal 24 januari 2012, pukul 12.00 WIB
Keluhan utama : Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Ditegakkan dari anamnesis :
2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh badan lemas,
menggigil namun tidak disertai demam, nyeri kepala ( + ), sesak ( + ), mual ( + ),
muntah ( + ) dan nyeri pada perut bagian kanan atas, BAK berwarna kuning pekat
seperti air teh dan BAB cair, ampas ( - ), lendir ( - ), darah ( - ), frekwensi 1 hari 3x
BAB, kemudian mata dan tangan pasien berwarna kuning Kemudian pasien dibawa
ke RS Ridwan dan di diagnosa hepatitis dan di rawat selama 1 minggu.
3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien datang dengan keluhan demam
tinggi mendadak, demam naik turun, demam turun jika diberi obat penurun panas (
paracetamol ), demam disertai dengan menggigil, pasien merasa badan lemas, nyeri
kepala ( + ), telapak tangan terasa kram, mulut terasa pahit, pasien mengatakan
nafsu makan menurun, BAK berwarna kuning normal dan BAB tidak ada kelainan
kemudian pasien dibawa ke RSPAD diberi obat penurun panas dan dinfus.
Pasien menyangkal sering mengkonsumsi obat -obatan sembarangan dan
menyangkal mengkonsumsi alkohol, kebiasaan merokok.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat sakit maag : disangkal
Riwayat minum jamu dan obat-obatan : disangkal
Riwayat asma : tidak disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat hipertensi
Riwayat asma, DM

III. PEMERIKSAAN FISIK
Tinggi badan 168 cm, berat badan 55 kg
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 100x/menit, equal, isi cukup, reguler
Suhu : 37.6
0
C
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (+/+), kedudukan bola mata simetris,
pupil bulat isokor, reflek cahaya langsung (+/+), edema palpebra (-/-).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI HASIL NORMAL
Hemoglobin 14.3 13 18 gr/dL
Hematokrit 44 37-47%
Eritrosit 5.5 4.3-6 juta/uL
Leukosit 6500 6000-10.800/uL
Trombosit 379.000 150.000-400.000/uL
MCV 89 80-96 fl
MCH 29 27-32 pg
MCHC 32 32-36 g/dL
Ureum 23 20-50 mg/dL
Kreatinin 1.0 0.5-1.5 mg/dL
Natrium 141 135-145 mEq/L
Kalium 3.8 3.5-5.3 mEq/L
Klorida 102 97-107 mEq/L
SGPT 80 <40 U/L
SGOT 49 <35 U/L
V. ASSESMENT
Hepatitis akut ec HAV
VI. RENCANA PENATALAKSANAAN
a. Rencana diagnostik:
Tes HbsAg
Tes anti HAV, Ig G, Ig M
Darah lengkap
Urine lengkap
b. Rencana terapi:
Tirah baring atau istirahat. Karena pasien ada pada periode akut dan keadaannya
lemah, diharuskan untuk cukup istirahat
IVFD D 10 % / 8 jam
Curcuma
Indikasi : hepatoprotektor
Dosis : 3x sehari 1 tablet
Sistenol
Indikasi : menurunkan demam dan sakit kepala
Dosis : 3 x sehari 1 kaplet diminum sesudah makan
Karena pasien mual, muntah dan tidak nafsu makan sebaiknya diberikan infuse.
Namun jika sudah tidak mual, dilakukan diet lunak rendah lemak dan kolesterol
1700 kkal, dan diberikan makanan cukup kalori (30-35 kalori/kgBB) dengan
protein yang cukup (1g/kgBB).

2. Kasus II
Hepatitis B Kronis dengan anemia, suspek hepatoma, dan suspek Sirosis Hepatis
Pasien laki-laki berusia 38 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan atas dan perut terasa semakin membesar sejak 3 bulan yang lalu. Pada mulanya perut
terasa nyeri dan sebah tetapi kemudian membesar dan dirasakan seperti banyak airnya. Selain itu
pasien juga mengeluhkan sesak napas yang kambuh-kambuhan serta merasa lemas dan pucat
sejak 1 minggu terakhir. Pasien merasa frekuensi BAK yang sedikit, warnanya kuning
kecoklatan. Sudah 2 hari terakhir ini pasien belum BAB, dan pasien mengaku pernah BAB
berwarna hitam. Pasien juga merasa pusing dan kakinya membengkak, serta kadang-kadang
batuk. Nafsu makan dirasa menurun, namun tidak merasa mual dan muntah. Dua bulan
sebelumnya, pasien pernah dirawat di RS Bethesda Yogyakarta dengan keluhan dan sakit yang
sama, dan kemudian membaik. Riwayat terdiagnosis hepatitis B dibenarkan, yaitu 5 tahun yang
lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis,
tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 100 kali/menit, pernafasan 32 kali/menit, dan suhu 37,5C.
Didapatkan sklera ikterik (+/+), jantung dan paru dalam batas normal, pemeriksaan pada regio
abdomen didapatkan abdomen membesar, bising usus (+) normal, nyeri tekan kanan atas (+), tes
Undulasi (+), tes Pekak Beralih (+). Perkusi redup (+), hepatomegali 4 jari di bawah arcus costa
dan teraba berbenjol.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan pada kadar hemoglobin,
hematokrit, eritrosit, trombosit, albumin, protein total. Juga peningkatan pada MCV, MCH,
SGOT, SGPT, dan trigliserida. HbsAg positif. Hasil USG menunjukkan hepatomegali dengan
massa noduler lobus dextra sangat mungkin hepatoma. Ascites, lien, VF, dan ren dextra normal.
DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditegakkan diagnosis kerja
Hepatitis B Kronik dengan anemia, suspect hepatoma, dan suspect sirosis hepatis.
TERAPI
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi terapi non farmakologis yaitu dengan diet
tinggi protein, tinggi kalori, dan rendah garam. Diberikan juga terapi farmakologis berupa infus
D5 : RL 20 tetes/ menit, furosemid 2 x 2 tab (dosis maksimal 600 mg/hari), kcl 1 x 1 tab, BC 3 x
1 tab, dan Ranitidin 3 x 1 tab, transfusi PRC 2 kalf, ketorolac 2x10 mg, dan gracef 1x1 (iv).
DISKUSI
Hepatitis Kronis adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis
kronis lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh-
puluh tahun. Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun kerusakan hati yang berarti.
Pada beberapa kasus, peradangan yang terus menerus secara perlahan menyebabkan kerusakan
hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan kegagalan. Dikatakan
hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau
pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan. Pada pasien ini terdapat keluhan perut
membesar. Hal ini merupakan tanda adanya kelainan pada rongga perut pisa berupa cairan,
massa dan perdarahan. Untuk membedakan maka dilakukan pemeriksaan fisik yang didapat test
undulasi dan pekak beralih positif, ini menunjukkan pada rongga abdomen terdapat cairan yang
disebut Asites. Pasien memiliki riwayat mengalami gejala serupa beberapa tahun yang lalu dan
sudah pernah masuk rumah sakit denyan penyaki serupa. Dengan hasil lab yang menyatakan
HbsAg pasien (+) berarti pasien menderita penyakit hepatitis B. Karena sudah berlangsung
beberapa tahun (5 tahun yang lalu terdiagnosis hepatitis B) memungkinkan perjalanan penyakit
pasien menjadi penyakit yang kronik. Pada pemeriksaan kimia darah, rasio albumin dan globulin
menjadi terbalik, menyatakan telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada hepar pasien.
Pada penurunan fungsi hepatoseluler terjadi penurunan dari sintesis albumin, dimana albumin
ini memegang peranan penting dalam menjaga tekanan osmotik darah. Dengan menurunnya
kadar albumin, maka tekanan osmotik akan menurun yang berakibat eksudasi cairan
intravaskular ke dalam jaringan interstitial di seluruh tubuh, diantaranya adalah rongga
peritoneum, sedangkan udem perifer yang terjadi selain karena faktor hipoalbuminemia juga
akibat adanya retensi garam dan air yang terjadi oleh karena kegagalan hati dalam
menginaktifkan hormon aldosteron dan hormon anti diuretik (ADH). Mengenai keluhan badan
lemas dan cepat lelah, mual dan nafsu makan yang menurun merupakan kompensasi dari tubuh
akibat adanya kerusakan dari parenkim hati.
Pasien juga merasakan perut sebah yang dikarenakan terdapatnya cairan pada rongga
abdomen sehingga tekanan abdomen meningkat dan dapat mengganggu kerja usus dan lambung,
hal ini bisa menimbulkan rasa mual akibat penekanan tersebut, nafsu makan menurun dan badan
menjadi lemas. Sirosis adalah perusakan jaringan hati normal yang meninggalkan jaringan parut
yang tidak berfungsi di sekeliling jaringan hati yang masih berfungsi. Sirosis dapat mengganggu
sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasus yang sangat lanjut menyebabkan kegagalan fungsi
hati secara bertingkat. Pada pasien sangat mungkin telah terjadi sirosis postnekrotik yang terjadi
menyusul nekrosis berbecak pada jaringan hati, menimbulkan nodul-nodul degeneratif besar dan
kecil yang dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut, berselang-seling dengan jaringan
normal. Sirosis postnekrotik kira-kira 20% dari seluruh kasus sirosis, sekitar 25% kasus memiliki
riwayat hepatitis virus sebelumnya. Banyaknya pasien dengan HbsAg positif menunjukkan
bahwa hepatitis kronik aktif agaknya merupakan peristiwa yang besar perannya. Ciri yang agak
aneh dari sirosis postnekrotik adalah bahwa tampaknya merupakan predisposisi terhadap
neoplasma hati primer (hepatoma).Berdasarkan alasan diatas maka kasus pada pasien ini lebih ke
arah gangguan fungsi fungsi hati akibat penyakit yang berjalan lama.. Dengan tanda dan gejala
yang ada dan didukung oleh pemeriksaan fisik dan penunjang maka diagnosis pasien adalah
Hepatitis B Kronik dengan anemia, suspect hepatoma, dan suspect sirosis hepatis.
KESIMPULAN
Hepatitis Kronis adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis
kronis lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh-
puluh tahun. Dikatakan hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis
atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan. Sirosis adalah
perusakan jaringan hati normal yang meninggalkan jaringan parut yang tidak berfungsi di
sekeliling jaringan hati yang masih berfungsi. Pada beberapa kasus, peradangan yang terus
menerus secara perlahan menyebabkan kerusakan hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan
kegagalan. Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasus yang sangat
lanjut menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat. Sirosis postnekrotik kira-kira 20%
dari seluruh kasus sirosis, sekitar 25% kasus memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya.
Banyaknya pasien dengan HbsAg positif menunjukkan bahwa hepatitis kronik aktif agaknya
merupakan peristiwa yang besar perannya. Ciri yang agak aneh dari sirosis postnekrosis adalah
bahwa tampaknya merupakan predisposisi terhadap neoplasma hati primer (hepatoma).

IX. Daftar Pustaka
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati, Jakarta. Depkes RI. www.
binfar.depkes.go.iddownloadPC_HATI.pdf. diakses tanggal 10 mei 2012.
Departemen Kesehatan, 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Jakarta: Departemen
Kesehatan.
DiPiro JT, et al, 2008, Pharmacotherapy. A Pathophysiologic Approach (seventh edition), New
York: The McGraw Hill Companies.
Gillespie, Stephen, Kathleen Bamford, 2009, At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi (Edisi
Ketiga) terj. Stella Tinia H., Jakarta: Penerbit Erlangga.
Irene Winata, Rima Melati Harjono. 1993. Immunisasi Hepatitis B (Immunisation Against
Hepatitis B), Hak Cipta British Medical Association. Terjemahan Indonesia. Hipokrates.
Jakarta. PAPDI.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
Marhenyatoz. 2011. Gejala hepatitis. Available at
http://marhenyantoz.wordpress.com/2011/11/09/gejala-hepatitis/. [Diakses Pada Tanggal 12
Mei 2012].
Nurainni. 2011. Hepatitis. Available at http://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-
only/keperawatan-medikal-bedah-kmb/hepatitis/. [Diakses Pada Tanggal 12 Mei 2012].
Perrillo R. Hepatitis B and D. In: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds. Sleisenger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders
Elsevier;2010:chap 78.
Price, S.A, alih bahasa, Brahm U. Pendit et. al.2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit volume 1. EGC. Jakarta.
Reliance. 2012. Hepatitis. Available at http://xa.yimg
.com/kq/groups/14875872/822660192/name/HEPATITIS.pdf. [Diakses Pada Tanggal 12 Mei
2012].
Shinta Eka K. 2010. HEPATITIS B KRONIK.
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Hepatitis+B+Kronis+dengan+anemia%2C
+suspek+hepatoma%2C+dan+suspek+Sirosis+Hepatis+pada+Pria+usia+38+tahun.
(diakses : 14 mei 2012)
Suharjo , JB dan B Cahyono. Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronis. Cermin Dunia
Kedokteran. Tersedia online di
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_150_Diagnosismenajemenhepatiskronis.pdf/05_150
_Diagnosismenajemenhepatiskronis.html
Sukandar, E.Y.,R. Andrajati, J.I. Sigit, I.K.Adnyana, dan A.A.P.Setiadi. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta : ISFI Penerbitan.
Yayasan Spiritia. 2007. Penanganan HBV dan HCV sebagai Koinfeksi HIV. Dapat diakses online
di:http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1030&menu=hepmenu [Diakses pada tanggal
12 Mei 2012].

Anda mungkin juga menyukai